Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“DIAM…DI UJUNG PENGHARAPAN…”

“DIAM…DI UJUNG PENGHARAPAN…”

Apakah wajah ini sudah menipumu,

dengan senyum palsu

namun hati pilu?

Bukannya tiada syukur telah bertemu

berbagi kisah, meski rasa masih hinggap di kalbu

terlalu malu

hingga kadang lidah kelu

 

Semoga wajah ini cukup ahli menipumu,

saat cinta terasa semu

oleh beda penghalang satu

 

Hingga kini,

aku masih diam

di ujung pengharapan

berharap cinta segera redam

padam, hilanglah sekalian

sebelum sekali lagi

diri ini kembali dalam kehancuran…

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“TEMAN-TEMAN LAIN JENIS = PENGHALANG CINTA SEJATI?

“TEMAN-TEMAN LAIN JENIS = PENGHALANG CINTA SEJATI?”

Langsung saja, ya:

Satu malam, saya makan bareng seorang teman laki-laki dan seorang kenalan perempuan yang baru saya kenal hari itu. Kebetulan, seharian itu kami semua termasuk rombongan yang sempat barengan ke luar kota untuk menjenguk kawan yang baru punya anak. Selama perjalanan tersebut, si perempuan (yang mobilnya dia pinjamkan khusus untuk perjalanan itu) bisa melihat keakraban saya dengan para teman laki-laki.

Ya, saya senang berteman dengan siapa saja, baik laki-laki maupun sesama perempuan. Memang rasanya pasti beda, namun bukan berarti yang satu lebih baik dan penting daripada yang lain. Sebalnya, kadang saya harus menjelaskan ini berkali-kali pada mereka yang entah kenapa hobi banget nanya gini:

“Emang cewek ama cowok bisa ya, temenan doang?”

Saya akui, memang ada beberapa kasus yang berakhir ‘nggak asik’, seperti rasa suka yang bertepuk sebelah tangan hingga akhirnya musuhan, cemburu nggak penting, atau persaingan ‘nggak sehat’ dalam rangka memperebutkan satu-satunya cewek di geng cowok (atau sebaliknya, cowok di antara para cewek). Ujung-ujungnya persahabatan jadi korban.

Tapi, apa iya semua harus kayak sinetron basi gitu? Sebentar, saya lanjut cerita dulu, ya.

Singkat cerita, si kenalan perempuan sedang heboh bercerita soal laki-laki yang sedang dekat dengannya. Harapnya, semoga kali ini bisa berlanjut serius. Sebagai sesama perempuan yang mencari hal serupa, saya langsung menyahut setuju.

Namun, entah kenapa mendadak si kenalan perempuan menatap saya dengan aneh. Di luar dugaan, berikutnya keluar deh, ucapan ini dari mulutnya:

“Elo kalo mau cepet dapet cowok yang serius, jangan kebanyakan temenan dan nongkrong ama cowok-cowok.”

Karena malas meladeni tudingan si kenalan perempuan yang baru juga sekali ketemu saya, saya langsung berlagak bodoh. “Maksudnya?”

“Ya, kalo elo lebih sering jadi ‘wingman’ mereka, ntar cowok yang beneran suka ama elo jadi males deketin.”

Di luar dugaan, teman laki-laki saya langsung membela: “Maksud lo, si Ruby harus lebih prissy* dan feminin, gitu?”

(*Prissy = ganjen, kemayu, atau genit. Sekadar tambahan: kalau Anda aslinya memang perempuan feminin dan kemayu – serta merasa nyaman begitu – ya nggak masalah. Nggak berarti Anda lebih rendah daripada saya yang kebetulan memang agak tomboy dan punya cukup banyak teman laki-laki.)

Sebenarnya, malam itu saya mau nyengir melihat si kenalan perempuan langsung cemberut mendengar ucapan teman laki-laki saya. Namun, karena seharian keluar kota bikin lelah, malam sudah larut, dan saya enggan ribut, akhirnya saya menyahut santai:

“Hmm…gimana, ya? Gue nggak tahu gimana caranya jadi orang lain. Gue cuma tahu cara jadi diri sendiri.”

“Memang yang bagus begitu,” dukung teman laki-laki saya. Namun, lagi-lagi perempuan yang duduk di depan kami malam itu enggan mengaku kalah.

“Gue baca soal ini di artikel, sih.”

Yah, hari gini siapa pun bisa bikin artikel opini, ‘kan? (Termasuk saya sendiri, hehehe.) Namun, lagi-lagi saya malas berdebat, jadi hanya membalasnya dengan cerita pengalaman nyata saya sendiri:

“Kakak gue juga punya banyak temen cowok, tapi dia masih bisa dapet suami, tuh.”

Skak mat.

Emang teman-teman lain jenis penghalang jodoh Anda? Ah, kasihan benar mereka selalu jadi kambing hitam. Lagipula, saya paling ogah sama laki-laki cemburuan dan sampai membatasi pertemanan saya. Rugi amat!

Bahkan, adik saya sendiri saja juga pernah bilang begini:

“Kalo itu cowok beneran suka dan nggak insecure, dia bakal nanya dulu soal temen-temen cowok yang deket ama elo. Dia juga nggak mudah terancam sama kehadiran mereka.”

Nggak enaknya, masih banyak yang memandang perempuan yang punya banyak teman laki-laki dengan persepsi ‘miring’.  (Hmm, mungkin mereka harus belajar lebih menegakkan diri biar nggak gampang pusing, hehe.) Padahal, belum tentu juga temenannya pake pegang-pegangan segala (kecuali kalau sampai ada yang nyaris jatuh dari lantai 13 kayak di film-film action!)

Kalau nggak “pasti lesbi” (apalagi bila kebetulan si perempuan tomboy), ya “milik bersama” (maksudnya? Saya akan berusaha pura-pura nggak ngerti ucapan sinis ini), atau “sang primadona”.

Nah, yang terakhir ini bikin saya mau ngakak. Sang primadona? Nggak heran masih aja ada sesama perempuan yang merasa lebih hebat karena punya lebih banyak teman laki-laki daripada sesama perempuan sendiri. Maksudnya apa, diperlakukan kayak ratu, begitu? Haha, ngarep banget, tuh!

Laki-laki yang punya banyak teman perempuan juga suka dapat stereotype nggak enak. Entah sering dikira “pasti gay”, “playboy”, “kurang macho”, hingga “pasti diem-diem jadi rebutan temen-temen ceweknya sendiri”.

Apakah saya bakal cemburu kalau suatu saat punya pasangan yang berteman dengan banyak perempuan? Berhubung saya sendiri juga nggak suka dikekang, asal dia tahu diri dan bisa jaga kepercayaan sih, nggak masalah. Tapi sebelum Anda mulai menakut-nakuti saya dengan kemungkinan si dia tergoda perempuan lain, ini jawaban saya:

“Kalau sampai ‘kejadian’, bukan saya yang bodoh. Dia yang nggak bisa jaga kepercayaan. Selain itu, perempuan pun juga bisa tergoda sama teman laki-lakinya sendiri. Tapi, kenapa sih, kita harus selalu parno begini? ‘Kan manusia punya akal, nggak cuma nurutin napsu doang!”

Kalau percaya jodoh di tangan Tuhan, harusnya kita jangan mudah termakan stereotyping bikinan orang. Toh, nggak semua teman laki-laki bakalan saya goda juga, ‘kan? Kurang kerjaan amat!

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“INDONESIA, KENAL PRIVASI / PERSONAL SPACE, NGGAK?”

“INDONESIA, KENAL PRIVASI / PERSONAL SPACE, NGGAK?”

Mohon maaf harus bertanya seperti ini (meski sebenernya nggak nyesel-nyesel amat.) Soalnya suka ada yang sensi dan malah balas defensif:

“Jangan suka jelek-jelekin saudara/bangsa sendirilah.”

“Emang elo sendiri orang apa?”

“Emang elo sendiri udah paling bener? Nggak usah muna deh, pasti elo juga udah pernah ‘kan, kepo ama urusan orang lain – meski cuma sekali?”

Tuh, kan? Hampir aja saya jadi malas nulis. Apalagi begitu ada komen khas satu lagi, yang kali ini malah memaklumi:

“Udahlah, namanya juga orang Indonesia. Kepo dan nyinyir itu ibarat udah mendarah-daging.”

“Ya, mereka ‘kan cuma bermaksud baik. Anggep aja bentuk perhatian, daripada malah sengsara dicuekin.”

Hhh…grrh…sabarr…sabarrr…

Anyway, saya nanya gini juga bukan asal nyinyir atau cuma sinis nggak penting. Ada alasannya. Lihat aja di jalan, macet yang makin rapat. Trotoar yang kayaknya bikin nggak rela dibiarin kosong. Kalo nggak ada tukang jualan ya, motor lewat di sana pas macet. Bahkan, nggak jarang mereka mengklakson pejalan kaki yang lebih punya hak atau memaksa mereka minggir dan mengalah, meski pake kekerasan.

Lalu soal mengantri. Seorang teman ekspat pernah nanya begini sama saya (yang terjemahannya begini):

“Harus ya, berdirinya pada mepet begini pas ngantri?”

Iya, memang risih. Tapi gimana, ya? Pasti mereka selalu punya alasan, seperti:

  • Takut diserobot.
  • Takut ketinggalan antrian.
  • Emang dasar ‘aji mumpung’, alias mau mencopet atau melecehkan.

Hadeuhh…

Lalu, satu lagi yang udah kelewat familiar buat orang Indonesia sendiri, terutama sejak adanya media sosial. Mungkin mereka yang untungnya udah berpikiran lebih terbuka bisa menghormati perbedaan pilihan manusia, baik laki-laki maupun perempuan.

Sayangnya, justru yang paling ‘caper’ (cari perhatian) dan berisik justru yang pola pikirnya sempit dan ngotot merasa paling benar sendiri. Entah karena dasar insecure atau memang sengaja mau bikin rame. Biasa, cari sensasi.

Misalnya: ada cowok milih mau nikah sama cewek di bawah usia 25. Kalau ceweknya juga mau sih, terserah.

Yang jadi masalah saat cowok itu dengan entengnya mengejek bahwa cewek-cewek usia 25 ke atas itu udah ketuaan dan cewek-cewek yang lebih milih kuliah duluan (bahkan lanjut sampai S2 dan S3) serta berkarir itu sombongnya setengah mati dan mata duitan. Bahkan, saking desperate-nya, mereka sampai menakut-nakuti dengan membawa-bawa maut (sampai lupa bahwa itu murni takdir Tuhan, termasuk anak di bawah umur yang meninggal duluan dan pastinya belum sempat nikah.)

Cowok-cowok macam ini juga ada yang sampai menyumpah-nyumpahi yang jelek-jelek, seperti: cewek-cewek pintar dan sukses yang bikin mereka insecure bakal berakhir jadi perawan nggak laku dan buntutnya desperate nguber-nguber laki orang, rela jadi madu. Kesannya, perempuan nggak beda dengan barang dagangan yang punya masa expired.

Hasilnya? Ya, dagelan basi. Boleh sih, punya pendapat sesinting dan sedengki apa pun. Cuma ya, nggak usah pake nyerang mereka yang punya pilihan beda, bahkan sampai menghina dan menakut-nakuti segala. Emang mereka bakal langsung nurut dan berubah pikiran?

Nggak usah ngambek juga kalau dikritik sama yang nggak sepakat. Hanya yang benar-benar dewasa yang bisa menerima perbedaan. Kalau lagaknya juga kurang santun gitu, mana ada orang waras yang tahan?

Jujur, saya paling nggak suka disindir-sindir, diancam-ancam, maupun ditakut-takutin. Biasanya, laki-laki macam ini malah bikin saya alergi. Udah nggak percaya diri, masih harus merendahkan orang lain hanya agar membuat dirinya merasa lebih ‘tinggi’.

Semoga masih dan makin banyak orang Indonesia yang mengerti arti privasi. Jadi, nggak ada lagi yang bikin sesak dan sok mendikte sana-sini…

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“SEBUAH KEJATUHAN”

Foto: kriminalitas.com

“SEBUAH KEJATUHAN”

Biarkan…

Biarkan semua tanya

mengambang di udara

Mengapa dan bagaimana bisa?

 

Biarkan kecewa meraja

tanpa mau tahu alasannya

Ingin bicara

meski telah hilang rasa

 

Biarkan…

Biarkan mereka mengira-ngira

Ada 1001 teori di sana

tentang kau yang selalu dianggap kalah berlomba

 

Sekali lagi,

hadapi kejatuhanmu sendiri

Mereka yang berharap terlalu tinggi

kini mana mau peduli…

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #fiksimini #lomba #menulis

“DI MATAKU”

“DI MATAKU”

Aku bisa duduk berjam-jam, mendengarkan ceritamu tentangnya.Deskripsimu tentangnya memungkinkanku untuk membayangkannya dengan mata terpejam. Rambutnya yang cokelat panjang dengan semburat merah di bawah sinar matahari. Matanya yang biru…yang membuatmu tidak keberatan terpesona olehnya. Senyumnya…ah, haruskah kulanjutkan?

Seperti biasa, kubiarkan kamu terus mengoceh. Kubuat pensilku menari-nari dengan luwes di atas kertas putih, seperti skater di gelanggang es. Terkadang aku hanya bergumam:”Ya.” Kadang aku terkikik melihat ekspresimu. Mata cokelatmu tampak bercahaya.

Aku tersenyum saat matamu tiba-tiba melembut. Salut buat Dewa Cinta Yunani bernama Cupid. Lihatlah bagaimana anak panahnya ini memberi efek permanen padamu.

Hari itu, tiba-tiba kamu berhenti berbicara dan melihatku menatapmu. Menyadari yang sedang kulakukan, tanganmu perlahan terentang ke depan.

“Boleh nggak, lihat itu?”

“Jangan dulu!” Dengan cepat kulindungi buku sketsaku. Ketika kamu cemberut, kuraih tanganmu sambil tersenyum lembut. “Nanti, ya, kalau aku udah selesai. Janji, kok.”

Senyummu muncul kembali dan kamu pun menurut. Selesai menggambar, kutunjukkan hasilnya padamu.

“Ya, Tuhan!” desismu penuh kekaguman. Kau menatapku dan sketsa itu bergantian, nyaris kehilangan kata-kata. “Dia…”

“Ya.”

“Dia sangat cantik,” pujimu dengan suara agak gemetar oleh emosi. “Kamu membuatnya terlihat lebih cantik di sini.”

“Lha, bukannya katamu dia memang cantik?” aku menggodamu dengan alis terangkat sebelah. Kamu pun terkekeh.

 

Saya mengambil buku sketsa saya dari tangan Anda. Dengan hati-hati aku merobek kertas itu dan menyerahkannya padamu. Ah, sial kau. Kenapa matamu tiba-tiba jadi berkaca-kaca begitu?

Aduh, jangan nangis, dong.

“Terima kasih.” Lalu aku hampir tersedak oleh pelukanmu yang tiba-tiba. Setelah kamu melepaskanku, aku terdiam sesaat.

Andai saja, semua orang bisa sebahagia dirimu…

“Jangan khawatir, aku akan menggambar dia yang versi warna-warni,” ucapku kemudian, dengan agak canggung. “Ngomong-ngomong, kapan akad sama resepsinya?”

“Segera, kamu bakalan mendapatkan undangannya.”

— // —

Malam itu, aku sendirian di kamarku. Berbaring di tempat tidur, menatap dinding yang penuh kertas bergambar sketsa wajah yang sama, namun dengan ekspresi berbeda. Sebagian seakan menatapku balik.

Wajahmu…

Aku menghela napas. Harus kuapakan semua ini?

Kurasakan perhatianku terfokus pada salah satu wajah itu. Aku bangun untuk memandangnya lebih dekat. Kamu yang sedang tersenyum, saat pertama kali bercerita tentangnya. Entah kenapa, aku bisa menangkap cahaya itu di matamu.

Dengan hati-hati, kucopot kertas itu dari dinding dan melepas selotipnya dari semua sisi. Tiba-tiba aku ingin memberikan gambar itu padanya. Ingin kukatakan padanya, “Kamu tahu? Dia selalu seperti ini setiap kali membicarakanmu.”

Lalu, seperti yang sudah kujanjikan, kamu akan mendapatkan satu lagi sketsa berwarna wajah cinta sejatimu.

Restu dari seorang sahabat.

-tamat-

Categories
#catatan-harian #menulis

“Perangi Gagal Jantung Bersama BPJS Kesehatan dan Novartis”

Apa yang ada di benak Anda saat membaca fakta di bawah ini?

“80% penyakit tidak menular (termasuk gagal jantung) disebabkan oleh pilihan gaya hidup yang tidak sehat.”

Mungkin Anda sudah terlalu sering mendengarnya, baik saat membaca majalah kesehatan dan gaya hidup atau artikel kesehatan online. Mungkin juga, Anda kenal seseorang yang menderita gagal jantung, sehingga aktifitas mereka jadi sangat terbatas.

Sabtu kemarin (29/06/2017), saya termasuk salah satu blogger yang beruntung diundang ke acara pengenalan produk Novartis di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, menjelang waktu makan siang. Hadirnya Profesor Bambang Budi Siswanto, MD, profesor dalam bidang pengobatan kardiovaskular, Profesor David Sim dari National Heart Centre di Singapore, Ibu Lily dari BPJS Kesehatan, dan Milan Paleja selaku General Manager Pharma, President Director Novartis Indonesia, semakin menyadarkan kita mengenai pentingnya menjaga kesehatan tubuh – terutama jantung.

Acara ini berawal dari video animasi mengenai seorang nenek yang selalu tampak lelah sehingga tidak bisa lagi mengajak anjingnya jalan-jalan. Sang cucu (narator) kemudian bercerita bahwa setelah neneknya mulai mengonsumsi produk Novartis, kesehatannya perlahan membaik.

Ada juga video kisah nyata seorang guru perokok bernama Syahrudi yang waktu itu berusia 47 tahun. Saat akhirnya divonis menderita gagal jantung, mau tidak mau seluruh hidupnya harus berubah. Tidak ada lagi acara hiking, makan-makan enak, hingga merokok pun harus berhenti total.

Gagal jantung adalah kondisi kesehatan serius, yaitu saat jantung tidak bisa lagi memompa darah yang cukup ke seluruh tubuh. Otot-otot jantung yang melemah membuat pasokan oksigen yang berasal dari dalam darah tidak tersebar dengan sempurna. Akibatnya, tubuh pun mudah lelah.

Sayangnya, masih banyak orang Indonesia yang salah kaprah soal gagal jantung. Kebanyakan baru memeriksakan diri ke dokter setelah merasakan gejala serius…atau saat sudah parah sekali. Selain itu, sekalinya seseorang divonis menderita gagal jantung oleh dokter, berarti selamanya dia akan tergantung sama obat.

Ibu Lily juga menyarankan agar mengikuti tahapan CERDIK, yaitu:

– Cek kesehatan secara berkala.

– Enyahkan asap rokok.

– Rajin aktifitas fisik.

– Diet sehat.

– Kalori seimbang.

Milan Paleja juga hadir untuk mengenalkan produk Novartis kepada masyarakat. Namun, apa pun obatnya, kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan jantung tetap harus jadi yang utama.

Semoga dengan adanya Novartis, perang melawan gagal jantung dapat dimenangkan. Masa depan Indonesia sudah sangat terancam karenanya.