“5 KARAKTER YANG BIASA JADI TERSANGKA PEMBUNUH DALAM FILM-FILM THRILLER”
Ngomongin penjahat atau monster legendaris dalam film-film horor mah, udah biasa. Nah, gimana dengan film-film thriller? Justru karena penjahatnya sesama manusia (dan bisa langsung megang juga), malah makin seram jadinya.
Nah, buat yang suka film-film thriller dengan tokoh pembunuh manusia, pasti suka lihat kelima (5) karakter ini yang biasa jadi tersangka pembunuh. Padahal, belum tentu. Seperti apa sajakah mereka?
Si aneh.
Karena kelakuan maupun penampilan mereka dianggap ‘ganjil’, begitu ada kejadian buruk, mereka duluan yang kena tuduh. Contoh: laki-laki tua gila berwajah seram, gadis kuper penyuka ilmu klenik, hingga laki-laki canggung yang hobi memaksa perempuan pas PDKT (pendekatan). Ada lagi, nggak?
2. Si pemarah.
“Gue bunuh lo kalo ampe ketemu lagi!” Suka ketemu model begini? Begitu yang diancam besoknya ditemukan dalam keadaan habis dibantai, tersangka pertama pasti orang yang terakhir ngancem-ngancem bakalan bunuh. Saran: hati-hati kalau marah di depan umum. Mulutmu, harimaumu.
3. Si masa lalu kelam.
Ini juga kasihan sih, sebenarnya. Nggak ada yang mau di-judge karena kesalahan masa lalu mereka. Misalnya: dulu pernah terlibat kasus kekerasan, nggak sengaja membunuh orang, dan sejenisnya. Mukanya nggak perlu seram sih, tapi begitu polisi ngeluarin datanya dari berkas kasus lama mereka…yah, gitu deh.
4. Si rival.
Nggak semua rival korban pembunuhan bersikap aneh, pemarah, atau terang-terangan menunjukkan rasa nggak suka. Misalnya: saingan untuk posisi peran utama dalam pagelaran teater hingga yang seremeh rebutan pacar idaman. Celakanya, gara-gara udah sering ada kasus serupa, si rival ikut kena tuduhan.
5. Si pecemburu.
Si pecemburu juga cukup kompleks. Misalnya: ada mantan pacar yang berubah jadi psycho stalker begitu diputusin. Ada yang pemarah dan selalu berusaha membalas si korban terang-terangan, meskipun nggak sampai membunuh. Ada yang sengaja bersaing dengan cara licik agar si korban kalah, entah dalam apa pun.
Twist-nya: Bisa jadi daftar di atas SALAH SEMUA!
Kok bisa? Sama seperti di dunia nyata, kita cenderung melihat apa yang kita ingin lihat. Orang yang sering kita anggap aneh bisa saja orang yang kemudian menjadi penyelamat kita. Bisa jadi selama ini mereka hanya unik dan bukan tipe yang suka ikut campur urusan orang lain.
Banyak orang pemarah yang kemudian menyesali ucapan mereka. Begitu pula mereka yang punya masa lalu kelam. Soal rival dan sosok pecemburu juga lihat-lhat dulu. Rival yang waras pasti masih memilih jalan yang nggak akan menyulitkan mereka sendiri di kemudian hari. Sosok pecemburu bisa saja ingin kembali memenangkan kekasih hati, bukan hanya membalas sakit hati.
Untuk film thriller yang oke, pelaku pembunuhan yang sebenarnya sering banget di luar dugaan, seperti:
Si cupu.
Hati-hati bila selama ini kamu termasuk yang suka mem-bully orang yang biasa kamu anggap cupu dan nggak cool. Dalam film-film thriller, pembalasan dari mereka biasanya dua kali lebih mengerikan.
2. Si penakut.
Kesal dengan si penakut? Hmm, awas. Bisa saja selama ini mereka pura-pura, menunggu semua orang sebelum ‘membuka topeng’ mereka. Kadang mereka memang sengaja merepotkan semua orang, hanya agar pada akhirnya nanti – hanya mereka yang selamat!
3. ‘Teman semua orang’.
Lho, kok bisa? Mungkin kesannya kita jadi parno ya, seperti para profiler FBI di serial “Criminal Minds”. Salah satu tersangka potensial adalah mereka yang justru kelihatan baik-baik saja di depan semua orang. Baik, ramah, perhatian, dan rajin menolong – bahkan termasuk sama aparat hukum. Denger-denger kemungkinan besar mereka menderita narsisisme dan ‘superhero complex’, ingin dianggap baik sama semua orang. Padahal, bisa jadi mereka juga biang kerok masalah yang kemudian ‘sok-sok’ mereka ‘tangani’.
Hmm, mungkin ini kesannya jadi bikin kita parno maupun jadi curigaan sama semua orang. Ah, namanya juga film. Tapi, boleh juga jadi acuan agar jangan mudah juga berprasangka sama orang, mau itu yang kelakuannya baik banget atau malah aneh dan kesannya galak banget, gitu.
Kita nggak pernah tahu…(ooooh… *backsound suara serem*)
Oke, mungkin harusnya saya nulis ini pas semua orang lagi pada ngeributin harga cabe. Tapi harap maklum, orang sibuk kadang baru keingetnya sekarang-sekarang.
Banyak yang berasumsi semua orang Indonesia pasti doyan pedas. Mungkin gara-gara rendang dari Padang udah kepalang ngetop secara global. Mungkin karena emang banyak menu Nusantara yang pakai sambal.
Sebenarnya, saya juga ogah memamerkan fakta bahwa sebagai orang Indonesia, saya malah nggak suka pedas. Habis, perlakuan yang didapat justru malah bikin tambah ‘panas’.
“Kok nggak suka sambal? Aneh, deh.”
“Mana enak makan gitu doang? Makan paling nikmat itu pake sambel kali.”
“Cobain dikit aja, deh. Nggak se-lebay itu kok, pedesnya.”
Halah, maksain selera banget! Padahal, lidah dan selera tiap orang ‘kan beda-beda.
Giliran saya maksain makan yang pedas-pedas, hasilnya ya gini:
Harus nenggak barang tiga – lima gelas minuman dingin, berhubung lidah kayak kebakar. Lebay?
Sakit perut nggak kira-kira. Rekor paling jempolan adalah saat kari India sukses bikin isi perut masih panas selama tiga hari berturut-turut!
Mulas dan muntah-muntah.
Jangan harap simpati dari pencinta sambal yang suka nggak sadar kalau mereka itu egosentris. Nggak semua sih, tapi ada. Komen favorit mereka kayak gini:
“Halah, lebay. Baru gitu doang udah kepedesan.”
Ngeselin banget, ‘kan? Entah karena lidah mereka udah lama ikutan ‘pedas’ atau kelewat bangga karena merasa kuat menerima ‘pedas’ – nya masakan maupun komentar dari mahluk lain.
Hmm, apa jangan-jangan saya aja yang suka sama sesuatu yang serba pahit, seperti halnya kehidupan? Nggak nyambung, memang. Bodo amat.
“7 KESALAHAN KONYOL KHAS KARAKTER FILM HOROR/THRILLER“
Suka nonton film-film horor? Pasti gemes dong, melihat para korban yang mati konyol? Padahal, sebenarnya mereka bisa lho, menghindari bencana dengan nggak melakukan hal-hal konyol.
Tapi, namanya juga film horor. Kalau nggak dilakukan, nggak bakalan jadi cerita.
Jadi, apa saja 7 kesalahan konyol yang kerap dilakukan para korban di film-film horor? Ini dia daftarnya:
1. Sok-sok penasaran ekspedisi ke tempat-tempat misterius.
Ini sering jadi awal cerita film horor. Entah itu tempat gelap dan sepi, rumah tua nggak berpenghuni, sampai tempat yang ada ‘sejarah kelam’-nya. Meski rada deg-degan (apalagi ditambah ‘suara-suara misterius’, seperti: desahan, lolongan, atau deritan), tetap saja para tokoh ini nekat menyelidiki tempat misterius.
Di dunia nyata? Mending jauh-jauh deh, daripada celaka.
2. Sudah ke tempat yang misterius, ngajakin teman yang lemah dan penakut lagi.
“Yakin kita masuk ke sini?” Pertanyaan ini lazim keluar dari mulut si teman yang penakut dan lemah, namun anehnya tetap ngikut aja. Masalahnya, begitu bahaya menghadang, ada dua kemungkinan: mereka kabur menyelamatkan diri sendiri atau malah nyusahin, karena nggak bisa gerak atau lambat sekali larinya akibat shock. Paling apes kalo mereka pun nggak punya kemampuan bertahan atau membela diri. Kelar deh, hidupnya.
Di dunia nyata, dengarkanlah sahabat penakut ini. Bisa jadi insting mereka kuat dan dapat menyelamatkan nyawa kalian.
3. Nggak nyiapin strategi kabur atau bertahan hidup bila bahaya datang.
Nggak kenal medan dan situasi sama saja cari mati. Saat bahaya datang, biasanya korban mendadak panik dan lupa jalan keluar untuk kabur. Paling parah bila mereka nggak nemu atau bawa senjata yang bisa dipakai untuk melawan dan melindungi diri. Nah, lho.
Di dunia nyata, tips ini juga berlaku: saat mengunjungi tempat baru (apalagi seorang diri), jangan pernah lupakan pintu keluar atau jalur alternatif. Ada peta atau GPS pada ponsel lebih baik lagi. (Tentu saja, selama ponsel itu dapat menangkap sinyal. Kalau nggak ya, sama aja.)
Semua benda bisa jadi senjata bila kepepet. Tapi, kalau nggak yakin bisa melindungi diri sendiri (apalagi orang lain), lebih baik nggak usah aneh-aneh, deh.
4. Nggak baca doa dan malah melanggar ‘pantangan’ setempat.
Ini banyak muncul di film-film Indonesia. Sebelum masuk ke tempat asing dan misterius, korban suka lupa baca doa dulu. Selain itu, ‘pantangan’ yang sudah diwanti-wanti warga setempat malah dilanggar, terutama dengan alasan “nggak percaya sama takhyul”.
Begitu kena masalah, barulah ribut. Syukur-syukur kalau ada pemuka agama setempat yang bisa menghilangkan ‘kutukan’ yang terlanjur menempel pada korban. Kalau nggak, hiii…
Intinya adalah menghormati budaya setempat dan meminta perlindungan pada Tuhan. Kalau nggak ngerti apa-apa, sebaiknya Sahabat jangan nekat dan sok tahu.
5. Saat dikejar monster atau pembunuh, kaburnya malah ke tempat sepi, gelap, dan terpojok. (Contoh: lantai atas atau gudang bawah tanah.)
Namanya juga panik, tapi tetap konyol. Saat dikejar monster atau pembunuh, kaburnya malah ke lantai atas atau gudang bawah tanah. Pokoknya ke pojokan, deh. Selain nggak bisa cari pertolongan dengan mudah, lantai atas dan gudang bawah tanah bukan pilihan kabur yang ideal. Masa mau terjun bebas dari balkon atau nekat menggali dinding sendiri di gudang bawah tanah? Mana sempat.
Di dunia nyata, kabur ke tempat terang dan banyak orang adalah solusi terbaik. Lain cerita kalau satu kota sudah kejangkitan virus dan jadi zombie semua…
6. Emosian, salah tuduh, hingga bersikap egois.
Saat situasi genting, emosi memang mudah tersulut. Makanya, tokoh survivor dalam film horor atau thriller biasanya yang berkepala dingin, termasuk bisa memimpin yang lain dalam usaha menyelamatkan diri.
Potensi salah tuduh dan bersikap egois bisa terjadi bila monsternya bisa ‘berkamuflase’ jadi sesama manusia atau pembunuh aslinya belum ketahuan. Yang egois akan tega ‘mengorbankan’ teman-teman seperjuangan demi menyelamatkan diri sendiri. Yang salah tuduh bisa memicu perselisihan, perkelahian, hingga…saling membunuh.
Semuanya sama-sama merugikan. Yang egois bisa kena karma, yang saling tuduh bisa saling bunuh. Bila jumlah orang berkurang, berarti kamu juga kehilangan bantuan untuk keluar dari masalah. Mending saling kerja sama, meskipun berhati-hati juga wajib.
7. Nggak buru-buru kabur saat berhasil mengalahkan/membunuh monster/penjahatnya.
Ini termasuk mati konyol paling fatal di film horor. Bukannya buru-buru kabur, malah masih nongkrong di dekat-dekat tubuh monster/penjahatnya. Gimana kalau mereka tiba-tiba bangun dan balas menyerang, alias belum benar-benar mati? Apalagi bila si tokoh malah membelakangi tubuh monster/penjahatnya.
Ada pesan moral dalam adegan semacam ini: telitilah dan jangan setengah-setengah dalam bekerja.Bila nggak yakin monster/penjahatnya sudah mati, ikatlah tangan dan kaki mereka sebelum siuman. Lalu, kaburlah sejauh-jauhnya kembali ke peradaban manusia. Carilah bantuan.
Nah, itulah 7 kesalahan konyol yang kerap dilakukan para korban dalam film-film horor. Ada yang lain lagi, mungkin?
“Ih, baru gitu aja udah baper. Ntar pada males temenan, lho.”
“Nggak ada gunanya juga marah-marah.”
Sering banget denger komentar-komentar sejenis? Pernah juga keluar dari mulut sendiri?
Sekilas, kesannya bijak sekali, ya. Marah-marah memang sebenarnya nggak bagus buat kesehatan. Masih banyak cara lain untuk menyelesaikan masalah. Bahkan, yang cukup (atau mungkin lebih) religius mungkin akan rajin mengingatkan dengan dua kata “sakti bin pamungkas” ini:
“Sabar…”
“Ikhlas…”
Belum lagi ada tambahan: “Memang nggak gampang.” (Iye, semua juga tahu.) Namun, tahu nggak, kalau nggak marah pada saat Anda seharusnya marah sesungguhnya merugikan? Memangnya Anda bukan manusia?
Kadang saya suka geli mendengar ketiga nasihat polos dan klise di atas. Marah nggak marah, toh semua orang juga bakalan tua.
Lalu, ancaman ‘nggak bakalan punya teman’ juga seperti menakut-nakuti anak kecil saja. Memang, orang pemarah bukan sosok yang selalu menyenangkan.
Cuma, lebih eneg mana sama orang yang pura-pura baik-baik saja, padahal sesungguhnya terluka dan nggak bisa terima? Selain itu, banyak juga kok, orang yang kelakuannya nyebelin tapi masih punya banyak temen. Perkara temen sungguhan atau ‘musuh dalam selimut’, saya juga nggak tahu, ya. Bukan cenayang, sih.
Marah-marah nggak guna? Belum tentu. Buktinya, ini ada lima (5) alasan kadang Anda memang perlu marah:
Ada hak Anda yang dilanggar.
Apa jadinya kalau setiap kali ada yang semena-mena, Anda malah diam saja dan menganggapnya biasa? Masih bisa senyum pula. Bisa jadi malah banyak yang nggak respek. Padahal, Anda berhak lho, membela diri bila hak Anda dilanggar. Apalagi bila sudah ngomong baik-baik, mereka malah tambah kurang ajar.
Anda masih manusia biasa.
Memang, sabar itu baik. Sabar tak berbatas katanya mendatangkan banyak pahala.
Tapi, siapa mereka yang dengan egoisnya menuntut Anda untuk selalu sabar, meski harga diri sudah diinjak-injak sedemikian rupa? Apalagi bila yang menyuruh justru orang yang hobi merundung Anda setengah mati. Nggak ngaca, apa? Kadang maaf hanya berguna bagi mereka yang benar-benar sudi belajar dari kesalahan mereka.
Ada yang memang harus berubah.
Banyak perubahan yang memang nggak mungkin terjadi dalam sekejap. Tapi, kalau kita terus terima-terima saja perlakuan buruk dari orang lain – bahkan sampai berkali-kali – kesehatan mental kita yang malah jadi tumbal.
Nggak mau ‘kan, mendadak Anda meledak dan membalas mereka dengan cara lebih parah, karena sudah kelamaan diam saat diperlakukan semena-mena?
Bukan hanya untuk Anda.
Kata siapa marah selalu berarti baper atau kelewat sensi, atau ekspresi untuk membela diri? Marah juga berupa teguran keras buat mereka agar nggak lagi kurang ajar sama Anda. Bisa jadi, selama ini mereka belum tahu kalau yang mereka lakukan itu salah. Kalau nggak ditegur (apalagi dengan cara keras seperti marah), kapan sih, mereka sadarnya?
Anda masih peduli dengan mereka.
Ini berlaku bila kebetulan yang bikin murka justru orang-orang terdekat Anda sendiri. Toh, niat Anda baik. Anda hanya ingin mereka berubah ke arah yang lebih baik.
Contoh: anggota keluarga masih saja ada yang suka melontarkan lelucon cabul dan seksis. Selain nggak sopan, kurang ajar, dan menjijikan, sebenarnya mereka merendahkan si objek lelucon. Wajar dong, bila lama-lama Anda marah dan menegur?
Memangnya Anda tega, melihat mereka terus memelihara kebiasaan brengsek tersebut?
Tapi, bagaimana bila mereka masih ngeyel juga, bahkan meski Anda sudah marah sampai ke ubun-ubun?
Ya, sudah. Berarti serahkan saja sisanya pada Tuhan. (Lebih seram bukan, bila ganjarannya dari Beliau?) Toh, yang penting Anda sudah berusaha mengingatkan.
Intinya, kadang Anda memang perlu – dan berhak – untuk marah. Ya, asal porsinya tepat aja.
“Dia ‘kan ganteng gitu. Emang mau sama elo yang kucel dan nggak dandan?”
Sering banget denger yang kayak begini, baik dari orang dikenal hingga yang enggak sama sekali, namun sotoy-nya tingkat dewa?
Jangan-jangan, malah Anda yang hobi ngoceh begini. Bisa ke anggota keluarga sendiri (mungkin yang termuda, seperti: adik, anak, ponakan, atau…hmm, cucu mungkin?), teman, hingga orang yang Anda nggak kenal. Pokoknya, asal ceplos saja dengan enaknya. Apalagi bila Anda pegang ‘kartu umur’ yang lebih tua. Entah kenapa, lingkungan sepertinya juga memberikan Anda priviledge ekstra untuk ngomong sesukanya, tanpa peduli mereka yang pasti bakalan terluka.
Gimana kalo mereka sakit hati? Gampang aja. Anda cukup andalkan beberapa contoh dialog di bawah ini sebagai strategi ‘pembungkaman’ (gaslighting)paling ‘manis’ (huek!)
“Gitu aja marah. Cuma bercanda kali.”
“Orang kalo ngomong kayak gini tuh, tandanya perhatian.” (Hmm, kayaknya yang ngomong gini suka nggak sadar deh, kalau perhatian ‘bablas’ itu 11-12 sama usil/kepo akut. Apalagi kalau sudah sampai tahap menghakimi dan ngebawelin tiap hari. Minta ditimpuk banget nggak, sih?)
“Lha, emang kenyataan, ‘kan?”
Iya, kenyataan. Percaya deh, target Anda itu nggak buta dan nggak bego. Kenapa? Karena bukan Anda satu-satunya yang ‘rajin ngingetin’ mereka tiap kali ketemu, kayak mereka belum pernah kenal cermin aja. Banyak yang kelakuannya kayak Anda dan sayangnya dianggap normal pula.
Sebenarnya, kata ‘gemuk’ itu hanya kata sifat biasa, deskripsi seseorang seperti ‘tinggi’, ‘pendek’, ‘kurus’, hingga ‘berotot’. Kenapa jadi terdengar jelek dan negatif? Ya, lagi-lagi gara-gara standar kecantikan/ketampanan yang menurut saya ‘sialan’ banget. (Ya, saya semuak ini.)
Mungkin saya termasuk salah satu yang (akhirnya) cukup beruntung di sini. Saya punya orang-orang terdekat yang menerima saya apa adanya. Saya juga harus menerima kenyataan bahwa…yah, akan selalu ada mulut brengsek yang hobi menilai orang dari penampilan luar saja.
Namun, tidak semua orang seberuntung saya. Ada yang terus-menerus dirisak/dirundung, baik oleh keluarga sendiri, orang-orang yang mengaku teman, hingga mereka yang sebenarnya sama sekali nggak kenal, namun sayangnya hobi sekali ikut campur.
Sebenarnya ada banyak, namun biar nggak pada eneg, saya kasih sepuluh aja efek parah ‘body-shaming’. Sisanya boleh cari sendiri. Gampang banget, kok. Banyak lagi.
Sebagai anak dan remaja jadi malas keluar rumah. Ngapain? Mending di kamar, dengerin musik sambil baca buku dan nulis. Seenggaknya, semua itu nggak bakalan bikin Anda kecewa dan sakit hati kayak kalau berurusan dengan sesama manusia. Tidak peduli ayah Anda sering menegur begini, “Keluarlah. Dunia luar itu menarik, lho.”
Sulit berteman. Sekalinya punya teman, jatuhnya bisa canggung, sulit terbuka, sok cuek padahal sebenarnya sayang banget, hingga…posesif.
Ada teman yang selalu bercanda soal betapa gendutnya Anda. Sekali dan dua kali masih okelah. Tiap kali ketemu? Tendang aja dari daftar VIP Anda. Apalagi kalau udah rajin banget mempermalukan Anda di depan umum, seperti mengomentari cara makan Anda saat di resto. Ngajak berantem banget, ‘kan?
Punya kebencian (kadang sampai ekstrim) pada mereka yang (dianggap) lebih cantik / tampan di mata masyarakat. Padahal, belum tentu itu salah mereka.
Teman-teman lelah mendengar keluhan Anda seputar berat badan/warna kulit/dan lain-lain.
Sulit percaya sama pernyataan cinta atau sayang dari orang lain. Bahkan, ada yang sampai butuh second opinion segala, baik dari keluarga maupun teman yang dipercaya.
Mudah tersulut amarah dan benci sama orang-orang yang bilang Anda baru bisa dapat pacar dengan mudah kalau sudah lebih kurus atau putih. Nggak peduli kalau ucapan sadis itu datang dari keluarga sendiri. Keluarga apa keluarga, sih?
Ingin tahu rasanya menyakiti orang lain seperti Anda disakiti. Cuma begitu mencoba sendiri, rasanya ternyata nggak enak. Seenggaknya, Anda bisa tahu kalau pelaku ‘body-shaming’ sesungguhnya orang-orang yang minderan sama diri sendiri, namun terlalu pengecut untuk mengakui. Jadinya melampiaskan rasa frustrasi mereka ke orang lain terus, apalagi yang nggak pernah usil sama urusan pribadi mereka.
Udah males banget berbagi cerita sama orang-orang tertentu. Misalnya: mau menunjukkan rekaman video Anda lagi manggung – entah membaca puisi atau menyanyi, komentar mereka malah: “Kamu kok gendutan di sini?” Yuk, mari.
Banyak istri bersedih karena ibu mertua. Mengapa? Bukannya nggak mau mencoba akur dan respek, ya. Gimana nggak eneg kalo setiap usaha untuk menyenangkan suami dan mertua seakan dianggap nggak pernah cukup, karena lagi-lagi komentar nyinyir mertua hanya seputar berat badan dan penampilan? Bukankah sesama perempuan harusnya saling support?
Masih banyak contoh lain. Boleh saja menganggap saya terlalu sensi dan baperan, tapi coba mikir lagi, deh. Kenapa hanya korban ‘body-shaming’ yang disuruh ‘SABAR’ atau “memperbaiki diri” (minimal biar nggak dikatain lagi), sementara yang kelihatan adalah pelakunya nggak pernah ada yang ditegur buat jaga mulut?