Ada yang Lucu dari ‘Menghamili Perempuan’?
Ada yang lucu dari ‘menghamili
perempuan’?
Rasanya
emang harus nanya begini. Masalahnya, sudah dua kejadian terkait lelucon
tentang ibu hamil yang menurut saya sama sekali nggak lucu:
Contoh kejadian pertama
Kejadian
ini dialami oleh teman saya yang sedang hamil anak kedua. Waktu itu, dia naik
transportasi publik. Karena sedang penuh, semua kursi terisi oleh penumpang
lain. Teman pun memberitahu petugas mengenai kehamilannya pada petugas, sehingga
petugas membantunya mencarikan kursi kosong.
“Permisi,” panggil
si petugas. “Ada kursi kosong? Ada yang
hamil, nih.”
Entah
kenapa, mendadak seorang penumpang laki-laki langsung nyeletuk hingga beberapa
penumpang lainnya tertawa:
“Kalo yang menghamili ada, nggak?”
Jangan
tanya gimana reaksi teman saya waktu itu. Berdasarkan status yang ditulisnya di
media sosial, teman mengaku ingin sekali menampar laki-laki yang mulutnya kayak
nggak pernah masuk sekolah. Bener-bener nggak sopan!
Anggap
saja laki-laki itu beruntung, karena teman saya masih ingat dia lagi hamil.
Mana waktu itu juga pas bulan puasa lagi.
Contoh kejadian kedua
Atasan
di kantor saya meminta saya mencarikan brand
ambassador untuk maternity product klien
kami. Dengan memanfaatkan banyaknya grup Whatsapp, saya meminta tolong pada
para anggota, salah satunya di grup teman-teman lama. Eh, bukannya langsung
dibantuin (atau minimal bilang enggak ada aja kalo memang nggak kenal calon
potensial untuk jadi brand ambassador),
teman-teman lama malah bercanda.
Bahkan,
ada seorang teman laki-laki yang bercanda:
“Ada, tapi sebentar ya…gue hamilin
dulu.”
Satu
grup tertawa, termasuk anggota yang perempuan. Saya sendiri akhirnya merasa
hanya buang-buang waktu meminta tolong sama mereka. Bukannya nggak suka bercanda,
tapi ‘kan, ada waktu dan tempat yang tepat. Siapa tahu saat itu saya minta
tolong karena sudah terdesak deadline.
Apa sih, yang lucu dari ‘menghamili
perempuan’? Kenapa ketawa pas mikirin hal itu?
Saya
yakin, kalo kedua laki-laki tadi saya tanya gitu, pasti pada nggak bisa jawab.
Paling ngelesnya cuman, “Becanda, gitu
aja serius amat.” Atau paling enggak, saya dituduh baperan dan diminta
biasa aja, gak usah galak-galak amat alias nge-gas. Biasa banget, ‘kan? Mungkin
lain cerita kalo yang negur mereka kebetulan juga sama-sama laki-laki. Gak tau,
deh.
“Belum hamil aja udah sensi gini.
Gimana entar?”
Padahal,
saya yakin mereka udah nggak perlu dikasih tau lagi kalo buat perempuan, hamil
ini perkara serius. Ini bukan soal pembuktian bahwa laki-laki yang menghamili
mereka nggak masuk kategori MANDUL. Ini soal perubahan drastis dalam setiap
aspek kehidupan mereka sebagai perempuan dan manusia.
Nggak
hanya secara fisik, hormon juga udah pasti bakal mengubah kondisi psikis
perempuan. Kayak teman saya yang tadinya bisa melenggang santai naik transport
publik dan gak peduli kalo gak dapet kursi, sekarang mau nggak mau harus duduk.
Bukan apa-apa, banyak kasus perempuan hamil kelelahan hingga hampir jatuh
pingsan atau punya masalah hernia karena terlalu lama berdiri.
Laki-laki
yang nggak pernah harus mengalami semua hal di atas tinggal menjadikan
pengalaman menghamili perempuan sebagai bahan bercandaan. Ngakunya memuliakan
perempuan, tapi kok gaya bercandanya gini amat, yah?
Jujur,
saya bergidik. Tiba-tiba saya membayangkan pelaku pemerkosaan yang akhirnya ‘untung dua kali’ gara-gara kebijakan ‘damai’ maupun ‘menikahkan korban dengan pelaku’ sebagai solusi yang entah kenapa
sering banget dipilih masyarakat negeri +62 ini.
Bisa
aja ‘kan, laki-laki ini tadinya naksir korban, namun karena ditolak – jadinya
dia menempuh jalan biadab ini demi mendapatkan si perempuan dengan cara apa
pun? Toh, masyarakat juga masih akan tetap berpihak pada mereka. Korban jadi
dipaksa nggak punya pilihan, kecuali ‘diikat’
seumur hidup dalam perkawinan yang sama sekali nggak mereka inginkan.
Intinya, masyarakat lebih peduli bahwa korban terlanjur hamil tanpa suami,
bukannya korban trauma dengan laki-laki yang memaksa menghamilinya.
Sampai
sini, yakin masih ada mau ketawa soal menghamili perempuan?
Saya
yakin, yang hobi bercanda soal menghamili perempuan sebenarnya sudah tahu bahwa
ada nyawa yang dipertaruhkan di sini. Ya nyawa calon ibu, ya nyawa janin di
kandungan. Tapi, mereka ngeh nggak, kalo perempuan masih harus merasakan
berbagai kekhawatiran lain? Badan yang berubah, jadi lebih gemuk dan belum
tentu bisa langsing lagi serta payudara kendur bikin insecure.
Takutnya,
abis itu suami jadi nggak tertarik lagi sama istri…eh, terus cari-cari alasan
buat selingkuh atau poligami. Gila, udah bertaruh nyawa demi anak, buntutnya
malah ditinggal pergi. Nggak usah mendebat dengan argumen #TidakSemuaLakilaki,
karena intinya memang banyak yang model begini. Gak usah berkelit.
Banyak
bukti lain yang nunjukin kalo perempuan hamil itu bukan perkara remeh yang bisa
dijadiin bahan lelucon, apalagi lelucon model fratboys barusan. Salah satunya soal stunting. Menurut data terkini dari artikel Katadata Januari 2019
kemarin, satu dari tiga bayi di Indonesia berisiko mengalami stunting. Penyebab awalnya dari ibu
hamil yang kekurangan gizi. Bukan karena si ibu nggak mau makan makanan yang
bergizi, tapi banyak juga yang mengalami kesulitan ekonomi.
Udah
gitu, masih risiko disalah-salahin lagi. Ya, gak bisa ngatur duit belanja dari
suami, gak ngurusin anak dengan baik. Ih!
Banyak
juga perempuan usia remaja yang dipaksa menikah demi menghindari zina. Hamil
terlalu muda membuat mereka lebih rentan terkena masalah kesehatan, termasuk
risiko keguguran. Eh, lakinya malah cuman bisa bangga karena bisa menghamili
yang lebih muda. Apa-apaan, sih?
Bukti
terakhir ada di teman saya, Tiar Simorangkir dari @lamhorasproduction . Saat
ini Tiar dan teman-temannya sedang merampungkan film dokumenter berjudul “Invisible Hopes”, tentang napi
perempuan yang hamil dan terpaksa melahirkan serta membesarkan bayi mereka di
penjara. Gak semua beruntung punya keluarga yang mau menampung anak mereka. Ada
juga yang terpaksa menyerahkan anak mereka untuk diadopsi.
Mau
menghujat perempuannya? Terserah, karena sebenarnya banyak dari mereka yang
sebenarnya menjadi korban karena ditipu suami sendiri. Sudah nggak boleh kerja,
nggak boleh bantah dan banyak nanya suami, tahunya suami kerja yang nggak halal
(kayak jadi bandar narkoba). Begitu dicari-cari polisi, mereka kabur seperti
pengecut, membiarkan istri sendiri ditangkap karena narkoba yang ditemukan di
rumah mereka.
Lagipula,
yang jadi masalah lebih kritis di sini juga kesejahteraan si anak.
Okelah,
mungkin yang hobi bercanda soal menghamili perempuan belum sadar kalau itu
termasuk pelecehan. Tapi, setelah membaca artikel ini, saya tanya sekali lagi,
ya:
Yakin nih, kalau perkara ‘menghamili
perempuan’ itu bisa kalian jadiin bahan lucu-lucuan?
R.