IPOT – Aplikasi Investasi Saham Indopremier yang User-Friendly
Seminggu telah berlalu sejak saya berkesempatan hadir di acara “Maximize Your Rupiah” with Indopremier. Acara yang diadakan di Bursa Efek Indonesia, Jakarta Selatan, pada 22 Juni 2019 lalu, bertepatan dengan ulang tahun ibukota Jakarta. Meskipun masih sedikit terbingung-bingung sebagai awam, IPOT berhasil mencuri perhatian saya.
Dulu,
sebagai orang awam, berinvestasi saham terdengar ‘wah’ di telinga saya. Meskipun terdengar keren, ada rasa khawatir
akan merugi bila saham yang sudah dibeli mendadak turun harga dalam waktu
cepat. Bahkan, kabarnya untuk ikutan saja membutuhkan prosedur yang rumit dan
memakan waktu lama.
Namun,
dengan adanya aplikasi IPOTPAY,
orang awam pun bisa mencobanya. Bahkan, setelah mendaftar di aplikasi ini, Anda
sudah langsung bisa jadi investor dalam waktu kurang dari sejam. Bila jumlah
dana yang jadi kekhawatiran, Anda bisa memulai investasi saham hanya dengan 100
ribu rupiah.
IPOTPAY
terdiri dari berbagai jenis, seperti: IPOTGO
(termasuk untuk reksadana), IPOTKU, IPOTSTOCK, IPOTFUND,
IPOTPLAN, IPOTNEWS, sampai IPOTSyariah khusus investor saham beragama Islam
yang ingin berinvestasi murni secara halal. Tiga (3) manfaat menggunakan
IPOTPAY adalah:
Adanya imbal hasil harian hingga 10 persen
per tahun. Enaknya, imbalan ini bisa diambil kapan pun.
Tidak ada biaya administrasi.
Gratis biaya transfer. Bahkan, tidak ada
limit transaksi saat transfer ke bank.
Mencoba Aplikasi IPOTPAY
Mendaftar
pada aplikasi IPOT tidak rumit, hanya butuh teliti dan mau membaca keseluruhan
persyaratan. Selain itu, ada dua (2) kali login
untuk pengamanan dobel pada akun Anda. Yang pertama adalah login dengan
nama akun dan password. Yang kedua
adalah login PIN, hampir sama dengan login PIN kalau mau mengakses akun bank di
ATM.
Setelah
itu, barulah Anda bisa mulai mencoba melakukan online trading. Bila mengalami kendala, Anda bisa langsung melapor
ke support@indopremier.com
Mengapa Berinvestasi Saham Itu
Penting?
Bapak
Marco Poetra Kawet, perwakilan BEI yang hadir sebagai salah satu pembicara hari
itu, menyebutkan bahwa ada tiga (3) hal yang dapat membuat fintechs (financial technologies) seperti IPOT dapat ‘menguasai
pasar dunia’, yaitu:
Simplicity.
Tidak
perlu banyak berkas untuk mendaftar di akun IPOTPAY dan lain-lain. Bahkan,
cukup beberapa klik saja, akun Anda sudah jadi.
Efficiency.
IPOT
tidak akan ribet, karena banyak fitur di dashboard
yang dilengkapi dengan dua bahasa (Inggris dan Indonesia, tergantung
pilihan user) yang mudah dipahami.
Bila masih mengalami kendala, user bisa
melapor langsung ke
Speed.
Bila
dulu butuh waktu lama untuk ikut berinvestasi saham (misalnya: sebulan hanya
untuk mengurus pendaftaran), maka aplikasi IPOT hanya membutuhkan minimal sejam
untuk hal serupa.
Bila
selama ini kita sudah terbiasa untuk menabung, kenapa tidak mulai coba
berinvestasi saham?
Menggunakan IPOTGO Untuk Online Trading
Guilty as charged, hingga
kini saya belum sempat banyak mencoba menggunakan aplikasi IPOTGO. Beberapa
detil yang saya ingat pada tanggal 22 Juni di BEI waktu itu adalah bahwa
keuntungan bagi pemegang saham adalah capital
gain yang bisa mereka dapatkan.
Selain
itu, keuntungan punya saham lewat aplikasi IPOTGO ini sama dengan investasi
saham secara non-digital. Laba perusahaan dibagi secara adil kepada semua
pemilik saham, tentu sesuai perjanjian yang berlaku.
Bila
baru pertama kali berinvestasi saham, saran dari para ahli adalah berinvestasi
saham untuk produk sehari-hari, terutama yang sudah familiar bagi Anda. Bila di
IPOT tidak menemukan saham produk yang dicari saat ini, Anda tinggal gunakan
fitur search untuk mulai berburu
produk incaran Anda.
Hmm,
sepertinya saya harus meluangkan waktu lebih banyak lagi untuk menggunakan
IPOT. Tidak hanya menambah pengalaman di bidang finansial, siapa tahu saya bisa
mendapatkan penghasilan sampingan.
Tentang Lelaki yang Mengomentari Makeup dan Skincare Perempuan di Twitter
Langsung saja, ya.
Beberapa saat lalu (bahkan, kalo gak salah pas libur Lebaran kemaren), jagad Twitter sempat ‘ramai‘ oleh cuitan akun seorang lelaki. Singkat cerita, lelaki yang jelas-jelas sengaja cari sensasi ini memberi komentar menyerang mengenai para perempuan yang hobi memakai makeup dan skincare. Mau yang tipis atau full makeup, mau yang produknya mahal atau kelas toko sebelah, semua kena.
Seperti biasa, langsung banyak yang menyerang, terutama kaum Hawa. Gimana enggak, bila komentar lelaki itu begitu menggeneralisir dan menyudutkan?
“Perempuan yang makeup-nya menor pasti gak berotak!”
Wow. Saat membacanya, saya ingin tertawa…sinis. Namun, saya juga sadar bahwa manusia semacam mereka sama sekali tidak layak untuk ditanggapi.
‘Panjat Sosial’ Mereka yang Putus Asa
Banyak cara untuk mendapatkan perhatian di jagad social media. Yang cerdas mungkin tidak perlu berusaha terlalu keras, apalagi sampai kelewat batas.
Yang bijak mah, biasa saja. (Bahkan, bisa jadi mereka malah paling jarang cuap-cuap di Twitter atau social media lainnya.) Intinya, mereka sudah cukup sibuk dengan hal-hal lain yang jauh lebih penting ketimbang sekadar eksis di dunia maya.
Apa? Semua orang berhak berpendapat? Oh, tentu saja. Saya nggak pernah bilang kalau saya melarang. Memangnya saya siapa?
Namun, semua juga harus siap bila ada yang tidak sepakat. Bahkan, harus lebih siap mental lagi kalau ternyata lebih banyak yang bilang: “Aduh, gobloknya gak ketulungan tapi kok, masih gak malu bacot paling keras?”
Saya nggak tahu (dan lebih tepatnya juga nggak mau tahu) masalah pribadi lelaki macam ini. Saya juga nggak mau asal menilai semudah lelaki macam ini yang menghakimi semua perempuan yang suka memakai makeup dan skincare, apalagi sampai mahal.
Tapi boleh ‘kan, saya berasumsi? Misalnya: bisa saja lelaki itu sedang kesepian setengah mati dan nggak tahan sekali. Makanya, dia cari perhatian, meskipun caranya menghina sana-sini.
Padahal, kalau caranya kayak begitu, mana ada perempuan waras yang mau sama dia? Hihihihi…
Mungkin saja cintanya baru saja ditolak sama perempuan yang kebetulan suka juga memakai makeup dan skincare. Ibarat ‘unsub’ (unidentified subject alias pelaku kejahatan di serial “Criminal Minds”), mendendamlah dia pada semua perempuan yang kebetulan juga mirip.
Ada kemungkinan lain?
Jangan-jangan, lelaki itu sebenarnya diam-diam iri. Ingin juga pakai makeup dan skincare, cuma:
Dia nggak sanggup beli.
Dia takut di-bully karena lelaki.
Hihihihi…
Memangnya dia saja yang boleh main berasumsi? Setidaknya, saya masih pakai kata ‘mungkin’, jadi tidak menggeneralisir. Males banget kalau lagi-lagi dibantah dengan argumen basi yang sama:
“Nggak semua laki-laki…”
Dih, gitu doang bisanya, tapi paling gencar kalau sudah menghakimi perempuan!
Hayo,
ngaku aja, deh. Bila termasuk kaum Hawa, pasti hatinya pernah melambung tinggi
mendengar ucapan seperti ini. Apalagi momen-momen tertentu seperti saat Lebaran
kemarin, arisan, hingga reuni.
Jujur,
awalnya saya sendiri juga sempat sangat senang. Tahu sendiri ‘kan, tumbuh
dengan figur tambun seperti ini lebih rentan jadi bahan ejekan. Apalagi bila
Anda perempuan. Alamat selalu jadi perbandingan, entah dengan kakak perempuan
yang lebih kurus atau sepupu yang ‘akhirnya
berhasil punya pacar setelah turun sepuluh kilogram’.
Untuk
yang terakhir, entah kenapa masih banyak yang menganggapnya prestasi, berhubung
perasaan manusia tidak pernah 100 persen bisa ditebak alias mudah berubah – dan
cinta serta selera itu sebenarnya relatif. Tapi, saya siapa, sih? Yang ada
malah dituduh cari-cari alasan untuk tidak ‘menjaga
berat badan’ oleh mereka yang masih memegang teguh kepercayaan ini secara
militan. Hehe…
“Jangan gemuk lagi, yah.”
Tuh,
‘kan? Kesannya menjadi gemuk (apalagi buat perempuan) kayak tindakan kriminal,
dosa, hingga sesuatu yang teramat hina. Okelah, kalau yang jadi masalah adalah
perkara kesehatan.
Namun,
pada kenyataannya, orang lebih banyak meributkan soal penampilan. Entah kenapa,
masih banyak yang mau lebih ribet ngurusin penampilan orang lain, terutama
perkara pakaian dan berat badan. Padahal, basa-basi mereka juga nggak langsung
otomatis bikin Anda kurus dalam sekejap. (Kalau
bisa, mungkin saya sudah membayar mereka!)
Toh,
pada kenyataannya, tetap Anda juga yang (bisa dan harus) pegang kendali atas
tubuh sendiri. Ya, nggak?
Kalau
komentar sebaliknya, pasti jauh lebih nyebelin:
Enaknya
yang kayak gini diapain, ya? Pengennya sih, suatu saat nanti udah nggak akan
ada lagi basa-basi bedebah busuk macam ini. Orang akan lebih nanya kabar,
seperti: “Apa kabar? Udah lama gak
ketemu” atau minimal pujian relatif netral macam: “Elo keliatan happy, deh.”
Bahkan,
saya dengan jujur lebih suka dipuji dari segi kepribadian daripada hanya
dibilang ‘cantik’. Mungkin ini
terdengar nggak lazim bagi kalian, tapi saya bosan saja melihat perempuan
selalu lebih banyak dinilai dari penampilan luarnya saja. Nggak pada muak, ya?
Sayangnya,
mengubah mindset masyarakat mengenai
cara memandang perempuan bukan pekerjaan yang bisa selesai dalam semalam.
Nyebelin banget emang. Akan selalu ada orang yang menganggap bahwa badan kurus
itu suatu prestasi, meskipun belum tentu terkait dengan kesehatan diri.
Akan
juga selalu ada orang yang berpendapat bahwa ekstra lemak di tubuh Anda begitu
mengganggu di mata mereka. Santai saja. Toh, yang ‘sakit mata’ sama ‘capek
mulut’ juga bukan Anda. Anggap saja opini mereka nggak penting. Sadis sih,
emang. Tapi mau gimana lagi?
Lagipula,
Anda-lah orang pertama dan satu-satunya yang bisa, boleh, dan harus menentukan
mau terlihat seperti apa – dan bagaimana perasaan Anda – akan tubuh sendiri.
Saya mungkin satu dari sekian banyak
orang Indonesia yang sekarang sudah amat muak dengan politik dalam negeri.
Sebisa mungkin saya sudah nggak mau ngomongin lagi secara terang-terangan,
apalagi soal 01, 02, hingga 21 – 22 Mei 2019 kemarin. Pokoknya sudah cukup.
Apakah berarti saya memutuskan untuk
bersikap netral? Nggak juga. Yang pasti, kemarin saya nggak golput. Cuma,
biarlah pilihan saya cukup Tuhan yang tahu. Manusia lain nggak perlu ikut
campur.
Kalau pun ingin netral juga nggak
bebas celaan. Kalau nggak dibilang pengecut, cari aman doang, ya munafik. Bukan
kabar baru, tho? Penyederhanaan istilah yang luar biasa umum dilakukan
orang-orang kita yang entah kenapa begitu suka dengan drama.
Capek? Ya, pastinya juga capek
banget.
Padahal, mereka yang memutuskan untuk
nggak mau lagi ngomongin politik bukan berarti nggak peduli. Mereka hanya
merasa nggak perlu buktiin ke siapa-siapa – bahkan ke seluruh dunia, terutama
lewat social media – bahwa mereka (sebenarnya)
masih memperhatikan.
Mereka lebih peduli dengan mencari
solusi ketimbang saling menghina, menuduh, menyalahkan, dan menjatuhkan. Mereka
lebih fokus melihat dari dua sisi dan menyimpan opini mereka sendiri. Nggak
semua hal harus dibagi-bagi.
Apakah mereka total tidak membahasnya
sama sekali? Belum tentu. Mereka hanya memilih untuk membahas politik dalam
negeri dengan orang-orang tertentu. Orang-orang terpilih ini bisa berpikir dan
menganalisa secara objektif, nggak fanatik buta hingga baperan tingkat akut,
dan nggak suka mengumbar terlalu banyak lewat social media.
Itu pun nggak sering-sering amat.
Ngapain coba? Masih banyak topik seru lain buat dibahas.
Ignore, Mute, Unfollow, Unfriend, Report, Hingga Blokir
Banyak yang rajin menebar kebencian
dan fitnah lewat social media. Bahkan,
nama Tuhan kerap dibawa-bawa, terutama saat dengan entengnya melaknat sesama.
Nggak tanggung-tanggung, kayak udah nggak inget kalau kemarin kita berpuasa dan
merayakan Lebaran. Masih saja ada yang meramaikan social media dengan kedengkian akut. ‘Luar biasa’.
Banyak yang mengeluhkan hal ini.
Bahkan, banyak juga yang akhirnya bikin ancaman terbuka, kalau mereka akan
memilih setidaknya salah satu dari fitur di sub-judul artikel ini di atas. Saya
mengerti. Pasti rasanya melelahkan sekali melihat timeline akhir-akhir ini.
Saya sendiri tidak pernah melakukan
hal serupa, mengancam secara terbuka. Saya cukup melakukan yang harus
dilakukan. Nggak perlu bilang-bilang juga.