Saya merasa agak tergelitik melihat postingan seorang kenalan di media sosial. Singkat cerita, dia memposting sebuah meme kisah cinta singkat nan tragis:
Perempuan itu memilih meninggalkan kekasihnya yang berprofesi sebagai seorang barista dan menikahi lelaki lain yang lebih kaya. Cerita yang sangat klasik sekali, bukan? Kekasihnya seakan dianggap bukan siapa-siapa, apa lagi apa-apa.
Caption pada meme tersebut ibarat doa / sumpah si lelaki yang patah hati. Katanya, kelak si barista akan lebih sukses dan membuktikan pada sang mantan dan kekasih barunya, bahwa seharusnya dia layak jadi pilihan dan bukan untuk disepelekan. Seharusnya dia tidak begitu saja dicampakkan.
Hmm, sekilas mungkin akan banyak yang berpihak pada si barista yang malang. Kasihan, diputusin hanya gara-gara bukan dari keluarga kaya. Terus, pasti juga banyak yang akan membenci si perempuan itu. Berbagai sebutan familiar macam ‘matre’, ‘mata duitan’, dan sejenisnya pasti akan langsung keluar.
Lalu, bagaimana dengan si lelaki kaya? Pastinya juga kena cela. Mulai dari tuduhan ‘perebut pacar orang’ sampai nyinyiran khas menyentil kelas sosial: “Tajir mah, bebas.”
Mungkin banyak juga yang malah memaklumi pilihan si perempuan. Apalagi, masyarakat patriarki paling hobi bikin perempuan serba salah, apa pun pilihan mereka:
Milih laki-laki yang tidak kaya dicibir, bahkan dianggap bodoh dan nggak realistis. Bahkan, tak jarang banyak juga yang kemudian nyinyir: “Emang hidup enak, makan cinta doang?”
Kalo milih yang kaya juga nggak bebas celaan. Kata mereka, wajar bila perempuan cenderung memilih pasangan yang secara finansial sudah lebih mapan. (Baca: gaji tinggi, kaya, sudah punya fasilitas pribadi, atau minimal dari keluarga tajir melintir hingga bikin yang lain iri hingga nyinyir.) Apalagi, masyarakat masih beranggapan bahwa laki-laki-lah yang nantinya akan jadi kepala keluarga, yaitu pemberi nafkah. Perempuan tinggal ikut saja, karena perempuan-lah yang nantinya akan diurus.
Lucunya, begitu perempuan beneran milih lelaki yang kaya untuk jadi pasangan, masih juga ada yang mencela. Maunya apa?
Sebenarnya?
Bisa jadi, masalahnya lebih rumit daripada yang terlihat oleh mata kita sebagai orang luar.
Seperti biasa, menilai masalah orang lain dari permukaan (belaka) memang kebiasaan banyak orang. Selain gampang, rasanya juga sudah dianggap biasa saja. Apalagi bila ditambah dengan kredo standar bernama ‘kebebasan berpendapat’ dan alasan: “Biasanya kejadian kayak gini banyak dan mirip semua. Jadi benar, ‘kan?”
Ah, masa iya? Darimana Anda tahu? Udah bikin riset resmi – atau hanya percaya sama ‘kata orang’ dan asumsi pribadi? Hobi menggeneralisir emang kebiasaan banyak orang, tapi bukan berarti harus dibiasakan dan tidak membahayakan.
Kalau pun memang benar, haruskah selalu diekspos sedemikian rupa di dunia maya? Apakah ada yang sedang mencari dukungan dan pembelaan atas posisi mereka?
Bukankah malah akan menambah masalah? Ingat, kita nggak bisa mengontrol pikiran maupun pendapat orang-orang (baca: netizen) di luar sana. Selain itu, masih ada UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik). Jujur, saya sendiri bukan penggemar UU tersebut. Menurut pengamatan awam saya sih, UU ITE lebih banyak dipakai orang-orang baperan, cengeng, dan pengecut yang anti kritik – namun sialnya kebetulan lebih punya banyak uang untuk membayar pengacara dan waktu untuk meladeni pengkritik di pengadilan.
Ini pendapat saya doang lho, ya. Boleh nggak sepakat kalau merasa dapat manfaat dari UU tersebut. Kalau saya sih, mending cuekin yang menghina saya di medsos atau mengajak mereka bertemu secara pribadi. Nggak perlu bayar pengacara segala. (Duh, kayak saya mampu aja!)
Yang pasti, saya juga nggak butuh penonton, apalagi rombongan fans fanatik yang khusus membela saya secara militan. Masa menghadapi satu perundung yang menghina saya butuh ditemani? Memangnya anak kecil atau preman?
Bisa jadi, perempuan itu punya pertimbangan lain. Bisa jadi ini bukan melulu soal kekayaan, meski pasti banyak yang berasumsi demikian.
Hei, ini bukan berarti saya hanya dan selalu membela sesame perempuan lho, ya. Untuk soal seperti ini, ada baiknya kita melihat masalah dari berbagai sisi, bukan hanya pihak yang (merasa) jadi?) korban. (Tentu saja, cara ini juga belum tentu bisa diterapkan untuk semua masalah relationship yang ada.)
Yang terlihat di permukaan selama ini belum tentu mencakup semuanya. Kita juga nggak mungkin bisa tahu segalanya. Nggak ada manusia yang bisa begitu.
Kalau memang sudah cukup tahu banyak masalah sejenis, terus kenapa? Apa yang mau kita lakukan? Memangnya kita bisa melakukan sesuatu untuk mengubah keadaan tersebut?
Balas Dendam? Ngapain?
Saya akui, kadang saya sendiri masih suka tergoda untuk membalas dendam pada siapa pun yang pernah menyakiti saya dengan sedemikian rupa. Namun, untuk apa? Untuk apa si barista tersebut membalas dendam dengan cara berusaha mengalahkan si lelaki kaya dalam urusan harta?
Seorang teman (yang lebih bijak daripada saya) pernah bilang begini:
Balas dendam terbaik adalah berlalu tanpa menoleh lagi. Anggap saja mereka yang sudah pernah menyakiti Anda tidak berarti lagi. Memang susah sih, tapi bukannya nggak mungkin. Ini soal kemauan kuat untuk menjadi diri yang lebih baik tanpa (terlalu) memanjakan ego pribadi.
Hah, apa? Jangan sampai hati bikin sakit? Maksudnya gimana, sih? Bukannya patah hati saja sudah menyakitkan, ya?
Memang. Bohong saja kalo sampai ada yang sok tangguh, mengaku nggak apa-apa. Yang ada hanya mereka yang memutuskan untuk tidak memperlihatkan sakit hati mereka kepada dunia. (Jiaaah…)
Lalu, gimana caranya supaya tidak tambah sakit – alias sakit beneran secara fisik? Oke, waktunya mendetoksifikasi diri sendiri secara bertahap.
Ingat-ingatlah kondisi diri sendiri sebelum bertemu mereka dulu.
Gimana dulu sewaktu belum ketemu / berurusan dengan mereka? Baik-baik saja, ‘kan? Masih punya banyak alasan lain untuk menjalani hidup dengan lebih berbahagia.
Mungkin pas ada mereka, kesannya hidup jadi terasa lebih indah dan penuh warna. Otomatis Anda jadi merasa lebih berbahagia. Pokoknya, luar biasa.
Makanya, begitu mereka pergi (apalagi bila mainnya mendadak begini), Anda langsung patah hati. Wajar sih, tapi usahakan jangan sampai perasaan itu malah bikin Anda jadi sakit badan. Rugi!
Bila sebelum ada mereka hidup masih berjalan, kenapa begitu nggak ada mereka Anda nggak akan mungkin baik-baik saja?
Berilah waktu pada diri sendiri untuk berduka. Tapi, sebaiknya juga jangan terlalu lama. Habis itu, segeralah bangkit kembali.
Dunia ini masih butuh kamu.
Sibukkan diri dengan berbagai kegiatan yang lebih berarti.
Ayolah, hidup Anda tidak mungkin hanya berkutat di sekitar mereka. Pasti masih banyak lagi hobi maupun kegiatan yang bisa jadi jauh lebih seru dan bermakna. Bila masih punya pekerjaan bergaji bagus (apalagi di era pandemi #Covid19 ini), bersyukurlah.
Saya nggak menjamin bahwa sakitnya akan langsung hilang karena banyak kegiatan. Saya hanya bisa menjamin bahwa semua kegiatan tersebut adalah pengalih perhatian.
Mau sampai kapan? Maaf, itu bukan keputusan saya. Semua tergantung pada usaha dan kepasrahan Anda. Lho, kok pasrah? Ya, iyalah. Meskipun pengen sembuh patah hatinya cepat, ada kalanya berpura-pura bahwa diri baik-baik saja sama sekali bukan solusi. Jalani saja dulu prosesnya…
Tetap menjaga kondisi tubuh.
Sedih kehilangan sosok tersayang itu wajar. Namun, jangan sampai lupa untuk tetap merawat diri. Nggak usah langsung yang serba ekstrim seperti mendadak ganti gaya rambut atau penampilan. Yang sederhana aja dulu, seperti tetap makan makanan sehat, berolahraga teratur, dan tidur yang cukup. Terdengar klise? Coba aja dulu, baru ngomong.
Soalnya, semakin lalai menjaga kondisi tubuh, semakin mudah kita terserang depresi. Nah, nggak mau, ‘kan? Yuk, mulai kembali menyayangi diri sendiri secara bertahap. Yang butuh dukungan orang lain jangan malu untuk meminta tolong.
Berproses untuk merelakan.
Untuk melupakan seseorang yang pernah sangat berarti memang berat. Ada yang butuh waktu lama untuk merelakan, ada yang cepat. Nggak ada yang benar atau salah dalam hal ini.
Nggak usah merasa bersalah bila masih susah move on. Setiap orang prosesnya beda-beda, kok. Gak perlu takut juga dibilang ‘bucin’ (budak cinta) bila ketahuan masih sedih gara-gara si penyebab patah hati.
Berproseslah untuk merelakan. Memaksakan diri untuk melupakan atau pura-pura nggak kenal justru malah berbahaya bagi kesehatan mental. Berlagak gak sakit hati? Apalagi. Malah berbahaya sekali bagi kewarasan diri.
Sekali lagi, patah hati itu wajar. Namanya juga manusia. Biar saja sesama manusia lainnya menyebut Anda baper, bucin, atau bahkan pecundang. Mereka hanyalah sekumpulan mahluk pongah sok tegar. Nggak penting!
Jangan lupa juga untuk menyayangi diri sendiri. Jangan putus sumber dukungan mental dan spiritual Anda dengan yang lain. Ada keluarga, teman, hingga Tuhan.
Pokoknya, jangan sampai jatuh sakit beneran hanya gara-gara patah hati. Belum tentu juga mereka peduli, malah Anda yang rugi sendiri.