“RAGAM ILUSI DI MEDIA SOSIAL”
Sering menonton siaran ulang (rerun) serial TV bikin saya cepat hapal plot, adegan, maupun dialog. Salah satunya adalah “NCIS”, musim tayang ke-14 dengan episode ke-13.
Singkat cerita, salah seorang karakter utama, Asisten Forensik dr. James Palmer (yang diperankan oleh aktor Brian Dietzen), mencoba mencegah seorang pemuda bunuh diri. Merasa bersalah karena kematian mendadak ayahnya, pemuda yang putus asa itu mencoba melompat dari langkan di lantai teratas sebuah gedung.
Untuk cerita lengkapnya, silakan tonton sendiri, ya. Namun, percakapan dr. Palmer dengan Ryan, pemuda itu (dalam rangka membujuknya agar tidak mengakhiri hidupnya), sangat menarik. Saat Ryan membandingkan kegagalan dalam hidupnya dengan kesuksesan orang lain yang tampak di media sosial, Palmer langsung mengingatkan:
“They only post the greatest hits. There are no B-sides.”
Intinya: mereka hanya posting yang bagus-bagus.
The Greatest Hits di Media Sosial
Inilah ilusi yang sering kita lihat lewat media sosial mereka yang kita kenal. Kadang, yang mereka tampilkan bisa sangat indah, hingga menipu mata. Kita terjebak dalam ilusi tersebut, sehingga sibuk merasa iri dengan kelebihan mereka semua. Ada yang kariernya sukses, traveling ke banyak kota dan negara, populer karena fotonya selalu dikelilingi banyak teman (apalagi kalau ada pesohor atau selebriti di sana), punya pacar keren, menikah, punya anak…
…dan daftarnya bisa lebih panjang, mengalahkan niat saya menulis entri kali ini…
Seperti biasa, yang melihat ilusi keindahan hidup orang lain lewat media sosial nggak semuanya ‘siap mental’. Ada yang kemudian mulai membanding-bandingkan diri sendiri dengan mereka. Yang ada malah stres, gara-gara selalu merasa kurang.
Ada yang buntutnya nyinyir dan menyebut mereka sebagai “the humble brags” (istilah untuk orang yang sok kelihatan merendah di media sosial, padahal sebenarnya sedang pamer). Memang sih, pada kenyataannya banyak yang begitu. Kalau memang benar, lalu kenapa? Meributkan yang di luar kendali kita, kok konyol rasanya?
Yang terlihat dari luar belum tentu sempurna seperti perkiraan kita. (Pada kenyataannya, memang nggak akan ada yang bisa sempurna.) Bisa saja yang kariernya sukses butuh pengorbanan yang tidak sedikit, mulai dari: mengurangi acara jalan-jalan yang memboroskan uang hingga harus siap terima keluhan dari orang-orang terdekat gara-gara jarang berkumpul dengan mereka.
Bisa saja kawan Anda yang gemar traveling itu memang giat menabung, getol berburu tiket promo, beruntung menangin kuis, hingga menjaga hubungan baik dengan kawan-kawan (yang kemudian rela membiayai perjalanan mereka.) Bisa jadi, pacar keren yang tampak mesra di foto berdua ternyata abusive atau doyan selingkuh. Hiii…
Kenapa Anda bersikap seakan-akan mereka berutang penjelasan pada Anda? Memangnya Anda siapa?
The B-Sides di Media Sosial
Sebenarnya, saya kurang setuju dengan ucapan dr. Palmer. Buktinya, ada juga yang hobi posting yang negatif. Misalnya: status curhatan putus cinta, nyinyir menyindir, hingga yang paling parah…foto-foto orang sakit dan korban kecelakaan.
Terlepas dari niatan yang mem-posting, silakan bebas berspekulasi. Yang bersimpati mungkin akan mencoba menghibur sebisa mungkin. Yang enggak, ya mana peduli.
Yang segan atau malah muak dengan ragam status negatif? Banyak. Sebelum langsung menuduh mereka semua sebagai sosok sinis dan nggak simpatik, bisa jadi ada alasan lain yang kita belum tentu tahu maupun paham.
Bisa jadi, mereka kenal dengan si pembuat status. Jangan-jangan, hidupnya nggak semalang yang dia gembar-gemborkan di media sosial. Jangan-jangan dia hanya cari perhatian.
Misalnya: ada yang merasa kesepian dan tidak dicintai siapa-siapa, hanya karena merasa dicuekin teman-temannya dan belum juga punya pasangan. Padahal, bisa saja keluarganya sangat menyayanginya tanpa syarat, namun dia tidak melihatnya. Kalau Tuhan nggak sayang, bagaimana mungkin dia masih hidup berkecukupan hingga saat ini?
Baik di dunia nyata maupun maya, ilusi hadir untuk menipu mata. Lagipula, bukankah terus membanding-bandingkan diri dengan orang lain pekerjaan melelahkan? Mau sampai kapan?
Bisakah bahagia bila hidup dengan cara demikian?
R.