Categories
#catatan-harian #menulis

Usaha Mengkerdilkan ‘Sabar dan Ikhlas’

Usaha Mengkerdilkan ‘Sabar dan Ikhlas’

‘Sabar’ dan ‘ikhlas’ adalah dua kata yang sekilas terdengar sangat indah. Nasihat dengan dua kata tersebut sering banget keluar untuk orang yang mengeluh karena sedang didera cobaan berat.

Lalu, apa yang salah dengan ‘sabar’ dan ‘ikhlas’? Gak ada. Sayangnya, kedua kata tersebut jadi kehilangan makna saat ada yang berusaha mempersempit artinya lewat taktik manipulasi. Hal ini sering terjadi, terutama akhir-akhir ini.

Contoh: kamu terlalu lama disepelekan. Hak-hakmu tidak hanya dilanggar, tapi juga dirampas. Karena sudah lelah dan muak, maka kamu meledak marah dan balas melawan. Namun, apa yang kemudian terjadi? Alih-alih didukung dan dibela, malah kamu yang disalahkan. Lho, kok? Iya, malah kamu yang kena marah! Bahkan, kamu kerap disuruh sabar dan ikhlas dengan beberapa ucapan menggampangkan masalah seperti ini:

“Kamu nggak boleh marah.”

“Sabar. Orang sabar disayang Tuhan.”

“Kamu nggak bisa mengontrol perbuatan orang lain ke kamu. Yang bisa kamu lakukan hanya mengontrol reaksi kamu ke mereka.”

Oke, sekilas semua nasihat di atas terdengar SANGAT BIJAK. Sekali lagi, nggak ada yang salah dengan nasihat untuk sabar dan ikhlas. Yang salah adalah saat kedua kata tersebut sengaja digadang-gadangkan secara manipulatif. Sabar dan ikhlas jadi terasa begitu dangkal maknanya saat kamu hanya merasa tidak nyaman dengan amarah mereka. Maumu, mereka diam saja dan tidak bereaksi apa-apa saat disepelekan. Jangan merusak suasana.

Padahal, ada kalanya orang yang terlalu sering disepelekan memang berhak dan harus marah. Mereka masih manusia yang punya perasaan, pikiran, dan harga diri, lho! Bila terlalu pasif alias banyak diam, yang ada mereka malah semakin disepelekan. Mereka akan semakin diinjak-injak, karena toh tidak akan (berani?) melawan balik. Mainnya pasrahan saja.

Setelah itu, jangan dikira masalah akan langsung selesai. Yang ada mereka malah semakin diremehkan. Intinya begini:

“Melawan sudah pasti akan ditindas. Namun, diam juga tidak akan membuat mereka berhenti menindas, apalagi bila sudah begitu jahat dan terbiasa dibiarkan berbuat jahat. Tidak akan ada kata bosan, selama mereka masih bisa menindas sampai puas!”

Sabar dan ikhlas itu bukan dua kata yang bisa dipermainkan begitu seenaknya. Sabar itu harus tetap ikhtiar, melawan yang zalim – terutama kepada yang lemah. Kalau nggak bisa dengan senjata ya, dengan tangan. Kalau nggak bisa dengan tangan, ya dengan lisan.

Kalau masih gagal juga? Ya, lawan dengan hati lewat doa, meskipun itu selemah-lemahnya iman. Jangan diam saja, karena sabar dan ikhlas tidak sama dengan “pasrahan saja tiap kali diinjak haknya”!

 

R.

Categories
#catatan-harian #menulis CeritaSetelahBaca

#CeritaSetelahBaca – “Bergidik Berkat KELAB DALAM SWALAYAN”

Sumber: Gramedia.com

#CeritaSetelahBaca – “Bergidik Berkat KELAB DALAM SWALAYAN”

Pertama kali membaca novel debut Abi Ardianda ini, judulnya saja sudah bikin penasaran. Kelab macam apa yang ada di dalam swalayan? Mengapa sepertinya hanya Sonja yang sadar akan keberadaan kelab misterius tersebut?

Tumbuh dengan ragam bacaan dan tontonan genre misteri, detektif, psikologi, dan thriller sukses membuatku langsung suka dengan buku ini. Sejak awal, ketegangan demi ketegangan dalam nuansa muram sudah dibangun dengan rapi. Bagai bermain jigsaw puzzle, setiap kepingan misteri secara bertahap ditemukan oleh Sonja. Sonja, yang sejak kecil hidup dengan ibu dan kedua kakak perempuannya sudah terbiasa dengan tangan dingin sang ibu yang otoriter. Banyak sekali aturan dan larangan yang wajib dipatuhi Sonja tanpa syarat.

Makanya, kelab dalam swalayan misterius tersebut seakan menawarkan pelarian sementara bagi Sonja yang selalu dituntut untuk tampil sempurna bagi semua orang. Bahkan, calon suaminya, Nohan yang tampan, kaya, dan sukses, lama-lama membuat Sonja sesak dan bosan.

Siapa sangka, kelab dalam swalayan tersebut juga menguak rahasia kelam yang mengancam kesempurnaan hidup Sonja …

Meskipun alurnya sedikit lambat dan banyak detail penting, membaca “Kelab Dalam Swalayan” seru bagi pencinta cerita misteri, detektif, dan thriller psikologi. Konsep premisnya sederhana, namun begitu mengena:

“Ada rahasia berupa cela di balik yang tampak sempurna … “

Novel ini diterbitkan oleh Penerbit Baca pada tahun 2019. Novel Abi Ardianda lainnya adalah “Laila Tak Pulang”.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Di Tengah?

Di Tengah?

Bagaimana rasanya berada di tengah-tengah persoalan orang lain? Gak usah dibahas. Pastinya memusingkan, apalagi bila kebetulan kamu kenal dengan mereka yang udah terlibat.

Kalo udah pake rasa sayang segala, pastinya mau objektif jadi rasa susah, ya? Bawaannya baper mulu. Makanya dokter sebaiknya tidak menangani pasien penyakit kronis bila kebetulan masih keluarga sendiri.

Lalu, gimana rasanya ada di tengah?

 

Kebetulan … atau Takdir?

Hmm, sebenernya aku nggak boleh bertanya-tanya seperti ini. Tapi gimana ya, kalo selama ini aku ibarat sudah melihat ‘algoritma’ hidupku sendiri? Pokoknya hampir mirip-mirip.

Pertama, aku lahir sebagai anak tengah. Aku punya kakak perempuan dan adik laki-laki. Berkat keduanya, aku bisa berteman dengan perempuan maupun laki-laki. Dari situ, pertemananku lumayan meluas, meski tak selalu tampak di mata orang awam.

Mulai dari beda agama, beda kelas sosial, hingga orientasi seksual – pokoknya sebut saja. Tapi, meskipun demikian, aku masih punya Batasan. Aku paling tidak tahan bila sampai harus berteman dengan:

  1. Orang yang paling suka memaksakan kehendak hingga standar hidup mereka kepada orang lain.

Begini, ya. Sebisa mungkin aku tidak akan mengusik-usik pilihan hidup orang lain. Tentu saja, dengan catatan: pilihan hidup mereka tidak sampai merugikan atau menyakiti orang lain.

Tapi, kalau hal itu membuat mereka sampai merasa sebagai “si paling benar / ideal”, maka aku jadi malas berurusan dengan mereka. Paling parah yang modelnya sampai merendahkan hingga menyumpahi mereka yang punya pilihan berbeda dengan doa yang jelek-jelek. Contoh: kamu perempuan yang cukup santai soal jodoh meski sudah berusia di atas 35 tahun. Gara-gara itu, mereka (terutama laki-laki dan siapa pun yang sudah menikah duluan) merasa berhak menghinamu dengan sebutan ‘perawan tua’ dan berharap kamu akan merana sendirian di usia senja.

  1. Laki-laki misoginis dan perempuan penjilat patriarki (pick-me girls).

Persetan bila masih ada yang (memilih) salah sangka dan mengira aku benci laki-laki. Aku sudah terlalu malas dan muak berusaha menjelaskan apa-apa pada mereka. Biarlah mereka terbutakan oleh salah paham mereka sendiri. Susah memang kalo orang sudah merasa paling benar.

Buat yang masih ingin menyimak, laki-laki misoginis adalah laki-laki yang membenci perempuan hanya karena mereka perempuan. Maksudnya? Oh, ayolah. Contohnya sudah terlalu banyak. Laki-laki yang belum apa-apa sudah sinis duluan sama pemimpin perempuan, suami yang jadi nyolot gara-gara gaji kalah tinggi sama istri (padahal belum tentu istri jadi tidak menghormati lagi!), hingga laki-laki yang menganggap perempuan bawel, reseh, rewel, sulit diatur, hingga dianggap “lupa kodrat” hanya karena berani mendebat mereka.

Padahal, laki-laki tidak selalu benar dan paling berlogika, lho! Perempuan juga belum tentu asal mendebat atau hanya pake emosi alias gak berotak. Kalo memang ada ketidakadilan, ya harus dilawan.

Nah, kalo ‘pick-me girls’? Mereka ini termasuk pengkhianat kaumnya sendiri. Mereka hobi menjilat laki-laki dengan cara menjatuhkan sesama perempuan. Contohnya udah banyak banget, kayak:

  • Si tomboy yang mengejek si feminin.

Ini gambaran umum perempuan dengan ‘internalized misogyny’. Mereka tipe perempuan yang dengan bangganya mengaku lebih senang berteman dengan laki-laki, karena menurut mereka sesama perempuan LEBIH BANYAK DRAMA.

Perempuan ini memusuhi yang serba feminin, karena menganggapnya sebagai ‘kelemahan’. Mereka cenderung lebih memuja yang serba maskulin. Padahal, belum tentu juga mereka bakalan dianggap setara sama laki-laki yang mereka bela mati-matian sampai menghina sesama perempuan.

Yang ada malah dimanfaatin.

  • Si ‘tradwife-wannabe’ (perempuan yang ingin jadi ibu rumah tangga).

Gak ada yang salah kalo kamu perempuan yang beneran ingin jadi ibu rumah tangga sesuai peran tradisional istri dalam pernikahan. Trad-wife = traditional wife.

Cuma, kamu jadi sosok nyebelin kalo lantas nyinyirin pilihan perempuan lain yang berbeda. Terus kenapa kalo emang mereka memilih berkarir di kantor atau belum mau menikah dulu? Paling ganggu kalo kamu nyinyir begini: “Udahlah, ngapain cewek capek-capek kerja? Biar cowok aja yang cari nafkah. Cewek cukup senang-senang di rumah!”

Kecuali yang ngomong punya suami super kaya yang bisa menyewa asisten rumah tangga saat si nyonya kecapekan, ucapan di atas sangat tidak realistis dan termasuk ‘tone deaf’ (gak peka). Terserahlah bila mereka merasa demikian.

Tapi, nggak usahlah ngatur-ngatur hidup orang lain.

Apa kesamaan mereka berdua sebagai ‘pick-me girls’? Tentu saja, mereka sama-sama merasa (paling) paham akan kebutuhan laki-laki dan bisa jadi pahlawan ego mereka.

 

Meskipun anak tengah dan terkesan bisa berteman dengan siapa saja, semua yang kusebutkan di atas itu pengecualian.

 

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

#ReviewBuku – Half Past Twenties : Krisis Seperempat Baya yang Relevan untuk Milenial dan Gen-Z

#ReviewBuku – Half Past Twenties : Krisis Seperempat Baya yang Relevan untuk Milenial dan Gen-Z

Aku baru saja menikmati perjalanan benak melalui antologi puisi ketiga Firnita – “Half Past Twenties”. Sama seperti dua antologi sebelumnya — “Strings Attached” dan “Shorter Stories” — buku ini hadir dalam kemasan yang lucu. Hampir seukuran saku, dengan warna-warna lucu dan puisi-puisi modern yang pendek.

 

Isi buku ini juga bisa disebut “bercerita dengan sajak”. Fase ini juga merupakan bagian dari kehidupan, terutama bagi generasi Milenial dan Gen-Z. Menjelang tahun 2025, banyak sekali cerita relevan tentang perjuangan anak muda dalam bekerja dan berkarir dalam Work Challenges”. Misalnya, seberapa efektifkah situs jejaring sosial dalam membantu kita mendapatkan pekerjaan atau karier impian kita?

 

Kejujuran dan kerentanan dapat dirasakan dalam Family Issues”, “Friendship Dramas”, dan Romance Problems”. Bagaimanapun, ini adalah hal-hal penting yang dimiliki sebagian besar orang berusia dua puluhan dalam hidup mereka. Interaksi Anda dengan keluarga pasti akan membawa perubahan dari waktu ke waktu. Teman juga bisa datang dan pergi. Cinta? Hanya Tuhan yang tahu.

 

Bagi siapa pun yang belum berusia 20-an, buku ini mungkin bisa membuat mereka tersenyum. Jika usia 20-an Anda sudah berada di awal era digital, “Half Past Twenties” masih sangat menarik! Jika Anda tinggal di Jakarta, silakan cek di Gramedia.

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis

Tentang Diam yang Mencelakakan:

Tentang Diam yang Mencelakakan:

Sejak kecil, ada satu hal yang takkan kusetujui dari Mama. Mohon tidak langsung menyederhanakan hal ini sebagai perilaku anak durhaka. Silakan baca dulu sampai selesai.

Aku paham, Mama dibesarkan sebagai anak perempuan yang (diharapkan selalu) penurut, tidak cari masalah, dan sebisa mungkin menjaga hubungan baik dengan orang lain. Gak ada yang salah dengan ini, kok. Menjaga perdamaian itu bagus.

Namun, ada kalanya kita perlu – dan bahkan wajib – bicara. Ada saatnya diam itu bukan emas. Malah, ada diam yang sebenarnya mencelakakan …

 

“Kamu Gak Boleh Marah!”

Gak ada manusia waras mana pun yang ingin dan suka marah, apalagi mudah dan terus-terusan. Aku juga tahu itu. Bersabar itu baik.

Namun, ada kalanya kita wajib bicara. Ada saatnya kita berhak marah, terutama bila kita sudah terlalu sering disakiti. Hak-hak kita terus-terusan dilanggar. Ini tidak sama dengan membalas dendam lho, ya.

Sabar juga tidak sama dengan diam saja dan tidak melawan. Sabar bukan berarti membiarkan ketidakadilan dan penyelewengan. Memang sih, Tuhan Maha Adil dan akan membalas perbuatan jahat yang menurut-Nya pantas dibalas. Tapi, Tuhan ‘kan, juga ingin melihat usaha kita dulu. Jangan apa-apa lantas menunggu Dia terus.

 

Kepedulian di Balik Kemarahan

Mengapa amarah itu harus selalu dipandang sebagai sesuatu yang buruk? Kalo marah-marahnya gak jelas atau karena hal sepele, apalagi sampai terus-terusan, memang gak baik. Mudah marah itu juga bukan pertanda sehat. Coba cek dulu tekanan darahmu bila kamu punya kebiasaan ini. Jangan-jangan hipertensi.

Namun, amarah juga bisa berupa tanda kepedulian. Coba bayangin, kalo seumur hidup kamu gak pernah merasakan ditegur, padahal jelas-jelas perbuatanmu salah. Bisa-bisa kamu menjadi pribadi yang narsisistik. Gak pernah merasa dan sudi mengaku salah. Selalu mencari-cari alasan, pembenaran, dan bahkan kambing hitam.

Yang paling parah, kamu jadi hobi bermain sebagai ‘si paling tersakiti, korban sejuta tuduhan’.

Bersyukurlah bila ada yang menegurmu saat berbuat salah atau melanggar hak-hak orang lain, baik sengaja maupun tidak. Jangan lantas merengek, terus bawa-bawa alasan basi macam “manusia gak ada yang sempurna”. Justru karena gak sempurna, sesama manusia harus saling mengingatkan. Ya, biar brengsek-mu gak kebangetan, apalagi sampai keterusan!

Kalo udah diingatkan berkali-kali tapi gak juga ada perubahan? Ya, berarti mereka memang pribadi yang bermasalah. Jangan merasa percuma. Yang penting ‘kan, kita gak diam dan membiarkan. Kita udah berusaha mengingatkan dan menegur sekalian.

 

Agar Tidak (Mudah) Disepelekan

“Elo terlalu baik, sih … “

Ada nada menghina dan merendahkan yang kerap terdengar dari ucapan di atas. Memangnya ada yang salah dengan berbuat baik? Tentu tidak. Yang salah adalah mereka yang tidak menghargai kebaikan orang dan malah cenderung menyepelekan. Yang salah juga mereka yang memilih diam saja saat terjadinya ketidakadilan dan penyelewengan di depan mata dengan alasan “ogah cari drama” atau “malas ribut”.

Dengan kata lain, kita hanya mau cari aman untuk diri sendiri. Kesulitan orang lain yang disebabkan penindasan sama sekali bukan urusan/masalah kita. Sebodo amat!

Diam seperti itulah yang mencelakakan. Gak perlu nunggu jadi korban dulu, sih. Sebagai korban, diammu malah membuatmu semakin disepelekan orang. Kamu takut melawan atau gak berani protes, makanya dianggap gampangan.

Sebagai saksi, diammu bikin kamu jadi manusia egois dan gak berguna, kecuali buat dirimu sendiri. Kamu hanya mau cari aman, padahal bisa saja mereka berharap bantuan darimu – terutama saat mereka terlalu lemah untuk membela diri sendiri.

Mungkin inilah penyebab aku sudah malas cerita apa-apa lagi pada Mama, terutama soal alasan aku marah. Beliau tidak akan mengerti dan aku tak bisa memaksa beliau untuk mengerti.

Mulai sekarang, aku hanya cukup membela diri sendiri …

 

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #tips

Mau Survive Sebagai Perempuan Lajang Usia 40-an di Jakarta Hari Gini?

Mau Survive Sebagai Perempuan Lajang Usia 40-an di Jakarta Hari Gini?

  1. Semoga keluargamu gak termasuk toksik, ya? (Dan semoga kamu juga gak toksik buat mereka.)

Kalo belum bisa punya rumah sendiri, apalagi nyewa, seenggaknya masih bisa tinggal bareng mereka dulu sembari nabung. Beruntunglah kamu tinggal di Jakarta, Indonesia, bukan di negara Barat – tempat kamu bakal diketawain hanya gara-gara udah dewasa tapi masih tinggal sama nyokap.

  1. Apa pun perasaanmu, pertahankan dulu pekerjaanmu saat ini.

Serius. Lowongan kerja di Indonesia saat ini udah makin gak ngotak, saking seksis dan ageist-nya. Gak usah dengerin para misoginis fakir kemampuan yang mencoba membohongi kamu. Fakta di lapangan tetap sama: masih lebih banyak lowongan pekerjaan untuk laki-laki. Bahkan, pihak HRD banyak yang memajang iklan lowongan pekerjaan dengan kriteria ‘di luar nurul’ macam ini:

 

  • Usia maks. 21/25/27/30/35/40. (Yang dua terakhir jarang banget, loh!)
  • Pengalaman kerja maks. 3 tahun (diutamakan di bidang yang sama.)
  • lulusan S1.

Tuh, ‘kan? Coba hitung sendiri, deh.

Meskipun dipanggil untuk wawancara, siap-siap saja dapat pertanyaan seksis seputar status pernikahan. Mengapa belum menikah juga? Apakah ada waktu akan menikah dalam waktu dekat ini?

Apa pun jawabanmu, gak usah berharap terlalu banyak, deh. Entah kamu bisa ditolak dengan alasan “overqualified” (berkualifikasi terlalu tinggi), mereka lebih berharap kamu segera menikah saja.

Intinya, mereka berasumsi bahwa semua perempuan berusia 30 ke atas harusnya sudah menikah dan cukup mengandalkan nafkah suami saja – dengan harapan suami mereka berpenghasilan cukup … atau malah kaya raya sekalian!

  1. Carilah pekerjaan lepas (freelance) atau coba buka bisnis sendiri.

Pilih bidang yang paling kamu suka, tapi pastikan juga risikonya gak terlalu besar. Contoh: aku juga berprofesi sebagai penulis dan penerjemah lepas. Bukannya gak mau bersyukur, tapi kenyataannya … hari gini penghasilan dari satu pekerjaan fulltime sudah gak cukup lagi.

Pastinya bakalan lebih capek sih, cuma … hari gini, kerjaan apa sih, yang gak capek? Apa pun bisa terjadi.

Tip tambahan: sebisa mungkin jangan sampai kamu ‘colongan’ ngerjain kerjaan freelance pas lagi jam kantor. Bukan apa-apa, serem aja kalo sampai kepergok. Gak adil dan gak profesional juga.

  1. Nongkrong demi berjejaring.

Udah bukan saatnya lagi kamu hangout hanya buat senang-senang tapi berujung foya-foya belaka. Senang-senangnya sih, boleh. Tapi jangan lupa juga untuk mendapatkan manfaatnya. Menjaga silaturahmi dengan orang-orang terdekat itu memang penting.

Berjejaring itu juga penting. Memang sih, kata orang, semakin tua, lingkaran pertemanan kita biasanya semakin mengecil. Tapi ‘kan, itu hanya untuk hubungan dekat/pribadi. Contoh: sistem dukungan kamu berupa teman-teman dan kerabat dekat.

Ya, gak berarti kamu gak boleh juga bikin lingkaran-lingkaran kecil baru. Cuma ya, pastikan juga isinya bermanfaat dan membuat hidupmu terasa lebih berarti.

Gak cuma soal keuangan, hati-hati juga saat kamu menginvestasikan waktu, tenaga, dan kewarasanmu.

  1. Baik-baik sama orang.

Serius. Kita gak pernah tahu dari mana pertolongan akan datang, bila suatu saat kita membutuhkannya. Etapi, gak usah langsung ngarep balasan dulu, ya.

Kalo orangnya emang asli toksik sampai bikin lelah hati, ya gak usah sampai dibenci. Kasihan kamu-nya nanti. Mereka sih, bodo amat, ya. Hihihihi …

Cukup jauhi. Interaksi seperlunya saja. Gak semua orang layak kamu dekati. Cukup fokus sama yang terbaik bagi diri sendiri.

Hmm, mungkin segitu aja dulu. Kalo kepikiran ide lain, nanti aku tambahin lagi …

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Perenungan di Perjalanan

PERENUNGAN DI PERJALANAN

Maaf, aku sudah lama tidak menulis di sini. Aku akan berusaha lebih rajin lagi, meskipun akhir-akhir ini sangat sulit.

Sebelumnya, mengapa aku hampir tidak pernah lagi menulis di sini? Pertama, aku sibuk sekali. Sejak kantorku pindah ke Jakarta Timur, aku agak kesulitan membagi waktuku. Pekerjaan fulltime-ku sebagai guru Bahasa Inggris sangat menyita waktu, belum lagi jarak yang sangat jauh dari rumahku di Jakarta Selatan. Bayangkan, aku harus naik bus Trans-Jakarta, LRT, dan Gojek untuk ke sana selama sekitar dua hingga tiga jam. Begitu pula saat pulang. Tak jarang aku ketiduran di perjalanan.

Kedua, aku masih punya pekerjaan sampingan sebagai penulis lepas. Faktanya, banyak sekali kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat. Harga-harga kebutuhan pokok hidup kian melonjak. Biaya ongkos transportasiku sehari-hari juga tidak bisa dibilang murah.

Mana pemerintah ingin menaikkan ongkos transportasi public, tapi malah ingin mensubsidi mobil-mobil listrik dan hibrida milik orang-orang kaya. Bukankah itu sungguh gila?

Ketiga, maaf. Akhir-akhir ini aku lebih banyak aktif di Instagram (IG) @rubyastari . Apalagi, aku juga tengah menyuarakan anti genosida yang kian terjadi di tanah Palestina selama 76 tahun terakhir. Selain itu, banyak sekali tantangan menulis selama 30 hari yang ada di Instagram. Bohong bila aku bilang aku tidak tergoda untuk ikutan.

Sekali lagi, maaf bila aku sudah terlalu lama mengabaikan tempat ini. Agar tidak jadi mubazir, aku akan mulai lebih rajin mengisinya lagi.

 

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Sebut Saja Mereka Teman-teman … dengan Beda Peran …

Sebut Saja Mereka Teman-teman … dengan Beda Peran …

Percakapan dengan seorang sahabat membuatku berpikir soal pertemanan di usia dewasa. Singkat cerita, dia menyebut bahwa aku salah satu teman yang masih bertahan lama dalam hitungan tahun. Kebanyakan orang yang pernah ditemuinya datang dan pergi.

“Namanya juga hidup.” Aku hanya tersenyum. Berhubung sahabat delapan tahun lebih muda, sepertinya dia baru meresapi realita ini.

Mungkin aku sudah terlalu sering menulis tentang pertemanan di usia dewasa. Butuh kedewasaan tingkat tinggi, termasuk kesabaran, kerelaan, hingga pemakluman, saat menyadari bahwa kita semua sibuk. Kita punya prioritas masing-masing.

Makanya, mungkin aku bukan teman yang cocok untuk manusia tipe perengek. Tahu ‘kan, yang modelnya suka mengeluh atau nyinyir kayak gini?

“Semua orang sibuk. Tapi kalo mereka gak ada usaha untuk ngajak ketemuan atau minimal jaga komunikasi, berarti elo gak sepenting itu dalam hidup mereka!”

Sori, bukannya nggak mau usaha, ya. Tapi, ada kalanya kita memang nggak bisa memaksa keadaan.

Contoh: teman lajang dan teman yang sudah menikah, apalagi sampai punya anak. Pastinya prioritas mereka berbeda, dong? Sebagai teman yang lajang, kamu nggak berhak marah saat temanmu tiba-tiba membatalkan janji ketemu gara-gara si kecil mendadak sakit.

Begitu pula bila teman lajang, tapi kamu-nya udah nikah dan punya anak. Jangan mentang-mentang mereka masih lajang, kamu main asumsi mereka nggak banyak kegiatan, ya.

Begitu pula saat salah satu kena masalah serius. Kalo di film-film ‘kan, biasanya para bestie (sahabat) langsung all-out terjun membantu. Ingat, di usia dewasa di dunia nyata, semua orang punya masalah masing-masing. Bahkan, bisa jadi mereka yang masalahnya lebih berat pun malah memilih tidak bercerita pada siapa pun.

Jadi, kurang-kurangilah merasa paling malang di dunia ini. Ingat, kamu bukan pusat semesta. Percuma main adu nasib segala. Gak semuanya harus tentang kamu.

Anggap saja teman-temanmu hadir dengan pesan yang berbeda-beda. Ada yang emang hanya buat senang-senang, giliran kamu susah – mereka menghilang. Ada yang hanya bisa jadi pendengar yang baik, tapi sayangnya belum tentu bisa membantu menyelesaikan masalahmu.

Ada teman yang mungkin awalnya terkesan cuek. Bahkan, bisa dibilang kalian nyaris nggak pernah ngobrol. Eh, pas tahu kamu lagi kena masalah, justru mereka malah jadi orang-orang pertama yang nolongin kamu duluan. Bahkan, dengan terang-terangan mereka bilang, “Gak usah diganti, mumpung gue lagi bisa bantu aja.”

Keren banget, ya? Tapi, apakah artinya teman-temanmu yang nggak kayak gitu berarti bukan teman-teman yang baik? Belum tentu. Bisa jadi mereka sedang tidak bisa, karena tengah punya masalah sendiri.

Intinya, setiap orang pernah, sedang, atau akan mampir dalam kehidupan kita mempunya peran mereka masing-masing. Ada yang hanya satu atau dua peran, ada yang bisa multiperan. Bersyukurlah bila kamu mendapatkan model teman yang terakhir. Jangan pernah kamu sia-siakan. Baik-baiklah sama mereka.

Lalu, bagaimana denganmu? Apakah kamu juga bisa jadi teman seperti itu? Bila tidak, maka kurang-kurangilah kebiasaan menuntut teman agar sesempurna harapanmu. Percayalah, standar ganda gak se-asik itu!

Sah-sah saja bila kamu tetap ingin menganggap semuanya teman, meskipun belum tentu mereka akan selalu hadir untukmu. Yah, asal kamu terima kalo peran mereka mungkin beda-beda … dan belum tentu akan selalu hadir untukmu …

 

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #tips

Ini 6 Hal yang Harus Kamu Persiapkan Saat Terjerat Utang

Ini 6 Hal yang Harus Kamu Persiapkan Saat Terjerat Utang

Aku nggak akan menghakimi kamu yang sedang terjerat utang saat ini. Apa pun alasanmu, aku juga tidak perlu tahu. Semoga kamu mau berusaha keluar dari jeratan utang, apa pun itu dan bagaimana pun caranya.

Nah, bila kamu sedang terjerat utang banyak, inilah enam (6) hal yang harus kamu persiapkan:

  1. Mental, spiritual, dan psikologis.

Merasa panik saat sadar sulit melunasi utang dalam jumlah besar itu wajar. Kamu pasti stres. Apalagi, hal ini berdampak serius pada keuanganmu dan juga kehidupanmu sehari-hari.

Sayangnya, kamu nggak bisa menuruti perasaanmu terus. Persiapkan mental, karena kamu harus mulai gercep (gerak cepat). Teror dari DC (debt collector) takkan berhenti. Entah bagaimana caranya, kamu tetap harus (berusaha) membayar utang.

Selain mental, persiapkan juga kondisi spiritual dan psikologismu. Banyak-banyaklah berdoa serta memohon ampun dan petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Kita nggak pernah benar-benar tahu segalanya, lho. Bisa saja ada dosa-dosa kita yang tengah ingin Tuhan hapuskan melalui cobaan ini.

Kelilingi dirimu dengan sosok-sosok positif dan suportif. Syukur-syukur mereka bisa membantu. Mereka tidak sampai menghakimimu saja sudah bagus.

  1. Singkirkan gengsi dan siap terima bantuan.

Terimalah kenyataan. Kamu tuh, sedang butuh bantuan. Kamu tidak bisa selalu melakukan semuanya sendirian. Lain cerita bila kamu keturunan keluarga tajir, sultan, dapat warisan mendadak berupa uang yang sangat banyak, dan sebagainya.

Dengan kata lain, ini darurat.

Bantuan dari mereka bisa apa saja. Meskipun belum tentu uang banyak untuk membantu membayar utang, terimalah. Misalnya: uang untuk membantumu menyewa jasa mediator finansial seperti Dolpheen ID atau tawaran pekerjaan freelance untuk penghasilan tambahan.

  1. Lupakan semua rencana yang butuh biaya banyak.

Serius, sampai semua utangmu lunas, kamu praktis nggak bisa ke mana-mana maupun berbuat banyak. Mau nonton konser musisi luar negeri? Lupakan saja. Traveling? Apalagi.

Sayangnya, niat ‘mulia’-mu untuk kuliah lagi atau ikut kursus pengembangan keahlian tertentu juga terpaksa ditunda dulu. Lain cerita kalo kursusnya gratisan, hehehe.

  1. Saatnya hemat … lebih ketat.

Mau nggak mau kamu harus menata ulang perencanaan keuanganmu secara radikal. Kurangi belanja dan jajanan yang tidak perlu. Mulai sering bawa makanan dari rumah. Sekalian belajar masak saja dari mama atau saudaramu kalo perlu.

Lebih sering naik kendaraan umum atau terima tumpangan gratis searah juga bisa kamu lakukan. Serius, buang dulu gengsimu. Kamu sedang SANGAT BUTUH bantuan.

  1. Siap-siap kehilangan teman-teman yang tahunya (dan maunya) hanya bersenang-senang denganmu.

Pas lagi banyak duit dan bisa diajak sering nongkrong bareng, mereka hadir. Bahkan, bisa jadi mereka juga menganggapmu teman paling asyik.

Giliran kamu lagi susah, ada teman-teman yang tiba-tiba mangkir. Eits, jangan berprasangka buruk dulu! Belum tentu karena mereka jahat atau nggak peduli. Bisa jadi, mereka nggak punya kapasitas memadai untuk menemanimu saat jatuh. Nggak melulu karena finansial, bisa juga karena emosional dan spiritual. Kecewa atau sedih itu wajar, tapi janganlah terlalu diambil hati, apalagi sampai terbit rasa benci.

Anggap saja begini: Gak semua orang bisa, cocok, atau mau jadi tempat curhat. Jangan paksa mereka, apalagi pake main gaslighting segala. Anggap saja setiap orang dalam hidupmu punya peran mereka masing-masing. Kamu sendiri juga belum tentu bisa jadi segalanya buat mereka, bukan? Mustahil malah!

  1. Perbanyak usaha mencari penghasilan tambahan.

Misalnya: kerja jadi penulis, penerjemah, atau pembuat konten secara freelance. Etapi pastiin pekerjaan tambahan ini nggak sampai mengganggu pekerjaan utamamu, ya.

 

Terjerat utang memang nggak enak. Sayangnya, penyelesaian utang membutuhkan waktu lama. Kamu hanya punya satu pilihan:

Jalani saja dulu satu-persatu hingga lunas, meski harus bertahap. Semoga masalahmu segera selesai. Semangat, ya!

 

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Masih Bingung Kenapa Perempuan Sekarang Takut Menikah dan Jadi IRT?

Masih Bingung Kenapa Perempuan Sekarang Takut Menikah dan Jadi IRT?

Aku sudah pernah menulis soal ini di platform media digital lain. Tapi, mengingat pola pikir masyarakat patriarkis Indonesia amat susah diubah (apalagi yang lelaki), kayaknya aku harus menulis lagi, nih. Edukasi memang butuh kesabaran ekstra, hehehe.

Aku pernah membaca status Facebook seorang kenalan lelaki yang bunyinya seperti ini:

“Sering gak tega liat istri kecapekan ngerjain semua urusan RT. Makanya … saya sengaja tidur lebih lama supaya gak usah liat, hehehe.”

Oh, dia hanya bercanda? Pasti mengakunya demikian. Paling kalau lelaki macam ini langsung ditegur, dia akan bersikap defensif dan menuduh penegur “baperan” (bawa perasaan). Mana sudi dia dianggap salah?

Aku juga nggak mau kepoin respon istrinya jika sudah baca status suaminya. Mungkin istrinya tipe makluman atau pasrahan. Mungkin juga istrinya nggak sempat baca, karena … ya, itu – selalu sibuk dengan urusan RT. Ketahuan ‘kan, siapa yang paling banyak nganggurnya?

Mungkin aslinya si lelaki nggak setega itu. Mungkin dia masih mau urunan ngerjain urusan rumah tangga, entah full, sesekali, tipis-tipis, atau malah pake ngedumel karena nggak ikhlas. Iya, kayak suami Indonesia kebanyakan. Yah, pokoknya bare minimum banget, dah!

Masalahnya? Pertama, leluconnya sama sekali nggak lucu. Mungkin lelaki itu kekurangan hiburan. Tapi, harus gitu, sampai meremehkan istri yang sudah baik-baik mengerjakan semua urusan RT seorang diri? Harus sampai menyepelekan kelelahannya, hanya demi alasan “Cuma Bercanda”?

Kabar terkini, tahun 2023 adalah tahun Indonesia dengan angka pernikahan yang menurun. Nggak heran, sih. Nggak heran juga banyak perempuan yang takut menikah dan nggak mau jadi IRT (ibu rumah tangga) juga. Bodo amat dengan iming-iming “dimuliakan” hingga panggilan sayang “ratu rumah”. Omong kosong semua! Gimana nggak takut, coba?

Masih banyak lelaki yang ngakunya ‘memuliakan perempuan’, tapi hanya di mulut. Lain di ucapan, lain di kelakuan. Kalo nggak melakukan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), ya selingkuh.

Nggak usah jauh-jauh, deh. Masih banyak juga lelaki yang dengan entengnya bilang, “Bini gue nggak kerja”, hanya karena istrinya IRT. Asli, nggak tahu diri dan nggak tahu terima kasih sama sekali. Mereka pikir siapa yang bersihin rumah, masakin makanan, cuci dan setrika pakaian mereka, serta masih banyak lagi? Dipikir nggak capek, apa?

Bahkan, bila istri sesekali mengeluh pun, mereka langsung main adu nasib dengan merengek, “Aku juga capek cari duit!” atau langsung berlagak bijak, bawa-bawa ajaran agama dengan menegur, “Jangan ngeluh, karena artinya kamu nggak ikhlas!” atau “Lelahmu nanti diganjar pahala.” Kesannya hanya lelaki yang paling capek dan berhak mengeluh.

Ha-ha, coba si suami kerja hanya dibayar ucapan terima kasih dan pahala – atas nama ikhlas. Maukah?

Makanya, aku udah nggak heran bahwa ada lelaki yang tega menjadikan kelelahan istrinya yang IRT sebagai lelucon. Pada kenyataannya, memang masih terlalu banyak lelaki Indonesia dengan pola pikir patriarkis yang sudah kelewat nyaman dengan posisi mereka.

Sama memuakkannya dengan lelaki yang seenaknya menuntut dilayani yang paling remeh (seperti membuat teh hangat, tapi giliran tehnya sudah jadi, malah tidak dia minum sama sekali. Ngucapin terima kasih sama yang bikin aja enggak, karena merasa berhak dan layak dilayani perempuan IHH!!

Ada juga yang marah-marah dan menganggap anak balitanya sendiri sebagai ‘saingan perhatian istri’. Kekanak-kanakan sekali, padahal nggak ada yang menggemaskan dari menjadi ‘bayi gede’. Wajar kalau istri memprioritaskan bayi atau balitanya yang belum bisa melakukan banyak hal dan butuh banyak bantuan.

Lain cerita ya, kalau kebetulan suaminya lumpuh dari leher ke bawah. Kalau begini, ya emang harus dibantu.

Serius, masih pada bingung kenapa perempuan sekarang takut menikah dan menjadi IRT?

 

R.