Hah, untung di mananya? Bukankah tukang nyinyir itu lebih banyak menuai masalah, ya? Percaya atau tidak, ternyata beneran ada keuntungan bagi orang yang hobi mengomentari segala sesuatu atau setiap orang dengan pedas. Bisa sampai lima (5) lagi. Serius.
Nah, inilah lima (5) keuntungan jadi tukang nyinyir:
Lebih kreatif dalam menyentil pihak tertentu yang enggan menerima ‘kebenaran pahit’ dari Anda.
Mungkin ini salah satu hal yang paling dipercaya mereka yang masuk ke dalam kategori ini. Mereka yakin peran mereka di dunia ini adalah menyampaikan kejujuran, sepahit apa pun itu. Kalau sudah bicara baik-baik namun yang bersangkutan tidak terima, mereka masih punya cara lain.
Hasilnya? Bisa jadi yang disindir makin tidak terima dan melawan. Namun, jangan-jangan yang hobi nyinyir memang tidak berani terus terang sama yang mereka mau sindir. Hmm…
Berbagi pahala. (Semoga, ya.)
Wah, karena saya bukan orang yang tepat untuk berasumsi soal pahala dan dosa, makanya saya tambahkan selipan “Semoga, ya” di atas. Hehehe.
Hmm, mungkin beberapa pihak yang masih berbaik hati “mengingatkan” si tukang nyinyir termasuk yang bisa mendapatkan pahala. (Mungkin lho, ya.)
“Udah, nggak usah terlalu ngurusin orang lain. Toh, udah pada gede dan tau konsekuensi tindakan sendiri.”
“Mbok ya, mulai kurang-kurangin dong, ghibah-nya. Apalagi di medsos. Emang situ udah sempurna apa?”
“Kalo nggak suka ‘kan bisa ngomong langsung baik-baik, nggak usah nyinyir kayak gini?”
Lalu, bagaimana dengan si tukang nyinyir sendiri? Dapat pahala juga nggak, ya? Wah, kalau itu jangan tanya saya. Bilang saya ‘semoga’, bila niatnya memang hanya ingin menyampaikan kebenaran pahit, meski caranya asli julid bikin perut melilit.
Gambar: https://unsplash.com/photos/RdmLSJR-tq8
Minimal paham sedikit job desc-nya Malaikat Atid (pencatat amal buruk alias dosa).
Yah, meskipun dalam hal ini, fokusnya masih lebih banyak ke dosa-dosa yang dilakukan orang lain. Dosa-dosa sendiri? Mana sempat, hihihihi…
Lebih cepat mendapatkan perhatian (terutama dari pihak yang tersindir).
Semua yang punya hobi nyinyir – terutama di media sosial – pasti sudah hapal risiko ini. Sama seperti skandal atau tragedi, topik sindiran pasti langsung mendapatkan perhatian. Ragam reaksi pasti juga ada, banyak malah.
Yang pasti, terutama dari pihak yang merasa tersindir. Sisanya paling hanya mereka yang cari hiburan gratis sekaligus baru belajar realita hidup. (Jiahh, bahasanya!) Ya, ibarat saksi-saksi mata namun juga bisu (kecuali bila mereka sedang bergosip dengan sesamanya soal topik sindiran si tukang nyinyir.)
Kedua belah pihak berada pada posisi ‘cukup sama-sama tahu’.
Menurut tukang nyinyir, minimal sudah ketahuan mana yang keras kepala dan mana yang baperan. Menurut pihak yang tersindir (apalagi sampai berkali-kali), lain kali mereka tidak perlu terlalu banyak bercerita pada yang suka nyinyir. Bahkan, kalau perlu tidak usah bercerita apa-apa sekalian.
Nggak cerita apa-apa juga sama, tetap jadi bahan sindiran. (Kalau ini mah, sentimen akut namanya.)
Jadi, itulah lima (5) keuntungan jadi tukang nyinyir. Ada tambahan lain, mungkin?
Sumber: https://unsplash.com/photos/6bKpHAun4d8 oleh Toa Heftiba
“Budak Statistik Sosial: Tentang Persepsi, Generalisasi, dan Stigmatisasi”
Statistik ada karena penelitian. Statistik dibuat oleh manusia. Mereka ada untuk mengidentifikasi masalah, menemukan solusi, dan menemukan fakta atau temuan ilmiah dan sosial.
Sebagai contoh: di Indonesia, lebih banyak mahasiswa di fakultas teknik, sedangkan mahasiswi sebagian besar di fakultas sastra. Kebanyakan perempuan menghabiskan lebih banyak waktu untuk berbelanja, sementara laki-laki hanya membeli yang mereka butuhkan.
Baik secara langsung atau tidak, statistik sosial seperti ini membentuk persepsi kita. Salah satunya termasuk lebih mudah percaya dengan suara mayoritas.
Generalisasi
Lalu apa yang membuat seseorang menjadi budak statistik sosial? Pertama-tama, tidak ada yang salah dengan meyakini statistik. Statistik tidak berbohong. Anggap saja sebagai petunjuk ketika Anda menghadapi subjek yang sama di lain waktu.
Sayangnya, beberapa orang cenderung menjadi budak statistik sosial. Salah satu gejalanya adalah betapa mudah bagi mereka untuk menyamaratakan semuanya.
Misalnya: Saya secara pribadi malu untuk mengakui bahwa ya, orang Indonesia telah dikenal sebagai ‘jam karet’. Mintalah mereka ketemuan pukul tujuh dan mereka mungkin akan muncul setidaknya 30 menit kemudian. Yang terburuk mungkin mereka yang datang dengan permintaan maaf ‘ala kadarnya’ atau tidak sama sekali. Hanya cengar-cengir tanda senewen.
Tidak heran ada yang kagum ketika saya datang tepat waktu atau lebih awal. Masih ada lebih banyak lagi.
Banyak yang agak kaget begitu tahu saya tidak suka memakai make-up dan belanja. Jika ingin melihat saya lebih ‘dandan’, tunggu saja sampai saya datang ke pernikahan. Saya juga hanya berbelanja sesuai kebutuhan. Rasanya percuma bicara ketika komentar paling umum yang saya dapatkan adalah:
“Kamu orang Indonesia yang aneh.”
“Elo aneh. Bukankah perempuan biasanya … “
Tuh, ‘kan?
Stigmatisasi
Apa yang salah dengan generalisasi? Tidak ada. Namanya juga reaksi manusia normal. Karena mengandalkan statistik dan yang biasanya kita lihat setiap hari, kita cenderung merasa lebih aman dengan cara itu. Setidaknya kita tahu sesuatu yang umum tentang orang berjenis kelamin ini atau ras itu, hewan dari spesies tertentu, produk yang terbuat dari bahan-bahan ini-itu, dan sebagainya.
Merasa kaget dan agak terkejut ketika tahu bahwa beberapa dari mereka mungkin sedikit berbeda juga normal. Berikut contoh lain berdasarkan pengalaman pribadi saya:
Beberapa lelaki Indonesia masih terkejut ketika tahu saya juga mendengarkan heavy metal. Langsung saya dicap ‘tomboy’. Seorang rekan lelaki saat itu bahkan seperti tidak terima sehingga sampai berkomentar begini:
“Lo ‘kan cewek. Harusnya dengerin grup-grup pop menye-menye, seperti boyband atau semacamnya. ”
Yah, saya juga mendengarkan musik seperti itu sih, namun bukan itu intinya. Siapa dia, mengatur-atur saya harus mendengarkan musik apa?
Menggeneralisir adalah reaksi spontan yang normal. Sayangnya, reaksi ini jadi tidak asyik begitu berubah menjadi stigmatisasi. Berdasarkan contoh sebelumnya, melihat sesuatu yang berbeda selalu membuat kita merasa tidak aman – bahkan cenderung mengancam bagi sebagian orang. Dunia terasa jauh lebih aman ketika semuanya berjalan sesuai dengan yang selalu kita tahu dan yakini. Bukannya yang tidak bisa ditebak.
“Kenapa cewek suka heavy metal? Bukankah itu terlalu keras untuk telinga sensitif mereka? ”
“Kenapa cowok tidak suka olahraga? Kamu cowok atau bukan, sih? ”
“Produk ini tidak apa-apa, kok. Kamu saja yang aneh sendiri. “
Sekadar mengingatkan, statistik sosial itu bikinan manusia. Yang membuat kita rentan jadi budak statistik sosial adalah ketika kita memilih untuk hanya peduli pada suara mayoritas. Mereka menjadi satu-satunya suara yang kita dengarkan dan percaya dengan sepenuh hati. Yang berbeda itu aneh. Harusnya mereka semua (setidaknya mencoba) menyesuaikan diri. Pengalaman pribadi mereka (dianggap) tidak relevan.
Di masyarakat, orang berbeda dan mampu berevolusi secara alami, bukan oleh tuntutan sosial. Akan selalu ada statistik sosial baru yang mungkin menyanggah statistik sosial sebelumnya. Siap-siap saja.
Bagaimanapun, kita tidak selalu tahu (dan memahami) segalanya.
Sebagai bangsa yang mencintai negerinya, visi menciptakan Indonesia Sehat merupakan keinginan kita. Tentu saja, untuk mewujudkannya juga tidak mudah. Mengingat masih banyak rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan, ada salah satu masalah yang berpotensi menciptakan ‘the lost generation’ atau generasi yang hilang di masa depan. Ya, masalah tersebut bernama ‘stunting’.
Sangat disayangkan bila hingga kini, masih banyak yang belum akrab dengan istilah ini. Tidak perlu menjadi dokter gizi atau ahli kesehatan untuk tahu. Yang diperlukan adalah kepedulian terhadap anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. Untuk itu, mari kita lihat dulu sekilas tentang masalah ini.
Bersiaplah, karena definisinya mengerikan. ‘Stunting’ adalah kondisi seorang anak yang kronis akibat sangat kurangnya asupan gizi ke dalam tubuh. Bahkan, stunting sudah mulai terjadi bila sejak dalam kandungan, ibu hamil tidak mendapatkan gizi yang cukup. Sayangnya, kondisi ini baru bisa terdeteksi saat anak menginjak usia dua tahun.
Jangan heran bila menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO atau World Health Organization), Indonesia menempati urutan kelima di dunia untuk kasus ‘stunting’ pada anak. Ini bukan prestasi. Daerah dengan kasus tertinggi masalah ini ada di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Riskesdas saja menyatakan bahwa hampir setengah populasi balita di sana – atau lebih tepatnya sekitar 40.5% – mengalami ‘stunting’.
Yang cukup memprihatinkan, rata-rata nasional kasus ‘stunting’ mencapai angka 37%.
Data WHO cukup mencengangkan: satu dari empat anak di seluruh dunia menderita pertumbuhan yang terhambat alias ‘stunting’. Ini berarti sekitar 178 juta anak yang berusia di bawah lima tahun mengalami pertumbuhan yang super lambat akibat masalah ini.
Ciri-ciri dan Gejala Penderita ‘Stunting’:
UNICEF mwmbagi kasus ‘stunting’ ke dalam dua kategori, yaitu:
Kelas sedang dan berat.
Penderitanya anak-anak berusia 0 hingga 59 bulan, dengan tinggi jauh di bawah rata-rata alias minus.
Kelas kronis.
Penderitanya anak-anak yang tinggi badan mereka di bawah 3 cm (masih di dalam kategori rentang umur yang sama.)
Tidak hanya tinggi badan yang jauh di bawah rata-rata untuk ukuran balita, anak-anak yang menderita ‘stunting’ juga mengalami perkembangan otak yang sangat lambat. Hal ini akan mempengaruhi kesehatan mental mereka serta mengganggu kemampuan belajar dan berprestasi di sekolah.
Beberapa risiko kesehatan lain yang mengintai anak-anak ini nantinya termasuk:
Diabetes.
Hipertensi.
Obesitas.
Kematian karena kasus infeksi.
Bayangkan bila jumlah ini bertambah setiap tahunnya. Bukan tidak mungkin lagi negara-negara berkembang (yang mempunyai masalah kemiskinan akut) akan semakin tertinggal dalam pembangunan. Selain berisiko menciptakan ‘the lost generation’, biaya kesehatan yang harus ditanggung pemerintah akan semakin membengkak.
Bagaimana Cara Mengatasi Masalah ‘Stunting’ Pada Anak Balita?
Pemerintah Indonesia telah menyerukan ajakan bersama untuk melakukan pencegahan stunting pada anak. Ajakan ini resmi dimulai pada tanggal 16 September 2018 kemarin, tepatnya di Monumen Nasional.
Mengapa hanya mencegah, bukannya sekalian mengobati?
Kabar buruk bagi kita: ‘stunting’ atau terhambatnya tumbuh kembang anak akibat kurang gizi tidak bisa diobati bila sudah terlanjur terjadi. Yang bisa dilakukan hanyalah meminimalisasi kerusakan yang sudah ada. Pastinya, ini penyebab biaya kesehatan membengkak, mengingat ini sama saja dengan perawatan seumur hidup.
Berhubung masalah ini terbukti sudah dimulai sejak bayi masih berada di dalam kandungan, maka fokus pertama adalah ibu-ibu hamil. Bila ibu-ibu hamil tidak mendapatkan akses gizi yang cukup, maka jangan heran bila mereka kesulitan menjaga kesehatan janin di dalam kandungan.
Demi masa depan anak dan untuk mencegah kemungkinan lahirnya ‘the lost generation’ dalam jumlah banyak, sebaiknya kesejahteraan ibu jangan hanya jadi slogan. Sebelum menjadi ibu, setiap anak perempuan juga wajib mendapatkan akses pendidikan dan pekerjaan yang cukup memadai.
Terlepas dari tuduhan sinis seputar feminisme, sesungguhnya masalah ini juga menjadi perhatian para feminis. Inilah sebabnya pendidikan seks untuk remaja yang memadai jangan ditabukan, meski tetap harus disesuaikan dengan perkembangan usia mereka. Justru dengan pengetahuan yang cukup akan menghindari mereka dari hubungan seksual yang tidak aman (dan di luar nikah pula). Sehingga dapat menghindari kehamilan yang tidak direncanakan, apalagi dalam usia yang masih sangat muda (16 tahun ke bawah).
Bukankah jauh lebih aman bila pernikahan terjadi karena kedua belah pihak sudah sama-sama siap, baik secara fisik, materi, hingga emosional? Jadi, perempuan jangan hanya dianggap sebagai sumber fitnah maupun beban ekonomi. Bila tidak ingin mereka jadi beban ekonomi, pastikan mereka mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang baik selain gizi yang cukup.
Pernikahan dini juga rentan dari segi ekonomi, kesiapan mental, psikologis, hingga kesehatan fisik. Kehamilan remaja (dengan organ reproduksi yang belum tentu berfungsi sempurna untuk melahirkan) juga berpotensi menciptakan anak-anak dengan kondisi ‘stunting’. Apalagi bila ibu tidak lagi punya akses ke pendidikan, terutama kesehatan reproduksi dan gizi. Akses ke pekerjaan? Apalagi.
Kemungkinan di atas juga dapat diperparah dengan suami yang berpenghasilan rendah, kurang paham dengan pentingnya gizi bagi ibu hamil dan bayi, belum siap secara mental untuk mengayomi, dan malah tidak peduli.
Sudah banyak pernikahan dini, terutama di kelas ekonomi menengah ke bawah, yang berakhir dengan perceraian atau suami yang kabur untuk kawin lagi. Sementara itu, istri yang ditinggal dalam keadaan hamil atau harus mengurus bayi tidak mendapatkan dukungan berupa akses edukasi, pekerjaan yang mencukupi, dan bantuan mengurus anak selama dia harus bekerja mencari nafkah.
Jadi, jangan heran bila pernikahan dini juga berkontribusi besar dalam menciptakan anak-anak dengan kondisi ‘stunting’.
Setelah gizi ibu hamil tercukupi, barulah fokus ke bayinya saat lahir. Tidak hanya ayah yang berhak makan dengan gizi lengkap, ibu dan anak juga. Itulah cara efektif untuk melakukan pencegahan stunting.
Banyak program pencegahan ‘stunting’ yang dapat dilakukan. Tidak hanya pemerintah, keterlibatan masyarakat juga sangat dibutuhkan. Di Indonesia sendiri ada program Kampanye Gizi Nasional (KGN) yang menyasar posyandu-posyandu di Indonesia. Bahkan, para ibu juga diajak turut aktif berpartisipasi dalam penyuluhan, demi pengetahuan dan pelaksanaan program tersebut. Selain itu, tentu saja masih ada imunisasi sebagai perlindungan ekstra pada anak.
Sebagai sesama anak bangsa, kita bisa berpartisipasi mencegah masalah ini dengan beberapa cara sederhana. Selain lebih aktif menyumbang dana bagi kaum yang membutuhkan, sebisa mungkin jangan lagi suka membuang-buang makanan. Daripada tidak mampu menghabiskannya, lebih baik bagi porsinya kepada ibu-ibu dan anak-anak yang kekurangan gizi, namun tidak punya akses ke makanan yang lebih sehat.
Ingin mewujudkan Indonesia Sehat? Jangan sampai ada lagi satu orang anak pun yang menderita ‘stunting’ di negeri ini. Jangan hanya menunggu program dari pemerintah. Kita sebagai warga negara juga bisa terlibat dalam pencegahan ‘stunting’ – sekarang juga.
Wah, apakah saya sedang memberikan pernyataan politis? Pakai istilah ‘anti (pem)bungkam(an)’ segala lagi.
Kenapa semuanya harus serba politis, sih? Padahal, ini perkara umum. Menulis pun bagian dari media komunikasi.
“Kenapa nggak ngomong aja, sih? Apa susahnya? Lagipula, orang Indonesia juga kebanyakan malas baca.”
Nah, justru nggak semua orang fasih berbicara. Ada yang khawatir dan yakin pasti takkan didengar. Selain itu, nggak semua orang Indonesia malas baca, kok.
Karena itulah, budaya menulis masih penting. Sangat malah. Salah satunya, tentu saja, sebagai bagian dari aksi anti (pem)bungkam(an).
5 Kemungkinan Pahit Si Dia yang Anda Kenal Lewat Aplikasi Kencan Malas Lanjut Penjajakan
Banyak tips untuk perempuan mengenai cara bersikap, terutama pada laki-laki. Padahal, perempuan juga punya keinginan, berhak didengar, dan dipahami. Mari sama-sama bersikap adil.
Kesal karena sering mengalami hal ini? Baru kenalan dengan perempuan lewat aplikasi kencan. Awalnya hangat, lama-lama kok, dingin? Lalu, tahu-tahu dia ‘menghilang’ begitu saja. Paling parah Anda sampai diblokir atau dilaporkan ke admin segala dengan tuduhan pelecehan.
Nah, sebelum menuduh perempuan itu tukang PHP (pemberi harapan palsu), sok kecantikan, hingga lebay binti baperan (biasa banget, ‘kan?), coba cek dulu lima (5) kemungkinan pahit di bawah ini. Jangan-jangan Anda tanpa sadar melakukannya.
Anda cuek sama profil yang sudah dia bikin dengan susah-payah.
Oke, istilah ‘susah-payah’ mungkin memang agak berlebihan. Tapi, tinggal asal klik ‘like’ sama ‘swipe right’ (geser kanan) hanya karena tertarik dengan foto cantiknya memang gampang.
Padahal, sebuah hubungan serius tidak hanya mengandalkan ketertarikan fisik belaka. Memang, mungkin banyak yang suka berbohong lewat profil mereka, entah soal berat badan atau kesukaan. Tapi, bukan berarti nggak ada yang serius, lho.
Ayolah, era digital jangan dijadikan alasan untuk malas membaca.
Memang belum bertemu yang cocok saja.
Nah, mungkin awalnya kalian baik-baik saja. Setelah beberapa saat, kok chemistry tidak kunjung ada? Belum tentu karena Anda yang dianggap nggak cukup baik atau si dia yang sok laku atau kecakepan.
Ada banyak faktor lain di luar kendali Anda. Visi dan misi yang berbeda. Anda sendiri masih ingin pacaran dulu, sementara dia sudah ingin menikah – atau bahkan sebaliknya. Yang pasti, perasaan juga tidak bisa dipaksa.
Bersikap posesif dan terlalu menuntut macam-macam, termasuk tidak menghargai privasi dan ruang geraknya.
Anda mudah kesal saat dia lama membalas pesan Whatsapp dari Anda. Bahkan, saat jelas hanya dibaca tanpa dibalas seketika, pikiran Anda negatif duluan. Begitu pula dengan telepon dari Anda. Akhir pekan selalu maunya ketemuan, tanpa peduli saat itu dia juga butuh berkumpul bersama keluarga maupun teman-temannya.
Singkat cerita, Anda seakan tidak peduli kalau si dia juga manusia dengan kehidupannya sendiri. Maunya, perhatian si dia hanya tercurah untuk Anda 100%. Lha, Anda siapa? Bahkan, Anda tidak peduli saat dia memberi alasan sedang jam kerja, makanya tidak menjawab telepon atau pesan dari Anda seketika.
Yang paling ganggu, Anda meneleponnya tengah malam. Bukan buat kasih kejutan ultah (padahal resmi jadian saja belum) maupun keperluan mendadak seperti Anda-nya kecelakaan dan minta dijenguk. Mungkin ini hanya dianggap romantis di film-film drama Korea.
Di dunia nyata? GANGGU BANGET. Asli. Ngebet sih, ngebet. Tapi siap-siap aja dijauhin karena jadi terkesan creepy. Nakutin banget. Kayak nggak ada kerjaan lain gitu.
Lupa bahwa masih ada proses penjajakan yang harus dilalui, alias nggak beda sama kenalan lewat dunia nyata.
Jangan mentang-mentang kenalannya lewat aplikasi kencan, maunya semua harus serba cepat. Padahal, ini sama saja dengan kenalan lewat dunia nyata. Ada proses penjajakan yang tetap harus dilalui. Lain cerita sih, kalau Anda dan si dia sudah sama-sama sreg dan mau langsung lanjut serius.
Masih terjebak pola pikir ‘berburu dan menaklukkan’.
Eh, kok mendadak jadi kayak di hutan belantara begini, sih? Coba tanya lagi deh, sama diri sendiri:
Mau cari pasangan hidup – atau berburu hewan langka?
Selain itu, ini dia satu kesalahan klasik yang masih lazim dilakukan banyak orang. Anda lalu berusaha mengubahnya agar sesuai dengan maunya Anda. Contoh: meski menurut Anda cantik dan seru, si dia ternyata tomboi dan suka musik metal. Anda maunya dia lebih feminin sedikit, seperti lebih sering pakai gaun dan mendengarkan lagu pop.
Hah, selamat mencoba. Kalau dia memang ikhlas ingin berubah karena keinginan diri sendiri (dan merasa itu baik), baguslah. Kalau tidak? Ya, siap-siap saja kehilangan. Lucu sekali, bukan? Anda enggan menerima dia apa adanya, sementara dia dituntut untuk selalu mengerti maunya Anda. Standar ganda.
Moga-moga sih, lima (5) kemungkinan di atas tidak pernah terjadi dalam usaha Anda mencari pasangan. Kalau sudah terlanjur, Anda bisa bersabar dan introspeksi agar tidak mengulangi kesalahan yang sama lagi. Semoga jodoh pasti bertemu ya, biar kayak lagunya Afghan.