Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“CUKUP UNTUKMU”

“CUKUP UNTUKMU”

Terima kasih

Kau tidak berharap

aku harus secantik bidadari

Tuntutanmu tak pernah kalap

 

Kau biarkan aku melihat

kilasan-kilasan lampau

dalam bait-bait sajak

berisi semua lukamu

 

Aku tidak bisa berjanji

akan sempurna setengah mati

Yang kutahu,

kuingin kau merasa aman di hatiku

Begitu pula aku di hadapanmu

 

Semoga aku cukup baik untukmu

seperti kamu yang telah baik padaku

dan ada dari-Nya, berupa restu…

 

R.

(Jakarta, 26 Februari 2018 – 11:15)

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“MENJADI (PENULIS) NYINYIR”

“MENJADI (PENULIS) NYINYIR”

Apa sih, untungnya menjadi (penulis) yang suka nyinyir? Apa bedanya sama tukang gosip yang pakai mulut?

Entah apa saya termasuk penulis yang suka nyinyir. Kalau pun ya, memangnya kenapa? Bisa jadi, saya nyinyir untuk alasan yang tepat. Bisa jadi, selama ini saya (merasa?) kurang didengar atau bahkan tidak dianggap. Tapi, ah…namanya juga beda pendapat. Boleh sepakat maupun tidak.

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“TAKUT YANG NYATA”

“TAKUT YANG NYATA”

Aku tidak ingat
kapan terakhir kali menangis di pelukan seseorang.
Mungkin aku hanya berusaha lupa
agar selalu kuat.
Ada kalanya, semua harus dijalani sendirian.

Mungkin kamu akan bertanya-tanya
apakah aku sedingin ini adanya.
Aku bukan orang yang mudah
apalagi terbuka untuk urusan cinta.
Ada takut yang nyata
seperti kembali ditinggal saat mulai merasa.

Semoga kamu nyata
bukan cuma janji dan akhirnya sama
atau malah lebih parah dari mereka.

#puisiJanuari2018
#tentangakudanpujangga
#takutyangnyata

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“BEDA KRITIK SAMA HINAAN”

“BEDA KRITIK SAMA HINAAN”

“Baru dikritik doang udah baperan. Ngambekan amat sih, jadi orang?”

“Boleh aja elo gak suka ama cara gue. Tapi gak usah hina-hina gue segala!”

Kenapa ada orang yang begitu mudahnya tersinggung dengan kritikan, sehingga langsung menyamakannya dengan serangan untuk merendahkan atau hinaan? Kenapa ada orang yang merasa hanya mengkritik, padahal jelas-jelas ucapannya dibarengi dengan makian dan sumpah serapah?

Susah, memang. Sekarang sudah makin banyak yang pandai beralasan. Usia tua bukan jaminan tambah bijak, sabar, dan dewasa. Yang ada makin jumawa dan yang waras disuruh mengalah.

Mau mengalah sampai kapan? Sampai jumlah orang brengsek di dunia bertambah dan keluhan saja nggak lagi berguna? Mau sampai ikutan gila karena kalah suara?

Saya akui, saya sendiri termasuk pribadi sensitif. Menurut saya, ini sama sekali bukan hal buruk atau pun hina. Nggak harus juga selalu dikaitkan dengan gender saya, karena laki-laki ada juga yang perasa. (Kalo enggak, ngapain mereka sampai bikin rusuh di stadion hanya gara-gara tim sepak bola andalan mereka kalah?)

Namun, apakah lantas saya jadi gagal paham, sulit bedain antara kritik dengan hinaan? Apakah semuanya mau saya pukul rata demi ego saya? Apakah lantas saya akan menyerang semua orang, hanya gara-gara mereka nggak suka dengan cara saya bekerja?

Saya kasih contoh, ya. Sebagai sosok chubby di Indonesia, bodi saya nggak pernah jauh-jauh dari bahan ledekan, bahkan sama mereka yang nggak kenal tapi merasa sok lebih dekat sama saya. Entah kenapa, ada aja mulut usil yang gatal rajin ‘ngingetin’ betapa gendutnya saya dan bila kurus, mungkin bakal lebih banyak cowok yang mau sama saya.

Padahal, saya nggak pernah merasa menyewa mereka semua sebagai AP (Asisten Pribadi), ahli nutrisi, maupun personal trainer saya. (Kemungkinan besar, saya juga belum tentu mau meski sanggup membayar mereka semua. *sombong*) Saya juga tahu cara pakai cermin, yang berarti nggak sebego itu sampai harus terus diingetin. Lucu, ya?

Maunya sih, nyebut itu sebagai #basabasibusukbedebah , tapi nanti saya dituduh menghina. Padahal yang mulai duluan juga siapa? Hahaha.

Mereka bikin saya kesal, itu pasti. Yang punya badan siapa, kok yang ribut mereka? Tapi, apakah lantas saya akan balas menyakiti mereka semua, biar puas ego saya? Rasanya konyol sekali, seolah-olah komentar mereka semua penting harga mati. Toh, mau saya segede truk atau seramping manekin toko (iya kalo bisa!), itu urusan saya.

Oke, sekarang saya kasih satu contoh lagi, ya. Gimana kalo kerjaan saya yang dikritik? Ya, seperti lazimnya semua orang (yang harusnya bijak dan benar-benar dewasa), ada dua (2) pilihan, sih:

  1. Anggap aja kritikan itu teguran agar kerja kita lebih baik berikutnya.
  2. Ngambek, terus merasa yang mengkritik berusaha merendahkan kita di depan umum. Bahkan, nggak jarang sebagian dari kita memilih untuk balas dendam dengan berusaha menyusahkan si pemberi kritik. Bela harga diri sampai mati.

Idealnya sih, semua orang (yang katanya dewasa) ya milih nomor satu. Sayangnya nggak gitu. Banyak juga yang baperan dan milih nomor dua. Dewasa nggak penting, kuasa yang utama.

Hmm, jika gini caranya, saya khawatir bila Anda menjabat sebagai pemimpin apa pun. Bisa-bisa bawahan Anda bakalan ada yang stres, kena gangguan jiwa, hingga bunuh diri. Serius, tapi jangan-jangan Anda memang nggak peduli.

Mungkin juga bakalan ada yang nggak tahan dan akhirnya berusaha menjatuhkan Anda beneran, seperti paranoia Anda selama ini. Habis gimana? Menuntut respek mereka pake cara preman, sih. Dikit-dikit ngancem.

Semoga tulisan saya ini bisa jadi pencerahan mengenai cara membedakan dan menyikapi kritikan dan hinaan. Kalo enggak, anggap saja saya gagal bikin orang paham, terutama mereka yang kebetulan (merasa) punya kuasa.

Dengan kata lain, anggap saja pendapat saya ini tiada artinya. Ah, sudah biasa.

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“MARI BERPRASANGKA”

“MARI BERPRASANGKA”

 

Mari berprasangka

demi seiya dan sekata

dengan pemangku kebijakan

dengan pembuat aturan

 

Mari berprasangka

meski terkecoh tampak luarnya

Telanjangi mereka

Permalukan pada dunia

 

Mari berprasangka

agar jiwamu yang beringas

bisa semakin puas

bagai monster haus darah nan buas

 

Anggap saja privasi

apalagi hak asasi

hanyalah alasan para bedebah

yang sengaja dicari-cari

 

Mari,

tanpa peduli

bila suatu saat nanti

semua dapat gilirannya sendiri

 

Hiii…

 

R.

(Jakarta, 7 Februari 2018 – 18:00)

 

Categories
#catatan-harian #menulis

TERKESAN REMEH TAPI FATAL – ETIKET DI GRUP WA

“TERKESAN REMEH TAPI FATAL: CUEK SAMA ETIKET MEMBER GRUP WA”

Siapa yang Whatsapp-nya berat akibat banyak grup di dalamnya? (Saya pun tunjuk tangan.)

Mungkin ini karena pada dasarnya, orang Indonesia masih paling senang ngumpul. Biar kata orang yang tinggal di kota sudah makin individualistis, ternyata masih banyak juga komunitas yang bikin grup di media sosial, termasuk messenger app kayak Whatsapp. Mulai dari grup keluarga, temen se-geng, reuni sekolah, kantor, komunitas…pokoknya banyak banget, deh. Sampai ada yang harus punya dua ponsel biar semua grup bisa diakses tanpa bikin layar mendadak ‘mogok’ (screen-freeze).

Selain mengurangi rasa sepi akibat kesibukan (dan macet di jalan) yang bikin sulit janji temu, banyak hal yang bisa jadi bahan obrolan. Banyak hal yang bisa di-share langsung ke satu grup itu. Tinggal klik dan jadilah.

Sayangnya, saking hebohnya mau share ini-itu, kadang kita suka kebablasan.

Mungkin karena merasa keluarga sendiri akan selalu menerima kita apa adanya, lama-lama suka ada yang asal share postingan yang belum tentu bikin semua orang merasa nyaman. Entah itu joke cabul atau seksis, foto-foto seram, hingga opini politik.

Begitu pula dengan grup lain, baik itu bisnis, komunitas, hingga teman-teman se-geng dan grup reunian.

“Tapi ‘kan, kita maunya santai. Nggak mau terlalu banyak aturan.”

Okelah bila grup itu isinya hanya teman-teman se-geng yang kebetulan hampir selalu sepaham sama Anda. Namun, pada kenyataannya nggak akan pernah ada yang 100% demikian.

Saya sendiri salah satu admin sebuah grup WA berisi para penulis (dan pencinta dunia tulis-menulis). Suatu waktu, saya iseng reshare kasus kematian seorang gadis akibat tertidur sambil mendengarkan musik lewat ponsel. Entah karena radiasi atau apa (sori, saya lupa), ponsel itu kemudian membunuhnya dalam tidur…sampai kondisinya cukup ‘mengerikan’ untuk dilihat.

Reaksi anggota grup beragam. Saya langsung ditegur sesama admin. Reaksi saya? Ya, minta maaf dan buru-buru menghapus postingan seram tersebut. Masalah selesai. Nggak perlu pakai gengsi, apalagi bikin drama segala.

Selain itu, saya juga bisa belajar untuk lebih peka. Biar katanya ‘bebas dan santai’, belum tentu semua orang di dalam grup nyaman dengan postingan kita.

Lagipula, sebagai salah satu admin, harusnya saya bisa kasih contoh lebih baik.

“Ya, ‘kan nggak semua orang bisa gitu.”

Ya, ya, ya. Buktinya, selang beberapa tahun kemudian, giliran saya yang nggak tahan dan memilih keluar dari satu grup WA lain. Alasannya? Saya paling benci dan nggak bisa toleransi dengan lelucon cabul dan seksis. Selain merendahkan perempuan, jatuhnya juga sangat menjijikan. Ajaib kalau sesama perempuan masih bisa tertawa dan menganggapnya lucu. Lebih aneh lagi bila pelakunya mengaku masih beragama dan merasa masih menghargai perempuan.

Karena sudah menegur berkali-kali dan malah dikatain ‘baperan’ (celakanya, sama sesama perempuan lagi!), saya pun keluar. Kalah suara. Mau bagaimana lagi? Ngotot juga percuma. Ibaratnya berusaha merobohkan tembok beton dengan teriak-teriak. ‘Kan konyol jadinya.

Beberapa tahun kemudian, saya melihat contoh yang lain. Dalam grup WA komunitas bisnis, ada satu anggota yang hobi posting hal-hal yang sama sekali nggak relevan. Contoh: lelucon seksis (lagi-lagi, ugh!) Kalau postingannya seputar tips berbisnis, promo produk, hingga dunia digital, mungkin masih nggak masalah.

Memang sih, maunya komunitas bisnis ini sedikit santai. Namun, judulnya aja juga ‘bisnis’. Pastinya tetap ada aturan tidak tertulis yang sebaiknya diikuti. Demi kenyamanan bersama-lah.

Sebelumnya, sudah banyak yang menegur dan mengeluhkan anggota yang satu ini. Puncaknya terjadi pada satu malam, orang yang sama posting foto kasus penculikan dan penganiayaan anak, plus himbauan kepada para orang tua agar lebih waspada dalam menjaga anak-anak mereka.

Info penting? Ya. Sebenarnya juga nggak masalah. Yang jadi masalah, dia lupa memburamkan (blur) atau kalau bisa menghilangkan foto korban sekalian. Bukan apa-apa, nggak etis aja. Selain menyebarkan wajah asli korban, foto anak malang itu juga tampak…’nggak keruan’. Luka-luka mengenaskan bekas siksaan.

Hasilnya? Banjir protes lagi. Ini tegurannya masih baik-baik lho, nggak pakai caci-maki.

Singkat cerita, orang yang kena tegur itu langsung marah. Bukannya minta maaf, dia malah menyebut seisi grup sebagai sekumpulan orang-orang cengeng sama info penting. Habis itu, dia langsung keluar. Begitu saja.

Kembali, reaksi anggota grup lainnya beragam. Ada yang sepakat dengan para penegur: orang itu memang harus diingatkan. Padahal, dengan meminta maaf saja, masalah selesai. Nggak perlu pakai drama dan yang lain masih tetap menghargainya sebagai manusia dewasa.

Ada yang terang-terangan membela si pelaku, namun untungnya kalah suara. Katanya,orang itu seharusnya tidak di-judge sedemikian rupa. Padahal, jelas-jelas yang dipermasalahkan kelakuannya, bukan keseluruhan dirinya sebagai manusia.

Hmm, sepertinya masih ada yang harus belajar menerima kritikan dengan cara yang lebih bijak.

Ada juga admin yang mencoba mendamaikan. Memang bukan pekerjaan mudah, mengingat tidak semua orang bisa disenangkan dengan cara yang sama.

Menyenangkan semua orang juga butuh keajaiban. Mengapa? Hal itu sama mustahilnya dengan berharap saya kehilangan 20 kg bobot tubuh saya dalam semalam. (Judulnya sekalian taruhan nyawa kalau sampai kejadian. OGAH.)

Dari satu grup WA ke grup WA lainnya, saya belajar. Saya sudah pernah berbuat kesalahan dan untungnya masih cukup berbesar hati saat ditegur. Saya juga terpaksa mengalah saat menjadi minoritas yang tidak didengar, meskipun hingga kini masih yakin saya benar.

Ada yang memang merasa bahwa seluruh dunia berpusat pada mereka. Jangan heran bila mereka akan selalu minta dipahami dan dimaklumi, bahkan dalam skala grup WA sekali pun. Orang lain keberatan? Mana peduli.

Ada yang masih memperhatikan etiket di grup WA. Bukannya muna atau enggan jadi diri sendiri. Semua ada batasnya. Nggak ada salahnya bila peduli dengan kenyamanan orang lain.

Kalau nggak suka? Keluar juga pilihan. Namun, alangkah baiknya bila kita masih bisa berpamitan dengan sopan. Nggak perlu pakai drama, apalagi sampai menghina segala.

Jadi, tipe anggota grup WA yang seperti apa Anda?

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“RINDU?”

“RINDU?”

Rindu?

Ah, gengsi aku

Untuk apa bilang begitu?

Bisa-bisa harga diri runtuh

Tapi, warasku juga jauh dari utuh

 

Duh, rindu

Kenapa harus ada itu?

Kenapa pula kita harus begitu jauh?

Padahal, bisa saja semua ini ilusi semu

Kata mereka, harusnya aku lebih tahu

 

Ah, aku benci dengan rindu

Paranoia ibarat langit kelabu

Bagaimana kalau jenuh,

lalu ada yang tergoda untuk…selingkuh?

Huh!

 

Haruskah aku malu

gara-gara rindu?

Apa kutepis saja gengsi itu,

agar dia tahu?

Lalu?

 

Ah, sudahlah

Setidaknya biar dia tahu

Mungkin dia juga rindu

Semoga dia tidak menertawakanku

agar aku segera bangun dari khayalan semu

 

Mana kutahu?

Ah, yang penting bilang dulu.

 

R.

(Jakarta, 12 Januari 2018 – 17:45)

 

 

Categories
#catatan-harian #lomba #menulis

“SAKIT? CEK DULU DI DOKTERBABE.COM”

“SAKIT? CEK DULU DI DOKTERBABE.COM”

Tinggal di kosan seorang diri sembari bekerja memang seru. Rasanya hidup jadi lebih mandiri, meski bukan berarti bebas banget juga, ya. Yang pasti, saya juga jadi belajar lebih bertanggung jawab sama diri sendiri, terutama dalam hal kesehatan tubuh.

Meskipun keluarga masih tinggal di kota yang sama, ada rasa enggan untuk selalu merepotkan mereka. Misalnya, selain nggak mau kembali jadi anak manja, rasanya percuma juga keluar dari rumah. Apalagi, seharusnya Mama yang diurus, bukan Mama yang masih mengurus anak-anaknya.

Meskipun termasuk agak ringkih karena gampang kena migren saat kelelahan, saya paling malas langsung ke dokter. Selain mahal, ada kalanya saya suka parno sendiri dengan diagnosis dokter.

Namun, berhubung bukan dokter, saya nggak mau sok tahu. Salah-salah, bukannya cepat sembuh, malah tambah parah. Bila kebetulan saya sudah pernah menderita migren dan tahu cara mengobatinya, saya cukup banyak minum air putih, istirahat yang cukup, dan tidak mengonsumsi makanan ber-MSG. Selain itu, saya juga suka baca-baca artikel kesehatan online seperti 5 Penyakit di Balik Sakit Kepala Belakang.

Tapi kalau sakitnya nggak kunjung reda, barulah saya beneran ke dokter. Minimal saya baca-baca dulu artikel kesehatan online untuk mencari diagnosis gejala yang mirip. Kalau pun ternyata tebakan saya salah, yang penting sudah lebih waspada dari awal – sekaligus menambah pengetahuan tentang kesehatan.

Nah, untung aja sekarang udah ada blog DokterBabe.com . Saya yang tadinya nggak gitu peduli sama kesehatan tubuh jadi lebih aware, meski tanpa harus jadi parno. Misalnya: bila gusi bengkak, dicari dulu kira-kira penyebabnya. Bila ternyata memang harus ada geraham bungsu yang dicabut, barulah saya ke dokter gigi.

Memang, DokterBabe bisa dibilang pertolongan pertama terkait pengetahuan tentang kesehatan. Berbagai tips kesehatan, mulai dari menu diet hingga cara mengobati diri sendiri, dijamin aman untuk diikuti. Selain itu, kita jadi lebih aware sama kesehatan tubuh kita. Mau langsung konsultasi sama DokterBabe? Bisa juga. Gratis lagi.

Sakit? Yuk, cari penyebabnya dulu di DokterBabe.com . Apalagi, desain yang berwarna-warni ceria dan nggak terlalu kaku bikin blog portal ini makin enak dibaca.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“BAHASA EGO-MU”

“BAHASA EGO-MU”

Tak perlu pamerkan usiamu,

kecerdasan, atau apa pun yang kau mau

Mungkin kau sudah terbiasa

berlaku seenaknya

tanpa peduli ada yang tak suka

apalagi sampai terluka

 

Kadar kedewasaanmu akan tampak

saat kritikan wajar buatmu tersentak

lalu kau menuduh mereka galak

sebelum pergi begitu saja

seperti anak manja yang marah dan kecewa

ngambek luar biasa…

 

R.

(Jakarta, 21 Januari 2018 – 14:45)