Categories
#catatan-harian #menulis

Masih Bingung Kenapa Perempuan Sekarang Takut Menikah dan Jadi IRT?

Masih Bingung Kenapa Perempuan Sekarang Takut Menikah dan Jadi IRT?

Aku sudah pernah menulis soal ini di platform media digital lain. Tapi, mengingat pola pikir masyarakat patriarkis Indonesia amat susah diubah (apalagi yang lelaki), kayaknya aku harus menulis lagi, nih. Edukasi memang butuh kesabaran ekstra, hehehe.

Aku pernah membaca status Facebook seorang kenalan lelaki yang bunyinya seperti ini:

“Sering gak tega liat istri kecapekan ngerjain semua urusan RT. Makanya … saya sengaja tidur lebih lama supaya gak usah liat, hehehe.”

Oh, dia hanya bercanda? Pasti mengakunya demikian. Paling kalau lelaki macam ini langsung ditegur, dia akan bersikap defensif dan menuduh penegur “baperan” (bawa perasaan). Mana sudi dia dianggap salah?

Aku juga nggak mau kepoin respon istrinya jika sudah baca status suaminya. Mungkin istrinya tipe makluman atau pasrahan. Mungkin juga istrinya nggak sempat baca, karena … ya, itu – selalu sibuk dengan urusan RT. Ketahuan ‘kan, siapa yang paling banyak nganggurnya?

Mungkin aslinya si lelaki nggak setega itu. Mungkin dia masih mau urunan ngerjain urusan rumah tangga, entah full, sesekali, tipis-tipis, atau malah pake ngedumel karena nggak ikhlas. Iya, kayak suami Indonesia kebanyakan. Yah, pokoknya bare minimum banget, dah!

Masalahnya? Pertama, leluconnya sama sekali nggak lucu. Mungkin lelaki itu kekurangan hiburan. Tapi, harus gitu, sampai meremehkan istri yang sudah baik-baik mengerjakan semua urusan RT seorang diri? Harus sampai menyepelekan kelelahannya, hanya demi alasan “Cuma Bercanda”?

Kabar terkini, tahun 2023 adalah tahun Indonesia dengan angka pernikahan yang menurun. Nggak heran, sih. Nggak heran juga banyak perempuan yang takut menikah dan nggak mau jadi IRT (ibu rumah tangga) juga. Bodo amat dengan iming-iming “dimuliakan” hingga panggilan sayang “ratu rumah”. Omong kosong semua! Gimana nggak takut, coba?

Masih banyak lelaki yang ngakunya ‘memuliakan perempuan’, tapi hanya di mulut. Lain di ucapan, lain di kelakuan. Kalo nggak melakukan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), ya selingkuh.

Nggak usah jauh-jauh, deh. Masih banyak juga lelaki yang dengan entengnya bilang, “Bini gue nggak kerja”, hanya karena istrinya IRT. Asli, nggak tahu diri dan nggak tahu terima kasih sama sekali. Mereka pikir siapa yang bersihin rumah, masakin makanan, cuci dan setrika pakaian mereka, serta masih banyak lagi? Dipikir nggak capek, apa?

Bahkan, bila istri sesekali mengeluh pun, mereka langsung main adu nasib dengan merengek, “Aku juga capek cari duit!” atau langsung berlagak bijak, bawa-bawa ajaran agama dengan menegur, “Jangan ngeluh, karena artinya kamu nggak ikhlas!” atau “Lelahmu nanti diganjar pahala.” Kesannya hanya lelaki yang paling capek dan berhak mengeluh.

Ha-ha, coba si suami kerja hanya dibayar ucapan terima kasih dan pahala – atas nama ikhlas. Maukah?

Makanya, aku udah nggak heran bahwa ada lelaki yang tega menjadikan kelelahan istrinya yang IRT sebagai lelucon. Pada kenyataannya, memang masih terlalu banyak lelaki Indonesia dengan pola pikir patriarkis yang sudah kelewat nyaman dengan posisi mereka.

Sama memuakkannya dengan lelaki yang seenaknya menuntut dilayani yang paling remeh (seperti membuat teh hangat, tapi giliran tehnya sudah jadi, malah tidak dia minum sama sekali. Ngucapin terima kasih sama yang bikin aja enggak, karena merasa berhak dan layak dilayani perempuan IHH!!

Ada juga yang marah-marah dan menganggap anak balitanya sendiri sebagai ‘saingan perhatian istri’. Kekanak-kanakan sekali, padahal nggak ada yang menggemaskan dari menjadi ‘bayi gede’. Wajar kalau istri memprioritaskan bayi atau balitanya yang belum bisa melakukan banyak hal dan butuh banyak bantuan.

Lain cerita ya, kalau kebetulan suaminya lumpuh dari leher ke bawah. Kalau begini, ya emang harus dibantu.

Serius, masih pada bingung kenapa perempuan sekarang takut menikah dan menjadi IRT?

 

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Gak Selalu Karena Lifestyle, Ini 5 Alasan Orang Pakai Pinjol

Gak Selalu Karena Lifestyle, Ini 5 Alasan Orang Pakai Pinjol

Gak usah sinis dulu baca judul di atas. Kalo kebetulan bukan kamu yang pernah / masih pake pinjol (pinjaman online) lewat aplikasi digital, bersyukurlah. Kamu gak perlu ngenyek (mengejek) atau jumawa juga sama mereka yang (mungkin terpaksa) pake jasa keuangan digital yang satu ini.

Kita mungkin sudah cukup familiar dengan fintech (financial technology) pinjol, lengkap dengan berbagai cerita ‘horor’ di baliknya. Lho, kok ‘horor’? Bagi yang sudah pernah mengalami kredit macet hingga diteror DC (debt collector) lewat telepon, SMS, hingga didatangi ke rumah / kantor – khusus dimaki-maki di depan umum – pasti paham. Apalagi, kita sampai masuk daftar hitam OJK (Otoritas Jasa Keuangan), karena otomatis SLIK kita tercatat buruk begitu terlacak oleh BI.

Apakah reputasi keuangan kita bisa pulih kembali? Tentu saja bisa, meskipun akan membutuhkan waktu lama dan usaha maha keras. Meminta keringanan sambil tetap berusaha membayar utang juga bisa dicoba.

 

Kemudahan Menghina Sesama:

Sayangnya, tak semua kemudahan selalu menguntungkan, apalagi di era media sosial ini. Kadang kita suka tidak merasa, dengan (sekali) klik, kita mendapatkan banyak kemudahan. Mau belanja tinggal klik. Bayar dan transfer ini-itu tinggal klik. Main game juga tinggal klik.

Meminjam uang sekarang juga tinggal klik. Awalnya mungkin nggak kerasa, karena masih (merasa) sanggup bayar. Lama-lama? Baru terasa adiksinya. Makanya, banyak yang sulit berhenti, meskipun sudah menunggak utang banyak. Apalagi, kebutuhan semakin banyak, yang sayangnya nggak sepadan dengan harga bahan-bahan pokok yang kian meningkat.

Sayangnya, gak sedikit juga yang stres hingga akhirnya memilih … bunuh diri. Krik … krik … krik …

Yang berani berhenti otomatis langsung mencari bantuan. Untuk itu, aku salut sama kamu.

Sayangnya, kemudahan ini juga bikin banyak orang mudah menghina sesama di media sosial. Padahal, bisa jadi mereka hanya beruntung – bukan lebih cerdas – tidak sedang dalam situasi genting yang pada akhirnya memaksa mereka menggunakan pinjol.

Karena Lifestyle? Belum Tentu!

“Makanya, jangan kebanyakan gaya! Traveling pake pinjol, giliran susah bayar, mampus lo!”

Oh, wow. Semangat sekali menghujatnya. Memang sih, ada yang kayak gitu. Cuma, jangan kebiasaan main pukul rata kalau semua pengguna pinjol pasti sama saja. Gak selalu karena lifestyle, ini lima (5) alasan orang terpaksa pakai pinjol:

  • Buat biaya kuliah.

Bila menurutmu semua orang bisa kuliah semudah itu, kamu sangat keliru. Faktanya, yang masuk kategori tajir melintir banget sangat sedikit (namun cenderung punya peluang lebih untuk memonopoli banyak hal.) Gak semua orang cukup beruntung diberkahi otak cerdas sehingga bisa kuliah lewat jalur beasiswa. Alasannya, apalagi kalau bukan akses pendidikan dan gizi yang terhambat.

Sementara itu, lapangan pekerjaan dengan gaji layak membutuhkan minimal lulusan D3/S1. (Bahkan, ironisnya, banyak lulusan S1 dan S2 yang hingga kini masih menganggur.) Jadilah, mereka yang putus asa mengambil jalan pintas dengan menggunakan jasa pinjol.

  • Situasi darurat keluarga.

“’Kan ada asuransi. Harusnya bisa pake asuransi, dong!”

Beruntunglah yang asuransinya memang mencukupi. Tapi, namanya musibah ‘kan, nggak bisa diprediksi. Selain itu, belum tentu semua orang punya ‘sistem pendukung’ (support system) yang kuat.

Misalnya: orang tuamu tiba-tiba harus diopname di rumah sakit untuk waktu lama. Dana asuransi keburu habis, namun perawatan mereka belum usai. Sayangnya, gajimu pun tak seberapa.

Mau minta bantuan kerabat hingga teman? Ha-ha, sekali lagi … gak semua orang seberuntung itu. Ada yang asli nggak punya keluarga besar. Kalau pun ada, belum tentu mereka akur. Bisa jadi malah sedang diacuhkan.

Begitu pula dengan urusan pertemanan. Empati itu bukan hanya soal rasa kasihan dan prihatin. Empati itu soal kesadaran, bahwa privilege tiap orang tuh, beda-beda. Ada yang temennya dikit banget tapi bisa membantu. Ada yang temennya banyak tapi menghilang semua giliran ada masalah atau diminta tolong.

Karena merasa udah nggak ada lagi yang bisa dimintai tolong, maka beralihlah mereka ke pinjol.

  • Nasib generasi sandwich dengan keluarga toksik.

Sebentar, aku nggak bilang semua generasi sandwich kayak gini. Masih banyak kok, yang bisa mengatur keuangan dengan baik, meski banyak tanggungan. Yang jadi tanggungan syukur-syukur masih tahu diri, nggak menuntut aneh-aneh. Kalau pun sampai ambyar, sebisa mungkin mereka nggak tergoda iming-iming kemudahan pakai pinjol.

Sebagai generasi sandwich, mungkin mereka sudah ikhlas dengan “peran” mereka yang jadi andalan keluarga (besar). Iya, sampai nggak bisa nabung buat diri sendiri, nggak punya simpanan investasi apa pun buat masa depan, dan rela (?) mengorbankan impian pribadi mereka.

Intinya, uang habis tak bersisa – bahkan kadang sebelum habis bulan.

Sayangnya, orang-orang baik macam ini malah rentan dimanfaatkan keluarga sendiri. Lha, kok gitu?? Namanya juga manusia ketemu uang. Apalagi kalau apesnya, dapat keluarga bermental pemalas dan benalu. Mumpung ada yang bisa mereka jadikan “sapi perahan”, gitu. Mungkin juga karena dia lebih muda / giat bekerja / berhemat / baik / perempuan / gak enakan / dan masih banyak lagi.

Tahu-tahu yang “diperah” kewalahan, hingga akhirnya mulai terpaksa pakai pinjol. Habis gimana? Keluarganya nggak sadar-sadar juga. Malah banyak yang pakai taktik gaslighting seperti ini:

“Sama keluarga sendiri kok, perhitungan amat, sih?”

“Lain kali kami nggak akan bantuin kamu, lho!”

Intinya, mereka nggak mau tahu. Pokoknya, yang penting tetap harus ada duit buat mereka tiap kali mereka minta.

  • Mau buka bisnis, sulit dapat pinjaman dan akhirnya merugi.

Ini perkara umum yang anehnya malah paling jarang disorot. Mau buka bisnis, tapi sulit dapat pinjaman. Entah dari keluarga sendiri, teman, hingga bank, hasilnya sama: DITOLAK.

Mungkin karena membaca review bagus dari peminjam sebelumnya, mereka memutuskan untuk pakai pinjol juga. Sayangnya, lagi-lagi takdir berkata lain. Usaha mereka ternyata tidak menguntungkan. Mereka juga masih harus membayar gaji para karyawan.

Mau melarang mereka buka bisnis hanya karena sedang tidak punya uang? Memangnya kamu siapa? Nolongin enggak, kasih solusi juga enggak. Cuma bacot doang.

  • Kehilangan pekerjaan dan kehabisan santunan.

Hari gini, siapa sih, yang mau kehilangan pekerjaan? Apalagi, hilangnya juga karena perusahaan bangkrut. Pas pandemi 2020 kemarin banyak kejadian, tuh.

Nah, lagi-lagi, masalahnya nggak semua orang beruntung bisa langsung dapat pekerjaan baru. Nggak semua orang dapat dana kompensasi cukup dari perusahaan yang memecat mereka. Padahal, dana itu bisa memberi mereka waktu untuk mencari pekerjaan berikutnya.

Saat dana santunan (entah dari siapa) habis namun pekerjaan baru tak kunjung didapatkan, yang putus asa langsung beralih ke pinjol sambil terus berusaha mencari pekerjaan. Ingat, nggak semua orang punya keluarga dan teman-teman baik yang mau menolong. Bersyukurlah kamu yang diberkahi support system yang baik.

 

Gini, aku juga nggak membenarkan penggunaan aplikasi pinjol secara serampangan. Aku yakin, kalo nggak terpaksa banget, orang-orang yang kusebutkan di sini pasti lebih memilih tidak menggunakannya sama sekali.

Bagi kamu yang sedang berusaha melunasi utang pinjol, silakan minta bantuan mediator, seperti Dolpheen ID misalnya. Semoga masalah utangmu cepat selesai.

 

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Kedai Kopi Lucu di Jakarta: The French Oven

Kedai Kopi Lucu di Jakarta: The French Oven

Banyak kedai kopi lucu di Jakarta. Aku akan review setiap kali dapat peluang datang ke satu tempat. Ini yang pertama untuk tahun ini:

Selasa kemarin (13 Februari 2024) sebelum Hari Pilpres, aku ke French Oven bareng Adik jam sembilan pagi. Tempatnya sudah buka sejak pukul 7:30 sampai 19:30.

The French Oven ada di Pakubuwono, Jakarta Selatan. Tempatnya ada di lantai dua gedung SADA. Menurut barista yang bertugas hari itu, The French Oven sudah buka sejak pertengahan November 2023 kemarin.

Kenapa sih, pemiliknya memilih nama “The French Oven”? Awalnya, pemilik kafe ini lebih fokus bikin kue sebagai hobi sekaligus bisnis mereka. Berhubung tahu banyak orang Jakarta yang suka ngopi di kedai, akhirnya mereka juga buka kedai kopi ini.

Kedai kopi ini lucu dengan dekorasi bergaya Perancis. Tempatnya nyaman buat nge-date sama pasangan, nongkrong bareng sekelompok kecil teman-teman, atau kalo lagi mau sendirian dengan buku. Kamu penulis yang lagi cari tempat sepi dengan kopi enak dan cemilan sambil menulis cerita? Ke sini saja.

Apa yang kupesan pagi itu? Es cappuccino, tentu saja. Bahkan meski aku dan Adik tidak memesan cemilan, minuman kami dihidangkan bareng tiga jenis kue untuk dicicipi.

Pastinya, aku ingin balik lagi ke French Oven buat mencoba menu lain. Musik lounge Perancis bikin vibe-nya lebih kalem. Aku juga penasaran dengan variasi kue lidah kucing mereka. Masa ada yang rasa … teh Earl-Grey?

Yah, buat yang lagi di Pakubuwono, Jakarta Selatan, cek saja salah satu #kedaikopilucu ini dan kasih tahu pendapatmu.

The French Oven

Jalan Pakubuwono VI No:100
The 2nd floor of The SADA Building
South Jakarta

Instagram: @thefrenchoven.id

R.

Foto-foto oleh: @renaldirindra

Categories
#catatan-harian #menulis

Pilpres 2024: Semakin Dekat, Semakin Malas Ikutan Debat

Pilpres 2024: Semakin Dekat, Semakin Malas Ikutan Debat

Jedaku
Foto: unsplash.com

Tanggal 14 Februari 2024 bukan hanya Hari Kasih Sayang (Valentine’s Day) bagi yang (memilih) merayakan. Bagi seluruh rakyat Indonesia, hari ini merupakan Hari Piplres (Pemilihan Presiden).

“Jadi kamu mau milih siapa?”

Pertanyaan bagus. Jujur, sekarang aku malas cerita-cerita ke siapa pun soal ini. Hakku juga untuk tetap merahasiakannya. Kenapa?

Aku kapok. Dulu pernah terlalu jujur dengan pilihanku. Saat pilihanku kemudian melakukan kesalahan, aku sempat kecewa dan mengkritik beliau di Facebook. Seorang teman lama yang melihat langsung nyinyir berkomentar:

“Presiden ELO, tuh.”

Dih, apaan sih? Pikirku sebal. Waktu itu, langsung saja kubalas begini:

“Oh, sekarang elo dah ganti WN dan tinggal di luar negeri, ya? Di negara mana lo sekarang? Selamat, ya!”

Hehe, dia nggak jawab, lho! Aku memang sudah malas berdebat maupun saling sindir soal politik. Membaca debatan sesama orang Indonesia soal tiap paslon di X saja sudah bikin mual. Makin mual bila yang kayak begini sampai bikin orang lebih semangat saling memaki dan musuhan.

Makanya, aku memilih diam saja soal calon yang nanti akan kupilih. Bukan apa-apa. Pada akhirnya akan selalu sama.

Kita akan memilih calon sesuai hati nurani. Kalau yang menang kerjanya benar, kita apresiasi. Kalau kerja mereka salah, wajib kita kritik.

Kalau mereka lantas jadi baperan, lalu mendadak gila kuasa dan berubah jadi tukang main ancam rakyat yang mengkritik mereka? Yah, paling alamat kudeta lagi kayak 1998. Lagian, hari gini udah gak jaman kali, main ancam-ancaman tanpa risiko mendapatkan perlawanan dari rakyat …

 

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

3 Kemungkinan Alasan Orang Terdekat Takut Jujur Sama Kamu

3 Kemungkinan Alasan Orang Terdekat Takut Jujur Sama Kamu

Harusnya mereka jujur sama kamu, seperti biasa dan kayak dulu. Apa yang berubah akhir-akhir ini? Kenapa mereka seperti menunggu ‘ditodong’ dulu, baru (berani) ngomong? Sebelum langsung beranggapan (cuma) mereka yang ber(ma)salah, coba cek diri sendiri dululah. Bisa jadi kamu ada andil juga yang menyebabkan mereka bersikap demikian.

1. Kamu sendiri juga suka tidak jujur sama mereka.


Memang, tidak mungkin kita bisa 100% jujur sama semua orang. Bahkan, kita juga tetap harus menjaga perasaan orang terdekat dengan tidak selalu jujur sama mereka.

Namun, ada kalanya kita tetap harus jujur, sepahit apa pun kenyataannya. Misalnya: sesuatu yang sedang atau telah kita lakukan akan berdampak buruk ke mereka juga – baik secara langsung maupun tidak langsung. Jangan suka main standar ganda. Jangan berharap mereka mau jujur dengan sendirinya, kalau kamu sendiri juga punya banyak rahasia yang bisa mempengaruhi mereka.

2. Kamu lebih sering tidak antusias mendengarkan cerita mereka.


Kebiasaan ini terkesan sepele, padahal akibatnya bisa serius. Memang, semua orang punya masalah. Tapi nggak berarti kita berhak main standar ganda soal “siapa yang lebih berhak untuk banyak curhat”, cuma karena menurutmu masalah mereka “cuma segitu doang”. Tolong ya, ini bukan kompetisi.

Semua orang bisa merasa lelah dan bosan. Cuma, salah gak sih, kalau orang yang selama ini rela mendengarkan curhatmu – apalagi yang itu-itu terus – meski sedang lelah atau bosan, suatu saat bakal berharap perlakuan serupa darimu pas giliran mereka butuh pendengar?

Mengapa sepertinya kamu sulit berusaha melakukan hal yang sama untuk mereka?

3. Diam-diam, kamu berharap mereka sempurna.


Mungkin kamu tidak bermaksud demikian. Sayangnya, tanpa sadar sikap sekaligus ekspektasimu menjadi beban mental buat mereka. Misalnya: selama ini, mereka nyaris nggak pernah curhat atau kelihatan kayak lagi ada masalah. Padahal, belum tentu mereka baik-baik saja.

Bisa saja mereka sebenarnya sangat ingin bercerita. Sayangnya, masih ada rasa takut yang mengganjal. (Salah satu sebabnya ada di poin nomor dua.) Apalagi, kamu juga gemar memuji-muji mereka ke semua orang sebagai sosok mandiri.

Mungkin juga mereka pernah trauma dengan ulahmu. Mereka pernah beberapa kali jujur padamu mengenai masalah mereka. Sayangnya, bukan simpati maupun pengertian yang mereka dapat. Kamu malah lebih banyak marah-marah dan langsung menghakimi, bahkan tanpa mau mendengar penjelasan mereka atau memberi mereka kesempatan untuk membela diri bila salah. Begitu tahu begini, mereka berpikir: “Lain kali tidak usah cerita saja sekalian. Menyesal jadinya.”

Nah, sebelum mereka keburu memilih diam dan terus berahasia karena merasa tidak aman denganmu, mending lain kali biarkan mereka bercerita sampai selesai. Hindari memotong cerita mereka di tengah jalan, apalagi langsung menambahnya dengan celaan. Kamu nggak perlu otomatis langsung mengerti atau menemukan solusi, kok.

Menjadi pendengar aktif saja dulu, jangan setengah-setengah.
Selain tiga (3) contoh di atas, apalagi sih, yang bisa bikin orang takut jujur sama orang terdekat?

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Tak Ada Highlights untuk Tahun 2023 Ini

Tak Ada Highlights untuk Tahun 2023 Ini

Kurasa hati ini lebih dari patah

oleh kekejian Zionis Israel.

Aku ingin kebebasan untuk Palestina

agar tiada lagi yang menderita.

 

Tak ada highlights untuk 2023.

Tidak, tidak saat dunia tidak berbuat banyak atas kekejaman yang ada.

Aku tak peduli semua prestasi pribadimu.

Apa yang harus dirayakan,

saat masih ada yang jadi korban genosida?

 

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Catatan Akhir Tahun 2023

Catatan Akhir Tahun 2023

Mohon maaf, akhir-akhir ini aku sibuk luar biasa di dunia nyata. Inilah akibatnya bila fokus kita terpecah ke mana-mana. Satu ke pekerjaan, satu ke hobi, satu ke keluarga, satu ke teman, satu ke diri sendiri … dan seterusnya.

Bukan bermaksud mengeluh, namun kenyataannya … tahun 2023 cukup banyak kejutan yang bikin stres. Meskipun diawali dengan bisa nonton konser Hoobastank gratis di bulan Maret 2023, sisanya cukup … yah, begitulah.

Yang paling bikin shock sedunia mungkin bukan demam Coldplay yang tur keliling dunia. (Aku sampai tidak kebagian tiket nonton karena gagal ‘perang tiket’ di dunia maya. Ya sudah, memang bukan rezekinya!)

Israel kembali berulah dengan brutal menyerang Palestina berkali-kali. Awalnya, mereka sempat berhasil menarik simpati dunia dengan mengaku menjadi korban Hamas, sebuah organisasi militer perlawanan penjajah untuk Palestina.

Aku tidak akan membahas soal 7 Oktober 2023 panjang lebar di sini. Silakan cari sumbernya sendiri, asal jangan ikut termakan propaganda. Bagi yang sudah hidup cukup lama dan mengikuti sejarah, kita tahu bahwa Israel sudah cari gara-gara dengan Palestina sejak 1948.

Mungkin karena sudah pernah jadi korban bullying dan melihat orang-orang hanya menonton, aku muak melihat yang terus terjadi di Palestina hingga kini. Untuk pertama kalinya, kukirim video ini sebagai bentuk dukunganku pada mereka:

IMG_1905 

 

#IstandWithPalestine #FreePalestine #CeaseFireNow

 

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Hanya Satu Jenis Perdebatan yang Akan Kuladeni

Hanya Satu Jenis Perdebatan yang Akan Kuladeni

Aku ingat saat masih bekerja di salah satu kantor lama. Seorang rekan kerja lelaki mengeluhkanku begini:

“Elo harusnya tuh, lebih berani mempertahankan pendapat. Berdebat kek, jangan iya-iya aja.”

Waktu itu aku hanya diam. Bukan apa-apa. Kalau berdebat, aku asli milih-milih. Pilihanku berdasarkan tiga (3) kemungkinan di bawah ini, seperti:

  1. Apa tujuan orang itu ngajak debat? Kalau hanya karena mau cari lawan debat untuk mengurangi kebosanan hidup mereka, tentu saja aku ogah meladeni.
  2. Apakah dia sedang mencari pembuktian dan pengakuan kalau dia lebih cerdas dariku? Kalau itu alasannya, aku mah, skip Malas rasanya kalau sampai harus kasih makan ego orang yang gila validasi.
  3. Apakah dia tengah mencari teman diskusi sungguhan, agar bisa sama-sama menemukan solusi suatu masalah? Nah, hanya yang ini yang beneran mau kuladeni.

Sayangnya, kita nggak bisa selalu memilih begini di dunia nyata. Tentu saja, apalagi termasuk urusan pekerjaan. Suka gak suka, kadang kita harus menekan perasaan kita dan menahan diri terhadap manusia menyebalkan – atas nama profesionalisme.

Pokoknya, selama mereka bukan pelaku kekerasan – apalagi kekerasan seksual – hadapi saja dengan berani.

 

Standar Ganda Gak jelas

Maka, aku pun memenuhi permintaan si rekan kerja lelaki. Di satu rapat berikutnya, aku mulai berani mendebat. Tentu saja, aku tidak mau asal debat. Aku melakukan riset dulu sebelum mendebat demi mempertahankan ideku.

Namun, apa yang kemudian terjadi? Si rekan kerja lelaki malah merajuk kayak anak kecil.

“Gue gak ada maksud mau ‘mematikan’ ide kalian, kok.”

Lha, kok malah jadi dia yang baper? Jujur, saat itu aku antara mau ketawa sekaligus dongkol. Katanya aku harus berani mendebat. Eh, yang minta begitu ternyata malah nggak siap.

Mungkin memang benar kata pepatah ini: “Berhati-hatilah dengan keinginanmu.” Bisa jadi kamu nggak siap saat akhirnya kejadian beneran.

Untunglah, aku sudah lama tidak sekantor lagi dengan lelaki itu. Memang, aku nggak akan seratus persen bebas dari manusia-manusia gila hormat di dunia ini. Tapi, setidaknya aku masih bisa mengurangi / membatasi interaksiku dengan mereka. Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan perkara pemberani dan pengecut, ya.

Ini masalah memilih prioritas. Sayang bila waktu dan tenaga habis percuma, hanya gara-gara dipaksa meladeni tukang debat gila hormat. Ya, nggak?

 

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

‘Lebih Baik A atau B?’ Itu Pertanyaan Tendensius

‘Lebih Baik A atau B?’ Itu Pertanyaan Tendensius

Jika pertanyaan semacam ini main-main belaka, mungkin aku takkan menanggapinya secara negatif. Misalnya: “Mendingan makan es krim pake french fries atau es krim campur pop corn?” Suka-suka yang milih dan bahkan bisa memancing canda dan tawa. Bahkan, boleh jadi satu-satu beneran akan mereka coba.

Namun, bila isu yang dibahas cenderung serius dan kompleks, rasanya pertanyaan “Pilih Mana?” terkesan … tidak adil dan tendensius. Bahkan, banyak yang jelas-jelas memanfaatkannya untuk memancing keributan di media sosial (rage farming) serta memanipulasi orang untuk terpaksa memilih salah satu – padahal bisa jadi malah nggak sreg sama keduanya.

 

Rage Farming – Usaha Penggiringan Opini Dengan Menebar Kebencian

Banyak cara untuk mencari perhatian orang di dunia maya. Salah satunya (dan yang paling sering dipakai banyak orang) adalah rage farming. Rage farming juga lazim dilakukan lewat pertanyaan semacam “Pilih Mana?” atau pernyataan yang membandingkan satu hal sekaligus menjatuhkan satu hal lainnya. Misalnya:

“Pilih mana: cowok ganteng tapi kere atau jelek tapi tajir?”

“Lebih baik single tapi tajir atau nikah tapi melarat?”

Bahkan, ada yang langsung bikin pernyataan yang jelas-jelas mengunggulkan satu pihak dan menjatuhkan satu pihak lain, seperti:

“Perempuan sempurna bukanlah yang bertitel S1, S2, maupun S3, tapi yang akhlaknya saleh dan mengutamakan keluarga.”

Duh, gak usah diterusin, yah? Apalagi kalo yang nulis / ngomong gitu laki-laki. Gak enak baca / dengernya. Meskipun ngakunya ‘hanya berpendapat’, jelas banget tujuan utamanya tetap ingin mengkerdilkan prestasi perempuan. Ngapain coba? Justru malah menunjukkan keminderan / ketidakmampuan yang menulis / berpendapat demikian. Niat banget gitu, mau jatuhin satu pihak hanya karena gak suka?

 

Pertanyaan Tendensius

“Lebih baik A atau B?” itu pertanyaan tendensius bagiku. Mengapa demikian? Pastinya ada salah satu yang harus ‘dijatuhkan’ demi mengunggulkan pihak lain. Kenapa apa-apa perlu perbandingan segala, bahkan sampai ekstrim? Kurang percaya dirikah dengan pilihan sendiri?

Selain itu, kenapa hobi banget (berusaha) membatasi pilihan hidup orang? Bila kedua pilihan dalam pertanyaan ini sama-sama tidak enak, harusnya boleh dong, kita memilih yang lain lagi – di luar pertanyaan itu?

Kalo ternyata nggak boleh milih selain dua pilihan dalam pertanyaan tendensius macam ini, mending nggak usah milih sekalian. Toh, bukankah tidak memilih juga sebuah pilihan?

 

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Malas Berdebat Bukan Berarti Pengecut

Malas Berdebat Bukan Berarti Pengecut

Ada yang bilang, semakin tua bisa berarti salah satu dari dua (2) kemungkinan di bawah ini:

  1. Semakin keras kepala dalam berdebat.
  2. Semakin malas berdebat, kecuali kala terdesak.

Bila kamu termasuk golongan pertama, maka sebisa mungkin aku akan enggan berurusan denganmu. Aku termasuk yang kedua, karena akhir-akhir ini aku semakin malas buang-buang waktu.

Mungkin banyak yang akan menyebutku pengecut atau orang yang “tidak bisa menerima perbedaan pendapat” alias “tidak mau berpikiran terbuka” (close-minded). Padahal, aku lebih suka berdiskusi untuk memecahkan masalah bersama, ketimbang saling ngotot karena merasa (paling) benar – lalu buntutnya malah musuhan.

 

Gaslighting Manusia Kurang Kerjaan

Kadang aku suka geli mendengar klaim mereka yang begitu seenak hati. Pasalnya, mereka dengan enteng sengaja memelintir kalimat sesuai kebutuhan mereka.

“Elo gak bisa menerima pendapat gue yang beda, berarti elo gak open-minded!”

Padahal kenyataannya, yang suka ngomong begini tuh, sebenarnya sangat manipulatif. Yang diajak ngomong sebenarnya bisa menerima pendapat mereka. Hanya orang yang berpikiran terbuka yang bisa begitu.

Namun, yang menuduh mereka “tidak berpikiran terbuka” sebenarnya hanya kesal karena pendapat mereka tidak disetujui. Padahal, kemungkinan pendapat mereka disetujui atau tidak – dengan alasan apa pun – tetap bisa terjadi. Memangnya mereka harus selalu benar?

Memangnya semua hal dalam hidup harus ada kaitannya sama mereka? Kalau sudah begini, siapakah yang sesungguhnya “tidak berpikiran terbuka” – termasuk menerima fakta bahwa tidak semua orang akan selalu setuju sama pandangan mereka?

R.