Categories
#catatan-harian #menulis

Sekilas Tentang Vaksin Dewasa

Apa sih, yang ada di benak Anda saat mendengar kata vaksin? Selain imunisasi untuk si kecil, soal vaksin baru terpikirkan saat hendak menikah. Sebagai bagian dari paket perawatan pra-nikah, suntik vaksin dapat membantu kita terhindar dari berbagai penyakit.

Tapi, orang dewasa ternyata juga butuh.

Tentu saja, soal vaksin juga baru terpikirkan saat munculnya virus baru, seperti Covid-19 atau Corona. Sambil menunggu perkembangan penanganan virus tersebut, inilah sekilas tentang vaksin.

Apa Itu Vaksin?                               

Vaksin adalah bahan antigenik yang merupakan campuran produk biologis antara virus, bakteri, atau campuran keduanya yang dibuat lemah. Pemberian vaksin dinamakan imunisasi – dan tidak hanya bayi dan anak-anak yang mendapatkannya.

Memang, bayi dan anak-anak menjadi prioritas utama dalam pemberian vaksin. Namun, bukan berarti orang dewasa sudah tidak membutuhkannya lagi. Banyak alasan bahwa orang dewasa pun masih membutuhkan vaksin, seperti:

  • Mereka yang sudah berusia lanjut.
  • Ibu yang sedang hamil maupun menyusui.
  • Mereka yang mengidap penyakit kronis, seperti: diabetes, jantung, kolesterol, asma, dan masih banyak lagi.
  • Mereka yang punya riwayat penyakit berat, infeksi serius, hingga pernah menjalani operasi, sehingga otomatis berdaya tahan tubuh lebih lemah.
  • Mereka yang belum pernah mendapatkan imunisasi wajib apa pun.
  • Mereka yang berprofesi di tempat-tempat rawan penyebaran penyakit. Misalnya: tenaga kesehatan yang saat ini masih menangani kasus penderita Covid-19. Mereka tetap membutuhkan vaksin agar ketahanan tubuh mereka terjaga dengan baik.

Beberapa Penyakit Oleh Virus Ini Membutuhkan Vaksin:

Meskipun saat ini dunia masih sibuk menangani Covid-19, jangan lupakan pentingnya mendapatkan vaksin untuk beberapa penyakit lain.

  • Flu/Influenza HA

Masih banyak yang menyamakan penyakit ini dengan pilek biasa (common cold). Padahal, virus yang menyerang berbeda. Memang, keduanya sama-sama menyerang hidung, tenggorokan, hingga paru-paru. Penderita akan mengalami serangkaian gejala, seperti: demam, sakit kepala, pilek, batuk, hingga hidung tersumbat.

Flu lebih parah dan selalu menyerang mendadak daripada pilek biasa. Tidak hanya tiga hingga empat hari sesudah penderita tertular, bahkan sebelum gejalanya muncul, virus dapat tersebar dengan cepat dan mudah.

  • Meningitis

Sekilas gejalanya mirip dengan flu, karena diawali sakit kepala dan demam. Namun, meningitis adalah peradangan yang menyerang lapisan pelindung otak dan saraf tulang belakang. Beberapa penyebabnya bisa karena infeksi bakteri, virus, jamur, atau parasit. Sistem imunitas tubuh yang sedang lemah juga rentan diserang oleh meningitis dan bakteri penyebabnya adalah pnemokokus (streptococcus pneumoniae).

Sekilas Soal Pnemokokus:

Infeksi akibat bakteri pnemokokus (streptococcus pneumoniae) dapat menyebabkan berbagai penyakit berbahaya, seperti: meningitis dan pneumonia. Untuk melindungi diri dari bakteri ini, kita harus mendapatkan vaksin PCV (pneumococcal conjugative vaccination).

Cara Mendapatkan Vaksin

Sekarang sudah banyak pilihan tempat untuk mendapatkan vaksin untuk orang dewasa. Bagi yang tinggal di Medan, mendapatkan vaksin Medan untuk orang dewasa sudah lebih mudah. Halodoc merekomendasikan Klinik Zap di Medan. Sun Plaza termasuk salah satu tempat Klinik Zap berada.

Bila masih ingin mencari pengetahuan lebih atau berkonsultasi mengenai vaksin, ada aplikasi Halodoc. Berdiri sejak 2016 di bawah PT.Media Dokter Investama, Halodoc dapat diakses lewat web maupun aplikasi kapan saja. Anda bisa konsultasi bebas dan aman dengan dokter pilihan dan terhubung dalam tiga menit. Ratusan dokter umum dan spesialis yang terdaftar di IDI telah bergabung menggunakan aplikasi ini. Dokter pun hadir dalam 24 jam.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Mimpi Itu…

Mimpi Itu…

Lengkungan
Foto: Freepik.com

Lagi-lagi aku bermimpi.

Rasanya nyata sekali.

Aku melihatmu pergi

tanpa menoleh lagi.


Ada apa ini?

Mengapa lagi-lagi terasa pedih?

Di sana kita sudah sering bertemu.

Hanya di sana aku bisa mendengar suaramu.


Aku tahu maumu.

Siapkah aku?

Sial, bahkan aku enggan terbangun,

tak peduli tawa keji para hantu.


Tuhan, kuatkan aku.

Aku lelah dengan mimpi semu.

Semua terserah pada-Mu,

karena aku hanya bisa menunggu…

R.

(Jakarta, 22 Desember 2013)

Categories
#catatan-harian #CSW-Club #menulis

Demi Laptop Gratis

Demi Laptop Gratis

Ini tahun pertamaku bekerja di sebuah lembaga kursus bahasa asing di Kuningan. Waktu itu, aku belum memutuskan untuk tinggal di rumah kosan seperti sekarang ini. Aku masih pulang-pergi ke rumah orang tuaku yang cukup jauh.

Seperti biasa, setiap selesai mengajar di hari Sabtu, sahabatku di tempat kerja, Tony, suka mengajakku nongkrong bareng dulu. Kadang kami makan siang super telat (mengingat kelas kami paling akhir biasanya baru selesai pukul empat sore) di Plaza Festival. Kadang kami main-main sebentar ke apartemennya, duduk mengobrol sambil menonton TV. Kadang aku membantunya memasak sebelum makan malam bersama di sana.

Lalu, bagaimana bila kebetulan Tony sedang tidak bisa menemani setiap Sabtu sore? Tidak masalah. Berlawanan dengan anggapan salah seorang teman kami yang pernah menuduhku terlalu tergantung sama sahabatku itu, aku baik-baik saja. Aku masih bisa makan dan ke mana-mana sendiri. Aku cukup mandiri.

“Kamu belum pernah ke Epicentrum, ya?” tanya Tony suatu ketika. “Coba ke sana deh, isinya juga lebih beragam. Biar mainnya nggak ke Pasfes melulu.”

“Oke.” Makanya, suatu Sabtu sore, kuikuti sarannya. Sampai di Epicentrum, kulihat lantai bawahnya sedang ramai. Ada panggung yang cukup besar di sana. Sebagian kecil kerumunan berada di pinggir panggung.

Tatapanku jatuh pada sebuah laptop kurus tipis berwarna abu-abu di dalam lemari kaca di samping panggung. Ketika kulihat seorang lelaki berseragam merk laptop tersebut sedang menulis di depan rombongan orang yang berbaris, kuhampiri dia. Kutanya: “Ini lagi ada acara apa, sih?”

“Oh, ini lagi ada acara lomba menangin laptop,” jawab lelaki itu santai. Ketika melirikku, dia bertanya, “Mbak mau daftar?”

“Bisa?”

“Boleh.”

Aku girang bukan kepalang. Sesudah mendaftar, kutunggu di bibir panggung bersama yang lainnya dengan sabar. Asli, aku hadir seorang diri, membawa tas kantorku yang lebih mirip tas ibu-ibu sosialita, namun dengan dandanan seadanya. Kaos ungu, jins, sepatu selop, dan rambut ikal panjang yang berantakan ke mana-mana. (Kelar mengajar, biasanya aku suka malas berdandan, kecuali kalau perlu ke acara lain.)

Jadi, cara mendapatkan laptop di lemari kaca itu begini:

Naik ke panggung. Tunggu aba-aba dari layar di depanmu. Begitu mulai, segeralah bergaya dan beraksi segila mungkin di depan kamera. Bagian bawah panggung dilengkapi dengan sensor yang dihubungkan langsung ke kamera dan meteran digital yang tampak di layar. Semakin gila gayamu, semakin tinggi hasil skor meteran pada layar.

Sempat aku menyesal begitu mendaftar. Rata-rata kontestan yang ikutan tampak lebih atletis, fit, dan pede daripada aku. Apalagi yang laki-laki. Mungkinkah si gemuk ini punya peluang?

Ketika giliranku tiba, kuputuskan untuk bersikap masa bodoh. Kalau kalah, ya sudah. Sambil naik ke panggung, kutinggal tas di pinggir dan kulepas sepatuku. Aku bersiap di tengah panggung dan mengatur napas.

Saat kulihat aba-aba dimulai, aku sudah tidak berpikir lagi dan mulai bertingkah sesukanya. Pokoknya, di benakku hanya ada lagu-lagu Metallica satu album dan tubuhku terus bergerak tanpa henti. Entah sudah seperti apa ekspresiku, aku tak lagi peduli.

Aku baru berhenti saat tiba-tiba alarm peringatan berbunyi. Ternyata…meteran digital di layar sudah menunjukkan hasil tertinggi: INSANELY EXCITED! Aku terlalu shock hingga tak sadar kedua lututku gemetaran karena berhenti mendadak sesudah berjoget asal dan gila-gilaan di atas panggung. Penonton bersorak histeris dan bertepuk tangan, lalu tertawa saat melihatku jatuh seketika di panggung.

Sejam kemudian, aku berada di Comic Café, duduk dan masih memandangi laptop baruku dalam kemasan dengan perasaan tidak percaya. Bahkan, saat kukirim SMS ke semua orang yang kuingat saat itu, termasuk Tony, jawaban mereka seakan mendukung rasa tidak percayaku:

“Ma/Dek, jangan kaget, ya.”

“Apaan?”

“Aku baru dapat laptop gratis.”

“…..”

“Tony, guess what?”

“What?”

“I’ve just won myself a free laptop.”

“Very funny.”

-***-

Dua bulan kemudian, adik lelakiku tiba-tiba ditelepon sahabatnya yang bekerja di periklanan. Suaranya terdengar geli.

“Lo dah tau kakak lo menangin laptop?”

“Iya. Dia pulang bawa laptopnya.”

Sementara itu, Tony berhasil menemukan rekaman acara tersebut di YouTube – dan selalu membagikannya ke orang baru, setiap kali percakapan soal itu muncul di tengah-tengah acara nongkrong bareng.

Laptop itulah yang kemudian mengawali karirku di dunia kepenulisan dan digital…

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Raib?

Raib?

Foto: Unsplash.com

Apakah kau tengah mencoba raib,

tak tampak, agar sembunyikan aib,

menjauhi yang semula karib?       

  

Lenyapmu begitu tiba-tiba

ibarat supernova di angkasa.

Sekejap, sebelum hampa,

tinggalkan lubang hitam besar menganga

di suatu tempat di alam raya.

Apakah ada yang memburumu,

hingga kau putuskan menghilang dulu?

Aku ingat kisah-kisah terakhirmu itu.

Tenang, semua masih terkunci di benakku.

Kini,

aku hanya bisa menunggu

kabarmu meski tak pasti,

berdoa dalam sunyi

menanti hari                  

kau akan kembali

untuk mengucapkan tiga kata itu:

“Aku cinta kamu”?

Salah, bukan itu.       

Itu tak lagi penting bagiku.

Lalu apa?       

Aku hanya butuh mendengar tiga kata ini darimu:

“Aku masih hidup.”

Bagiku, itu sudah cukup.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Tentang si Gemuk di Gym dan Polusi Visual

Tentang si Gemuk di Gym dan Polusi Visual

Foto: Unsplash.com

Sebenarnya saya males ikut-ikutan bahas soal si R, ‘sang influencer’ (diucapkan dengan nada sarkastis – dan maaf, saya juga nggak sudi menyebut namanya) yang ngatain bodi orang lain ‘polusi visual’ segala. Namun, entah kenapa saya malah jadi teringat zaman-zamannya saya ikut kelas aerobik-nya Berty Tilarso. (Yap, ketahuan umur saya berapa, hehehe. Bodo amat, ah.)

Waktu itu, saya disuruh Ibu untuk mengambil kelas aerobik dan body language (BL) di kelas sanggar senam Berty Tilarso (yang menurut saya sih, bisa disebut sebagai gym juga). Tentu saja, khusus kelas, kami berada di studio yang tertutup. Kebetulan, saat itu pesertanya perempuan semua dalam berbagai usia, hingga ukuran badan.

Pakaian olahraganya tentu saja pakaian senam yang serba ketat. Keliatan perutnya? Sudah pasti. Bahkan, sports bra sudah pemandangan lumrah di kelas beliau. Awalnya, saya sempat merasa risih harus memakai atasan super pendek dan celana panjang yang sama-sama ketat. Tahu sendiri ‘kan, saya bukan termasuk sosok kurus. (Kalau mau bayangin yang aneh-aneh tentang saya, silakan. Bukan urusan saya, jadi nggak perlu bilang-bilang juga.)

Namun, kemudian setelah dijelaskan, saya baru tahu alasan di balik baju senam yang serba pendek itu. Selain biar keringat cepat terserap dan nggak menghambat gerak, trainer perlu melihat apakah otot-otot perut murid-muridnya berkontraksi sesuai instruksi. Kalau perutnya ketutupan, udah pasti nggak kelihatan, hehehe.

Jadi, bukan sekadar pamer bodi.

Bisa dibilang, selama ikut kelas BL itu dulu, saya diam-diam merasa bersyukur penggunaan ponsel berkamera dan media sosial belum semarak sekarang. Lagipula, kalo pun udah ada, waktu itu kami semua nggak kepikiran buat iseng diam-diam ngeliatin bodi sesama peserta, terus laporan ke netizen se-dunia lewat postingan di Twitter atau Instagram.

Selama di sana, saya malah melihat betapa bangganya emak-emak saat saling bertukar cerita soal stretchmark dan sebangsanya. Ya, ibarat dengerin cowok-cowok pamer bekas luka atau battle scars, meski penyebabnya beda:

“Oh iya, ini abis sesar anak gue yang ketiga.”

“Jeng, kalo mau, saya ada krim buat menyamarkan stretchmark…”

Begitu pula saat mereka mengobrol dengan saya yang masih lajang, tapi kebetulan gemuk. Begitu mereka tahu, mereka malah menyemangati:

“Nggak apa-apa, Dek. Yang penting kamu sehat dan nggak gampang kecapekan.”

“Kalo mau langsing masih muda lebih gampang, soalnya metabolisme biasanya masih lebih cepat daripada kalo udah tua.”

Intinya, waktu itu kami udah mempraktikkan #womensupportingwomen sebelum tagar itu jadi tren di media sosial. Saking fokusnya ikut instruksi trainer di depan, enggak ada tuh, yang sampai menyempatkan diri merhatiin sesamanya. Jangan tanya saya apakah saya inget siapa saja yang pake sports bra doang dan pamer perut…atau siapa saja yang pantatnya hitam. Mana sempat?

Lagipula, Berty Tilarso sendiri waktu itu juga pernah bilang, porsi latihan boleh sama, hasilnya pasti akan berbeda-beda bagi setiap orang. Ada yang bisa langsung terlihat lebih ramping dalam tiga bulan pertama sesudah rutin latihan. Ada yang tetap terlihat sama, namun saat mencoba pakaian lama yang semula tidak muat jadi pas. Selain itu, tubuh terasa lebih bugar dan ringan.

Kalo mau membahas polusi visual, saya malah kepikiran sampah yang menggunung di Bantar Gebang, limbah di sungai maupun pantai dan laut…pokoknya semacam itulah. Yang bikin bingung dari cuitan si R buat saya hanya satu:

Orang macam apa yang masih sempat-sempatnya merhatiin sports bra dan pantat orang lain saat di gym, terus masih punya waktu buat mengomentarinya di media sosial? Saya kira gym itu hanya tempat untuk berolahraga, bukan sibuk mencari-cari mana saja yang masuk kategori ‘polusi visual’.

Mungkin saya hanya terlalu cuek sebagai perempuan…chubby pula. Mungkin juga setelah bertahun-tahun dihina sedemikian rupa oleh para pelaku #bodyshaming, lama-lama saya seperti mati rasa…

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Akibat Asal Nyap-nyap

Akibat Asal Nyap-nyap

Cuap-cuap sekalap

Lolos jadi harap

Bisa jadi hukum cepat bertanggap

agar diri tersedak gelagap

Hap…lalu ditangkap!

Cuap-cuap sekalap

Yang penting bebas mangap

atau jari-jemari mengetik yang silap

Sayang, tak terima khalayak muntab

Ego melangit, makin nyap-nyap

Aih, sedaaap!

Yang pongah kini senyap

Yang bersikeras makin kalap

merasa bebas, namun hati gelap

yang penting berpendapat, namun tak siap

menerima akibat asal nyap-nyap.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #tips

5 Tips Anti Marah-marah Terus di Media Sosial Ala Saya

5 Tips Anti Marah-marah Terus di Media Sosial Ala Saya

Hah, blogger pemarah kayak saya berani kasih tips begini? Masa, sih? Gak salah? Emang tips dari saya bisa dipercaya?

Komentar-komentar di atas mungkin bakal lebih banyak keluar dari mereka yang sudah benar-benar mengenal saya. Memang, saya akui saya pemarah. Banyak hal di dunia ini yang bisa memicu emosi saya.

Tapi, apakah berarti saya akan selalu marah-marah? Gak juga, kali. Ya, ada kalanya saya memang berhak marah, terutama bila masalahnya serius.

Contoh: laki-laki yang keseringan bercanda seksis. Biar dia nggak terbiasa bersikap kurang ajar sama perempuan atau siapa pun lewat guyonan seksisnya, pasti bakalan saya tegur. Mau sampai musuhan juga ayo, saya gak takut. Bodo amat saya disebut baperan – argument andalan paling basi yang selalu saya dengar dari model begini.

Namun, saya juga bisa lelah. Saya juga masih punya banyak urusan lain. Percuma juga terlalu banyak buang-buang waktu marah-marah doang di media sosial. Untuk mengatasinya, inilah lima (5) tips dari saya:

  • Jangan terlalu sering mengakses media sosial.

Ayolah, kita masih punya kehidupan nyata. Selama masih banyak pekerjaan lain yang lebih penting di luar sana, ngapain harus selalu memusingkan komentar julid netizen maha benar? Jangan-jangan hidup mereka sebenarnya jauh lebih menyedihkan.

Untuk jaga-jaga, tak perlu terlalu sering mengakses media sosial. Tapi…eh, gimana kalo itu ternyata sudah jadi bagian dari profesi?

  • Khusus pekerja digital, fokuslah sama konten yang menjadi bagian dari pekerjaan.

Godaan mampir ke konten lain atau baca-baca komentar julid netizen maha benar pasti ada. Tapi, selama masih jam kerja, mendingan fokus dulu sama konten yang terkait kerjaan sendiri, deh. Sesudahnya, masih ada kok, cara-cara lain untuk membatasi melihat konten-konten menyebalkan di media sosial. Gak perlu bikin UU segala.

Tentang Ultah, Hadiah, dan Kehadiran
  • Lebih baik mengakses media sosial di pagi hari.

Mengapa demikian? Karena rata-rata orang masih punya mood yang relatif bagus. Postingan pagi biasanya nggak jauh-jauh amat dari quotes inspiratif, tentang semangat pagi, pamer foto sarapan, dan masih banyak lagi. Pokoknya belum butek sama drama dalam sehari.

Kecuali…yah, ada tragedi yang lagi jadi trending topic. Kalau sudah begitu, memilah dan memilih jadi tantangan yang lain lagi.

  • Memilah, memilih, dan konsisten/tegas dalam bersikap.

Nah, kita harus tegas dalam memilih yang ingin kita lihat. Sama saja dengan memilih makanan di daftar menu resto. Gak mungkin juga ‘kan, semuanya mau kita makan sekaligus?

Begitu pula saat mengakses media sosial. Kalo nggak mau merasakan stress yang nggak perlu, saatnya memilah dan memilih yang ingin kita lihat.

Misalnya: saya sangat suka kucing, jadi paling hobi menonton video kucing-kucing lucu di YouTube. Saya juga suka melihat update posting teman-teman yang punya kucing peliharaan. Pokoknya, saya tidak mau ketinggalan ikut menikmati dokumentasi bebas ulah kucing-kucing mereka yang lucu dan selalu menghibur pemiliknya.

Tentu saja, saya juga tidak mau ketinggalan dengan info terkini. Tapi, biar nggak jadi stres hingga marah-marah terus, saya hanya mengaksesnya di pagi hari.

Eh, tapi gimana kalo konten di media sosial masih banyak yang berpotensi bikin naik pitam? Hmm…

  • Sesekali break dari media sosial.

“Ah, susah kalo udah kecanduan.”

Ayolah, masa nggak punya kendali diri, sih? Kebetulan, saya termasuk generasi imigran digital. Saya sudah pernah hidup tanpa internet dan baik-baik saja.

Saya pernah break dari media sosial selama liburan. Kebetulan, saya termasuk pengusung tagar #latepost kala travelling atau sejenisnya. Saya merasa tidak perlu selalu update semua kegiatan saya saat liburan. Jadinya acara jalan-jalan malah kurang fokus gara-gara (merasa) harus selalu update tiap kegiatan – real-time pula.

Lagipula, seluruh dunia nggak wajib untuk selalu tahu segalanya tentang kita, kok.

Nah, inilah lima (5) tips sederhana agar saya nggak marah-marah terus di media sosial. Gimana dengan Anda?

R.