Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Nyinyiran Khas Ngambekan

Nyinyiran Khas Ngambekan

“Kau selalu benar.

Aku selalu salah.”

Logikamu bubar

karena enggan kalah

meski bukti terhampar

Kalau perlu sebar-sebar kabar

Peduli setan dengan lelah

 

“Kau selalu main korban.

Aku terus yang jahat.”

Astaga, debatan khas anak kecil ngambekan.

Situ sehat?

Caramu kotor, memuakkan.

Gampang amat?

 

Memang,

berdebat terus tidak sehat

apalagi sama yang hobi ngambekan

Baik, anggap saja kamu yang menang

Kalau tidak, kasihan

Kamu gila pembenaran,

sementara aku hanya ingin tenang

 

Sudah, jangan merengek saja

Cukup kuladeni mereka yang lebih dewasa

Ternyata kita terlalu beda

Kau harus selalu lebih tinggi agar bahagia,

meski yang lain harus merendah

(pura-pura) rela mengalah

hanya agar kamu tidak marah

layaknya sosok bermental bocah

BAH!

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis #tips

7 Tips Receh Biar Nggak Mudah Nyinyir

7 Tips Receh Biar Nggak Mudah Nyinyir

Duh, kok saya malah jadi ngebahas ini lagi, ya? Abis gimana? Udah menjelang Pilpres (Pemilihan Presiden) lagi dan mulut-mulut nyinyir (serta jari-jemari jahil di atas papan ketik) kembali beraksi.

Eh, sebenernya enggak juga, deh. Manusia emang punya kecenderungan doyan nyinyir. (Sialnya termasuk saya juga kadang-kadang, hehehe. Serius. Beneran kadang-kadang.) Biar nggak jadi kebiasaan, ini dia tujuh (7) tips receh yang bisa Anda coba. Gampang banget, kok.

  1. Terimalah fakta bahwa setiap orang itu emang…BEDA.

Kalo ada yang hobi banget nyuruh-nyuruh Anda supaya jadi sama atau malah berubah seperti orang lain, rasanya gimana? Pastinya nggak mau, ‘kan? Apalagi bila kebetulan orang itu nggak Anda suka.

Begitu pula sebaliknya. Nah, biar adil dan sama-sama enak (semoga), terima aja fakta bahwa manusia itu nggak ada yang sama. Beneran, lho. Jangan sampai sebatas ucapan aja, tapi nggak ada praktiknya.

  1. Segera sadar diri begitu mulai banyak yang menjauhi.

Nggak hanya jumlah followers yang berkurang di media sosial. (Itu juga kalo Anda peduli, ya.) Di dunia nyata, orang seakan enggan mendekat. Ada apa, ya?

Jangan-jangan karena selama ini Anda punya hobi nyinyir terang-terangan. Apa-apa harus jadi bahan sindiran. Sekali-dua kali mungkin masih nggak masalah. Lama-lama, siapa juga sih yang tahan? Anda sendiri juga belum tentu kalo saban hari urusan sama model begini.

  1. Jangan keseringan berurusan dengan tukang nyinyir.

Emang, mutusin tali silaturahim itu nggak baik, apalagi bila yang termasuk manusia model begini itu masih teman, rekan kerja, atau bahkan…keluarga sendiri. (Ups!)

Sayangnya, keseringan deket sama pemilik mulut nyinyir juga nggak sehat. Selain bikin Anda jadi ikutan mikir negatif melulu, lama-lama bisa jadi stres, deh.

Habis itu, bertambahlah jumlah orang nyinyir di dunia. Kayak yang udah ada belum cukup bikin pusing aja.

Biar aman, mending interaksinya sama tukang nyinyir seperlunya aja. Serius. Biar tetap waras juga.

  1. Hindari sirik nggak penting gara-gara postingan di media sosial.

Nah, ini kebiasaan yang harusnya udah hilang, tapi kok rasanya sulit, ya? Padahal udah pada tahu ‘kan, kalo semua yang tampak ‘indah’ di postingan IG temanmu belum tentu aslinya sesempurna itu? Bisa aja cuma pencitraan.

Terus, kalo ternyata emang terbukti pencitraan kenapa? ‘Kan yang repot harusnya mereka, bukan Anda. Kalo nggak suka, tinggal unfollow biar nggak usah lihat atau baca. Kalo Anda sendiri mau ikutan pencitraan juga terserah. Apa pun itu, toh Anda juga yang harus bertanggung jawab sendiri nantinya.

  1. Bila sulit, minimal kurangin berdebat atau sindir-sindiran dengan orang lain – siapa pun itu – di media sosial maupun dunia nyata.

Nggak capek, apa? Meski yakin Anda yang benar, belum tentu mereka mau terima. Yang ada malah tanding nyinyir-nyinyiran (yang jelas-jelas nggak ada di cabang olah raga mana pun hingga berakhir jadi debatan macam anak kecil ngambekan:

“Iya, deh. Kaum elo nggak pernah salah. Kaum gue salah melulu.”

“Lo kayaknya doyan banget deh, playing victim. Makanya jadi orang jangan baperan mulu.”

Saya yakin Anda masih punya pekerjaan lain yang lebih penting daripada meladeni macam mereka. Ya, kecuali bila ada kegiatan nyinyir yang dibayar, bahkan kalo perlu sampai ngalahin gaji bulanan Anda.

  1. Lebih baik diem-diem aja tapi banyak berprestasi (yang sungguhan lho, ya.)

Ini mungkin juga udah sering banget diulang-ulang. Ampe bosen? Biarin. Nggak usah banyak omong. Biarkan prestasi yang bicara. Mungkin sebagian tukang nyinyir akan diam, mungkin malah makin cari-cari kesalahan. Nggak apa-apa. Anggep aja latihan jadi selebriti nanti.

Siapa tahu? Suatu saat Anda akan jauh lebih berguna bagi dunia, sementara mereka nggak ke mana-mana. Ya, masih di situ-situ aja, jadi yang mensukseskan Tim Nyinyir Nasional.

  1. Nggak (mudah) baperan begitu kelar baca tips receh ini.

Merasa ada yang ‘makjleb’ di hati begitu kelar baca tulisan ini? Maaf, itu bukan tanggung jawab saya sama sekali. Hihihihi…

Kalo nganggep saya pun nyinyir dengan cara ini, silakan balas di komen. Saya termasuk nyante nanggepin kritikan. Siap-siap aja tambah baper. Hihihihi (lagi.)

 

Jadi, udah pada siap ngurangin hobi nyinyir? Ayolah. Jadiin dunia ini tempat lebih ramah, biar sama-sama bahagia. Ya, nggak?

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Biasa Tidak Selalu Benar

Biasa Tidak Selalu Benar

Aku lelah.

Lagi-lagi kita kembali ke jalur yang sama.

Kamu tak jua berubah,

belum dewasa juga.

 

Mau sampai kapan kita terus begini?

Terlalu sering kau sesuka hati,

menuntut perhatian sana-sini

sampai aku muak setengah mati.

 

Ah, sudahlah.

Tak ada yang akan berbeda.

Kali ini, jangan harap aku akan selalu sudi mengalah.

Harusnya usia menjadi saat berkaca, bukan sekedar angka.

 

Kau memang terlalu egois untuk mengerti

aku pun punya kehidupan sendiri!

 

R.

(Jakarta, 24 Agustus 2014)

 

Categories
#catatan-harian #menulis

Perbaikan Kilat

Perbaikan Kilat

Tidak ada yang salah dengan era digital ini. Saya tidak akan menjadikannya kambing hitam, tidak seperti beberapa generasi sebelumnya. (Hehehe, maafkan saya, ya.)

Bagaimana mau menyalahkan, kalau saya juga mendapatkan manfaat dari era digital? (Dua contohnya adalah menjadi penulis dan penerjemah lepas.) Suka tidak suka, semua kembali kepada manusianya masing-masing. Beberapa orang memang akan selalu seperti itu. Namanya juga beda kebiasaan.

Beberapa generasi yang lebih tua kerap mengeluh soal generasi saat ini, alias generasi milenial. Gara-gara terbiasa mendapatkan segala sesuatu yang serba cepat, mereka jadi lupa menghargai prosesnya.

Akibatnya, mereka jadi kurang berempati dengan yang mereka anggap lambat. Malas? Mungkin tidak juga. Mereka hanya menginginkan perbaikan kilat untuk hampir semuanya. Tidak ada waktu untuk menunggu. Banyak yang harus dilakukan.

Haruskah mereka disalahkan? Mereka lahir dan besar di zaman serba kilat ini. Pastinya beda dengan zaman kakek-nenek kita. Semuanya berjalan sangat cepat, yang entah bagaimana menyebabkan rentan stres. Ini berlaku bagi yang belum terbiasa.

Memang benar sih, ada beberapa hal yang sebaiknya memang lebih cepat dibenahi. Kita membutuhkan yang cepat untuk menghemat waktu, agar dapat melakukan hal-hal lain yang menurut kita tidak kalah penting.

Namun, tidak semuanya membutuhkan hal yang sama. Beberapa hal memakan waktu cukup lama. Salah satunya adalah menjadi milyuner. Tidak mungkin dong, mendapatkan uang banyak dalam semalam? Kecuali kalau kita tahu caranya.

Saatnya sadar bahwa yang segera itu mengambil keputusan dan maju. Jam terus berdetak. Dunia tidak pernah menunggu siapa pun.

Nah, bila strategi awal masih terasa lambat, kenapa tidak coba cari cara lain? Misalnya: kita bekerja dari Senin sampai Jumat, pagi hingga sore. Gaji bulanan ada, namun impian besar – seperti jadi milyuner misalnya – kok masih terasa jauh, ya? Apalagi kebutuhan sehari-hari juga banyak.

Sampai sini, kita bisa memilih. Mau terus bersabar pakai cara yang sama – atau berusaha mencari alternatif yang sedikit lebih cepat? Yang pasti, kita harus berani mencoba dan siap bertualang dengan beragam kemungkinan yang ada.

Itu semua ada di tangan kita. Yang pasti, jangan mau hanya jadi milenial biasa. Saatnya jadi milenial – sekaligus milyuner.

Penasaran? Silakan klik tautan di bawah ini:

http://bit.ly/2BBmFip

Semoga sukses, ya.

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Dia Menulis dalam Gelisah

Dia Menulis dalam Gelisah

Dia menulis untuk batinnya yang resah,
jiwanya yang lelah oleh gelisah,
bak pengembara berlalu tanpa arah,
terombang-ambing – serba salah.

Dia menulis untuk menenangkan benaknya
yang penuh oleh sumbangnya suara-suara,
nada kejam gelegar tawa.
Dalam mimpi pun, dia tak lolos dari mereka.

Entah berapa lembar sudah habis tertulis.
Hatinya masih ingin menangis.
Kesabarannya kian menipis,
seiring cobaan yang senantiasa mengiris.

Hanya Tuhan yang tahu
bagaimana mencabut sembilu itu…

R.

(Jakarta, 22/9/2013 – 11:36 pm)

 

Categories
#catatan-harian #menulis

5 Alasan Memilih Jadi Silent Reader di WAG

5 Alasan Memilih Jadi Silent Reader di WAG

Kayaknya udah nggak perlu lagi nanya-nanya soal jumlah WAG (WhatsApp Group) di ponsel. Mulai dari grup keluarga, grup kantor, geng pertemanan, hingga komunitas. Pokoknya, sebut saja. Banyak banget deh, ampe ada yang perlu punya dua ponsel biar nggak berat.

Sama kayak di grup-grup lain di media sosial, pasti ada yang namanya ‘silent reader’. Nah, bila termasuk dalam kategori ini, kira-kira apa alasan Anda? Mungkin ada di dalam daftar di bawah ini:

  1. Banyak kerjaan lain yang jauh lebih mendesak di dunia nyata.

Kalo yang ini mah, udah jelas banget. Jangan harap komentar mereka akan muncul di grup pada jam kantor. (Hmm, kecuali untuk grup kantor.)

Bahkan, bisa jadi baru berhari-hari kemudian (atau pas akhir pekan sekalian) mereka baru sempet nimbrung lagi di grup. Itu pun bisa jadi karena dua alasan:

  • Di-mention
  • Emang lagi perlu dan sempet aja gitu.

 

  1. Emang cuma mau fokus ama yang perlu-perlu doang.

Bisa dibilang, ini kelanjutan poin sebelumnya. Selain emang sibuk (pake BANGET), mereka milih fokus ama yang menurut mereka paling bermanfaat. Makanya, hanya sesekali mereka komentar atau menyapa. Itu pun bila emang lagi penting banget hingga topik bahasan di grup yang lagi relatable banget sama mereka.

  1. Emang bukan tipe cerewet di media sosial mana pun.

Jangan sesekali tunjuk mereka jadi group admin, kecuali kalo mereka nggak sendirian megang jabatan itu. Nggak apa-apa. Jadiin aja mereka pengamat, Biasanya, tipe ini lebih teliti memantau chat history (termasuk menangkap ‘pelanggaran’ tertentu dari anggota grup).

  1. Topik yang dibahas emang lagi nggak menarik.

Hmm, bisa jadi sebelumnya mereka emang nggak gitu minat pas diajak gabung ke WAG tersebut. Namun, karena ada rasa nggak enak sama yang ngajak, akhirnya mereka lebih banyak jadi silent reader.

Topik yang lagi dibahas mungkin juga kurang menarik buat mereka. Makanya, jangan heran bila mereka jarang banget nimbrung.

  1. Mereka memang misterius.

Di zaman yang serba banyak terbuka gini, masih banyak kok, mereka yang lebih milih nggak banyak omong. Selain emang nggak suka umbar diri, mereka mungkin juga lebih suka jadi pengamat. Itu aja, sih.

Semua orang memang punya rahasia, tapi bisa jadi mereka takut keceplosan juga. Tahu sendiri ‘kan, jari-jari bisa jauh lebih lincah daripada mulut – bahkan saat otak lagi nggak bisa ngebut?

 

Nah, itulah kira-kira lima (5) alasan memilih jadi silent reader di WAG. Gimana dengan Anda?

R.

 

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Untuk Soledad

Untuk Soledad

Maaf, sayang.

Bagaimana bila saatnya menerima kenyataan?

Ketulusan tak selalu menang,

bila mereka tak anggap kau rupawan.

 

Maaf, sayang.

Tak ada gunanya bermuram-durja.

Ini saatnya kau tegakkan kepala,

menatap mereka tanpa perlu merasa kalah.

 

Ah, tahu apa mereka tentang sunyi?

Kau begitu dicintai oleh sepi

hingga hanya bayangmu yang kerap menepi.

Kau harus kuat, meski hanya sendiri.

 

Maaf, sayangku.

Terkadang cinta memang hanya ilusi berujung pilu…

 

R.

 

(Jakarta, 26 September 2013)

 

Categories
#catatan-harian #menulis

5 Alasan Saya Muak Bahas Politik

5 Alasan Saya Muak Bahas Politik

#2019CariGajiDolar

 

Yang di atas target pribadi saya. Boleh ditanggapi serius atau hanya bercanda. Yang pasti, ini lima (5) alasan saya nggak sudi lagi membahas politik:

 

  1. Pilihan saya adalah urusan pribadi.

Ini alasan paling utama, yang sebenernya dari dulu udah harus saya usung. Belajar dari banyak pengalaman nggak enak (nggak perlu dari diri sendiri juga, kok!), kali ini saya lebih memilih diam saja. Ngapain ikutan berisik?

Yang lain mau cerita soal pilihan mereka sambil berkoar-koar, terserah. Saya mah, nggak mau ikutan.

“Elo cari aman, ya?”

Enggak juga. Saya hanya mau cari damai. Terus kenapa? Situ masalah?

 

  1. Masih banyak topik lain yang tidak kalah menarik.

Okelah, ini memang musim kampanye sebelum Pilpres (Pemilihan Presiden) tahun 2019 nanti. Hitung-hitung pemanasan. (Melihat kelakuan bangsa kita akhir-akhir ini, kayaknya tahun depan bakalan banyak yang ‘gosong’, karena sekarang aja udah banyak yang panasan banget!)

Semua orang pasti punya pilihan sendiri-sendiri. Jagoan andalan mereka bela-bela, kalo perlu sampai mati-matian (dan kayaknya juga nggak bakalan sampai mati. Wong yang kemaren janji bunuh diri bila jawara mereka nggak kepilih sekarang ternyata masih hidup.)

Meskipun nggak ampe drastis milih topik yang cetek-cetek amat juga (kayak…yah, ngurusin urusan pribadi orang lain seperti yang udah banyak banget dilakukan sesama di sini), saya malas pusing. Mengamati perkembangan politik dalam diam sih, masih. Cuma, nggak perlu semuanya harus diumbar ke sana kemari juga, kali.

  1. Muak dengan galeri sindiran dan nyinyiran seputar politik di media sosial.

Sekali lagi, saya sadar saya nggak bisa mengontrol seluruh dunia. (Nggak mau juga, kali. Capek!) Daripada bete karena terlalu banyak model beginian, mending nggak usah ikutan. Tambah rame ntar jadinya.

Kenapa sih, makin banyak yang doyan drama? Segitu butuhnya sama banyak penonton, ya? Bahkan, kalo memang tidak suka, tinggal unfollow. Nggak usah bilang-bilang ke semua orang juga bila ingin melakukannya. Tinggal klik. Toh, mereka juga belum tentu peduli dengan peringatan semacam itu atau ancaman.

  1. Nggak semua orang mampu bersikap dewasa dalam menerima dan menanggapi perbedaan.

Nggak peduli umur, kadang semuanya sama saja. Mulut bisa balapan brengsek saling serang lawan bicara, hanya gara-gara pendapat beda dan jadi nggak suka. Begitu pula dengan lincahnya jari-jari mereka saat bikin status sindiran di media sosial.

Jujur, lama-lama saya ingin muntah.

  1. Manusia hatinya mudah berubah.

Saya sampai iseng bikin pepatah sendiri soal politik:

“Bila politik mau disamakan dengan pernikahan, potensi selingkuh sangat banyak.”

Saya nyinyir? Biarin. Namanya juga kenyataan. Bila nggak suka, itu bukan masalah saya.

Manusia mudah berubah hatinya. Udah pada tahu, ‘kan? Kita sendiri saja juga berpotensi sama. Gimana mereka yang mencalonkan diri jadi pemimpin negara? Janji manis di awal, setelah kepilih bisa lupa (atau pura-pura?)

Udah, ya. Saya nggak mau ikut ngebahas politik lagi. Capek.

 

“Jadi nanti milih siapa?”

Astaga. Barusana saya bilang apa?

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Dia

Dia

Hari itu, dia tampak bahagia.
Senyum lebar menghiasi wajahnya.
Dalam sekejap, dia tampak dewasa.
Hilang sudah sifat kanak-kanaknya yang biasa.

Ah, benarkah karena cinta?
Wajahnya seakan tak pernah tersentuh duka.
Lengan kokohnya memeluk belahan jiwa,
seiring doa agar mereka abadi – selamanya.

Beruntungnya dia yang masih percaya.
Lihat, dia masih tertawa.
Kuharap kebahagiaannya berlangsung lama,
tanpa harus terkoyak realita…

R.

(Jakarta, 16 Oktober 2013)

 

Categories
#catatan-harian #menulis

Saat Tukang Gosip Berdagang…

Saat Tukang Gosip Berdagang…

Sabtu sore, ibu saya lapar dan minta ditemani makan. Kami memutuskan untuk mengunjungi salah satu dari dua warung makan yang pas di sebelah rumah. Warung itu pun juga pas bersebelahan, karena berada di lahan properti yang sama.

Biasanya, Ibu memilih warung yang paling kiri. Selain selalu ramai dan menunya enak-enak, pemiliknya ramah.

Namun, akhirnya Ibu memilih warung yang satunya. Alasan beliau:

“Sesekali nyoba yang lain. Lagipula kasihan, nggak tahu kenapa sepi gitu.”

Akhirnya, kami berdua makan di warung kedua. Menunya enak juga, sih. (Yah, berhubung saya memang doyan makan dan sulit objektif, makanya nggak jadi food blogger, deh. Hehe.) Pemiliknya sepasang suami-istri yang masih relatif muda. (Ya, kira-kira semudah saya, deh. Eh, lho kok…??)

Lalu, apa yang salah?

Kami baru mendapatkan jawabannya saat Sang Istri Pemilik Warung mulai buka mulut (sambil melayani, tentunya):

“Bu, Ibu tahu yang di sebelah?” tanyanya pada ibu saya. “Dia itu sebenarnya suka iri sama saya…”

Ya, Tuhan. Menguaplah selera makan saya seketika. Namun, berhubung perut masih lapar, saya habiskan juga. (Lagipula, nggak baik membuang-buang makanan, apalagi hanya gara-gara kesal sama orang. Rugi!)

Perempuan itu masih terus nyerocos tanpa henti. Ibu saya memang hebat. Tidak seperti anaknya yang emosian dan sudah siap meledak ini, wajah beliau tetap tampak tenang. Ekspresinya netral, sulit dibaca.

“Maklum aja ya, Bu. Namanya juga orang *****.” Astaga, belum berhenti-berhenti juga gunjingannya. Sampai sini, alis saya otomatis terangkat sebelah dan Ibu melihatnya sekilas. “Kerjanya pasti malas.”

Jujur, waktu itu saya sudah nyaris naik pitam. Tidak hanya karena mendengar komentar rasis, tuduhan perempuan itu juga terlalu menggeneralisir dan tanpa bukti.

Ibu saya kebetulan juga berasal dari suku yang dipergunjingkan perempuan itu. (Sengaja saya menyensornya untuk menghindari drama yang tidak perlu. Nama perempuan ini bahkan tidak saya sebut. Ini hanya jadi satu contoh kasus.)

Sekedar konfirmasi, ibu saya pekerja keras. Kalau tidak, bagaimana mungkin dulu kami bertiga mendapatkan pendidikan yang baik? Tidak hanya masih dipercaya mengurus acara reuni kantor setelah pensiun, Ibu bahkan punya usaha katering sendiri.

Selesai makan dan membayar, kami berdua burur-buru hengkang dari sana. Asli, serius. Nggak tahan.

“Pantas warungnya susah laku,” gerutu Ibu begitu kami sudah jauh. “Semua orang dia omongin.”

Saya hanya mengangkat bahu. Begitulah. Sama halnya dengan orang yang lama-lama sama sekali nggak punya teman. Kalau pun masih ada, belum tentu sedekat yang mereka inginkan.

Siapa yang tahan, sih? Hanya karena rajin menggosipkan satu orang dalam waktu lama, bukan tidak mungkin suatu saat giliran Anda yang jadi bahan pergunjingan mereka. Kemungkinan itu selalu ada.

Ya, sudah banyak buktinya. Mending jauh-jauh saja.

“Kamu kenapa tadi nggak nyeletuk aja kalo Mama orang *****?” tanya Ibu tiba-tiba. “Tumben tadi diem aja.”

“Karena tahu Mama bukan orang yang suka cari ribut.”

Kami hanya sama-sama nyengir sebelum berjalan pulang.

R.