Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Tiada Istirahat (Sungguhan) Untukmu…

Tiada Istirahat (Sungguhan) Untukmu…

Tiada istirahat untukmu

Tiada yang adil, sungguh

Bekerjalah terus

hingga lelah, diri tak terurus

Yang malas dan tak perlu kerja keras

mendapat lebih dari pantas

kesempatan emas

hadiah berkelas

Bagimu, istirahat itu tiada

Tak peduli hati terluka

Lapar bisa buatmu gila

Murka ancam bantai sesama

Ada yang merampas hakmu,

namun kau sudah muak berseteru

Mereka dengan santai berlalu

sesudah tancapkan sembilu

Persetan

Percuma dijadikan masalah

Mungkin banyak yang benar soal “terlalu baik”

Balasannya sedingin es pada stik

Untuk apa terima tipu daya munafik?

Jadi, tiada istirahat untukmu sekarang

Kamu sakit, persetan

Siapa yang peduli?

Semoga tidak (di)biasa(kan)

protes yang (dibiarkan) tenggelam

Jadi percuma, bukan?

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

5 Sebab Seseorang Meninggalkan Grup WhatsApp

5 Sebab Seseorang Meninggalkan Grup WhatsApp

Hmm, ini topik sensitif nggak, ya? Hehe, yang lagi (dan jangan-jangan selalu) sensitif ‘kan, soal politik dan SARA. Yang ini mah, udah nggak harus dibilangin lagi, yah? Banyak yang sudah pernah membahas tipe manusia yang berada di WAG (WhatsApp Group) alias grup WhatsApp. Tapi, gimana dengan sebab mereka ‘left’ atau ninggalin?

Ini dia 5 sebab seseorang meninggalkan WAG:

  1. Ponsel mereka lemot (terutama karena kebanyakan WAG.)

Tahu sendiri ‘kan, betapa ganggunya WA kalau dikit-dikit minta di-update? Apalagi kalau kapasitas ponsel nggak mumpuni. Alamat harus ganti SD card terus – atau beli ponsel yang baru sekalian. Yang banyak duit mah, enak. Kalau yang enggak atau masih nunggu kucuran dana? (Ups, curhat detected, hehehe.)

Nggak hanya banyaknya WAG, anggotanya juga ada yang rajin postingan random – entah bermanfaat atau sampah bernama ‘hoax’. Kadang Anda juga suka lupa (atau malas!) menghapus pesan WA yang bejibun – terutama dari si ‘dia’. (Uhuk!)

Solusinya? Biasanya mereka akan pamit dulu sama segrup sebelum ‘left’. Biasanya suka minta di-reinvite, entah dengan nomor lama tapi SD card baru atau nomor baru sekalian.

  • Mereka emang lagi sibuk banget.

Entah beneran atau basa-basi (padahal emang beneran mau leave aja), mending prasangka baik, deh. Tipe ini juga kurang lebih sama dengan yang pertama. Kenapa nggak jadi silent reader aja? Tergantung kapasitas ponsel sekaligus isi WAG-nya juga, sih.

Bisa saja, saat ini mereka hanya punya satu ponsel untuk semua hal, termasuk bekerja. Masalahnya, bisa jadi WAG yang ingin mereka tinggalkan (entah sementara atau selamanya, haiyah!) adalah grup yang ‘terlalu rame’. Pokoknya potensi distraction banget, deh!

Seperti yang pertama, mereka kadang masih ada yang suka pamit dulu atas nama sopan-santun. Yang lain langsung kabur begitu saja, entah kenapa.

  • Yang jarinya ‘selip’ atau ponselnya lagi dimainin anak kecil.

Niatnya mau ‘klik’ WAG buat kirim pesan, jadinya malah ‘delete’. Kasus lain yang hasilnya serupa, ponsel lagi dimainin anak atau keponakan yang masih kecil. Jadinya asal pencet, deh.

Nah, sambil lebih berhati-hati (bahkan kalau bisa anak kecil jangan dikasih ponsel dulu, biarin aja mereka nangis), mereka meminta tolong admin untuk reinvite.

  • Yang merasa ‘nggak sejalan’ dengan (mayoritas) isi WAG yang bersangkutan.

Nah, kalau yang seperti ini reaksinya macam-macam. Mulai dari yang diam saja terus mendadak ‘left’ hingga yang pake ‘bikin drama’ dulu. Biasa, sekalian ‘tes panggung digital’, berapa orang sih, yang merhatiin?

Bisa jadi, selama ini mereka merasa ‘tersisih’, alias kurang atau tidak diperhatikan seisi grup. Terdengar baper sih, tapi emang ada orang yang kayak begitu. Nggak hanya selalu butuh perhatian, mereka juga ingin setiap pendapat mereka disetujui tanpa syarat. (Aih, memangnya situ siapa, yah?)

Akibatnya, slek dikit sama anggota WAG lainnya – atau apalagi sama admin – bikin mereka mudah bete. Agak sulit berdiskusi baik-baik dengan model begini, soalnya mereka sangat gampang defensif. Padahal, mereka sendiri sebenarnya suka curang.

Curang? Ya, mereka nerapin standar ganda gitu, deh. Mereka berhak berpendapat, tapi yang lain harus sepakat.

Tapi, ada juga yang memilih meninggalkan WAG gara-gara isinya ‘toxic’ semua. Misalnya: hobi menggunjingkan sesama, ribut baper soal politik dan SARA, sharing gambar-gambar porno hingga lelucon-lelucon seksis. Giliran ditegur dan diprotes, yang menegur malah dikatain baper dan merusak suasana.

Daripada ikutan bodoh dan gila, mendingan keluar. Ya, nggak?

  • Yang (sok?) misterius.

Kalau yang ini, tahu-tahu ‘menghilang’ begitu saja. Terus, nggak kasih kabar maupun alasan mereka left WAG. Dengan kata lain: hanya mereka dan Tuhan yang tahu.

Ah, sudahlah. Siapa tahu mereka sedang butuh waktu. Bukan hak kita untuk memaksa. Intinya, selama mereka masih baik-baik saja, seharusnya nggak jadi masalah, tho?

Nah, kalau Anda biasanya left WAG kenapa? Hehehe…

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Jika Dia Memang Segalanya…

Jika Dia Memang Segalanya…

Jika dia memang segalanya:

Mengapa mengeluh setiap dia selingkuh?

Perempuan lain kau anggap saingan

padahal kekasihmu yang bajingan

playboy kambuhan

Cinta…atau obsesi belaka?

Masa tak bisa hidup tanpanya?

Tarik kembali kendali hidupmu

Cari yang baru

Jangan biarkan dia

selamanya buatmu buta…

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

(Lebih Brutal dan) Jujur dalam Fiksi?

(Lebih Brutal dan) Jujur dalam Fiksi?

Terkadang, terutama akhir-akhir ini, beberapa orang lebih terbuka dan jujur ​​dalam dunia fiksi. Bagaimana bisa? Apakah itu selalu berarti mereka adalah pembohong? Apakah itu berarti mereka penipu yang tidak boleh dipercaya?

Beberapa orang seperti itu, memanjakan diri mereka di dunia fiksi. Jika masih melibatkan membaca dan menulis, sebenarnya masih tidak masalah. Tidak ada yang salah dengan melakukan hal-hal itu. Semuanya murni atas nama hiburan dan tidak berbahaya.

Jelas, saya juga terkadang melakukannya. Jika beberapa orang berasumsi bahwa saya melakukan ini untuk melarikan diri dari kenyataan, maka jadilah itu. Mungkin itu benar. Terkadang, saya mungkin membutuhkannya juga.

Beberapa orang melakukannya karena takut. Mereka merasa bahwa mereka tidak bisa menjadi diri mereka sendiri yang sebenarnya. Orang lain tidak ingin mereka begitu. Mereka ditakuti dan dibenci karena jati diri mereka yang sebenarnya. Mereka dianggap aneh. Yang lain menolak untuk hidup berdampingan dengan mereka.

Jadi mereka akhirnya memilih untuk menjadi apa yang dunia dapat terima dengan lebih baik. Lebih aman begini. Mereka bisa menghindari argumen dan persekusi.

Pertanyaannya adalah, berapa lama mereka bisa terus berpura-pura, hanya untuk menyenangkan orang lain?

Beberapa orang lain menggunakan fiksi untuk alasan yang berbeda dan lebih jahat. Mereka adalah penipu yang benar-benar menikmati perbuatan mereka. Mereka tidak punya penyesalan. Tidak punya rasa malu, karena bagi mereka – yang penting senang-senang.

Mereka mendapatkan semua kesenangan ketika korban mereka sudah dikerjai. Mereka senang ketika berhasil membuat orang lain merasa bodoh. Mereka merasa lebih unggul dari orang lain. Mereka juga memilih untuk mencintai karakter buatan mereka dengan lebih baik, jauh lebih baik daripada diri sendiri. Mereka merasa sangat tidak aman.

Namun, itu tidak pernah menjadi alasan untuk berbohong kepada orang-orang tentang jati diri mereka sebenarnya.

Inilah era ketika banyak orang mungkin merasa bahwa fiksi jauh lebih aman daripada kenyataan. Anda bisa menjadi siapa saja yang diinginkan, terutama jika jati diri Anda benar-benar dibenci oleh dunia.

Fiksi adalah tempat yang aman. Saya tidak akan berbohong pada Anda; bahkan saya merasa aman di sana. Saya tidak mudah terluka. Bahkan, saya bisa menyakiti orang lain yang telah menyakiti saya di kehidupan nyata tanpa benar-benar membuat mereka terbunuh secara nyata dan kemudian menyesalinya.

Namun, tidak ada yang bisa tetap bersembunyi di dunia fiksi selamanya. Terkadang, Anda masih harus jujur ​​dan terbuka, sepahit apa pun kenyataan yang ada.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Drama Mulut-mulut Besar

Drama Mulut-mulut Besar

Semua berkeras

ingin didengar

Ada yang pakai data

Ada yang (hanya) banyak bicara

Ada yang lalu menghina

merasa paling tahu segalanya

padahal tidak paham apa-apa

yang penting ramaikan suasana

Ada yang diam

meski kalah jumlah

hanya menjawab sekadarnya

pakai tulisan

lalu terserah mereka

mau terima atau tidak

bukan urusan

yang penting menjawab dengan cerdas

meskipun lawan tidak berkelas…

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

7 Tipe Manusia yang Takkan Saya Layani dalam Perdebatan

7 Tipe Manusia yang Takkan Saya Layani dalam Perdebatan

Saya tidak terlalu tergila-gila dengan perdebatan. Dulu sih, suka dan saya akan melakukan apa pun untuk memperjuangkan yang saya yakini. Tidak masalah jika orang membenci saya karenanya.

Yah, saya masih tidak peduli jika mereka masih nggak suka. Saya hanya memilih meladeni seperlunya. Daripada membuang-buang waktu dan energi saya yang berharga untuk berdebat dengan orang-orang yang bahkan tidak sepadan, saya lebih suka mengabaikan mereka sepenuhnya. Memang kedengarannya kejam.

Namun, demi kesehatan mental saya sendiri, saya tahu bahwa kadang-kadang saya harus “kejam demi kebaikan diri sendiri”. Saya hanya akan mengikuti prinsip “setuju untuk tidak setuju”, meskipun beberapa orang dengan ego bengkak cenderung mendorong saya melampaui batas kesabaran saya. Inilah mereka:

1. Orang-orang yang hanya ingin menang debat – dengan segala cara.

Percuma bicara pakai akal sehat sama mereka. Ego mereka yang membengkak terlalu rapuh. Tidak masalah jika Anda tahu Anda benar dan Anda memiliki bukti yang cukup untuk mendukung opini Anda.

Bagi mereka, kalah debat (terutama sama orang yang tidak mereka hormati) sama memalukannya dengan terlihat bodoh di depan umum. Mereka memang merasa bodoh, karena mereka mempertaruhkan martabat dan harga diri mereka – hanya untuk menang debat. Mereka juga bisa menjadi tipe-tipe lain (atau semuanya) di bawah ini dalam daftar kejam saya ini.

2. Orang-orang yang suka menyerang Anda secara pribadi (terutama yang tahu persis cacat argumen mereka sendiri!)

Ketika mereka kalah debat, mereka akan memastikan bahwa kemenangan Anda terasa seperti kotoran. Mereka bisa meratap dengan kalimat seperti: “Tapi nggak usah jahat gitulah sama aku!” (Bahkan ketika sudah jelas bahwa Anda menunjukkan kekurangan pada argumen mereka – bukan siapa mereka.)

Cara kekanak-kanakan lain yang mereka lakukan adalah mengejek. Jika Anda memiliki orang-orang lain yang mendukung pendapat Anda, mereka biasanya nyinyir dengan kepahitan: “Wah, hebat. Ternyata banyak yang dukung kamu”. Ini jelas hanya langkah murahan mereka untuk membuat diri mereka merasa lebih baik. Satu kata untuk itu: menyedihkan.

3. Orang yang menolak move on dari debatan kemarin.

Apa susahnya sih, hanya untuk “setuju untuk tidak setuju”? Alasannya sederhana: mereka hanya merasa tidak aman.

Menyatakan pendapat mereka (terutama pada sesuatu yang tidak mereka ketahui) sekeras dan sekasar mungkin tidak cukup baik. Mereka harus mendapatkan pengakuan Anda, dengan satu atau lain cara. Mereka menuntut Anda setuju dengan mereka.

Mendiamkan mereka juga percuma. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan menjadi penguntit yang berbahaya – bersikeras bahwa Anda bertatap muka untuk “membicarakan yang itu-itu lagi” (meski yang sebenarnya mereka inginkan adalah mengancam Anda.)

Jika mereka gagal melakukannya, mereka berusaha mengeksploitasi orang lain untuk membenci Anda juga. Bagi orang yang tidak tahan kalah, ternyata mereka juga membutuhkan orang lain untuk mendukung mereka. Sementara itu, Anda punya kehidupan, dengan hal-hal yang lebih baik dan lebih penting untuk dihadapi daripada menghadapi kemarahan yang kekanak-kanakan seperti itu.

4. Orang-orang yang sombong dan suka meremehkan (alias yang merasa paling tahu segalanya ‘).

Mereka bertindak seperti ini hanya karena mereka yakin mereka sudah cukup membaca. Mereka bahkan tidak mau repot-repot mendengarkan Anda atau membiarkan Anda berbicara. (Bahkan, mereka cenderung mengolok-olok Anda saat Anda lagi bicara.)

Mereka selalu berpikir bahwa mereka lebih pintar daripada orang lain di sekitar mereka. Sekali lagi, tidak penting dengan yang Anda ketahui dan bukti valid yang Anda miliki untuk melawan argumen mereka yang cacat.

Pada kenyataannya, selalu ada orang yang jauh lebih pintar tetapi lebih bijaksana untuk tetap diam dan hanya berbicara ketika paling diperlukan. Mereka telah membaca lebih banyak buku daripada mereka yang mengklaim telah membaca semuanya, tetapi mereka tidak pernah menyombongkan diri kepada dunia.

Kalimat favorit mereka untuk menolak argumen Anda adalah: “Mana statistik buat buktiin kamu benar?” Sebelum mereka mulai meminta hal seperti itu, mengapa mereka tidak melakukan hal yang sama terlebih dahulu? Ini yang selalu terjadi ketika Anda hanya mengandalkan suara keras dan sikap kasar. Benar-benar menjengkelkan dan nggak sopan.

5. Orang-orang yang merajuk seperti anak-anak kecil ngambekan.

Yang benar-benar membuat saya marah dan meninggalkan argumen sama sekali adalah ketika orang lain mulai bertindak seperti ini. Contoh paling umum yang sering saya dengar adalah: “Iya, deh. Kamu selalu benar dan aku selalu salah. Terserah.”

Setelah itu, saya lebih suka menjadi tuli dan berpura-pura mereka tidak ada lagi. Mengapa? Saya lebih suka melakukan percakapan yang sehat dan masuk akal dengan orang dewasa betulan daripada yang hanya gede badan tapi kayak anak kecil ngambekan. Jika lain kali saya dengar tanggapan kekanak-kanakan seperti itu, saya sarankan mereka melakukan sesuatu yang sangat penting terlebih dahulu:

Bersikap dewasa.

6. Orang yang berdebat dengan sesuatu yang sama sekali tidak relevan atau di luar topik hanya untuk mengalihkan perhatian Anda.

“Apakah kamu selalu sejahat ini sama orang-orang?”

“Kamu benci banget sama aku, ya?”

“Jika kamu terus bertingkah seperti ini, nggak akan ada yang mau sama kamu.”

Upaya ini memiliki istilah yang lebih populer saat ini: ‘gaslighting‘. Alih-alih membahas topik dengan setidaknya tingkat kedewasaan yang hampir sama (jika bukan dari segi kecerdasan atau pengetahuan), mereka mencoba untuk fokus pada ‘apa yang salah dengan Anda’ bukannya hanya mengakui kesalahan mereka – atau tetap fokus di topik. Bikin gila nggak, sih?

Saran saya? Biarkan mereka yang ngomong paling terakhir dan tinggalkan mereka. Mereka sama sekali tidak siap untuk diperdebatkan; mereka hanya ingin didengar, dipahami, dan disepakati. Egois banget nggak, sih? Sebentar, itu bukan urusan Anda. Itu masalah mereka.

7. Orang yang menyadari bahwa mereka kalah debat dan Anda benar (atau keduanya), tetapi kemudian bertindak seolah-olah kalian telah menyetujui hal yang sama. (Padahal sebenarnya tidak.)

Ketika argumen yang lagi panas tiba-tiba terhenti dengan jeda cukup panjang sebelum mereka tiba-tiba berkata: “Itu maksud saya” setelah mereka secara defensif membalas debatan Anda sebelumnya, cukup tertawakan mereka diam-diam. Seperti yang sebelumnya, mereka hanya perlu jadi orang terakhir yang bicara biar merasa telah memenangkan sesuatu.

Kalau soal diskusi dan argumen, orang yang benar-benar dewasa memilih fokus pada menemukan solusi untuk suatu masalah. Yang lain hanya ingin terdengar pintar dan memenangkan perdebatan. Silakan pilih.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Apa yang Kau Cari?

Apa yang Kau Cari?

Apa yang kau cari

di ruangan ramai ini?

Ada yang hilang dari cantikmu

Senyum palsu

Mata sendu

Aku tak tertipu

Kau lingkarkan lengan di setiap lelaki yang menarik minatmu

Di matamu, mungkin aku cupu dan lugu

Jangan tertipu tampak luarku

Kau mungkin tak peduli

lelaki mana yang akan pulang denganmu malam ini

Apa pun untuk mengusir sepi

Toh, pendapatku tak berarti

Aku juga enggan menghakimi

Bersyukurlah dia bukan kekasihku

Aku sudah cukup melihat malam itu

Saatnya pulang

Jiwa ini lelah bukan kepalang

melihatmu rakus merampas kebahagiaan semu

tanpa peduli sekelilingmu…

R.