Categories
#catatan-harian #menulis

Kedai Kopi Lucu di Jakarta: The French Oven

Kedai Kopi Lucu di Jakarta: The French Oven

Banyak kedai kopi lucu di Jakarta. Aku akan review setiap kali dapat peluang datang ke satu tempat. Ini yang pertama untuk tahun ini:

Selasa kemarin (13 Februari 2024) sebelum Hari Pilpres, aku ke French Oven bareng Adik jam sembilan pagi. Tempatnya sudah buka sejak pukul 7:30 sampai 19:30.

The French Oven ada di Pakubuwono, Jakarta Selatan. Tempatnya ada di lantai dua gedung SADA. Menurut barista yang bertugas hari itu, The French Oven sudah buka sejak pertengahan November 2023 kemarin.

Kenapa sih, pemiliknya memilih nama “The French Oven”? Awalnya, pemilik kafe ini lebih fokus bikin kue sebagai hobi sekaligus bisnis mereka. Berhubung tahu banyak orang Jakarta yang suka ngopi di kedai, akhirnya mereka juga buka kedai kopi ini.

Kedai kopi ini lucu dengan dekorasi bergaya Perancis. Tempatnya nyaman buat nge-date sama pasangan, nongkrong bareng sekelompok kecil teman-teman, atau kalo lagi mau sendirian dengan buku. Kamu penulis yang lagi cari tempat sepi dengan kopi enak dan cemilan sambil menulis cerita? Ke sini saja.

Apa yang kupesan pagi itu? Es cappuccino, tentu saja. Bahkan meski aku dan Adik tidak memesan cemilan, minuman kami dihidangkan bareng tiga jenis kue untuk dicicipi.

Pastinya, aku ingin balik lagi ke French Oven buat mencoba menu lain. Musik lounge Perancis bikin vibe-nya lebih kalem. Aku juga penasaran dengan variasi kue lidah kucing mereka. Masa ada yang rasa … teh Earl-Grey?

Yah, buat yang lagi di Pakubuwono, Jakarta Selatan, cek saja salah satu #kedaikopilucu ini dan kasih tahu pendapatmu.

The French Oven

Jalan Pakubuwono VI No:100
The 2nd floor of The SADA Building
South Jakarta

Instagram: @thefrenchoven.id

R.

Foto-foto oleh: @renaldirindra

Categories
#catatan-harian #menulis

Pilpres 2024: Semakin Dekat, Semakin Malas Ikutan Debat

Pilpres 2024: Semakin Dekat, Semakin Malas Ikutan Debat

Jedaku
Foto: unsplash.com

Tanggal 14 Februari 2024 bukan hanya Hari Kasih Sayang (Valentine’s Day) bagi yang (memilih) merayakan. Bagi seluruh rakyat Indonesia, hari ini merupakan Hari Piplres (Pemilihan Presiden).

“Jadi kamu mau milih siapa?”

Pertanyaan bagus. Jujur, sekarang aku malas cerita-cerita ke siapa pun soal ini. Hakku juga untuk tetap merahasiakannya. Kenapa?

Aku kapok. Dulu pernah terlalu jujur dengan pilihanku. Saat pilihanku kemudian melakukan kesalahan, aku sempat kecewa dan mengkritik beliau di Facebook. Seorang teman lama yang melihat langsung nyinyir berkomentar:

“Presiden ELO, tuh.”

Dih, apaan sih? Pikirku sebal. Waktu itu, langsung saja kubalas begini:

“Oh, sekarang elo dah ganti WN dan tinggal di luar negeri, ya? Di negara mana lo sekarang? Selamat, ya!”

Hehe, dia nggak jawab, lho! Aku memang sudah malas berdebat maupun saling sindir soal politik. Membaca debatan sesama orang Indonesia soal tiap paslon di X saja sudah bikin mual. Makin mual bila yang kayak begini sampai bikin orang lebih semangat saling memaki dan musuhan.

Makanya, aku memilih diam saja soal calon yang nanti akan kupilih. Bukan apa-apa. Pada akhirnya akan selalu sama.

Kita akan memilih calon sesuai hati nurani. Kalau yang menang kerjanya benar, kita apresiasi. Kalau kerja mereka salah, wajib kita kritik.

Kalau mereka lantas jadi baperan, lalu mendadak gila kuasa dan berubah jadi tukang main ancam rakyat yang mengkritik mereka? Yah, paling alamat kudeta lagi kayak 1998. Lagian, hari gini udah gak jaman kali, main ancam-ancaman tanpa risiko mendapatkan perlawanan dari rakyat …

 

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

3 Kemungkinan Alasan Orang Terdekat Takut Jujur Sama Kamu

3 Kemungkinan Alasan Orang Terdekat Takut Jujur Sama Kamu

Harusnya mereka jujur sama kamu, seperti biasa dan kayak dulu. Apa yang berubah akhir-akhir ini? Kenapa mereka seperti menunggu ‘ditodong’ dulu, baru (berani) ngomong? Sebelum langsung beranggapan (cuma) mereka yang ber(ma)salah, coba cek diri sendiri dululah. Bisa jadi kamu ada andil juga yang menyebabkan mereka bersikap demikian.

1. Kamu sendiri juga suka tidak jujur sama mereka.


Memang, tidak mungkin kita bisa 100% jujur sama semua orang. Bahkan, kita juga tetap harus menjaga perasaan orang terdekat dengan tidak selalu jujur sama mereka.

Namun, ada kalanya kita tetap harus jujur, sepahit apa pun kenyataannya. Misalnya: sesuatu yang sedang atau telah kita lakukan akan berdampak buruk ke mereka juga – baik secara langsung maupun tidak langsung. Jangan suka main standar ganda. Jangan berharap mereka mau jujur dengan sendirinya, kalau kamu sendiri juga punya banyak rahasia yang bisa mempengaruhi mereka.

2. Kamu lebih sering tidak antusias mendengarkan cerita mereka.


Kebiasaan ini terkesan sepele, padahal akibatnya bisa serius. Memang, semua orang punya masalah. Tapi nggak berarti kita berhak main standar ganda soal “siapa yang lebih berhak untuk banyak curhat”, cuma karena menurutmu masalah mereka “cuma segitu doang”. Tolong ya, ini bukan kompetisi.

Semua orang bisa merasa lelah dan bosan. Cuma, salah gak sih, kalau orang yang selama ini rela mendengarkan curhatmu – apalagi yang itu-itu terus – meski sedang lelah atau bosan, suatu saat bakal berharap perlakuan serupa darimu pas giliran mereka butuh pendengar?

Mengapa sepertinya kamu sulit berusaha melakukan hal yang sama untuk mereka?

3. Diam-diam, kamu berharap mereka sempurna.


Mungkin kamu tidak bermaksud demikian. Sayangnya, tanpa sadar sikap sekaligus ekspektasimu menjadi beban mental buat mereka. Misalnya: selama ini, mereka nyaris nggak pernah curhat atau kelihatan kayak lagi ada masalah. Padahal, belum tentu mereka baik-baik saja.

Bisa saja mereka sebenarnya sangat ingin bercerita. Sayangnya, masih ada rasa takut yang mengganjal. (Salah satu sebabnya ada di poin nomor dua.) Apalagi, kamu juga gemar memuji-muji mereka ke semua orang sebagai sosok mandiri.

Mungkin juga mereka pernah trauma dengan ulahmu. Mereka pernah beberapa kali jujur padamu mengenai masalah mereka. Sayangnya, bukan simpati maupun pengertian yang mereka dapat. Kamu malah lebih banyak marah-marah dan langsung menghakimi, bahkan tanpa mau mendengar penjelasan mereka atau memberi mereka kesempatan untuk membela diri bila salah. Begitu tahu begini, mereka berpikir: “Lain kali tidak usah cerita saja sekalian. Menyesal jadinya.”

Nah, sebelum mereka keburu memilih diam dan terus berahasia karena merasa tidak aman denganmu, mending lain kali biarkan mereka bercerita sampai selesai. Hindari memotong cerita mereka di tengah jalan, apalagi langsung menambahnya dengan celaan. Kamu nggak perlu otomatis langsung mengerti atau menemukan solusi, kok.

Menjadi pendengar aktif saja dulu, jangan setengah-setengah.
Selain tiga (3) contoh di atas, apalagi sih, yang bisa bikin orang takut jujur sama orang terdekat?

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Tak Ada Highlights untuk Tahun 2023 Ini

Tak Ada Highlights untuk Tahun 2023 Ini

Kurasa hati ini lebih dari patah

oleh kekejian Zionis Israel.

Aku ingin kebebasan untuk Palestina

agar tiada lagi yang menderita.

 

Tak ada highlights untuk 2023.

Tidak, tidak saat dunia tidak berbuat banyak atas kekejaman yang ada.

Aku tak peduli semua prestasi pribadimu.

Apa yang harus dirayakan,

saat masih ada yang jadi korban genosida?

 

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Catatan Akhir Tahun 2023

Catatan Akhir Tahun 2023

Mohon maaf, akhir-akhir ini aku sibuk luar biasa di dunia nyata. Inilah akibatnya bila fokus kita terpecah ke mana-mana. Satu ke pekerjaan, satu ke hobi, satu ke keluarga, satu ke teman, satu ke diri sendiri … dan seterusnya.

Bukan bermaksud mengeluh, namun kenyataannya … tahun 2023 cukup banyak kejutan yang bikin stres. Meskipun diawali dengan bisa nonton konser Hoobastank gratis di bulan Maret 2023, sisanya cukup … yah, begitulah.

Yang paling bikin shock sedunia mungkin bukan demam Coldplay yang tur keliling dunia. (Aku sampai tidak kebagian tiket nonton karena gagal ‘perang tiket’ di dunia maya. Ya sudah, memang bukan rezekinya!)

Israel kembali berulah dengan brutal menyerang Palestina berkali-kali. Awalnya, mereka sempat berhasil menarik simpati dunia dengan mengaku menjadi korban Hamas, sebuah organisasi militer perlawanan penjajah untuk Palestina.

Aku tidak akan membahas soal 7 Oktober 2023 panjang lebar di sini. Silakan cari sumbernya sendiri, asal jangan ikut termakan propaganda. Bagi yang sudah hidup cukup lama dan mengikuti sejarah, kita tahu bahwa Israel sudah cari gara-gara dengan Palestina sejak 1948.

Mungkin karena sudah pernah jadi korban bullying dan melihat orang-orang hanya menonton, aku muak melihat yang terus terjadi di Palestina hingga kini. Untuk pertama kalinya, kukirim video ini sebagai bentuk dukunganku pada mereka:

IMG_1905 

 

#IstandWithPalestine #FreePalestine #CeaseFireNow

 

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Hanya Satu Jenis Perdebatan yang Akan Kuladeni

Hanya Satu Jenis Perdebatan yang Akan Kuladeni

Aku ingat saat masih bekerja di salah satu kantor lama. Seorang rekan kerja lelaki mengeluhkanku begini:

“Elo harusnya tuh, lebih berani mempertahankan pendapat. Berdebat kek, jangan iya-iya aja.”

Waktu itu aku hanya diam. Bukan apa-apa. Kalau berdebat, aku asli milih-milih. Pilihanku berdasarkan tiga (3) kemungkinan di bawah ini, seperti:

  1. Apa tujuan orang itu ngajak debat? Kalau hanya karena mau cari lawan debat untuk mengurangi kebosanan hidup mereka, tentu saja aku ogah meladeni.
  2. Apakah dia sedang mencari pembuktian dan pengakuan kalau dia lebih cerdas dariku? Kalau itu alasannya, aku mah, skip Malas rasanya kalau sampai harus kasih makan ego orang yang gila validasi.
  3. Apakah dia tengah mencari teman diskusi sungguhan, agar bisa sama-sama menemukan solusi suatu masalah? Nah, hanya yang ini yang beneran mau kuladeni.

Sayangnya, kita nggak bisa selalu memilih begini di dunia nyata. Tentu saja, apalagi termasuk urusan pekerjaan. Suka gak suka, kadang kita harus menekan perasaan kita dan menahan diri terhadap manusia menyebalkan – atas nama profesionalisme.

Pokoknya, selama mereka bukan pelaku kekerasan – apalagi kekerasan seksual – hadapi saja dengan berani.

 

Standar Ganda Gak jelas

Maka, aku pun memenuhi permintaan si rekan kerja lelaki. Di satu rapat berikutnya, aku mulai berani mendebat. Tentu saja, aku tidak mau asal debat. Aku melakukan riset dulu sebelum mendebat demi mempertahankan ideku.

Namun, apa yang kemudian terjadi? Si rekan kerja lelaki malah merajuk kayak anak kecil.

“Gue gak ada maksud mau ‘mematikan’ ide kalian, kok.”

Lha, kok malah jadi dia yang baper? Jujur, saat itu aku antara mau ketawa sekaligus dongkol. Katanya aku harus berani mendebat. Eh, yang minta begitu ternyata malah nggak siap.

Mungkin memang benar kata pepatah ini: “Berhati-hatilah dengan keinginanmu.” Bisa jadi kamu nggak siap saat akhirnya kejadian beneran.

Untunglah, aku sudah lama tidak sekantor lagi dengan lelaki itu. Memang, aku nggak akan seratus persen bebas dari manusia-manusia gila hormat di dunia ini. Tapi, setidaknya aku masih bisa mengurangi / membatasi interaksiku dengan mereka. Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan perkara pemberani dan pengecut, ya.

Ini masalah memilih prioritas. Sayang bila waktu dan tenaga habis percuma, hanya gara-gara dipaksa meladeni tukang debat gila hormat. Ya, nggak?

 

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

‘Lebih Baik A atau B?’ Itu Pertanyaan Tendensius

‘Lebih Baik A atau B?’ Itu Pertanyaan Tendensius

Jika pertanyaan semacam ini main-main belaka, mungkin aku takkan menanggapinya secara negatif. Misalnya: “Mendingan makan es krim pake french fries atau es krim campur pop corn?” Suka-suka yang milih dan bahkan bisa memancing canda dan tawa. Bahkan, boleh jadi satu-satu beneran akan mereka coba.

Namun, bila isu yang dibahas cenderung serius dan kompleks, rasanya pertanyaan “Pilih Mana?” terkesan … tidak adil dan tendensius. Bahkan, banyak yang jelas-jelas memanfaatkannya untuk memancing keributan di media sosial (rage farming) serta memanipulasi orang untuk terpaksa memilih salah satu – padahal bisa jadi malah nggak sreg sama keduanya.

 

Rage Farming – Usaha Penggiringan Opini Dengan Menebar Kebencian

Banyak cara untuk mencari perhatian orang di dunia maya. Salah satunya (dan yang paling sering dipakai banyak orang) adalah rage farming. Rage farming juga lazim dilakukan lewat pertanyaan semacam “Pilih Mana?” atau pernyataan yang membandingkan satu hal sekaligus menjatuhkan satu hal lainnya. Misalnya:

“Pilih mana: cowok ganteng tapi kere atau jelek tapi tajir?”

“Lebih baik single tapi tajir atau nikah tapi melarat?”

Bahkan, ada yang langsung bikin pernyataan yang jelas-jelas mengunggulkan satu pihak dan menjatuhkan satu pihak lain, seperti:

“Perempuan sempurna bukanlah yang bertitel S1, S2, maupun S3, tapi yang akhlaknya saleh dan mengutamakan keluarga.”

Duh, gak usah diterusin, yah? Apalagi kalo yang nulis / ngomong gitu laki-laki. Gak enak baca / dengernya. Meskipun ngakunya ‘hanya berpendapat’, jelas banget tujuan utamanya tetap ingin mengkerdilkan prestasi perempuan. Ngapain coba? Justru malah menunjukkan keminderan / ketidakmampuan yang menulis / berpendapat demikian. Niat banget gitu, mau jatuhin satu pihak hanya karena gak suka?

 

Pertanyaan Tendensius

“Lebih baik A atau B?” itu pertanyaan tendensius bagiku. Mengapa demikian? Pastinya ada salah satu yang harus ‘dijatuhkan’ demi mengunggulkan pihak lain. Kenapa apa-apa perlu perbandingan segala, bahkan sampai ekstrim? Kurang percaya dirikah dengan pilihan sendiri?

Selain itu, kenapa hobi banget (berusaha) membatasi pilihan hidup orang? Bila kedua pilihan dalam pertanyaan ini sama-sama tidak enak, harusnya boleh dong, kita memilih yang lain lagi – di luar pertanyaan itu?

Kalo ternyata nggak boleh milih selain dua pilihan dalam pertanyaan tendensius macam ini, mending nggak usah milih sekalian. Toh, bukankah tidak memilih juga sebuah pilihan?

 

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Malas Berdebat Bukan Berarti Pengecut

Malas Berdebat Bukan Berarti Pengecut

Ada yang bilang, semakin tua bisa berarti salah satu dari dua (2) kemungkinan di bawah ini:

  1. Semakin keras kepala dalam berdebat.
  2. Semakin malas berdebat, kecuali kala terdesak.

Bila kamu termasuk golongan pertama, maka sebisa mungkin aku akan enggan berurusan denganmu. Aku termasuk yang kedua, karena akhir-akhir ini aku semakin malas buang-buang waktu.

Mungkin banyak yang akan menyebutku pengecut atau orang yang “tidak bisa menerima perbedaan pendapat” alias “tidak mau berpikiran terbuka” (close-minded). Padahal, aku lebih suka berdiskusi untuk memecahkan masalah bersama, ketimbang saling ngotot karena merasa (paling) benar – lalu buntutnya malah musuhan.

 

Gaslighting Manusia Kurang Kerjaan

Kadang aku suka geli mendengar klaim mereka yang begitu seenak hati. Pasalnya, mereka dengan enteng sengaja memelintir kalimat sesuai kebutuhan mereka.

“Elo gak bisa menerima pendapat gue yang beda, berarti elo gak open-minded!”

Padahal kenyataannya, yang suka ngomong begini tuh, sebenarnya sangat manipulatif. Yang diajak ngomong sebenarnya bisa menerima pendapat mereka. Hanya orang yang berpikiran terbuka yang bisa begitu.

Namun, yang menuduh mereka “tidak berpikiran terbuka” sebenarnya hanya kesal karena pendapat mereka tidak disetujui. Padahal, kemungkinan pendapat mereka disetujui atau tidak – dengan alasan apa pun – tetap bisa terjadi. Memangnya mereka harus selalu benar?

Memangnya semua hal dalam hidup harus ada kaitannya sama mereka? Kalau sudah begini, siapakah yang sesungguhnya “tidak berpikiran terbuka” – termasuk menerima fakta bahwa tidak semua orang akan selalu setuju sama pandangan mereka?

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

3 Cara Mengatasi Perubahan Negatif Sikap Sahabat

3 Cara Mengatasi Perubahan Negatif Sikap Sahabat

Ada yang bilang, kejadian semacam ini biasanya terasa lebih berat saat kamu masih muda. (Contoh: masa remaja.) Kata mereka, semakin dewasa rasanya semakin mudah saja.

Pada kenyataannya, tidak selalu demikian. Apalagi bila sahabat ternyata tidak hanya sudah cukup lama berada di dalam hidupmu. Sahabat sudah dekat juga dengan teman-temanmu yang lain dan keluargamu. Makanya, saat ada masalah besar dan kalian saling menjauh, rasanya seperti kehilangan anggota keluarga. Lebih menyakitkan.

 

Penyebab Rusaknya Persahabatan

Ada banyak sebab perusak persahabatan, mulai dari yang remeh sampai serius. Yang pasti, kalau urusannya sudah sampai soal prinsip, saling ngotot juga tidak akan mendapatkan titik temu.

Yang pasti dibutuhkan kedewasaan semua pihak dalam persahabatan untuk “agree to disagree” (paham kalau kalian tidak akan selalu sepakat dalam segala hal).

 

Cara Mengatasi Rusaknya Persahabatan

Sayangnya, kamu tidak bisa mengendalikan semua hal dalam hidup. Bila ini yang terjadi, ada tiga (3) cara untuk mengatasinya:

  • Terimalah kenyataan.

Merasa sedih, marah, atau kecewa dengan perubahan negatif sikap sahabat itu wajar. Sama seperti urusan putus cinta, berpura-pura sahabat tidak pernah ada dalam hidupmu justru malah akan semakin menyakitkan.

Namun, hindari juga membiarkan perasaan sedih berlarut-larut. Ingat, hidup terus berjalan. Gak ada yang mau selamanya nungguin kamu berhenti merasa sedih dulu.

  • Pertimbangkan dulu matang-matang sebelum memutuskan untuk mengakhiri persahabatan selamanya.

Manusia memang mudah berubah hatinya. Yang kemaren ngaku sayang, hari ini bisa benci setengah mati. Yang dulu kompak, sekarang bisa berseberangan – dan bahkan sampai musuhan.

Bila mengikuti emosi, mungkin kamu bisa mengambil keputusan gegabah. Misalnya: memutuskan untuk mengakhiri persahabatan karena sakit hati. Wajar sih, tapi apa kamu yakin itu satu-satunya cara terakhir yang mau kamu ambil?

Bagaimana kalau ternyata masih ada cara untuk memperbaikinya? Bagaimana bila suatu hari, ternyata salah satu dari kalian – atau kalian semua – terpikir untuk menjalin kembali persahabatan?

Ya, semuanya mungkin saja, sih. Namun, pastikan bila ternyata persahabatan kalian benar-benar sudah tidak bisa dilanjutkan lagi, alasannya masuk akal. Contoh: sahabat berubah menjadi sosok yang berpotensi mengancam kesehatan mentalmu serta keselamatan nyawamu. Bukan lebay, lho.

  • Selain introspeksi diri, siapkan diri melangkah maju dengan cara elegan.

Jangan lupa introspeksi diri. Mungkin saja kamu juga punya andil dalam berakhirnya persahabatan kalian.

Namun, bila memang benar-benar sudah tidak bisa diperbaiki lagi, cukuplah berusaha tidak mengulangi kesalahan serupa dengan teman lain.

Melangkah maju dengan cara elegan bisa kamu mulai secara bertahap. Gak perlu menjelek-jelekkan mantan sahabat atau pun mengumbar semua ‘rahasia kotor’-nya ke semua orang karena dendam.

Kamu bisa memilih menyibukkan dirimu, seperti layaknya orang yang baru putus cinta. Kamu bisa fokus pada pekerjaan, ibadah, keluarga, dan teman-temanmu yang lain, hingga pasangan. (Kalau ada).

Hidup terus berjalan. Orang-orang datang dan pergi, termasuk (yang merasa ingin atau sudah jadi) sahabat (yang katanya sejati). Tak ada yang abadi. Semoga kamu tetap bisa berbahagia, meski tak lagi sejalan dengan sahabat.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Kadang Beranjak Pergi Lebih Baik

Kadang beranjak pergi lebih baik

“Choose your battles wisely.” (Tidak semua perdebatan harus kamu menangkan.)

 

Aku seorang pemarah. Ini pengakuan jujur. Ada yang bilang, ini terkait zodiakku: Scorpio.

Jujur, aku nggak begitu percaya kalau zodiak bisa mengendalikan perilaku kita. Lagipula, bukankah manusia selalu punya pilihan? Ngomong-ngomong soal pilihan, dulu pilihanku lebih banyak langsung bereaksi marah. Mau itu balas mengejek atau membentak, pokoknya wajib membela diri setiap kali (merasa?) diserang.

Awalnya, cara ini terkesan keren. Apalagi, kulihat banyak orang seperti ini yang kemudian ditakuti.

 

Lalu, Apa yang Kemudian Mengubahku?

 

Lama-lama rasanya melelahkan juga. Bukan apa-apa. Sebenarnya, aku sangat benci marah-marah. Aku tidak suka dibentak-bentak atau dihina, apalagi di depan umum. Apalagi, pelakunya sama sekali tidak berminat mendengarkanku. Pokoknya, yang penting bentak-bentak saja dulu. Peduli setan bila yang dibentak-bentak kemudian sakit hati. Peduli amat kalau kemudian mereka dicap sok ngatur, sombong, dan sok paling beres sejagad!

Aku tidak mau seperti mereka. Membayangkan kemungkinan itu saja sudah sangat menjijikan.

Namun, aku juga masih ingin membela diriku saat diserang. Apalagi bila pelakunya seperti punya sentimen / dendam pribadi, hingga terus melakukannya setiap kali melihatku. Entah untuk apa. Mungkin memang ada orang ‘sakit’ yang baru bahagia sekali bila bisa menyakiti orang lain.

 

Tidak Semua Pencari Ribut Layak Dapat Perhatian

 

Begitu menginjak usia 35 ke atas, aku mulai bisa memilih. Ada yang masih kuladeni, sementara sisanya lebih banyak kudiamkan. Coba tebak? Rasanya lebih damai. Berkurang deh, stres karena drama. Memang benar nasihat teman tersebut. Tidak semua perdebatan – apalagi yang cetek tapi sangat mengganggu – harus kamu menangkan.

 

R.