Categories
#catatan-harian #menulis

Baru Suka, Belum Tentu Cinta

Baru Suka, Belum Tentu Cinta

Saya ingat curhatan salah seorang teman. Untuk orang yang disuka, teman cukup berani menyatakan rasa duluan. Namun, dia juga tidak mau sembarangan. Dia ingin mengecek beberapa hal penting tentang sosok yang sedang sangat disukainya, seperti: apakah dia sudah punya pasangan? Bila belum, mungkinkah dia merasakan hal yang sama juga?

Menurut saya sih, ini pendekatan cerdas. Naksir, suka, atau bahkan sampai jatuh cinta itu wajar. Namanya juga manusia. Asal jangan sampai berusaha merebut kebahagiaan orang lain juga, ya. (Nggak perlu saya jelasin di sini, pasti udah pada ngerti maksudnya.)

Namun, agar tidak terlalu banyak berharap hingga salah mengira, saya berusaha sedikit membantunya. Saya menanyakan tiga (3) pertanyaan retoris ini:

  • Yakin beneran suka, bukan kagum doang?

Ada yang mengaku naksir sampai tergila-gila dengan seseorang. Begitu kenal lebih dekat, ternyata sang pujaan hati mengecewakan. Hmm, langsung ilfil, deh.

  • Siap dengan reaksi si dia?

Nggak hanya diterima, ditolak juga bagian dari risiko. Siap ditolak, nggak? Apa Anda masih akan berharap suatu saat si dia akan berubah pikiran dan memberi Anda kesempatan? Apakah Anda bisa menghargai jawaban atau keputusan mereka untuk tidak menerima cinta Anda – serta tidak berubah menjadi orang menjengkelkan hanya karena sakit hati?

  • Apakah masih mau berteman dengannya setelah ditolak?

Cinta ditolak, dukun bertindak? Ih, ngapain juga, sih? Selain dosa, cintanya juga jadi palsu karena dipelet doang. Lain cerita kalau sudah menolak cinta, si dia jadi ilfil dan malas berteman dengan Anda lagi. Berarti dia tidak sebaik yang dikira selama ini. Bersyukurlah Tuhan menunjukkan kenyataan ini sedini mungkin.

Kalau si dia tidak merasakan hal yang sama, ‘kan masih bisa menolak baik-baik. Selama Anda tidak mendadak berubah menjadi psikopat menakutkan dan memaksa si dia menerima cinta Anda, kalian masih bisa kok, tetap berteman.

Makanya, saya menyarankan teman saya untuk berusaha mengenal sosok yang disukainya dulu dengan lebih dalam. Soalnya ada beda antara beneran suka dengan kagum saja.

Perspektif Naksir versus Cinta

Tambah usia, biasanya beda pula perspektif kita akan cinta. Lebih baik / realistis / kaya / bijak? Pastinya tergantung pengalaman masing-masing.

Jangan pernah menganggap cinta adalah segala-galanya. Hati manusia mudah berubah. Cerita dongeng hanya hiburan sesaat. Bolehlah berharap, tapi…

…jangan lupa, persiapkan rencana cadangan. Tahu sendiri ‘kan, kalau hidup ini penuh kejutan?

Mungkin karena inilah sekarang saya enggan terlalu berharap pada cinta sesama manusia. Boleh punya perasaan suka, asal tidak berlebihan. Biasa saja.

Lagipula, sesungguhnya perasaan suka itu juga belum tentu selalu akan berubah menjadi cinta. Bisa jadi baru kekaguman belaka, karena sesungguhnya cinta jauh lebih dalam daripada itu. Cinta adalah saat kekurangan pun tidak menyurutkan keinginan untuk tetap bersama, sekaligus tetap berusaha memperbaiki diri masing-masing setiap harinya…

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Lepas

Lepas

Ada yang harus dilepas bila terlalu lelah

seperti tangan anak-anak penuh mainan

namun enggan membaginya ke sesama

hingga semuanya berjatuhan

Namun hati masih bimbang

Terlalu banyak rasa sayang

meski sedikit waktu luang

untuk adil berbagi rata

alih-alih kewalahan…

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

14+ Hari Hidup Tanpa Ponsel

14+ Hari Hidup Tanpa Ponsel

Ini bukan eksperimen alias nggak sengaja. Sekitar satu setengah bulan lalu, saya kecopetan di halte/shelter bus Trans-Jakarta pada malam hari. Dompet dan ponsel raib dalam sekejap. Makanya, saya sempat mengalami yang namanya 14+ hari hidup tanpa ponsel. Seperti inilah rasanya:

  • Bingung.

Biasanya pegang ponsel, begitu kecopetan enggak. Pastinya bingung. Mau menelepon nggak bisa, mau setel alarm pun nggak mungkin juga…

  • Dianggap kayak ‘anak hilang’.

“Gue nelpon lo gak diangkat-angkat.”

“WA-ku kok nggak dibales-bales, sih? Nomormu masih yang sama, ‘kan?”

“Lu ke mane aje, sih? Dihubungi susah beut!”

Dikira menghindar, disangka anak hilang. Padahal ponselnya doang yang hilang gara-gara kecopetan.

  • Lumayan bisa ‘menghilang’ sesaat.

Hehe, lama-lama enak juga hidup sesaat tanpa ponsel. Tidur lebih nyenyak, bebas gangguan pesan. Bahkan, bebas juga gangguan pesan dari grup Whatsapp yang kadang bisa rame di jam-jam tidur…ups!

  • Jadi agak malas pergi jauh sendirian.

Yah, mau nggak mau masih ada rasa nggak aman yang tersisa. Apalagi kalo perginya sampai larut malam. Berhubung juga nggak bisa pake aplikasi ojek online gara-gara waktu itu belum ada ponsel (lagi), akhirnya lebih sering merepotkan teman dan orang lain. (Maaf, ya.)

Kalo lagi nggak ada yang bisa direpotin, alamat balik ngandelin Trans-Jakarta, taksi, hingga opang (ojek pangkalan). Akhirnya juga lebih banyak di rumah kalo lagi nggak perlu-perlu pergi amat.

  • Bisa tahu mereka yang beneran peduli.

Mungkin terdengar klise dan melankolis, tapi memang benar adanya. Biarin aja ada yang mau nyebut saya baperan. (Kesannya, punya perasaan dan jadi manusia biasa itu sebuah kelemahan bagi yang hobi komentar gitu ke sesama.)

Musibah dapat menunjukkan mana orang-orang yang beneran peduli sama kita. Nggak perlu sampai langsung berbaik hati mengganti ponsel kita (ngarep!), mendoakan yang terbaik saja sudah cukup. Serius. Mereka juga tidak mengganggu saya dengan banyak pertanyaan atau komentar bernada menyalahkan. Tahu sendiri ‘kan, beda sama ‘netizen maha benar’?

Menurut mereka, Anda pasti ceroboh kalau sampai kena musibah. Ada juga yang menduga Anda ‘kurang beramal’ atau bahkan ‘kurang beriman’. Hebat ya, kualitas keimanan seseorang langsung bisa diukur hanya dari musibah yang menimpa mereka?

Ah, sudahlah. Yang penting kini saya sudah punya ponsel. (Hmm, lebih tepatnya sih, Galaxy Tab.) Saya juga berhasil menyelamatkan nomor ponsel lama saya.

Terima kasih kepada berbagai pihak – baik teman maupun keluarga – yang telah menolong dan menyemangati saya saat musibah kemarin. Bagi yang menyalahkan dan menuduh saya ceroboh, saya hanya berdoa semoga musibah yang sama takkan pernah menimpa kalian.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Negeri Ini Butuh Puisi

Negeri Ini Butuh Puisi

Negeri ini butuh puisi

bukan puja-puji

kosong tanpa arti

retorika tanpa isi

yang di telinga jadi polusi

Negeri ini butuh puisi

bukan saling cela sana-sini

seakan merasa paling tinggi

apalagi paling suci

Yang ada malah saling benci

Negeri ini lebih butuh puisi

Kenapa, sih?

Kata mereka, puisi ibarat roman picisan sekali

Anggapan picik dari miskinnya budaya di hati

Bikin emosi

Negeri ini butuh puisi

Bukan polusi

Bukan pula caci-maki

Mungkin, tidak perlu ada yang luka atau mati

hanya gara-gara kalah bela negeri

Nonton olahraga bawa ego, alih-alih kesadaran diri

Kok tidak malu, sih?

Kapan sadarnya, nih?

Negeri ini sangat butuh puisi

Siapa tahu bisa damai

sungguhan, bukan lewat intimidasi

bebas dari ancaman, bebas berekspresi

Soalnya kalau masih begini,

jadinya makin sedih.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

“MALAM PUISI JAKARTA: Tentang Negeri yang Butuh Puisi”

“MALAM PUISI JAKARTA: Tentang Negeri yang Butuh Puisi”

Apa yang tengah dibutuhkan negeri ini akhir-akhir ini? Di media sosial, mungkin sudah banyak yang berspekulasi. Mungkin ada juga yang memutuskan untuk tetap nyinyir setengah mati. Ada yang hidup dengan apatisme tingkat tinggi, namun yang optimis juga masih banyak sekali.

Namun, sesekali luangkanlah waktu di malam Minggu. Lebih tepatnya, di Kaffeine Kline, Warung Buncit, Jakarta Selatan. Di sanalah Malam Puisi Jakarta selalu berkumpul. Kami bercengkerama, bergantian membacakan puisi atau sajak suka-suka. Mengapa suka-suka? Bisa milik sendiri, bisa karya pujangga yang sudah punya nama.

Bisa juga, karya dalam Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, maupun Bahasa Daerah atau Bahasa Asing lainnya. (Tentu saja, kecuali Bahasa Indonesia dan Inggris, mohon dibantu dari segi penerjemahannya, ya.) Yang penting, sama-sama bebas berekspresi dengan puisi.

Seperti yang kami lakukan pada hari Sabtu (7 September 2019) kemarin di sana. Dimulai sekitar pukul delapan malam, Malam Puisi Jakarta diawali dengan perkenalan dan pembacaan puisi oleh moderator malam itu, Al Muhtadi. Kemudian dilanjutkan dengan Rara Iswahyudi yang juga penggerak Malam Puisi Depok.

Sesudahnya, suasana mulai menghangat. Ada Budi Winawan yang berpuisi tentang pola, Mas Wahyu yang berpuisi tentang perjuangan lewat aroma semerbak kopi Sumatra. Tak ketinggalan Jeje, Melda, dan Lily yang rajin mengisi panggung Malam Puisi. Pokoknya, semakin banyak yang bersemangat untuk tampil berekspresi.

Ada juga Fahdiar yang membacakan puisi sesuai tema malam itu, “Negeri Ini Butuh Puisi”. Mas Dimas membacakan salah satu puisi karya Gus Mus, “Kau Ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana?” Sarita juga membacakan puisi karya sendiri tentang kota yang sebentar lagi tidak istimewa. (Tahu ‘kan, yang mana?)

Namun, malam itu Malam Puisi Jakarta kedatangan tamu istimewa. Nenek Siti Hajar yang berusia 70 tahun tidak mau kalah sama yang muda-muda. Dengan semangat membara, beliau membacakan puisi untuk Presiden Joko Widodo. Waaah, keren banget, deh! Sayang buat kalian yang ketinggalan.

Tapi, jangan khawatir, kok. Malam Puisi Jakarta masih akan ada setiap bulan, di tempat yang sama. Tunggu saja jadwal berikutnya. Cek terus kami di Twitter atau Instagram.

Sampai jumpa bulan depan. Teruslah warnai negeri dengan indahnya puisi. Sayang sekali kalau damai di hati rusak oleh benci dan caci-maki.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Bising

Bising

Ada bising yang tak terkendali

Suara mesin, lalu lintas, hingga tangisan bayi

Cukup kita yang menahan diri

hingga suasana tidak makin ramai.

Ada bising yang mungkin disukai

Suara party, konser musik terkini,

hingga pikiran diri sendiri

Selamat menikmati

meskipun yang lain belum tentu sehati

Ada bising yang tak tertahankan lagi

Ejekan para bully, tukang keluh tanpa henti

yang maunya selalu dimengerti

Ingin mereka pergi?

Banyak cara membuat mereka diam

Dari yang ringan

sampai yang kejam

Bijaklah saat menentukan pilihan…

Semoga tidak bising lagi

Semoga ada kedamaian sunyi

meski sesaat di hati…

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #tips

3 Tips Hadapi Pelaku Bodyshaming di Kantor

3 Tips Hadapi Pelaku Bodyshaming di Kantor

Sudah lama sekali saya merasa muak. Ya, saya sudah muak sekali dengan kebiasaan orang Indonesia yang satu ini: kalau basa-basi atau bercanda, bawaannya usil mengomentari fisik. Memang sih, nggak semua orang Indonesia kayak begini. (Please, nggak perlu juga mengingatkan saya dengan tagar #notallIndonesians. Kayak apaan aja, gitu.)

Sayangnya, yang model begini sudah banyak, paling kelihatan, dan berisik pula. Mendadak rasanya kayak balik ke zaman sekolah, padahal sudah sama-sama dewasa. Nggak lucu banget, ‘kan? Apalagi, mereka hobi banget asal mangap, lalu pakai alasan klasik sejagat:

“Cuma bercanda.”

Meskipun beralasan demikian, sebenarnya kita berhak kok, merasa tersinggung dengan ucapan mereka. Namun, biasanya mereka akan berusaha membela diri dengan menyebut kita baperan. Biasa banget, ‘kan?

Tenang, banyak cara untuk membungkam mereka, tanpa perlu memaki-maki. Tapi, saat ini saya baru kepikiran tiga (3) berdasarkan pengalaman sendiri, yaitu:

  • Tantang saja mereka dengan makan seperti biasa.

Sebenarnya, rekan kerja semcam ini hanya caper (cari perhatian), biar dianggap ada. Sayang, caranya nggak banget. Contoh: pas acara makan-makan di kantor. Rekan kerja lelaki ini menghampiri saya yang baru saja hendak menyuapkan sesuatu ke dalam mulut. Komentarnya:

“Cewek makannya nggak boleh banyak-banyak.”

Yang saya lakukan hanya ini:

Saya: “Oh, ya? Kata siapa?”

Dia: “Kata gue.”

Saya: “Oh, gitu yah?”

Lalu…saya tetap menyantap makanan seperti biasa dan tidak mempedulikan mereka. Kalau masih berisik juga, tinggal sumpal telinga sendiri dengan headset. Masih lebih mending dengerin musik metal ketimbang suara mereka. Ya, nggak?

  • Balas dengan elegan.

Kayak anak kecil banget, yah? Tapi, mau gimana lagi? Nggak semua orang se-dewasa yang mereka kira.

Mungkin mereka pikir mereka lucu. Misalnya: Anda lagi enak-enak makan kerupuk. Sebungkus nggak mungkin habis untuk sendirilah. Anda sudah halo-halo ke satu ruangan, mengizinkan mereka untuk datang dan tinggal ambil kerupuknya juga kalau pada mau.

Ehh…ujug-ujug mahluk yang satu ini menghampiri, lalu mulai bertanya-tanya soal kapan terakhir kali saya olahraga. (Memangnya kenapa saya harus menjelaskan soal itu sama dia?) Mulai dari nanya-nanyain jenis olahraga, frekuensi berolahraga, sampai menasihati mengenai yang boleh dan tidak boleh saya makan. Astaga, memangnya saya anak kecil, yah?

Buntutnya, orang ini malah mau minta kerupuknya. Konyol banget, ‘kan? Kenapa nggak dari awal aja ngomong baik-baik, ketimbang acara nyindir berat badan segala? Itulah yang kemudian saya katakan langsung padanya:

“Kalo mau minta, ya tinggal minta aja. Nggak usah pake basa-basi soal berat badan segala!”

Kalau orang macam ini kesal dengan respon seperti itu, biar saja. Siapa juga yang cari gara-gara duluan?

  • Diamkan saja – atau beri tatapan dingin nan tajam.

Kadang cara ini jauh lebih efektif daripada sekadar marah-marah. Saat mereka mulai iseng mencari gara-gara dengan Anda, pura-pura saja tidak dengar. Anggaplah mereka tidak beda dengan anak kecil yang sedang mencari perhatian gara-gara bosan.

Kalau mereka masih juga berisik, cukup pelototi mereka. Bahkan, kalau sudah kelewatan, bilang saja begini: “Mending ngebahas pekerjaan deh, daripada berat badan gue yang sama sekali nggak ada hubungannya!”

Memang sayang, nggak semua orang bisa benar-benar bersikap dewasa. Tapi, Anda juga nggak perlu ikut-ikutan mereka dengan bersikap kekanak-kanakan. Justru, cukup tunjukkan Anda bisa tetap elegan. Bodo amat dibilang galak.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Ramai

Ramai

Taman digital

Banyak pameran

Dari yang penting sampai remeh

Namun yang terakhir yang paling diperhatikan

Dari yang genting hingga receh

Banyak yang getir, hingga tumpahkan

1001 makian

Eh, mungkin lebih kali, ya?

Taman digital

Tempat orang suka-suka

Dari mahluk sosial hingga yang sok sial

Kamu yang mana?

Bila lelah,

apalagi sampai muak luar biasa,

keluarlah.

Toh, taman digital juga tak ke mana…

R.