Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Diam!

“………. -”

Apa?

“……………….. –”

Apa katamu?

“………………………… —”

Kamu tak bersuara.

“…………………………………. —-”

Apa yang hendak kamu bicarakan?

“………………………………………….. —–”

Kamu ngambek, ya?

“……….-“

Ah, kamu tak jelas maunya—

KAU YANG TAK PUNYA TELINGA!

KAU YANG BANYAK BICARA!

KAU LEBIH DENGARKAN MEREKA!

AKU SUDAH BERUSAHA,

TAPI KAU TERMAKAN FITNAH MEREKA!

BAH!!

KAU ANGGAP AKU CARI PERHATIAN,

MAHLUK BAPERAN!

PEDULI SETAN!!

SEKARANG DIAM!!!

DIAAAM!!!!

………………..

…..Diam (ssst…..)

Diam…..dan dengarkan.

Sekarang giliranku bicara.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

3 Jenis Manusia yang Percuma Kalo Didebat di Media Sosial

3 Jenis Manusia yang Percuma Kalo Didebat di Media Sosial

Era pandemi Covid-19 sepertinya bakalan berlangsung lebih lama dari harapan banyak orang. Meskipun banyak yang sudah keluar rumah menyambut “New Normal” (atau terpaksa), masih banyak juga yang lebih memilih swakarantina atau isolasi mandiri. Berhubung lagi nggak bisa banyak interaksi dengan orang di dunia nyata, maka media sosial lagi-lagi jadi pelarian.

Oke, kita semua udah tahu kalo media sosial selalu rentan jadi ajang debat. Kadang bisa nemu solusi dari masalah yang lagi diributin, tapi seringnya lebih banyak adu pendapat. Termasuk adu pinter-pinteran dan saling julid sampai Lebaran terasa bak hanya numpang lewat.

Males dan capek saat berdebat, padahal niatnya hanya mau berbagi pendapat? Biar hemat tenaga, pikiran, dan kewarasan, ini dia tiga (3) jenis manusia yang percuma kalo didebat di media sosial:

Foto: unsplash.com
  • Yang hobi nyinyir: “Kalian gak bisa nerima perbedaan pendapat, ya? Gak asik!”

Jangan ketipu dan langsung jatuh kasihan dulu dengan mereka yang pake argumen penutup ini saat kalah berdebat di media sosial. Jika mereka memulai debat dengan cara santun seperti: “Maaf, kayaknya kurang setuju dengan opini kamu karena…” masih wajar bila kemudian mereka sakit hati saat dibantah.

Tapi, siapa sih, yang gak kesel kalo dari awal niatnya emang udah nyerang duluan atau ngotot minta pendapatnya langsung diiyain? Misalnya: seorang blogger posting tulisannya tentang keperawanan dari segi medis, eh netizen malah ada yang langsung menuduhnya mengajak pembaca untuk berhubungan seksual sebelum menikah? Siapa yang nggak naik pitam, coba? Apalagi bila si netizen belum tentu baca tulisan si blogger sampai habis.

Tuduhan tipikal pengguna ad-hominem saat debat ini lagi banyak dipake nih, di media sosial. Niatnya sih, mau bikin yang nggak sepaham sama mereka untuk merasa bersalah dan minimal minta maaf. Sayang, usaha gaslighting mereka gagal. Yang ada, mereka malah terdengar seperti ini:

“Lo harus mau terima pendapat gue dong, meski beda.” Ehh, kok maksa? Terima fakta setiap orang beda pendapat bukan berarti Anda otomatis akan langsung dibenarkan. Jangan suka main standar ganda-lah!

  • Si tukang nuduh: “Kok mainnya nyerang / menggeneralisir?”

Ini kebiasaan buruk mereka yang doyan amat pake argumen #tidaksemualakilaki setiap kali ada yang membahas kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Sama juga dengan yang kemaren hobi teriak-teriak #alllivesmatter sebagai balasan untuk #blacklivesmatter.

Kenapa sih, kayaknya pada takut amat dituduh sebagai pemerkosa, padahal faktanya pelaku kekerasan seksual kebanyakan laki-laki? Bahkan, pelaku kejahatan ini yang kebetulan laki-laki juga mengincar korban laki-laki. Kalo memang mengaku baik, harusnya bisa dong, nggak hanya pake argumen basi #tidaksemualakilaki terus-menerus tanpa benar-benar melakukan sesuatu. Gak usah kesinggung.

Sama halnya dengan kampanye #blacklivesmatters terkait video penyiksaan George Floyd, laki-laki berkulit hitam, oleh petugas polisi berkulit putih di Minneapolis, Amerika Serikat kemarin. Coba, memangnya ada yang bilang bahwa hanya karena kampanyenya #blacklivesmatter, berarti nyawa orang lain, seperti kulit putih atau saya yang sawo matang, jadi kalah penting?

Faktanya, warga kulit hitam (termasuk saudara-saudari kita di Papua) banyak yang masih mengalami diskriminasi. Nggak hanya berupa kekerasan fisik. Mau masuk mal saja suka ditanya-tanya satpam lebih lama. Ada juga yang dengan tega menyebut mereka dengan nama binata…ah, sudahlah.

Coba cek kembali deh, privilege Anda, sebelum nuduh kalo hanya karena mereka dibela, lantas hak-hak dasar Anda sebagai manusia akan otomatis terpinggirkan. Nggak semua hal harus dipandang se-biner itu, kali. Parno amat.

  • Yang doyan ngambek: “Iya deh, kamu selalu benar. Orang lain selalu salah.”

Ini lagi yang makin terdengar seperti anak kecil. Namanya juga debat. Dalam perdebatan, pasti ada yang argumennya kuat dan ada yang lemah. Kalo masih mutusin bahwa ya, boleh setuju untuk nggak selalu sependapat, ya nggak masalah.

Lain cerita kalo dari awal niat mendebat adalah memaksa mereka agar sependapat dengan Anda. Begitu enggak, eh…Anda malah ngambek kayak anak kecil dan lantas bilang: “Iya deh, kamu selalu benar. Orang lain selalu salah.” Coba, siapa yang gak ogah meladeni kalo respon Anda udah kayak gitu? Gak beda sama nomor satu, Anda berusaha bikin mereka merasa bersalah dengan playing victim begitu.

Nah, ini dia tiga (3) jenis manusia yang percuma kalo didebat di media sosial, karena intinya dari awal mereka memang udah gak mau sepakat. Gak hanya itu, mereka juga keukeuh orang lain harus seiya sekata sama mereka. Daripada waktu, tenaga, sama kewarasan terbuang percuma, mending cuekin aja.

Moga-moga Anda juga bukan termasuk di antara mereka, ya. Semoga Anda sudah termasuk yang lebih dewasa.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Tentang Topeng-topeng Lama

Tak perlu masker pelindung dari Corona,

masih banyak pengguna

topeng-topeng lama

sembunyi cacat di jiwa.

Kini mereka bisa

jadi siapa saja

dari aktivis hingga pemuka agama

bersama pendengar dan pengikut buta.

Mereka tampak baik luar biasa,

tiada cela di mata,

halus tutur bahasa,

rapi atur perilakunya.

Biar, biarkan saja

bermain peranlah mereka

dengan topeng-topeng lama

ilusi sempurna untuk dunia

berharap puji-puja

seakan mereka bersahaja.

Hanya Tuhan,

para korban

mata-mata awas

melihat sisi culas

di balik topeng-topeng lama

yang merapat, kian menyatu dengan wajah.

Tak rela kehilangan penggemar,

namun menipu tanpa malu.

Suatu saat,

semua topeng mereka akan retak.

Habis sudah siasat!

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

3 Alasan Saya Ogah Meladeni Internet Troll

Puasa nggak puasa, mereka selalu ada. Sial memang. Mulai dari sekadar kasih komentar jelek, menghina, hingga yang asli gak nyambung dengan yang lagi dibahas di postingan. Tujuannya?

Ya, bikin rame aja. Mungkin para internet troll itu kurang kerjaan (atau malah enggak punya kerjaan.) Mungkin mereka sadar kalo di dunia nyata, mereka sebenernya bukan siapa-siapa maupun apa-apa.

Bisa jadi internet troll ibarat macan ompong di dunia nyata. Hanya bernyali di dunia maya, tapi bungkam 1000 bahasa di dunia nyata. Makanya, inilah tiga (3) alasan saya sekarang sudah ogah meladeni internet troll:

  • Buang-buang waktu, tenaga, dan kewarasan diri sendiri.

Apa yang bisa didapat dari para internet troll dari melecehkan user lain di dunia maya? Rasa puas karena telah berhasil bikin orang lain kesal, merasa terganggu, hingga tidak tenang. Setidaknya, meski sementara, mereka bisa menikmati ilusi perasaan berkuasa.

Terus Anda dapat apa dari hanya meladeni mereka? Rasa marah, waktu yang terbuang percuma? Terganggunya kegiatan lain Anda di dunia nyata?

Yang pasti, lebih banyak ruginya. Paling parah, Anda malah juga bisa ikutan gila. Nggak mau, ‘kan?

Memang benar, ada kalanya yang waras sebaiknya mengalah…

Foto: unsplash
  • Internet troll sering sok berahasia.

Kalo diperhatiin, internet troll kebanyakan nggak berani pakai akun asli. Iyalah, mana mau mereka balas diincar sama korban pakai UU ITE.

Kalo pun pake akun asli, biasanya akunnya mereka set jadi private. Alasannya sih, biar akun mereka nggak gantian diserang netizen lain sesudah mereka bebas ‘nyampah’ di akun orang lain, tanpa rasa bersalah pula. Boleh saja bilang mereka curang.

Buat internet troll, itu namanya cari aman.

Jadi, ngapain pula terus nanggepin mereka, apalagi sampai buang-buang waktu berharga Anda? Mau report mereka juga percuma, karena mereka bisa ganti akun kapan saja. (Bahkan, kalo emang asli kurang kerjaan atau gak punya kehidupan lain yang lebih menyenangkan di dunia nyata, mereka bisa punya akun ganda di berbagai platform.)

Solusinya? Tinggal blokir terus-terusan kalo perlu.

Gambar: brilio.net
  • Internet troll rata-rata hanya ingin pansos (panjat sosial).

Banyak cara kilat buat jadi terkenal, tapi mereka lebih sering memilih yang negatif. Gak hanya asal kasih komen negatif di laman orang lain.

Kadang mereka juga sengaja bikin status kontroversial di media sosial. Tujuannya tentu saja hanya untuk caper (cari perhatian). Semakin banyak komentar berupa cacian yang mampir di laman mereka, jadinya semakin viral, deh.

Bahkan, mereka bakalan tambah senang bila konten sampah mereka sampai di-reshare / retweet / reupload. Intinya, mereka makin banyak dikenal tanpa perlu bersusah payah.

Nah, kalo udah gini, yang rugi siapa? Belum tentu juga mereka. Yah, setidaknya mereka nggak merasa. ‘Kan tujuan utama mereka hanya minta perhatian di dunia maya, berhubung di dunia nyata mungkin mereka merasa dianggap bukan siapa-siapa. Gak penting.

Makanya, sekarang saya sudah malas meladeni internet troll. Lebih baik cari kegiatan lain saja yang jauh lebih penting dan bermanfaat.

Lagipula, saya sibuk.

R.