Categories
#catatan-harian #menulis #tips

5 Kebiasaan Ini Nggak Akan Bikin Anda Lebih Baik Meski Sudah Married


5 Kebiasaan Ini Nggak Akan Bikin Anda Lebih Baik Meski Sudah Married

Beginilah risiko hidup di Indonesia. Sampai melewati batas kemuakan siapa pun, perdebatan soal kualitas hidup si lajang versus yang sudah menikah beneran awet tenan. Yakin nih, udah nggak ada topik lain yang lebih penting?

Sebenarnya, saya juga bosan menulis soal ini. Tapi gimana ya, kalau kualitas berpikir orang Indonesia masih banyak yang kayak begini? Saya juga nggak anti pernikahan, tapi…tolong, deh. Ini lima (5) kebiasaan yang nggak akan bikin Anda lebih baik meskipun sudah married:

  • Merasa sudah ‘laku’.
Gambar: thedesignerprotraitstudio.com

Hadeuhh…hari gini masih mau menyamakan diri dengan barang dagangan? Merasa lebih ganteng/cantik/baik, hanya karena ada yang suka dan mengajak/menerima tawaran hidup bersama dalam ikatan pernikahan? Kok menyedihkan?

Sebelum dihargai orang lain, hargailah diri sendiri dulu. Jadi, Anda nggak akan terjebak dengan anggapan bahwa pasangan adalah sumber kebahagiaan paling utama di dunia bagi Anda, mengalahkan Sang Pencipta kalian berdua.

  • Langsung merasa bahwa “Dunia nggak seburuk itu, kok.”

Oke deh, bila Anda memang lagi happy banget. Dunia terasa lebih indah dan sempurna dengan adanya si dia. Semua kebahagiaan dan masalah dibagi bersama. (Semoga ini beneran lho, ya.)

Tapi, kayaknya naif banget bila lantas beranggapan bahwa dengan menikah, semuanya akan selalu baik-baik saja. Apalagi kalau menikahnya belum lama, hihihi…

Mungkin dari kacamata Anda, dunia sepertinya sudah tanpa cela. Namun, sayangnya Anda jadi terkesan tidak punya empati dan menutup mata sama realita.

Pernikahan Anda bahagia? Baguslah. Jangan lupa, tidak semua orang seberuntung Anda (dan maksud saya bukan selalu karena mereka masih jomblo, ya.) Ada pernikahan yang dirusak perselingkuhan dan KDRT. Ada yang berakhir dengan perceraian atau kematian salah satu pasangan.

Ada juga yang menikah karena paksaan. Tahu anak-anak perempuan yang dipaksa menikah di usia remaja, terutama karena keluarga mereka dalam kemiskinan dan harus bayar banyak utang? Yakin dunia nggak seburuk itu?

Tentu saja, ini kembali pada pilihan Anda. Kalau mau cari aman dan nyaman, silakan tetap di dalam lingkaran kecil Anda. Bila masih mau memperluas pergaulan, silakan juga. Minimal mainnya ‘agak jauhan dikit’ – lah, biar pengetahuan bertambah dan (semoga) kepekaan empati terasah.

Siapa tahu juga, pasangan Anda sebenarnya juga masih butuh kehidupan lain, alias nggak hanya menjadikan Anda pusat dunia mereka 24 jam sehari. Masa, sih? Ya, tanya mereka dong, jangan saya.

  • Masih hobi nyinyir sama yang masih single (apalagi bila mereka perempuan di atas usia 30).

Kalau masih percaya bahwa perempuan yang masuk dalam kategori ‘perawan tua’ (masih lajang di usia 30 ke atas) adalah tukang nyinyir, mending cek akar permasalahannya dulu, deh. Intinya, siapa sih, yang mulai cari gara-gara dengan mereka, padahal bisa jadi mereka tengah mengurus urusan mereka sendiri?

Ngomong-ngomong, barusan pertanyaan retoris. Masa masih harus saya jawab di sini, sih? Yang dialami salah seorang teman bukan cerita baru. Ada tetangga yang kebetulan bermasalah dengannya dan malah sengaja mencari-cari ‘cacat’ si teman.

“Kayaknya perempuan kayak kamu harus buruan nikah deh, biar nggak nyinyir dan jahat sama orang!”

Padahal, kalau tahu masalahnya, Anda pasti bakal bilang bahwa argumen di atas sama sekali nggak ada hubungannya. Tapi memang dasar masyarakat Indonesia suka masih ada yang begitu. Kalah argumen, yang diserang malah status seseorang. Kekanak-kanakan.

Pada kenyataannya, semua orang berpotensi nyinyir, kok. Ya, termasuk Anda yang dengan sangat bangganya pamer status nikah, lantas mengerdilkan pendapat orang lain hanya karena kebetulan mereka masih single. Bukankah itu sangat dangkal?

  • Merasa bahwa dengan menikah berarti dapat menghindari perkosaan.

Ini lagi logika absurd. Kesannya selama masih single, Anda berpotensi jadi pelaku (terutama bila laki-laki) atau korban (terutama bila perempuan). Bukankah ini namanya penghinaan?

Jujur, saya paling ngeri dengan orang yang berpikir menyimpang seperti ini. Mungkin mereka menganggap bahwa orang yang masih single sulit mengendalikan diri dan bernapsu seperti binatang liar. Pasangan hanya jadi pelampiasan seksual di ranjang. Asli, seram.

Padahal, kalau mau ‘melek statistik’ sedikit saja, banyak kok, korban yang statusnya ternyata sudah menikah. Banyak pelaku yang ternyata punya istri di rumah. Istri (dianggap) ‘kurang melayani’? Belum tentu.

Masih mau menyalahkan perempuan yang keluar rumah sendirian? Lalu apa kabar mereka yang jadi korban perkosaan di rumah, oleh keluarga sendiri pula? Tolong, deh. Stop cari-cari alasan untuk membenarkan pelaku pelecehan seksual apa pun, termasuk perkosaan.

Lagipula, siapa sih, manusia waras yang senang bila harus menikah karena diancam-ancam atau ditakut-takuti?

  • Intinya, selalu merasa lebih baik daripada yang masih single, apalagi janda.

Saya lebih sering mendengar ejekan untuk para lajang. Jomblo ngenes (jones) adalah salah satunya. Seolah-olah status itu begitu hina dan Anda yang sudah terbebas darinya (dengan menikah) berhak mencela-cela. Mungkin karena merasa di atas angin, mengingat kultur di Indonesia begitu memuja-muja pernikahan, terlepas ada yang selingkuh atau babak-belur di belakangnya.

Lalu, apa bedanya Anda dengan orang kaya yang pamer harta di depan mereka yang Anda anggap tak berpunya?

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Semalam dalam Euforia

Mungkin aku bukan dia

gadis pesta yang main mata

membelaimu saat kita bicara

seakan aku tak ada

Aku sudah cukup bahagia

saat mereka berkata:

“Dia tetap menghadap

dirimu yang mengajaknya bercakap.”

Padahal, waktu itu aku tidak ber-makeup

Itu sudah lebih dari cukup bagiku

Tak perlu berharap semu

Toh, belum tentu selanjutnya kita bertemu

R.

Categories
#catatan-harian #lomba #menulis

Perjalanan Saya Sebagai Narablog pada Era Digital

Jika ada yang bertanya mengenai pengalaman saya menjadi seorang narablog atau blogger, ceritanya panjang. Yang pasti, saya mengawalinya saat kuliah di tahun 2000. Waktu itu, blog pertama saya ada di dalam sebuah website berbahasa Inggris. Saya juga menulisnya dalam bahasa Inggris.

Seperti halnya mahasiswi, blog saya awalnya hanya berisi curhatan khas anak kampus. Biasa, cerita hidup saya dan orang-orang di sekitar saya. Ya, soal keluarga, kuliah, teman-teman, sosok lelaki yang saya taksir, hingga tentang pandangan hidup saya sendiri.

Selepas lulus kuliah dan mulai bekerja, saya baru menyadari fungsi dan manfaat lain dari menjadi seorang narablog. Pertama, saya sadar bahwa seharusnya saya tidak secara utuh memperlakukan blog saya sebagai ‘buku harian digital’ yang malah dapat dibaca dan dikomentari oleh semua orang.

Yah, kurang lebih seperti banyak netizen yang hobi curhat atau memaki di media sosial mereka, hehehe.

Secara perlahan, saya mulai sedikit mengubah gaya dan tema penulisan saya kadang-kadang. Makanya, ini yang bikin banyak orang membedakan profesi blogger dengan seorang content writer. Bila seorang blogger masih lebih banyak memasukkan unsur diri mereka ke dalam cerita, maka content writer berbeda.

Seorang content writer bisa menulis tentang review produk, film, buku, atau bahkan resto dan lokasi nge-hits lainnya. Apa bedanya dengan narablog?  Menurut pengamatan awam saya, mereka lebih mengandalkan narasumber selain diri mereka agar lebih objektif.

Kurang-lebih, seperti jurnalis – tapi lebih seperti citizen journalist. Tapi, yang saya tulis barusan hanyalah segelintir dari banyak contoh yang ada. Selanjutnya, kalau mau jadi blogger, content writer, atau malah keduanya juga terserah. Tidak perlu saling membatasi diri bila memang suka dan bisa melakukan keduanya.

Intinya, saya percaya bahwa content writer dan narablog punya rezeki mereka masing-masing. Tidak perlu ada yang merasa iri atau tersaingi.

Momen-momen Spesial Saya Saat Nge-Blog:

Saat membahas momen-momen spesial nge-blog, pasti langsung banyak yang mengaitkannya dengan kemenangan saat ikut lomba menulis blog. Jujur, saya tidak pernah menolak rezeki seperti itu. Kebetulan, saya memang juga suka mengikuti lomba menulis blog maupun yang lain.

Bisa dibilang, saya termasuk pecandu writing challenge. Sebagai seorang narablog, saya sudah pernah memenuhi berbagai tantangan menulis. Mulai dari blog tentang opini, fiksimini, cerpen, puisi, hingga review produk. Kadang ada yang berhadiah uang, voucher, hingga sekadar acknowledgment.

Mungkin kesannya saya tidak punya gaya menulis yang tetap atau ciri khas. Padahal, saya masih tetap berusaha konsisten. Misalnya: saya tidak akan berusaha selalu memakai bahasa gaul kekinian bila memang tidak nyaman. Untuk apa memaksakan diri? Pembaca juga cerdas-cerdas, kok.

Selain itu, saya juga tidak akan memaksakan diri mengikuti lomba blog dengan produk yang saya tidak kenal dan tidak pernah pakai. Saya bahkan tidak mau berbohong, bahkan meskipun hadiah lombanya sangat menggiurkan, seperti uang jutaan rupiah, voucher, hingga produk gadget incaran saya.

Beberapa momen spesial saya saat nge-blog tidak selalu berkaitan dengan menang, dapat uang, atau belanja dengan voucher pemberian. Membaca komentar-komentar seru dari para pembaca, hingga pernah mendapatkan klien juga momen-momen spesial saat nge-blog.

Hingga kini, sebisa mungkin saya masih terus menyempatkan menulis blog. Selain sebagai latihan, saya memang menyukainya. Saya juga banyak belajar dari para rekan blogger yang saya kenal agar kemampuan saya tidak mandek di situ-situ saja. Pada kenyataannya, semua orang memang harus berkembang.

Harapan Saya Sebagai Narablog atau Blogger di Tahun 2019:

Sumber foto: Steve Johnson via Unsplash.com

Di awal bulan Januari 2019 ini, saya memutuskan untuk memulai aktif lagi menulis blog. Saya mulai mencoba-coba mengikuti lomba menulis blog yang ada. Tidak perlu memikirkan ingin mendapatkan hadiahnya dulu (meski nggak bakal menolak kalau memang sudah rezekinya, hehehe.) Yang penting mencoba.

Selain itu, saya berusaha lebih update dengan berita terkini (meskipun menurut saya kadang isunya ‘enggak banget’ alias ‘sampah’). Saya suka menulis opini saya. Orang boleh setuju, boleh tidak. Asal, kalau tidak setuju, bahasanya tidak usah kasar, karena tidak akan saya ladeni sampai kapan pun.

Untuk berlatih variasi menulis, kadang saya juga menjadi seorang blogger tamu di website-website lain. Yang pasti, aturannya berbeda dengan menulis di blog milik sendiri. Tidak boleh egois. Saya harus mengikuti tata cara yang berlaku di dalam website yang ada.

Tidak seperti di blog sendiri, tulisan saya pasti masih akan dikurasi editor dulu sebelum tayang.

Banyak yang menjadi seorang narablog atau blogger demi mendapatkan penghasilan dan ketenaran. Bagi saya, selain penghasilan tentunya (hehehe lagi), saya ingin agar siapa pun yang membaca blog saya merasa menemukan manfaat dan mendapatkan inspirasi, hihihi…

Selain itu, saya punya cita-cita bahwa suatu saat ingin menjadi penulis fulltime yang mandiri. Ya, seperti penulis-penulis favorit saya yang bahkan sudah berjaya sebelum era digital muncul. Tapi, tentu saja saya tidak akan bisa menyamakan diri saya dengan mereka. Pastinya tidak mungkin.

Saya juga tidak mau. Kagum sama mereka boleh, namun lebih baik tetap menjadi diri sendiri dan menemukan gaya menulis sendiri.

Semoga suatu saat blog ini dapat saya monetisasi dengan sepenuhnya. Yang pasti, saya bangga menjadi narablog pada era digital ini.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Manja

Manja

Mengejutkan, kamu masih hidup,

meskipun lamban

raja di istana khayalan

Sungguh membingungkan

Tidak semuanya tentangmu

Kamu tahu

Yang lain harus melakukan sesuatu

Kenapa kamu tidak ikut?

Bocah tua manja

Kemalasan telah mengubahmu jadi petaka

Berhentilah jadi beban semua orang

Dewasalah dan mulai bekerja,

Bahkan meski harus mati-matian

sampai ke tulang …

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Catatan Tentang dan Untuk Siapa pun Atau Bukan Siapa-siapa

Catatan Tentang dan Untuk Siapa pun Atau Bukan Siapa-siapa

Apa yang biasanya saya lakukan ketika pikiran saya mulai berkeliaran? Saya mencoba menyimpan beberapa pemikiran saya – terutama yang saya anggap paling penting – dalam tulisan saya.

Tentu saja, Anda tidak akan terlalu terkejut. Saya memang memiliki momen “Dear Diary” saya sebagai seorang gadis remaja. Beberapa orang mungkin masih beranggapan bahwa menulis jurnal adalah hal yang biasa-biasa saja, tetapi kita semua tahu itu tidak benar. Sama seperti saya, beberapa orang merasa perlu untuk mendokumentasikan pikiran dan perasaan mereka dengan cara ini. Hanya sesederhana itu.

Saya mungkin hanya salah satu dari mereka yang menulis karena memang ingin melakukannya. Saya jarang khawatir tentang apa yang mungkin dipikirkan pembaca. Jika mereka suka apa yang mereka baca dari saya, bagus. Jika tidak … ya, sudah.

Seiring waktu, saya telah belajar untuk tidak menulis semua tentang saya. Ada baiknya mencoba variasi. Ini juga membantu menjaga diri saya agar tidak terlalu fokus sama diri sendiri atau sedikit narsis … Moga-moga, sih. Jadi, inilah “Catatan Tentang dan Untuk Siapa Pun atau Bukan Siapa-siapa”. Jika Anda curiga bahwa saya mungkin sedang membicarakan Anda juga, barangkali memang benar.

Darimana Anda tahu? Ya, bertanyalah langsung – dan jangan main asumsi.

R.