Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Adronitis

Foto: Freepik.com

Adronitis

Jangan terlalu cepat menyimpulkan cinta.

Kita baru saja berjumpa.

Ini belum apa-apa.

Dongeng hanya untuk anak-anak.

Kita sudah dewasa.

Tak ada cinta pada pandangan pertama.

Itu mitos belaka.

Yang ada napsu saja.

Bukan aku sok jual mahal.

Berhentilah bersikap bebal.

Boro-boro cinta.

Obsesimu akan hubungan kita

yang bahkan belum tentu akan tercipta

dan sepertinya takkan pernah

karena aku enggan membuatnya ada

malah membuatmu tampak gila.

Sebaiknya kamu mundur …

… atau aku yang kabur …

R.

Categories
#catatan-harian #fiksimini #menulis

“STRINGS ATTACHED: Kunjungan Singkat Serial Pendek Komedi Romantis”

REVIEW BUKU:

“STRINGS ATTACHED: Kunjungan Singkat Serial Pendek Komedi Romantis”

Untuk ukuran orang yang tengah skeptis akan romansa, saya tidak pernah mengira akan benar-benar menikmati membaca antologi fiksimini ini. Ditulis oleh Firnita Taufick, “Strings Attached” membawa saya kembali ke masa remaja.

Bagi banyak orang, masa remaja adalah masanya percaya akan cinta. Ini masanya cerita roman remaja, serial sinetron, dan komedi romantis Ini masanya kita lebih peduli apakah orang yang kita suka menyukai kita juga atau tidak.

Masa remaja adalah masa-masa patah hati nyaris terasa seperti akhir dunia … setidaknya pada awalnya. Seperti kata orang-orang: masih banyak ikan di laut. Tak peduli kamu bilang ke mereka kalau kamu vegetarian. (Bercanda!)

Ngomong-ngomong, saya merasa ‘dekat’ dengan banyak cerita di buku ini. Pada “Chapter I: Hope”, kita tahu rasanya debar-debar itu. Tahu ‘kan, seperti banyaknya kupu-kupu yang terbang menari-nari di dalam perut – saat melihat sosok yang kita taksir di sekolah / kampus. Bisa teringat – atau mungkin terbayangkan – saat berpapasan dengan mereka – di perpustakaan maupun di kedai kopi.

Pada “Chapter II: The Bliss”, saya teringat akan keajaiban, semua kemungkinan yang menyenangkan sekaligus menakutkan. Apakah perasaan ini nyata? Apakah si dia juga merasakan yang saya rasakan?

Seberapa lama perasaan ini akan berlangsung? Akankah saya patah hati saat fantasi ini berakhir? Bisakah saya merelakan orang itu secepat mungkin? Apakah saya akan menemukan seseorang yang lain lagi bila hal itu sampai terjadi?

 “Chapter III: The Despair” mungkin yang terberat untuk saya baca. Tidak ada orang waras pun yang mau mengalami hal ini. Hubungan bisa saja berakhir. Pasangan bisa putus. Kadang kamu terpaksa mengucapkan selamat tinggal pada apa pun dan seorang pun yang kamu harap bisa tinggal lebih lama. Cinta sejati adalah konsep kekanak-kanakan, abstrak, dan mustahil. Kita sadar dan belajar akan hal itu seiring bertambahnya usia.

Tetap saja, mengenai romantika remaja, inilah semua fase yang mungkin akan kita semua lewati. Tidak ada tawar-menawar. Sudah bagian dari risiko.

Membaca “Strings Attached” akan membuatmu merasa pahit dan manis. Bahkan untuk pembaca yang skeptic akan roman seperti saya selesai membacanya dengan senyum. Siapa tahu? Mungkin keajaiban lama bernama cinta masih ada, bahkan meskipun kita masih ingin memastikan bahwa kita tetap berpegangan pada realita …

Eh, buku keduanya Firnita – “The Short Stories”sudah ada di Gramedia, lho!

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Liberosis

Foto: freepik.com

Liberosis

Tanpa payung,

Nirpelindung.

Mereka mungkin akan bilang

bajumu teramat tanggung.

Tak perlu bermuram durja,

apalagi sampai banjir air mata segala

saat dia memilih yang lain,

bukan kamu yang apa adanya.

Terus kenapa?

Kabar buruk: ini hanya realita.

Kamu bisa bertahan,

berusaha sabar

melihat sikap yang kian barbar,

sebelum kendali ambyar

dan ingin berkata kasar,      

mungkin juga sekalian bersikap brutal.

Tetapkan batasan.

Jangan biarkan mereka mendekat,

merusak aman dan damai yang telah kau buat.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

3 Alasan Wajib Pikir-pikir Lagi Sebelum Oversharing Kehidupan Pribadimu di Dunia Maya

3 Alasan Wajib Pikir-pikir Lagi Sebelum Oversharing Kehidupan Pribadimu di Dunia Maya

Foto: https://www.freepik.com/free-vector/influencer-woman-social-media-landing-page_5481523.htm#page=1&query=social%20media%20influencer&position=1

Mungkin saya terdengar julid, tapi saya yakin bukan saya saja yang berpendapat begini. Saya juga enggan menyebut nama influencer siapa pun sebagai contoh kasus. Tinggal Google atau cek yang lagi trending di medsos, kalian pasti langsung nemu.

Terserah sih, berhubung itu bukan akun atau platform saya. Apalagi kalau cara itu bisa bikin mereka dapat uang lebih banyak dari kerja kantoran biasa. Saya juga nggak mau mengatur-atur cara orang mencari nafkah, selama masih halal dan tidak merugikan orang lain.

Tapi, setelah melihat banyaknya contoh kasus oversharing kehidupan pribadi seorang influencer di dunia maya yang berujung ricuh, mungkin saya hanya bisa kasih saran untuk yang baru kepikiran untuk ikutan jadi influencer. Terserah sih, mau diikuti atau tidaknya.

Kenapa sih, kamu harus pikir-pikir lagi sebelum terlalu banyak berbagi soal kehidupan pribadimu di dunia maya? Ini dia tiga (3) alasan utamanya:

  • Nggak semua orang tertarik untuk mengetahui hidupmu.

Mungkin ini terdengar kejam seperti omongan julid mereka yang sirik. Pada kenyataannya, nggak semua orang tertarik untuk mengetahui hidupmu. Apalagi, bisa jadi yang kamu lakukan itu belum tentu seistimewa itu di mata mereka. Lain cerita kalau kontenmu menghibur, tapi lebih mendidik dan menginspirasi.

Misalnya: kamu suka banget sama satu jenis makanan tertentu, terus kepikiran bikin beragam menu dari bahan makanan tersebut. Atau kamu bisa memposting video parodi film-film lucu favoritmu. (Khusus ini, kamu memang harus jago akting beneran.) Atau kamu bisa bikin eksperimen sosial yang lain daripada yang lain. Misalnya: sehari pakai wig rambut warna pelangi di ruang publik.

Emang, untuk saran-saran di atas effort-nya lebih gede. Jadi gak asal nge-prank orang tapi gak berfaedah atau pun pamer barang-barang mahal tanpa tujuan jelas.

  • Kamu nggak bisa menyenangkan semua orang – dan nggak semua kritikus itu benci secara pribadi sama kamu.

Ayolah, bahkan sebenarnya kamu sudah tahu saat berinteraksi dengan sesama manusia lain di dunia nyata. Kamu nggak akan bisa menyenangkan semua orang, meskipun kamu sudah berusaha mengambil hati mereka. Namanya juga hidup. Cukup fokus sama hal-hal yang bisa kamu kendalikan dalam hidup ini.

Memang, nggak menutup kemungkinan bakal ada juga yang gerah dengan kontenmu. Apalagi bila menurut mereka konten kamu itu ‘enggak banget’. Nah, di sini kamu harus bisa menekan egomu dan bijak dalam menyeleksi: mana kritikus yang sebaiknya kamu dengerin dan mana yang asli haters.

Belum bisa bedain? Hei, nggak semua kritikus itu benci secara pribadi sama kamu, kok. Bisa jadi, tadinya mereka followers kamu yang kemudian merasa kecewa dengan mutu kontenmu. Kalau mereka memang punya saran yang bagus, kenapa nggak hargai mereka yang mungkin hanya ingin melihat kamu menjadi content creator yang lebih baik lagi? Toh, pada akhirnya, keputusan tetap ada di tanganmu.

Kalau mereka hanya mengkritik tanpa memberi solusi, apalagi ditambah dengan menghina menggunakan makian kasar, berarti mereka memang benci sama kamu. Nggak perlu membela diri atau menjelaskan apa-apa kalau memang kamu nggak merasa salah. Toh, meskipun kamu sudah berusaha menjadi lebih baik, kalau mereka masih begitu, berarti memang asli sentimen aja.

Bisa jadi, mereka lama-lama risih juga dengan kehidupan pribadimu yang terlalu sering kamu jadikan konten. Dengan semakin berkurangnya ruang untuk privasimu, kamu bisa rentan mengalami alasan berikut ini:

  • Demi menyenangkan semua orang, kamu rentan dikendalikan oleh followers-mu sendiri.

Memang menyenangkan rasanya disukai banyak orang, meskipun nggak semuanya kamu kenal secara langsung. Rasanya ngartis (jadi artis) dengan banyak penggemar. Rasanya kayak punya banyak teman.

Cuma, hati-hati aja. Kamu bisa kejebak dalam kondisi ini: jadi diatur-atur sama banyak orang lewat komentar-komentar followers kamu. Gara-gara takut kekurangan likes dan views hingga kehilangan followers, kamu jadi rela – bahkan mati-matian – mengubah dirimu menjadi sosok yang berbeda.

Kalau memang kamu-nya ingin berubah menjadi lebih baik demi kenyamananmu sendiri sih, nggak masalah. Lain cerita kalau kamu justru melakukannya demi menyenangkan dan memenuhi tuntutan orang lain. Apalagi, orang-orang ini statusnya orang-orang asing buatmu, bukan keluarga maupun teman.

Diatur-atur keluarga sendiri atau teman saja belum tentu semua mau. Ini, kamu malah menuruti orang-orang yang sama sekali nggak kamu kenal dan hanya kenal kamu lewat “pencitraan” di dunia maya.

Makanya, banyak yang harus dipertimbangkan sebelum memutuskan untuk bikin konten dari kehidupan pribadimu. Jangankan sampai oversharing, berbagi sedikit saja juga belum tentu akan disukai semua orang. Kamu juga akan mudah tertekan secara mental bila tujuan utamamu bikin konten adalah biar disenangi banyak orang sekaligus monetisasi.

Jangan lupa juga untuk bersenang-senang, selama tidak merugikan diri sendiri maupun sesama. Jadilah inspirasi, alih-alih hanya “biar dilihat”. Sudah terlalu banyak influencer lokal yang melakukan hal serupa.

R.