Categories
#catatan-harian #menulis

Perenungan di Perjalanan

PERENUNGAN DI PERJALANAN

Maaf, aku sudah lama tidak menulis di sini. Aku akan berusaha lebih rajin lagi, meskipun akhir-akhir ini sangat sulit.

Sebelumnya, mengapa aku hampir tidak pernah lagi menulis di sini? Pertama, aku sibuk sekali. Sejak kantorku pindah ke Jakarta Timur, aku agak kesulitan membagi waktuku. Pekerjaan fulltime-ku sebagai guru Bahasa Inggris sangat menyita waktu, belum lagi jarak yang sangat jauh dari rumahku di Jakarta Selatan. Bayangkan, aku harus naik bus Trans-Jakarta, LRT, dan Gojek untuk ke sana selama sekitar dua hingga tiga jam. Begitu pula saat pulang. Tak jarang aku ketiduran di perjalanan.

Kedua, aku masih punya pekerjaan sampingan sebagai penulis lepas. Faktanya, banyak sekali kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat. Harga-harga kebutuhan pokok hidup kian melonjak. Biaya ongkos transportasiku sehari-hari juga tidak bisa dibilang murah.

Mana pemerintah ingin menaikkan ongkos transportasi public, tapi malah ingin mensubsidi mobil-mobil listrik dan hibrida milik orang-orang kaya. Bukankah itu sungguh gila?

Ketiga, maaf. Akhir-akhir ini aku lebih banyak aktif di Instagram (IG) @rubyastari . Apalagi, aku juga tengah menyuarakan anti genosida yang kian terjadi di tanah Palestina selama 76 tahun terakhir. Selain itu, banyak sekali tantangan menulis selama 30 hari yang ada di Instagram. Bohong bila aku bilang aku tidak tergoda untuk ikutan.

Sekali lagi, maaf bila aku sudah terlalu lama mengabaikan tempat ini. Agar tidak jadi mubazir, aku akan mulai lebih rajin mengisinya lagi.

 

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Sebut Saja Mereka Teman-teman … dengan Beda Peran …

Sebut Saja Mereka Teman-teman … dengan Beda Peran …

Percakapan dengan seorang sahabat membuatku berpikir soal pertemanan di usia dewasa. Singkat cerita, dia menyebut bahwa aku salah satu teman yang masih bertahan lama dalam hitungan tahun. Kebanyakan orang yang pernah ditemuinya datang dan pergi.

“Namanya juga hidup.” Aku hanya tersenyum. Berhubung sahabat delapan tahun lebih muda, sepertinya dia baru meresapi realita ini.

Mungkin aku sudah terlalu sering menulis tentang pertemanan di usia dewasa. Butuh kedewasaan tingkat tinggi, termasuk kesabaran, kerelaan, hingga pemakluman, saat menyadari bahwa kita semua sibuk. Kita punya prioritas masing-masing.

Makanya, mungkin aku bukan teman yang cocok untuk manusia tipe perengek. Tahu ‘kan, yang modelnya suka mengeluh atau nyinyir kayak gini?

“Semua orang sibuk. Tapi kalo mereka gak ada usaha untuk ngajak ketemuan atau minimal jaga komunikasi, berarti elo gak sepenting itu dalam hidup mereka!”

Sori, bukannya nggak mau usaha, ya. Tapi, ada kalanya kita memang nggak bisa memaksa keadaan.

Contoh: teman lajang dan teman yang sudah menikah, apalagi sampai punya anak. Pastinya prioritas mereka berbeda, dong? Sebagai teman yang lajang, kamu nggak berhak marah saat temanmu tiba-tiba membatalkan janji ketemu gara-gara si kecil mendadak sakit.

Begitu pula bila teman lajang, tapi kamu-nya udah nikah dan punya anak. Jangan mentang-mentang mereka masih lajang, kamu main asumsi mereka nggak banyak kegiatan, ya.

Begitu pula saat salah satu kena masalah serius. Kalo di film-film ‘kan, biasanya para bestie (sahabat) langsung all-out terjun membantu. Ingat, di usia dewasa di dunia nyata, semua orang punya masalah masing-masing. Bahkan, bisa jadi mereka yang masalahnya lebih berat pun malah memilih tidak bercerita pada siapa pun.

Jadi, kurang-kurangilah merasa paling malang di dunia ini. Ingat, kamu bukan pusat semesta. Percuma main adu nasib segala. Gak semuanya harus tentang kamu.

Anggap saja teman-temanmu hadir dengan pesan yang berbeda-beda. Ada yang emang hanya buat senang-senang, giliran kamu susah – mereka menghilang. Ada yang hanya bisa jadi pendengar yang baik, tapi sayangnya belum tentu bisa membantu menyelesaikan masalahmu.

Ada teman yang mungkin awalnya terkesan cuek. Bahkan, bisa dibilang kalian nyaris nggak pernah ngobrol. Eh, pas tahu kamu lagi kena masalah, justru mereka malah jadi orang-orang pertama yang nolongin kamu duluan. Bahkan, dengan terang-terangan mereka bilang, “Gak usah diganti, mumpung gue lagi bisa bantu aja.”

Keren banget, ya? Tapi, apakah artinya teman-temanmu yang nggak kayak gitu berarti bukan teman-teman yang baik? Belum tentu. Bisa jadi mereka sedang tidak bisa, karena tengah punya masalah sendiri.

Intinya, setiap orang pernah, sedang, atau akan mampir dalam kehidupan kita mempunya peran mereka masing-masing. Ada yang hanya satu atau dua peran, ada yang bisa multiperan. Bersyukurlah bila kamu mendapatkan model teman yang terakhir. Jangan pernah kamu sia-siakan. Baik-baiklah sama mereka.

Lalu, bagaimana denganmu? Apakah kamu juga bisa jadi teman seperti itu? Bila tidak, maka kurang-kurangilah kebiasaan menuntut teman agar sesempurna harapanmu. Percayalah, standar ganda gak se-asik itu!

Sah-sah saja bila kamu tetap ingin menganggap semuanya teman, meskipun belum tentu mereka akan selalu hadir untukmu. Yah, asal kamu terima kalo peran mereka mungkin beda-beda … dan belum tentu akan selalu hadir untukmu …

 

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #tips

Ini 6 Hal yang Harus Kamu Persiapkan Saat Terjerat Utang

Ini 6 Hal yang Harus Kamu Persiapkan Saat Terjerat Utang

Aku nggak akan menghakimi kamu yang sedang terjerat utang saat ini. Apa pun alasanmu, aku juga tidak perlu tahu. Semoga kamu mau berusaha keluar dari jeratan utang, apa pun itu dan bagaimana pun caranya.

Nah, bila kamu sedang terjerat utang banyak, inilah enam (6) hal yang harus kamu persiapkan:

  1. Mental, spiritual, dan psikologis.

Merasa panik saat sadar sulit melunasi utang dalam jumlah besar itu wajar. Kamu pasti stres. Apalagi, hal ini berdampak serius pada keuanganmu dan juga kehidupanmu sehari-hari.

Sayangnya, kamu nggak bisa menuruti perasaanmu terus. Persiapkan mental, karena kamu harus mulai gercep (gerak cepat). Teror dari DC (debt collector) takkan berhenti. Entah bagaimana caranya, kamu tetap harus (berusaha) membayar utang.

Selain mental, persiapkan juga kondisi spiritual dan psikologismu. Banyak-banyaklah berdoa serta memohon ampun dan petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Kita nggak pernah benar-benar tahu segalanya, lho. Bisa saja ada dosa-dosa kita yang tengah ingin Tuhan hapuskan melalui cobaan ini.

Kelilingi dirimu dengan sosok-sosok positif dan suportif. Syukur-syukur mereka bisa membantu. Mereka tidak sampai menghakimimu saja sudah bagus.

  1. Singkirkan gengsi dan siap terima bantuan.

Terimalah kenyataan. Kamu tuh, sedang butuh bantuan. Kamu tidak bisa selalu melakukan semuanya sendirian. Lain cerita bila kamu keturunan keluarga tajir, sultan, dapat warisan mendadak berupa uang yang sangat banyak, dan sebagainya.

Dengan kata lain, ini darurat.

Bantuan dari mereka bisa apa saja. Meskipun belum tentu uang banyak untuk membantu membayar utang, terimalah. Misalnya: uang untuk membantumu menyewa jasa mediator finansial seperti Dolpheen ID atau tawaran pekerjaan freelance untuk penghasilan tambahan.

  1. Lupakan semua rencana yang butuh biaya banyak.

Serius, sampai semua utangmu lunas, kamu praktis nggak bisa ke mana-mana maupun berbuat banyak. Mau nonton konser musisi luar negeri? Lupakan saja. Traveling? Apalagi.

Sayangnya, niat ‘mulia’-mu untuk kuliah lagi atau ikut kursus pengembangan keahlian tertentu juga terpaksa ditunda dulu. Lain cerita kalo kursusnya gratisan, hehehe.

  1. Saatnya hemat … lebih ketat.

Mau nggak mau kamu harus menata ulang perencanaan keuanganmu secara radikal. Kurangi belanja dan jajanan yang tidak perlu. Mulai sering bawa makanan dari rumah. Sekalian belajar masak saja dari mama atau saudaramu kalo perlu.

Lebih sering naik kendaraan umum atau terima tumpangan gratis searah juga bisa kamu lakukan. Serius, buang dulu gengsimu. Kamu sedang SANGAT BUTUH bantuan.

  1. Siap-siap kehilangan teman-teman yang tahunya (dan maunya) hanya bersenang-senang denganmu.

Pas lagi banyak duit dan bisa diajak sering nongkrong bareng, mereka hadir. Bahkan, bisa jadi mereka juga menganggapmu teman paling asyik.

Giliran kamu lagi susah, ada teman-teman yang tiba-tiba mangkir. Eits, jangan berprasangka buruk dulu! Belum tentu karena mereka jahat atau nggak peduli. Bisa jadi, mereka nggak punya kapasitas memadai untuk menemanimu saat jatuh. Nggak melulu karena finansial, bisa juga karena emosional dan spiritual. Kecewa atau sedih itu wajar, tapi janganlah terlalu diambil hati, apalagi sampai terbit rasa benci.

Anggap saja begini: Gak semua orang bisa, cocok, atau mau jadi tempat curhat. Jangan paksa mereka, apalagi pake main gaslighting segala. Anggap saja setiap orang dalam hidupmu punya peran mereka masing-masing. Kamu sendiri juga belum tentu bisa jadi segalanya buat mereka, bukan? Mustahil malah!

  1. Perbanyak usaha mencari penghasilan tambahan.

Misalnya: kerja jadi penulis, penerjemah, atau pembuat konten secara freelance. Etapi pastiin pekerjaan tambahan ini nggak sampai mengganggu pekerjaan utamamu, ya.

 

Terjerat utang memang nggak enak. Sayangnya, penyelesaian utang membutuhkan waktu lama. Kamu hanya punya satu pilihan:

Jalani saja dulu satu-persatu hingga lunas, meski harus bertahap. Semoga masalahmu segera selesai. Semangat, ya!

 

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Masih Bingung Kenapa Perempuan Sekarang Takut Menikah dan Jadi IRT?

Masih Bingung Kenapa Perempuan Sekarang Takut Menikah dan Jadi IRT?

Aku sudah pernah menulis soal ini di platform media digital lain. Tapi, mengingat pola pikir masyarakat patriarkis Indonesia amat susah diubah (apalagi yang lelaki), kayaknya aku harus menulis lagi, nih. Edukasi memang butuh kesabaran ekstra, hehehe.

Aku pernah membaca status Facebook seorang kenalan lelaki yang bunyinya seperti ini:

“Sering gak tega liat istri kecapekan ngerjain semua urusan RT. Makanya … saya sengaja tidur lebih lama supaya gak usah liat, hehehe.”

Oh, dia hanya bercanda? Pasti mengakunya demikian. Paling kalau lelaki macam ini langsung ditegur, dia akan bersikap defensif dan menuduh penegur “baperan” (bawa perasaan). Mana sudi dia dianggap salah?

Aku juga nggak mau kepoin respon istrinya jika sudah baca status suaminya. Mungkin istrinya tipe makluman atau pasrahan. Mungkin juga istrinya nggak sempat baca, karena … ya, itu – selalu sibuk dengan urusan RT. Ketahuan ‘kan, siapa yang paling banyak nganggurnya?

Mungkin aslinya si lelaki nggak setega itu. Mungkin dia masih mau urunan ngerjain urusan rumah tangga, entah full, sesekali, tipis-tipis, atau malah pake ngedumel karena nggak ikhlas. Iya, kayak suami Indonesia kebanyakan. Yah, pokoknya bare minimum banget, dah!

Masalahnya? Pertama, leluconnya sama sekali nggak lucu. Mungkin lelaki itu kekurangan hiburan. Tapi, harus gitu, sampai meremehkan istri yang sudah baik-baik mengerjakan semua urusan RT seorang diri? Harus sampai menyepelekan kelelahannya, hanya demi alasan “Cuma Bercanda”?

Kabar terkini, tahun 2023 adalah tahun Indonesia dengan angka pernikahan yang menurun. Nggak heran, sih. Nggak heran juga banyak perempuan yang takut menikah dan nggak mau jadi IRT (ibu rumah tangga) juga. Bodo amat dengan iming-iming “dimuliakan” hingga panggilan sayang “ratu rumah”. Omong kosong semua! Gimana nggak takut, coba?

Masih banyak lelaki yang ngakunya ‘memuliakan perempuan’, tapi hanya di mulut. Lain di ucapan, lain di kelakuan. Kalo nggak melakukan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), ya selingkuh.

Nggak usah jauh-jauh, deh. Masih banyak juga lelaki yang dengan entengnya bilang, “Bini gue nggak kerja”, hanya karena istrinya IRT. Asli, nggak tahu diri dan nggak tahu terima kasih sama sekali. Mereka pikir siapa yang bersihin rumah, masakin makanan, cuci dan setrika pakaian mereka, serta masih banyak lagi? Dipikir nggak capek, apa?

Bahkan, bila istri sesekali mengeluh pun, mereka langsung main adu nasib dengan merengek, “Aku juga capek cari duit!” atau langsung berlagak bijak, bawa-bawa ajaran agama dengan menegur, “Jangan ngeluh, karena artinya kamu nggak ikhlas!” atau “Lelahmu nanti diganjar pahala.” Kesannya hanya lelaki yang paling capek dan berhak mengeluh.

Ha-ha, coba si suami kerja hanya dibayar ucapan terima kasih dan pahala – atas nama ikhlas. Maukah?

Makanya, aku udah nggak heran bahwa ada lelaki yang tega menjadikan kelelahan istrinya yang IRT sebagai lelucon. Pada kenyataannya, memang masih terlalu banyak lelaki Indonesia dengan pola pikir patriarkis yang sudah kelewat nyaman dengan posisi mereka.

Sama memuakkannya dengan lelaki yang seenaknya menuntut dilayani yang paling remeh (seperti membuat teh hangat, tapi giliran tehnya sudah jadi, malah tidak dia minum sama sekali. Ngucapin terima kasih sama yang bikin aja enggak, karena merasa berhak dan layak dilayani perempuan IHH!!

Ada juga yang marah-marah dan menganggap anak balitanya sendiri sebagai ‘saingan perhatian istri’. Kekanak-kanakan sekali, padahal nggak ada yang menggemaskan dari menjadi ‘bayi gede’. Wajar kalau istri memprioritaskan bayi atau balitanya yang belum bisa melakukan banyak hal dan butuh banyak bantuan.

Lain cerita ya, kalau kebetulan suaminya lumpuh dari leher ke bawah. Kalau begini, ya emang harus dibantu.

Serius, masih pada bingung kenapa perempuan sekarang takut menikah dan menjadi IRT?

 

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Gak Selalu Karena Lifestyle, Ini 5 Alasan Orang Pakai Pinjol

Gak Selalu Karena Lifestyle, Ini 5 Alasan Orang Pakai Pinjol

Gak usah sinis dulu baca judul di atas. Kalo kebetulan bukan kamu yang pernah / masih pake pinjol (pinjaman online) lewat aplikasi digital, bersyukurlah. Kamu gak perlu ngenyek (mengejek) atau jumawa juga sama mereka yang (mungkin terpaksa) pake jasa keuangan digital yang satu ini.

Kita mungkin sudah cukup familiar dengan fintech (financial technology) pinjol, lengkap dengan berbagai cerita ‘horor’ di baliknya. Lho, kok ‘horor’? Bagi yang sudah pernah mengalami kredit macet hingga diteror DC (debt collector) lewat telepon, SMS, hingga didatangi ke rumah / kantor – khusus dimaki-maki di depan umum – pasti paham. Apalagi, kita sampai masuk daftar hitam OJK (Otoritas Jasa Keuangan), karena otomatis SLIK kita tercatat buruk begitu terlacak oleh BI.

Apakah reputasi keuangan kita bisa pulih kembali? Tentu saja bisa, meskipun akan membutuhkan waktu lama dan usaha maha keras. Meminta keringanan sambil tetap berusaha membayar utang juga bisa dicoba.

 

Kemudahan Menghina Sesama:

Sayangnya, tak semua kemudahan selalu menguntungkan, apalagi di era media sosial ini. Kadang kita suka tidak merasa, dengan (sekali) klik, kita mendapatkan banyak kemudahan. Mau belanja tinggal klik. Bayar dan transfer ini-itu tinggal klik. Main game juga tinggal klik.

Meminjam uang sekarang juga tinggal klik. Awalnya mungkin nggak kerasa, karena masih (merasa) sanggup bayar. Lama-lama? Baru terasa adiksinya. Makanya, banyak yang sulit berhenti, meskipun sudah menunggak utang banyak. Apalagi, kebutuhan semakin banyak, yang sayangnya nggak sepadan dengan harga bahan-bahan pokok yang kian meningkat.

Sayangnya, gak sedikit juga yang stres hingga akhirnya memilih … bunuh diri. Krik … krik … krik …

Yang berani berhenti otomatis langsung mencari bantuan. Untuk itu, aku salut sama kamu.

Sayangnya, kemudahan ini juga bikin banyak orang mudah menghina sesama di media sosial. Padahal, bisa jadi mereka hanya beruntung – bukan lebih cerdas – tidak sedang dalam situasi genting yang pada akhirnya memaksa mereka menggunakan pinjol.

Karena Lifestyle? Belum Tentu!

“Makanya, jangan kebanyakan gaya! Traveling pake pinjol, giliran susah bayar, mampus lo!”

Oh, wow. Semangat sekali menghujatnya. Memang sih, ada yang kayak gitu. Cuma, jangan kebiasaan main pukul rata kalau semua pengguna pinjol pasti sama saja. Gak selalu karena lifestyle, ini lima (5) alasan orang terpaksa pakai pinjol:

  • Buat biaya kuliah.

Bila menurutmu semua orang bisa kuliah semudah itu, kamu sangat keliru. Faktanya, yang masuk kategori tajir melintir banget sangat sedikit (namun cenderung punya peluang lebih untuk memonopoli banyak hal.) Gak semua orang cukup beruntung diberkahi otak cerdas sehingga bisa kuliah lewat jalur beasiswa. Alasannya, apalagi kalau bukan akses pendidikan dan gizi yang terhambat.

Sementara itu, lapangan pekerjaan dengan gaji layak membutuhkan minimal lulusan D3/S1. (Bahkan, ironisnya, banyak lulusan S1 dan S2 yang hingga kini masih menganggur.) Jadilah, mereka yang putus asa mengambil jalan pintas dengan menggunakan jasa pinjol.

  • Situasi darurat keluarga.

“’Kan ada asuransi. Harusnya bisa pake asuransi, dong!”

Beruntunglah yang asuransinya memang mencukupi. Tapi, namanya musibah ‘kan, nggak bisa diprediksi. Selain itu, belum tentu semua orang punya ‘sistem pendukung’ (support system) yang kuat.

Misalnya: orang tuamu tiba-tiba harus diopname di rumah sakit untuk waktu lama. Dana asuransi keburu habis, namun perawatan mereka belum usai. Sayangnya, gajimu pun tak seberapa.

Mau minta bantuan kerabat hingga teman? Ha-ha, sekali lagi … gak semua orang seberuntung itu. Ada yang asli nggak punya keluarga besar. Kalau pun ada, belum tentu mereka akur. Bisa jadi malah sedang diacuhkan.

Begitu pula dengan urusan pertemanan. Empati itu bukan hanya soal rasa kasihan dan prihatin. Empati itu soal kesadaran, bahwa privilege tiap orang tuh, beda-beda. Ada yang temennya dikit banget tapi bisa membantu. Ada yang temennya banyak tapi menghilang semua giliran ada masalah atau diminta tolong.

Karena merasa udah nggak ada lagi yang bisa dimintai tolong, maka beralihlah mereka ke pinjol.

  • Nasib generasi sandwich dengan keluarga toksik.

Sebentar, aku nggak bilang semua generasi sandwich kayak gini. Masih banyak kok, yang bisa mengatur keuangan dengan baik, meski banyak tanggungan. Yang jadi tanggungan syukur-syukur masih tahu diri, nggak menuntut aneh-aneh. Kalau pun sampai ambyar, sebisa mungkin mereka nggak tergoda iming-iming kemudahan pakai pinjol.

Sebagai generasi sandwich, mungkin mereka sudah ikhlas dengan “peran” mereka yang jadi andalan keluarga (besar). Iya, sampai nggak bisa nabung buat diri sendiri, nggak punya simpanan investasi apa pun buat masa depan, dan rela (?) mengorbankan impian pribadi mereka.

Intinya, uang habis tak bersisa – bahkan kadang sebelum habis bulan.

Sayangnya, orang-orang baik macam ini malah rentan dimanfaatkan keluarga sendiri. Lha, kok gitu?? Namanya juga manusia ketemu uang. Apalagi kalau apesnya, dapat keluarga bermental pemalas dan benalu. Mumpung ada yang bisa mereka jadikan “sapi perahan”, gitu. Mungkin juga karena dia lebih muda / giat bekerja / berhemat / baik / perempuan / gak enakan / dan masih banyak lagi.

Tahu-tahu yang “diperah” kewalahan, hingga akhirnya mulai terpaksa pakai pinjol. Habis gimana? Keluarganya nggak sadar-sadar juga. Malah banyak yang pakai taktik gaslighting seperti ini:

“Sama keluarga sendiri kok, perhitungan amat, sih?”

“Lain kali kami nggak akan bantuin kamu, lho!”

Intinya, mereka nggak mau tahu. Pokoknya, yang penting tetap harus ada duit buat mereka tiap kali mereka minta.

  • Mau buka bisnis, sulit dapat pinjaman dan akhirnya merugi.

Ini perkara umum yang anehnya malah paling jarang disorot. Mau buka bisnis, tapi sulit dapat pinjaman. Entah dari keluarga sendiri, teman, hingga bank, hasilnya sama: DITOLAK.

Mungkin karena membaca review bagus dari peminjam sebelumnya, mereka memutuskan untuk pakai pinjol juga. Sayangnya, lagi-lagi takdir berkata lain. Usaha mereka ternyata tidak menguntungkan. Mereka juga masih harus membayar gaji para karyawan.

Mau melarang mereka buka bisnis hanya karena sedang tidak punya uang? Memangnya kamu siapa? Nolongin enggak, kasih solusi juga enggak. Cuma bacot doang.

  • Kehilangan pekerjaan dan kehabisan santunan.

Hari gini, siapa sih, yang mau kehilangan pekerjaan? Apalagi, hilangnya juga karena perusahaan bangkrut. Pas pandemi 2020 kemarin banyak kejadian, tuh.

Nah, lagi-lagi, masalahnya nggak semua orang beruntung bisa langsung dapat pekerjaan baru. Nggak semua orang dapat dana kompensasi cukup dari perusahaan yang memecat mereka. Padahal, dana itu bisa memberi mereka waktu untuk mencari pekerjaan berikutnya.

Saat dana santunan (entah dari siapa) habis namun pekerjaan baru tak kunjung didapatkan, yang putus asa langsung beralih ke pinjol sambil terus berusaha mencari pekerjaan. Ingat, nggak semua orang punya keluarga dan teman-teman baik yang mau menolong. Bersyukurlah kamu yang diberkahi support system yang baik.

 

Gini, aku juga nggak membenarkan penggunaan aplikasi pinjol secara serampangan. Aku yakin, kalo nggak terpaksa banget, orang-orang yang kusebutkan di sini pasti lebih memilih tidak menggunakannya sama sekali.

Bagi kamu yang sedang berusaha melunasi utang pinjol, silakan minta bantuan mediator, seperti Dolpheen ID misalnya. Semoga masalah utangmu cepat selesai.

 

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Kedai Kopi Lucu di Jakarta: The French Oven

Kedai Kopi Lucu di Jakarta: The French Oven

Banyak kedai kopi lucu di Jakarta. Aku akan review setiap kali dapat peluang datang ke satu tempat. Ini yang pertama untuk tahun ini:

Selasa kemarin (13 Februari 2024) sebelum Hari Pilpres, aku ke French Oven bareng Adik jam sembilan pagi. Tempatnya sudah buka sejak pukul 7:30 sampai 19:30.

The French Oven ada di Pakubuwono, Jakarta Selatan. Tempatnya ada di lantai dua gedung SADA. Menurut barista yang bertugas hari itu, The French Oven sudah buka sejak pertengahan November 2023 kemarin.

Kenapa sih, pemiliknya memilih nama “The French Oven”? Awalnya, pemilik kafe ini lebih fokus bikin kue sebagai hobi sekaligus bisnis mereka. Berhubung tahu banyak orang Jakarta yang suka ngopi di kedai, akhirnya mereka juga buka kedai kopi ini.

Kedai kopi ini lucu dengan dekorasi bergaya Perancis. Tempatnya nyaman buat nge-date sama pasangan, nongkrong bareng sekelompok kecil teman-teman, atau kalo lagi mau sendirian dengan buku. Kamu penulis yang lagi cari tempat sepi dengan kopi enak dan cemilan sambil menulis cerita? Ke sini saja.

Apa yang kupesan pagi itu? Es cappuccino, tentu saja. Bahkan meski aku dan Adik tidak memesan cemilan, minuman kami dihidangkan bareng tiga jenis kue untuk dicicipi.

Pastinya, aku ingin balik lagi ke French Oven buat mencoba menu lain. Musik lounge Perancis bikin vibe-nya lebih kalem. Aku juga penasaran dengan variasi kue lidah kucing mereka. Masa ada yang rasa … teh Earl-Grey?

Yah, buat yang lagi di Pakubuwono, Jakarta Selatan, cek saja salah satu #kedaikopilucu ini dan kasih tahu pendapatmu.

The French Oven

Jalan Pakubuwono VI No:100
The 2nd floor of The SADA Building
South Jakarta

Instagram: @thefrenchoven.id

R.

Foto-foto oleh: @renaldirindra

Categories
#catatan-harian #menulis

Pilpres 2024: Semakin Dekat, Semakin Malas Ikutan Debat

Pilpres 2024: Semakin Dekat, Semakin Malas Ikutan Debat

Jedaku
Foto: unsplash.com

Tanggal 14 Februari 2024 bukan hanya Hari Kasih Sayang (Valentine’s Day) bagi yang (memilih) merayakan. Bagi seluruh rakyat Indonesia, hari ini merupakan Hari Piplres (Pemilihan Presiden).

“Jadi kamu mau milih siapa?”

Pertanyaan bagus. Jujur, sekarang aku malas cerita-cerita ke siapa pun soal ini. Hakku juga untuk tetap merahasiakannya. Kenapa?

Aku kapok. Dulu pernah terlalu jujur dengan pilihanku. Saat pilihanku kemudian melakukan kesalahan, aku sempat kecewa dan mengkritik beliau di Facebook. Seorang teman lama yang melihat langsung nyinyir berkomentar:

“Presiden ELO, tuh.”

Dih, apaan sih? Pikirku sebal. Waktu itu, langsung saja kubalas begini:

“Oh, sekarang elo dah ganti WN dan tinggal di luar negeri, ya? Di negara mana lo sekarang? Selamat, ya!”

Hehe, dia nggak jawab, lho! Aku memang sudah malas berdebat maupun saling sindir soal politik. Membaca debatan sesama orang Indonesia soal tiap paslon di X saja sudah bikin mual. Makin mual bila yang kayak begini sampai bikin orang lebih semangat saling memaki dan musuhan.

Makanya, aku memilih diam saja soal calon yang nanti akan kupilih. Bukan apa-apa. Pada akhirnya akan selalu sama.

Kita akan memilih calon sesuai hati nurani. Kalau yang menang kerjanya benar, kita apresiasi. Kalau kerja mereka salah, wajib kita kritik.

Kalau mereka lantas jadi baperan, lalu mendadak gila kuasa dan berubah jadi tukang main ancam rakyat yang mengkritik mereka? Yah, paling alamat kudeta lagi kayak 1998. Lagian, hari gini udah gak jaman kali, main ancam-ancaman tanpa risiko mendapatkan perlawanan dari rakyat …

 

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

3 Kemungkinan Alasan Orang Terdekat Takut Jujur Sama Kamu

3 Kemungkinan Alasan Orang Terdekat Takut Jujur Sama Kamu

Harusnya mereka jujur sama kamu, seperti biasa dan kayak dulu. Apa yang berubah akhir-akhir ini? Kenapa mereka seperti menunggu ‘ditodong’ dulu, baru (berani) ngomong? Sebelum langsung beranggapan (cuma) mereka yang ber(ma)salah, coba cek diri sendiri dululah. Bisa jadi kamu ada andil juga yang menyebabkan mereka bersikap demikian.

1. Kamu sendiri juga suka tidak jujur sama mereka.


Memang, tidak mungkin kita bisa 100% jujur sama semua orang. Bahkan, kita juga tetap harus menjaga perasaan orang terdekat dengan tidak selalu jujur sama mereka.

Namun, ada kalanya kita tetap harus jujur, sepahit apa pun kenyataannya. Misalnya: sesuatu yang sedang atau telah kita lakukan akan berdampak buruk ke mereka juga – baik secara langsung maupun tidak langsung. Jangan suka main standar ganda. Jangan berharap mereka mau jujur dengan sendirinya, kalau kamu sendiri juga punya banyak rahasia yang bisa mempengaruhi mereka.

2. Kamu lebih sering tidak antusias mendengarkan cerita mereka.


Kebiasaan ini terkesan sepele, padahal akibatnya bisa serius. Memang, semua orang punya masalah. Tapi nggak berarti kita berhak main standar ganda soal “siapa yang lebih berhak untuk banyak curhat”, cuma karena menurutmu masalah mereka “cuma segitu doang”. Tolong ya, ini bukan kompetisi.

Semua orang bisa merasa lelah dan bosan. Cuma, salah gak sih, kalau orang yang selama ini rela mendengarkan curhatmu – apalagi yang itu-itu terus – meski sedang lelah atau bosan, suatu saat bakal berharap perlakuan serupa darimu pas giliran mereka butuh pendengar?

Mengapa sepertinya kamu sulit berusaha melakukan hal yang sama untuk mereka?

3. Diam-diam, kamu berharap mereka sempurna.


Mungkin kamu tidak bermaksud demikian. Sayangnya, tanpa sadar sikap sekaligus ekspektasimu menjadi beban mental buat mereka. Misalnya: selama ini, mereka nyaris nggak pernah curhat atau kelihatan kayak lagi ada masalah. Padahal, belum tentu mereka baik-baik saja.

Bisa saja mereka sebenarnya sangat ingin bercerita. Sayangnya, masih ada rasa takut yang mengganjal. (Salah satu sebabnya ada di poin nomor dua.) Apalagi, kamu juga gemar memuji-muji mereka ke semua orang sebagai sosok mandiri.

Mungkin juga mereka pernah trauma dengan ulahmu. Mereka pernah beberapa kali jujur padamu mengenai masalah mereka. Sayangnya, bukan simpati maupun pengertian yang mereka dapat. Kamu malah lebih banyak marah-marah dan langsung menghakimi, bahkan tanpa mau mendengar penjelasan mereka atau memberi mereka kesempatan untuk membela diri bila salah. Begitu tahu begini, mereka berpikir: “Lain kali tidak usah cerita saja sekalian. Menyesal jadinya.”

Nah, sebelum mereka keburu memilih diam dan terus berahasia karena merasa tidak aman denganmu, mending lain kali biarkan mereka bercerita sampai selesai. Hindari memotong cerita mereka di tengah jalan, apalagi langsung menambahnya dengan celaan. Kamu nggak perlu otomatis langsung mengerti atau menemukan solusi, kok.

Menjadi pendengar aktif saja dulu, jangan setengah-setengah.
Selain tiga (3) contoh di atas, apalagi sih, yang bisa bikin orang takut jujur sama orang terdekat?

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Tak Ada Highlights untuk Tahun 2023 Ini

Tak Ada Highlights untuk Tahun 2023 Ini

Kurasa hati ini lebih dari patah

oleh kekejian Zionis Israel.

Aku ingin kebebasan untuk Palestina

agar tiada lagi yang menderita.

 

Tak ada highlights untuk 2023.

Tidak, tidak saat dunia tidak berbuat banyak atas kekejaman yang ada.

Aku tak peduli semua prestasi pribadimu.

Apa yang harus dirayakan,

saat masih ada yang jadi korban genosida?

 

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Catatan Akhir Tahun 2023

Catatan Akhir Tahun 2023

Mohon maaf, akhir-akhir ini aku sibuk luar biasa di dunia nyata. Inilah akibatnya bila fokus kita terpecah ke mana-mana. Satu ke pekerjaan, satu ke hobi, satu ke keluarga, satu ke teman, satu ke diri sendiri … dan seterusnya.

Bukan bermaksud mengeluh, namun kenyataannya … tahun 2023 cukup banyak kejutan yang bikin stres. Meskipun diawali dengan bisa nonton konser Hoobastank gratis di bulan Maret 2023, sisanya cukup … yah, begitulah.

Yang paling bikin shock sedunia mungkin bukan demam Coldplay yang tur keliling dunia. (Aku sampai tidak kebagian tiket nonton karena gagal ‘perang tiket’ di dunia maya. Ya sudah, memang bukan rezekinya!)

Israel kembali berulah dengan brutal menyerang Palestina berkali-kali. Awalnya, mereka sempat berhasil menarik simpati dunia dengan mengaku menjadi korban Hamas, sebuah organisasi militer perlawanan penjajah untuk Palestina.

Aku tidak akan membahas soal 7 Oktober 2023 panjang lebar di sini. Silakan cari sumbernya sendiri, asal jangan ikut termakan propaganda. Bagi yang sudah hidup cukup lama dan mengikuti sejarah, kita tahu bahwa Israel sudah cari gara-gara dengan Palestina sejak 1948.

Mungkin karena sudah pernah jadi korban bullying dan melihat orang-orang hanya menonton, aku muak melihat yang terus terjadi di Palestina hingga kini. Untuk pertama kalinya, kukirim video ini sebagai bentuk dukunganku pada mereka:

IMG_1905 

 

#IstandWithPalestine #FreePalestine #CeaseFireNow

 

R.