Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Cinta yang Cukup?

Cinta yang Cukup?

Gambar: https://unsplash.com/photos/17yojkc2so4

Seperti inikah rasanya

berusaha melupakan

tanpa ingin kehilangan?

Selalu ada ruang kosong itu

lowong di alam rayaku

tidak hampa,

hanya menunggu

selalu terbuka untukmu

Mungkin aku sedikit berdamai dengan waktu,

masih mencintaimu

tanpa harap kau mau bersamaku

Semua impian semu itu

sudah lama kutinggal di masa lalu

Selama kamu sehat, berbahagia, dan hidup,

kurasa itu sudah cukup.

R.

November 2019

Categories
#catatan-harian #CSW-Club #fiksimini #menulis

Takut

Takut

Gambar: julian-santa-ana-111265-unsplash

Aku takut menikah. Aku tahu, aku kedengaran putus asa. Mungkin juga parno luar biasa.

Aku sudah sering mendengar cerita-cerita seram. Calon suami yang katanya siap mendukung istri tetap berkarir di luar rumah langsung ingkar begitu sudah ijab kabul. Merasa sudah memiliki, suami pun menguasai. Melarang istri jadi diri sendiri. Pokoknya harus tunduk patuh tanpa kecuali.

Sumpah, aku ngeri.

Banyak juga calon suami yang belum apa-apa sudah tidak tahu diri. Berharap dan menuntut istri masih perawan, padahal mereka sendiri sudah tidak perjaka. Standar ganda munafik dan menjijikan.

Padahal, bisa jadi laki-laki semacam itulah yang berpotensi menyebarkan penyakit menular. Habis itu, paling yang dituduh juga istrinya. Dituduh selingkuh, padahal sudah dilarang keluar rumah dan jadi ibu rumah tangga saja. Bagaimana caranya, coba? Belum tentu istrinya yang kegatelan, mengundang-undang laki-laki lain ke rumah saat suaminya sedang tidak ada.

Tapi mungkin memang benar. Laki-laki kalau memang jahat dan sudah bosan, alasan apa pun mereka pakai untuk membenarkan perselingkuhan maupun perceraian.

-***-

Aku takut menikah, apalagi kalau sampai cerai. Bila karena salah satu meninggal, mungkin lain cerita.

Tapi, bagaimana bila cerainya gara-gara selingkuh atau KDRT? Sudah banyak cerita seram yang kudengar. Ini dunia nyata, bukan cerita dongeng. Tidak ada omong kosong macam “happily ever after”. Aku bukan anak-anak lagi yang mudah tertipu dongeng macam itu.

Semua pihak dalam pernikahan harus berusaha saling membahagiakan, sekaligus berusaha membahagiakan diri sendiri. It’s tricky. Bila keduanya sama-sama gagal, entah kenapa hanya salah satu pihak yang sering dituding sebagai biang keladi.

“Kamu kurang berusaha.”

“Kamu kurang melayani, kali?”

“Jangan-jangan kamu yang kurang menuruti suami.”

Begitu terus. Kurang, kurang, kurang, dan sekali lagi kurang. Tak peduli lelah luar biasa karena harus mengurus semuanya sendiri. Anak, urusan rumah tangga. Suami maunya tahu beres saja. Istri harus ikhlas.

Tak peduli suami tinggal main perintah, bahkan dengan nada kasar. Tak peduli tangannya suka melebamkan, alih-alih peluk menenangkan…

-***-

Aku…takut untuk menikah lagi. Banyak cerita di balik trauma. Aku sudah cerita semuanya.

Tidak ada yang namanya janda bebas stigma. Tidak semua orang (mau) berpikiran terbuka. Mereka lebih mudah percaya sama kata orang.

Kalau pun bertanya, kebanyakan membuatku muak. Para laki-laki yang entah kenapa menganggapku murahan. Ada yang langsung marah dan menyumpah-nyumpah begitu ajakan kencan atau lamaran menikah ditolak.

“Jangan sombong. Kamu tuh, cuma janda. Udah bagus masih ada yang mau!”

Ada juga yang iseng bertanya:

“Gak kangen ngewe?”

Menjijikan. ‘Kan bukan urusan mereka. Memangnya mereka pikir mereka siapa?

Belum lagi tatapan kebencian dari sesama perempuan. Astaga, memangnya suami mereka sebagus itu, apa? Aku justru ingin mencungkil mata-mata lancang mereka yang setiap kesempatan melirik genit padaku.

Tidak ada yang ingin jadi janda. Tapi, aku juga takut menikah lagi. Aku takut mengulangi kesalahan serupa.

Jadi, apa yang bisa kamu lakukan untuk meyakinkanku, bahwa kali ini akan berbeda?

-selesai-

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Reuni

Reuni

Hanya karena kau di sana,

tempat untukmu belum terganti.

Namamu masih di hati.

Aku hanya ingin bertemu kembali,

meski hanya sekali,

supaya bisa puas memandangi

sepasang mata biru

dan senyum hangat itu

agar abadi di benakku.

R.

(Jakarta, 8 November 2019, 22:00)

Categories
#catatan-harian #menulis

Usia Cuma Angka

Usia Cuma Angka

Tiga kata dalam kalimat di atas memang benar. Banyak alasan di balik judul tulisan kali ini, yang kalau dalam Bahasa Inggris artinya: “Age is just a number.”

November tahun ini, saya berusia 38. Ya, sebagai perempuan yang kebetulan juga masih lajang, saya merasa tidak perlu malu untuk mengakuinya. Wong memang kenyataan, kok. Bertambah tua adalah takdir, secara alami tak mungkin bisa dihindari oleh siapa pun. Mau jutaan kali oplas juga percuma.

Cuma, saya memang masih suka bercanda seperti ini:

“Umur saya 19…untuk yang kedua kalinya.”

Hahaha, semoga pada paham, ya. Kalo enggak, ya maaf.

Nah, kembali lagi ke soal usia cuma angka. Banyak bukti yang kadang menunjukkan bahwa pernyataan itu benar. Menurut pengalaman saya sendiri, inilah beberapa buktinya:

  1. Masih ada yang mengira saya lebih muda dari usia sebenarnya.

Hehehe, boleh dong, sesekali narsis sedikit? Masih ada yang mengira saya lebih muda dari usia sebenarnya. (Yah, paling mentok satu dekade lebih muda. Lumayan banget, ‘kan?) Sampai-sampai ada yang pernah meminta izin melihat KTP saya gara-gara nggak percaya.

“Rahasianya apa, sih?”

Jujur…enggak ada sama sekali. Saya nggak berani bawa-bawa air wudhu seperti kebanyakan orang (entah serius atau bercanda). Saya hanya berusaha menerima hidup apa adanya. Toh, kalo apa-apa terlalu dibawa stres, yang ada kita juga ‘kan, yang menderita?

  • Lebih cuek berteman dengan dan belajar dari siapa saja.

Sebenarnya, dari dulu saya sudah berusaha cuek. Sayangnya, sekeliling dulu masih terkesan kaku dan terkotak-kotak. Yang senior temenan sama senior. Yang masih anak bawang suka nggak dianggap – dan akhirnya hanya berteman dengan yang seumur. Entah kenapa, ada rasa gengsi di situ.

Tapi itu dulu, pas masih zaman sekolah. Zaman kuliah adalah saat transisi, karena bertemu lebih banyak ragam manusia. Kadang yang senior justru lebih asik daripada yang seumur. Kadang yang lebih muda juga belum tentu manja dan nggak tahu apa-apa.

  • Sadar bahwa yang lebih tua juga belum tentu lebih dewasa.

Jujur, saya sendiri juga bukan penggemar feodalisme. Saya paling muak dengan sosok-sosok yang berkuasa (entah karena lebih tua, atasan, senior, atau siapa pun yang pegang uang dan pengaruh lebih banyak), namun jadi tamak dan gila hormat. Saking gilanya sampai nggak bisa bedain antara kritikan dengan hinaan.

Makanya, saya percaya bahwa yang lebih tua juga belum tentu lebih dewasa. Pemimpin nggak selalu benar. Yang muda juga nggak selalu bodoh dan tidak tahu apa-apa. Justru, bisa jadi mereka jauh lebih tahu kondisi sekarang daripada generasi sebelumnya yang mungkin sudah terlanjur di posisi nyaman.

Makanya, saya tidak anti atau alergi untuk belajar dari yang lebih muda. Tidak perlu terlalu memuja harga diri dan ego kalau ingin maju dan bisa bekerjasama dengan banyak orang. Lagipula, zaman sudah berubah…cepat lagi. Romantisme masa lalu (“Dulu lebih enak, bla…bla…bla…”) juga tidak akan membawa kita ke mana-mana, kecuali ninabobo belaka.

Saat ini, saya tidak mau menambah stres dengan target-target yang terlalu ngoyo. Saya hanya ingin berusaha melakukan yang saya bisa saat ini dengan sebaik mungkin. Kalau ada target-target khusus lainnya…hmm, sepertinya tidak perlu diceritakan. Takutnya kecewa bila ternyata kemudian tidak kesampaian.

Dengan kata lain, realistis aja, deh!

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Tanpa Mata, Telinga, dan Hati

Tanpa Mata, Telinga, dan Hati

Foto: https://www.freepik.com/free-photo/tensed-man-covering-ears-with-hands-with-his-eyes-closed_4167208.htm#page=1&query=ignorance&position=1

Percuma banggakan logika

bila hasil tak seberapa

malah buta

tuli akan kisah-kisah nyata

kejahatan pada sesama.

Apa hatimu tiada lagi guna

atau malah alpa?

Semudah itu kau bungkam

jerit-tangis para korban.

Bodyshaming
Foto: freepik.com

Kau sebut mereka mengada-ada

‘baperan’ semata

dan semua julukan penuh hina.

Tanpa mata, telinga, dan hati,

bukankah kau sama saja dengan mati?

Mahluk tak tahu diri

memilih tak peduli

andil dalam apati…

R.

Jakarta, Oktober 2019

Categories
#catatan-harian #menulis

Yang ‘Femes’ Belum Tentu Bagus

Yang ‘Femes’ Belum Tentu Bagus

Foto: https://unsplash.com/photos/Y1e3kANiFRg


‘Femes’? Maksudnya apa ini? Famous (ngetop) kali! Astaga, ini dia yang sering bikin saya gregetan: orang Indonesia yang hobi merusak bahasa. Gak hanya bahasa asing, bahasa sendiri saja juga begitu. Apa gak bisa menulis dengan cara normal? Apalagi, alasannya ada yang bilang biar trendi, ada yang bilang lagi bikin kata serapan baru.

Terserah, deh. Sebagai penulis, penerjemah, dan pengajar bahasa Indonesia dan Inggris, jujur saya pribadi merasa terganggu. Sekadar mengingatkan, sih. Mau dianggap terlalu kaku atau serius, ya silakan saja.

Eh, kok jadi melantur, yah?

Singkat cerita, saya pernah membaca status seorang teman mengenai keberhasilannya mencapai sesuatu. Komentar-komentar yang ada di media sosial seperti biasa: beragam. (Sekadar info, kebetulan saya lagi gak ikutan komentar).

Termasuk komentar yang seperti ini:

“Kita seprofesi, tapi beda nasib. Mungkin karena aku belum ‘femes’ kali ya, beda sama Mas.”

Seperti biasa, orang bebas berpendapat di media sosial. Setiap orang mungkin akan menangkap komentar di atas dengan perspektif berbeda. Ada yang kasihan, ada yang mungkin menganggap orang itu sinis.

Saya sih, tidak merasakan apa-apa saat membacanya. Mungkin karena komentar itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan saya. Namun, ada satu hal yang cukup menggelitik benak saya:

Famous = Pasti Bagus?

Kayaknya anggapan semacam ini akan selalu menemukan pendukungnya. Apalagi di era media sosial kayak sekarang. Gak peduli ngetopnya hanya sesaat bak supernova. Pokoknya, yang penting dilihat orang dulu, dianggap ada dan penting.

Sayangnya, banyak yang malah pakai cara ‘enggak banget’ buat caper (cari perhatian). Saya sih, rasanya gak perlu sampai memberi contoh spesifik, ya. Intinya, terkenal karena secara langsung maupun enggak mengajak orang berantem di media sosial itu sudah jadi modal andalan buat terkenal.

Saya hanya mau sepakat tiga (3) hal dalam hidup ini, terkait dengan kepopuleran:

  1. Semua butuh proses – dan hanya yang sabar yang bisa menjalaninya dengan ikhlas.
  2. Gak semua yang ‘femes’, viral, trending, atau apalah namanya itu pasti selalu bagus.
  3. Habis femes mau ngapain? Banyak yang gak bisa jawab karena memang belum siap.

Bila untuk yang pertama saja sudah sulit, apa kabar yang berikutnya? Era digital telah memberi kita sebuah ilusi bahwa semuanya selalu bisa dilakukan dan didapatkan secara cepat.

Akibatnya, kesabaran manusia semakin tipis saat ini. Ada kecenderungan membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain – dan ini bisa dua arah. Yang merasa sudah lebih besar dari orang lain langsung bersikap jumawa, sementara yang merasa kurang malah jadi stres, uring-uringan sendiri, hingga kurang bersyukur dengan yang sudah didapatkan.

Bagi yang memilih cara kontroversial untuk terkenal (terutama di dunia maya, ya) biasanya lebih banyak berpikir pendek. Pokoknya, orang harus ngeh dulu dengan keberadaan mereka. Terserah bila ada yang suka maupun benci. Daripada gak dilirik, alias merasa jadi biasa-biasa saja. Misalnya: sengaja mengajak berantem orang lain di media sosial demi biar viral.

Makanya, begitu kepikiran untuk mengubah diri atau image, jadinya gak semudah sekali klik langsung posting. Apalagi, orang mungkin sudah banyak yang terlanjur antipati dan menanggapi dengan persepsi miring. Yang ada malah dituduh pencitraan lagi.

Ngomong-ngomong jadi penasaran, nih. Apa sih, yang bikin Anda ingin famous?

R.