Jedaku…
……….
Maaf.
Lambat responku.
Banyak pesan menunggu.
Dering ponsel mengganggu.
……….
Maaf.
Bukannya tak peduli.
Hanya lelah sekali.
Kerja tanpa henti.
……….
Ma-
-zzz…
R.
……….
Maaf.
Lambat responku.
Banyak pesan menunggu.
Dering ponsel mengganggu.
……….
Maaf.
Bukannya tak peduli.
Hanya lelah sekali.
Kerja tanpa henti.
……….
Ma-
-zzz…
R.
“Dia culas seperti ular.”
Kudengarkan curhatannya panjang lebar. Ah, Charlita. Lagi-lagi dia mengeluhkan orang-orang yang sama. Entah si A yang menurutnya tidak tahu terima kasih, si B yang hanya memanfaatkan kebaikannya, hingga si D yang menusuknya dari belakang.
Aku sudah bersahabat dengan Charlita sejak dua bulan lalu. Gadis mungil, ramping, dan yang sebenarnya cantik ini ternyata merasa semua orang selalu memusuhinya. Alasannya selalu sama.
“Mereka pasti iri sama gue. Padahal, mereka lebih cantik dan kaya.”
“Gue deket sama cowok ini dan mereka langsung kayak musuhin gue.”
“Makanya, Naja. Cuma elo sahabat gue satu-satunya sekarang,” ucap Charlita sambil tersenyum penuh rasa terima kasih padaku. Digenggamnya tanganku dengan lembut. Hangat, membuat darahku tiba-tiba berdesir. “Elo gak akan pernah mengkhianati gue, ‘kan?”
Aku tersenyum agak dipaksakan. “I’ll try.”
-***-
Sebenarnya, kalau ingin melihat dari dua sisi, Charlita tidak selalu benar. Dia tidak selalu korbannya. Saat kutanya pada orang-orang yang pernah (dianggap) bermasalah dengannya, jawaban mereka berbeda. Mereka tampak tersinggung saat kuceritakan pendapat Charlita tentang mereka.
“Astaga, dia melulu kok, yang cari gara-gara,” kata Alex tampak geram. “Yang ratu drama siapa, yang disalahin kita.”
“Gue cuma nggak sepaham sama dia dalam beberapa hal – dan dia langsung nganggepnya serangan personal,” keluh Biyan. “Capek deh, kalo urusan sama Charlita. Mending seperlunya aja. Gak usah sering-sering.”
“Oh, my God.” Donna melotot. “She thinks she’s all that. She always plays the victim, but you have no idea how nasty her big mouth is. She’s the snake, actually.”
Aku hanya tersenyum tipis. Kukumpulkan semua kesaksian mereka dalam ingatanku. Apakah aku akan balas mengadukan mereka pada Charlita? Ah, tidak perlu. Dia tidak perlu tahu.
Bahkan, kujamin Charlita juga tidak akan pernah tahu. Kurasa aku harus menolongnya, membebaskan dirinya dari penderitaan yang diciptakannya sendiri. Lagipula, demi keseimbangan ekosistem, Bunda selalu memintaku untuk memilih dengan hati-hati.
-***-
Malam itu, aku menginap lagi di rumah Charlita. Seperti biasa, gadis manja dan egois itu butuh teman setia…atau lebih tepatnya, penonton. Beruntunglah, aku cukup dingin untuk jadi pemujanya. Aku pendiam, efektif, dan tidak mudah dipengaruhi.
Tak lama, Charlita akhirnya jatuh tertidur karena kelelahan. Aku masih terjaga. Kulihat bulan sudah purnama. Kutatap Charlita sekali lagi sambil menghela napas.
“Maaf, ya,” bisikku, meski tidak pernah benar-benar menyesal. Secara perlahan, kurasakan diriku berubah. Kedua kaki dan tanganku menyatu pada badan. Kulitku yang semula putih pucat mirip kulit manusia pada umumnya mulai robek, menunjukkan sisik-sisik berwarna gelap di bagian dalam. Tinggiku semakin berkurang, sebelum akhirnya aku melata di lantai kamar Charlita yang dari marmer. Dingin dan nyaman.
Charlita masih terlelap, tak sadar bahwa aku sudah secara perlahan melata ke atas tempat tidurnya. Ada ekspresi geli pada wajahnya saat aku merayap di atas tubuhnya.
Tak lama, kutatap wajahnya yang pulas. Aku sengaja menunggu matanya terbuka. Aku yakin, instingnya cukup tajam untuk merasakan dirinya dalam bahaya.
Mata Charlita terbuka. Semula dia tampak bingung menatapku, sebelum ekspresi ngeri perlahan merayapi wajahnya.
“Ah-“
Terlambat. Kedua taring panjangku sudah menancap di lehernya, sekaligus mengeluarkan bisa. Charlita tidak pernah tersadar lagi. Sesudah puas, aku turun merayap di lantai. Jendela kamarnya sudah agak kubuka tadi, sewaktu masih berwujud manusia. Perlahan aku menyelinap keluar, meninggalkan jenazah berwajah kaget yang pastinya akan tampak sangat mengerikan bagi orang tuanya – saat menemukannya esok pagi…
-***-
“Kerja bagus, anakku.”
Aku senang Bunda memujiku. Saat ini, aku sedang bersantai karena udara masih dingin. Mengikuti instruksi Bunda, besok-besok aku akan mencari korban berikutnya. Ya, manusia yang merasa paling tahu, mana sesamanya yang bersifat ular. Manusia yang gagal mengendalikan lisannya, padahal lidah mereka jauh lebih kaku daripada lidah kami yang tak henti menjulur.
Ya, manusia yang dengan enteng menilai sesamanya: “Culas seperti ular.”
Bagimu,
semua kisah masa lalu
tentang sukses dan gagalmu,
berkah dan musibahmu
adalah narasi
butuh pembaca yang menyukai.
Kau akan menyebut semua berulang kali
bak rapalan doa tanpa henti
menanti puja-puji
agar percaya kesucian hati
penyintas semua cobaan keji.
Bagimu,
semua kisahmu adalah hiburan
tontonan sekelas Blockbuster cinema
atau minimal di layar kaca.
Berlebihan tak apa.
Namanya juga drama.
Kau akan memutarnya berulang kali,
hingga seluruh plot teresapi.
Ingatan tanpa ingin,
menilai dengan dingin
sosok-sosok bosan
namun diam demi kesopanan.
Bagimu,
harus kau yang jadi bintangnya,
peran utama,
nama yang paling sering terbaca.
Boleh ada yang lainnya,
selama pamor tak sama.
Kalau bisa,
mereka cukup jadi penggemarmu saja.
Kau rela berbagi panggung,
namun terasa tanggung,
karena tetap kau yang harus tampil utama,
sempurna di atas segalanya,
sementara…
…yang lain cukup jadi pendukung dan figuran belaka…
R.
Kali ini, sepertinya saya hanya akan menulis pendek sebelum tahun berganti. Tidak banyak yang harus dibahas, kecuali satu hal:
Apa yang harus kita tinggalkan sebelum tahun 2020 nanti?
Pertanyaan itu mungkin membutuhkan jawaban panjang. Mungkin juga akan susah dijawab. Namun, saya tidak akan memaksa kalian untuk menjawab di sini. Saya percaya, kita semua sibuk dengan alam pikiran masing-masing.
Mungkin sudah banyak yang membuat resolusi. Ingin inilah, akan berbuat begitulah. Seperti biasa, terserah. Saya hanya bisa mendoakan agar semua resolusi yang positif akan terwujud, tidak hanya berakhir wacana – catatan di halaman usang. Pastikan kalau Anda tahu bedanya keinginan sama rencana yang sudah benar-benar mantap.
Lebih mudah membuat rencana-rencana baru daripada berusaha melakukan yang sudah lalu. Padahal, kenapa yang sudah baik tidak dipertahankan? Kenapa yang buruk harus dibawa-bawa dengan alasan: “Namanya juga manusia” atau “Ini bagian dari diri saya”? Bila bisa menjadi sosok yang lebih baik – setidaknya demi diri sendiri dulu – kenapa tidak?
Mungkin saya termasuk yang terlalu idealis, seperti biasa. Tapi, boleh dong, berusaha se-ideal mungkin dalam hidup? Okelah bila ada yang selalu punya semangat untuk bikin resolusi baru. Perkara mereka akan berhasil menjalaninya itu urusan nanti. Yang penting bikin dulu. Nggak salah juga, kok.
Ada juga yang berusaha tetap realistis. Daripada bikin sepuluh resolusi tahun baru tapi nggak ada yang jadi, mendingan bikin satu hingga tiga dulu – terus ditekuni benar-benar. Kalau sudah kelar, baru boleh tambah lagi. Mau itu di tengah tahun atau bulan ketiga juga tidak masalah. Toh, nggak ada aturan khusus untuk itu.
Ya, kurang-lebih seperti saya, hehehe…
Kalau pun saya punya resolusi tahun baru atau semacamnya, kali ini nggak akan saya bagikan di sini atau di mana pun. Rahasia. Toh, nggak semua hal harus selalu diceritakan pada semua orang, bukan?
Tapi, saya mau sedikit curang, nih. Siapa yang masih bikin resolusi tahun baru?
R.
Kau tak pernah tahu
aku, yang diam-diam mengagumi,
membaca semua puisimu
mencari celah di hati.
Kau tak pernah tahu
perjuangan berat ini
melawan perasaan sendiri
demi satu yang tak tentu.
Kau tak tahu,
aku, mulai beranjak mundur,
enggan maju,
apalagi sampai terlalu jauh.
Takut jatuh.
Kurasa,
kau, takkan pernah tahu.
Akhirnya aku undur diri.
Biarlah sepi kembali menjadi sesuatu yang pasti.
Aku enggan bersaing dengan hantu,
dia, yang masih gentayangan di hatimu,
meski sudah berupa masa lalu…
R.
Bagaimana memutuskan arah tujuan – dengan banyak pilihan di depan Anda? Apakah Anda akan duduk dan meluangkan waktu, sebelum akhirnya mengambil keputusan? Apakah Anda hanya akan langsung mencobanya, cukup dengan modal percaya?
Bagaimana perasaan Anda jika hidup seperti sedang
jeda? Ambil langkah mundur dan lihat sekeliling. Sukakah dengan yang Anda
lihat? Apakah Anda ingin mengubah sesuatu? Jika menyukai yang Anda lihat dan
merasa cukup puas dengan semuanya sekarang, baguslah. Jika tidak, Anda mungkin
ingin mencari sesuatu yang setidaknya tidak begitu buruk di luar sana.
Bagaimana jika Anda tidak bisa menemukan yang baik?
Bagaimana jika Anda sudah tidak tahan lagi? Bagaimana jika situasi Anda saat
ini tidak membuat Anda merasa baik-baik saja, tidak cukup nyaman? Bagaimana
jika ‘saat sekarang’ hanya membuat
Anda merasa lebih … terjebak? Tentu saja, Anda harus melakukan sesuatu
tentang hal itu – tetapi apa?
Beberapa orang menemukan cara untuk
mengekspresikan frustrasi mereka. Mereka dapat terus mengeluh tentang betapa
mereka membenci hidup mereka, baik diam-diam atau secara terang-terangan.
Mereka dapat mengatakan bahwa mereka ingin berhenti dari pekerjaan mereka yang
menyedihkan, berhenti bersikap baik kepada orang-orang, dan hanya … berhenti hidup.
Sayangnya bagi mereka, kehidupan mereka masih belum
berubah. Mereka masih menjalani hidup yang sama, melakukan pekerjaan yang
secara jujur mereka benci. Mereka masih melihat orang-orang yang bahkan tidak
ingin mereka hadapi.
Dengan kata lain, mereka ada hanya sebagai
gangguan bagi orang lain.
Beberapa orang lain tahu lebih baik daripada hanya
terus berbicara – atau lebih tepatnya, terus merengek. Mereka melakukan apa
saja untuk mengubah hidup mereka (yang semoga menjadi lebih baik.) Mereka
mencari alternatif.
Setelah memutuskan, mereka mengambil risiko.
Mereka memilih untuk bergerak maju dengan satu pilihan tersebut, meninggalkan
yang sebelumnya. Apakah ini langkah yang tepat? Apakah itu salah? Bagaimana
Anda tahu yang mana yang benar, jika belum pernah mencobanya? Lagipula, inilah
hidup. Segala sesuatu selalu sering terjadi ketika Anda tidak mengharapkannya.
Selalu ada pilihan di depan Anda. Baik atau buruk, itu tergantung. Kita semua memiliki kebutuhan yang berbeda. Saat memutuskan segala sesuatu, intinya selalu sama:
Pilih salah satu … jangan semuanya. Jangan tanggung-tanggung. Anda tidak dapat memiliki semuanya.
Itulah yang terjadi dengan lengkungan. Anda tidak
akan pernah tahu ke mana Anda akan pergi. Anda memang masih dapat merencanakan
semuanya, tetapi selalu ada kejutan di menit-menit terakhir.
Selalu ada semacam bencana dalam sesuatu yang
indah. Keindahan itu sendiri tidak pernah sempurna, karena membutuhkan ilusi.
Pertanyaannya adalah, seberapa siap Anda menerima kenyataan ini?
Siaplah selalu untuk apa pun yang ada di depan. Rintangan, jalan memutar, belokan yang salah … sebut saja. Sama seperti peluang, mereka semua ada di sana juga.
Selalu ada lebih banyak lengkungan …
R.
Tak perlu selalu begitu
bergaun rancangan ternama.
Semua tercermin dari perilaku
ingin dikagumi sesama
sekarang dan selalu.
Dia lupa akan waktu
dan mungkin segala sesuatu.
Tiada yang abadi.
Suatu saat nanti,
panggung itu akan sepi.
Penonton pergi.
Tinggal dia sendiri
tampil di depan barisan kursi
enggan berpisah dengan memori
sosok dirinya yang (pernah) dipuja-puji…
Ah, Diva…
Bukalah mata…
Kau bukan segalanya…
R.
Bahagia … tapi juga egosentris? Beberapa orang memang seperti itu. Mereka sangat senang dengan pilihan dan hasil kehidupan mereka. Nggak ada yang salah sih, kecuali saat mereka sampai mulai menganggap bahwa pengalaman mereka mewakili situasi semua orang di dunia. Yang terburuk, mereka cenderung membutakan diri terhadap ragam realitas di sekitar mereka.
Orang-orang ini tidak selalu dingin dan egois.
Bahkan, mereka masih peduli dengan kesejahteraan orang lain … dengan cara
yang agak tidak menyenangkan. Niat mereka sebenarnya baik sih, namun jadi buruk
karena yang mereka lakukan dan katakan membuat orang lain merasa sangat
tertekan. Semoga Anda tidak seperti itu. Untuk mengetahuinya, berikut adalah
lima (5) alasan Anda bahagia tetapi juga egosentris:
1. Karena
pilihan Anda menyelesaikan masalah Anda, Anda pikir itu juga cocok untuk orang
lain.
Bisa jadi Anda ibu rumah tangga yang bahagia atau
wanita karier. Anda dapat terbang dengan maskapai yang sama atau mencoba yang
berbeda. Anda bisa makan makanan tertentu atau melakukan beberapa jenis
olahraga yang orang lain mungkin tidak kenal. Apa pun itu, ini adalah pilihan
pribadi Anda yang menurut Anda telah menyelesaikan masalah Anda.
Tidak ada yang salah dengan mempercayai yang ingin
Anda percayai. Tidak salah juga bila ingin menyarankan hal yang sama kepada
orang lain. Satu hal yang perlu Anda ingat adalah: yang berhasil bagi Anda belum tentu sama untuk orang lain juga.
Cobalah untuk tidak tersinggung jika mereka tidak setuju dengan Anda – atau
bahkan jika mereka tampaknya tidak tertarik untuk mencoba apa yang Anda
lakukan.
2. Anda tidak dapat dan tidak mau mengerti orang-orang yang memilih secara berbeda dari Anda.
“Saya tidak
mengerti dengan orang-orang saat ini. Saya merasa bahagia menikah / membesarkan
anak-anak / menjadi wanita karier / memilih kehidupan seperti ini. ”
Orang-orang yang tersinggung biasanya terdengar
seperti ini begitu usul mereka ditolak. Gini deh: bukan tugas Anda untuk
mengubah hidup mereka menjadi persis seperti yang Anda inginkan. Mereka punya
rencana sendiri. Jika mereka memilih untuk tidak mengikuti saran Anda, tidak
selalu berarti bahwa mereka tidak menyukai atau bahkan menghormati Anda.
Tolong, tidak semua harus tentang Anda.
3. Anda
mencoba membuat pilihan Anda terlihat baik dengan merendahkan pilihan orang
lain.
“Saya
memiliki kehidupan yang jauh lebih baik karena ini, sementara yang laing masih
bekerja keras. Masalah dengan orang-orang yang mengira mereka cerdas adalah
mereka selalu ingin menang sendiri. Ego mereka yang jadi masalah. “
Jika benar-benar percaya bahwa pilihan Anda sudah
menjadi yang terbaik, lalu mengapa masih perlu merendahkan pilihan orang lain?
Kenapa harus main perbandingan, sih? Mengapa semuanya harus menjadi kompetisi?
Seberapa butuhnya Anda perlu merasa seperti seorang pemenang, sehingga Anda
akhirnya mengganggu ketenangan pikiran orang lain?
4. Anda
memaksakan kepercayaan dan pilihan Anda pada orang lain, seolah-olah pilihan
Anda adalah satu-satunya contoh terbaik.
Ya, ya. Alasan terbaik Anda adalah bahwa Anda
hanya bermaksud baik. Lagipula, pilihan hidup Anda tepat untuk Anda dan Anda
benar-benar bahagia. Benar, kan?
Anda mungkin berpikir Anda tahu yang terbaik, tetapi
Anda terdengar seperti orang yang tahu segalanya tentang mereka. Tidak ada
orang dewasa yang suka didikte soal yang harus dilakukan dan dikuliahi soal
pilihan hidup mereka, seolah-olah mereka terlalu bodoh untuk membuat keputusan
sendiri. Selain itu, Anda mungkin terdengar seperti orang yang merasa sok
paling benar sendiri.
Ada perbedaan antara memberi saran dengan bawel
ngajarin. Nah, jika Anda masih tidak bisa membedakannya, periksa kembali bahasa
Anda. Meskipun maksud Anda benar-benar baik, inilah masalahnya: jika mereka
tidak meminta saran dari Anda, maka jangan berikan apa pun. Sesederhana itu.
Jika Anda masih ingin, tanyakan apakah mereka tidak keberatan mendengarkan
masukan Anda.
5. Anda
menggunakan ad-hominem untuk melawan
setiap argumen dari orang lain yang tidak setuju dengan Anda.
“Gak
apa-apa kalo lo gak sepakat ama gue, tapi gue bisa liat kenapa hidup lo masih
di situ-situ aja sekarang.”
“Ini yang
saya pilih dan saya tidak peduli apa yang dikatakan tukang kritik. Saya tidak
berharap mereka mengerti. “
Setiap orang bebas memilih yang mereka sukai dan tidak sukai. Namun, jika Anda akhirnya menutup diskusi yang sehat dengan cara seperti itu, bersiaplah untuk reaksi negatif yang lebih banyak. (Ya, termasuk didiamkan dan sikap masa bodoh.)
Menilai orang lain secara pribadi seperti itu tidak membuat Anda terlihat atau kedengaran bagus. Tidak masalah jika Anda yakin bahwa Anda benar dan Anda memiliki bukti yang valid untuk itu.
Anda masih bisa bahagia tanpa memaksakan pilihan Anda pada orang lain. Yap, ini bukan tentang Anda. Setiap orang datang dari latar belakang dan pengalaman yang berbeda. Hanya karena itu terjadi pada Anda, bukan berarti bakalan sama juga untuk orang lain – dan sebaliknya. Bersikaplah adil dan baik. Bukan Anda saja yang berhak mendapatkan pengakuan.
R.
Bagai istana pasir
atau rumah dari tumpukan kartu remi.
Mudah tersingkir,
berhamburan ke sana kemari,
terhempas ombak biru-hijau yang dingin
maupun hempasan angin
hingga hancur berkeping-keping.
Selelah itukah dirimu,
hingga tiada tenaga
menggalau dan merapuh,
meski senyum menyembunyikan keluh?
R.
Maaf, karena kesibukan, saya tidak sempat update blog saya sesering biasanya. Sebenarnya, saya sudah lama ingin menulis tentang ini.
Ya, November tahun ini saya berusia 38. Saya tidak akan mencoba menutup-nutupinya dengan bersikap sok muda. (Pembahasan ini ada di tulisan sebelumnya, “Usia Cuma Angka”.) Namun saya juga nggak mau sok bijak meskipun usia sudah pasti bakal dikategorikan ‘tua’ oleh banyak orang. Memang kenyataan. Mau gimana lagi?
Jujur, saya udah lama gak gitu peduli dengan perayaan ultah sendiri. (Saya malah lebih heboh sama ultah orang lain, apalagi kalo menurut saya mereka sangat penting. Bahkan, kalo bisa saya kasih hadiah sekalian lebih baik lagi.) Bukan karena nggak mau ketahuan tua (wong barusan udah blak-blakan ngaku umur sendiri, kok!)
Tentang Hadiah dan Kehadiran
Namanya juga transisi alami. Bila waktu kecil dulu selalu berharap kado setiap kali ultah, kini tidak lagi. Bukan, bukannya saya menolak bila dikasih kado – apalagi yang asyik-asyik macam buku tulis bersampul lucu (saya suka nulis), ditraktir makan hingga nonton film, atau…apa sajalah. Yang penting ikhlas dan gak ngeluh di kemudian hari. (Awas kalo sampai ketahuan ya, hehehe…)
Kalo sekarang? Ya, dapet syukur, enggak juga gak masalah. Lagipula, kalo mau kasih hadiah kadang juga nggak perlu saat-saat khusus, kok. Saya sendiri kadang juga suka random, alias mendadak menghadiahi diri sendiri dengan apa pun yang saya suka. Mau itu novel bahasa Inggris, nonton film di bioskop sendirian, sampai karaoke sejam (yang juga sendirian…serius.)
Kadang hadiah terindah bukan berupa barang. Kadang hadiah terindah adalah kehadiran orang-orang tersayang, terutama mereka yang sempat lama terpisah.
Singkat cerita, hari Sabtu itu sesudah ulang tahun saya, seorang teman sekaligus mantan rekan kerja mengajak ketemuan. Ngopi-ngopi, seperti dulu kala. Ada enaknya jadi imigran digital. Meskipun melek internet, kami sama-sama tidak terobsesi untuk mendokumentasikan pertemuan random kami sore itu.
Dia pernah menjadi inspirasi beberapa tulisan saya. Jika ada yang bertanya seberapa istimewanya dia, saya tidak mungkin menjadikannya inspirasi tulisan kalau dia tidak seistimewa itu. Jadi, meskipun tidak ada selfie atau pun keinginan untuk menulis lengkap kisah pertemuan atau reuni singkat kami sore itu, saya masih akan mengingatnya.
Malamnya, saya makan malam bersama keluarga. Sederhana saja. Sama sederhananya dengan pemikiran ini tentangnya:
Kadang cinta bukan soal bisa atau mau bersama atau tidak. Kadang cinta adalah menerima realita. Meskipun tidak bersama, masih jauh lebih baik berteman saja daripada pura-pura cinta padahal hanya memanfaatkan – atau malah tidak dianggap siapa-siapa…
R.