Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Negeri Pendukung Pemerkosa

Negeri ini aman bagi pemerkosa.

Silakan, banyak yang bisa berbuat suka-suka.

Korban bisa kau salahkan dengan banyak cara:

Pakaian mereka, cara bicara,

hingga yang paling jelas – JENIS KELAMIN MEREKA.

Pokoknya, buat semua tercela,

sementara kau mengaku korban sesungguhnya,

tak berdaya, lemah, begitu mudah tergoda

layaknya binatang liar tanpa akal.

Negeri ini masih aman bagi pemerkosa,

karena korban masih dipaksa melawan stigma,

mulai dari murahan hingga wahai penggoda.

Cukup perlambat langkah mereka,

karena saat semua bukti sudah ada,

mereka sudah kembali lebih dalam terluka,

hingga lelah luar biasa.

Kau cukup bicara soal tercorengnya nama.

Tanpa sesal, karena kau yakin masih akan baik-baik saja.

Apalagi, pendukungmu banyak yang buta hati, meski masih punya mata.

Negeri ini aman bagi pemerkosa,

apalagi bila kamu terkenal dan kaya raya.

Kamu punya lebih banyak kuasa

menyuap dan membungkam mereka

membayar para pendukung setia

khusus meneror semua yang tak suka.

Kalau sampai harus dipenjara,

tenang, biasanya takkan lama.

Hukuman pun seadanya.

Saat akhirnya bebas, kamu masih sama.

Kembali seperti sedia kala,

seakan tidak pernah ada apa-apa.

Negeri ini aman bagi pemerkosa.

Kau akan banyak diliput media

karena korbanmu tidak menarik minat mereka.

Kau akan disambut bak pahlawan berjasa,

bintang paling bercahaya,

meskipun baru keluar dari penjara.

Persetan dengan realita yang menyakitkan mata.

Yang penting, masih banyak pendukung buta.

Ah, rasanya seperti surga dunia.

Bukankah demikian, wahai pemerkosa?

Cukup nyatakan kau telah menebus dosa,

lalu tampil dengan senyum pada dunia

tanpa peduli korban yang masih trauma.

Yang penting,

kau dapat kesempatan kedua

untuk kembali berlaga di layar kaca …

Ah, beruntungnya para pemerkosa

hidup di negeri yang selalu mendukung mereka …

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Tentang Teman-teman Lama dan Mantan Teman-teman

Foto: Teman-teman

Tentang Teman-teman Lama dan Mantan Teman-teman

Ini percakapan saya dengan seorang sahabat. Pandemi Covid-19 edisi Omicron ini memang semakin menyebalkan. Bikin susah ketemuan, tapi mau nggak mau emang harus ekstra sabar.

Di depan dua gelas kopi di atas meja marmer, kami berdua pun larut dalam percakapan. Awalnya, kami saling bertukar cerita dan sama-sama mengenang teman baik kami yang telah berpulang tahun lalu.

“Natal kemarin, keingetnya pengen kasih dia kue bikinan sendiri,” kata sahabat dengan sedih. “Eh, pas baru mau bikin, baru keinget kalo dia udah meninggal.”

Sesaat kami berdua terdiam, sama-sama larut dalam kesedihan. Lalu, entah kenapa, tahu-tahu pembicaraan kami beralih kepada … mantan teman-teman.

Singkat cerita, sahabat pernah punya seorang teman yang cukup dekat. Hubungan mereka mulai renggang sejak teman si sahabat mulai sering mengeluh. Kebetulan berasal dari keluarga kelas menengah ke bawah, teman si sahabat selalu mengeluh bahwa hidup ini tidak adil. Mengapa orang lain hidupnya selalu lebih mudah? Mengapa dia selalu susah?

“Sebenernya dia udah pernah beberapa kali dapet kerjaan bagus,”keluh sahabat. “Sebenarnya dia juga pintar. Bahasa Inggris-nya bagus.”

“Lho, terus kenapa?”

“Selalu ada saja yang salah di matanya,” lanjut sahabat lagi. “Entah itu bos nyebelin, gaji terlalu kecil tapi kerjaan banyak, sama entah apa lagi. Baru sebentar, resign. Sebentar-sebentar resign. Begitu terus.”

Lalu, teman si sahabat juga pernah mempunyai seorang kekasih royal. Kekasihnya rajin mentraktir dan membanjirinya dengan hadiah-hadiah mewah. Bahkan, si teman sempat mendapatkan uang saku segala. Untuk sesaat, tentu saja dia sangat bahagia. Meskipun belum punya pekerjaan, dia bisa hidup enak. Tidak perlu khawatir akan uang.

Sayang sekali, dongeng cintanya berumur pendek. Setelah putus, sang mantan pulang ke negaranya. Teman sahabat harus memulai segalanya dari awal lagi.

Bisa ditebak sih, kelanjutannya. Sosok ini kembali menjadi tukang mengeluh. Lama-lama, sahabatku tidak tahan lagi.

“Capek nasihatin dia terus,” katanya mengakui. “Lama-lama aku bilang, terserah dia mau apa sama hidupnya sendiri. Toh, dia sudah dewasa ini. Eh, dia malah marah-marah. Katanya, aku nggak sopan dan bukan sahabat pengertian!”

Bukan Cuma Putus Cinta:

Patah hati bukan hanya karena putus cinta. Ada yang karena kehilangan hewan peliharaan, kematian orang kesayangan (keluarga, teman, sebut saja), hingga bubarnya persahabatan. Semuanya sama saja: menyakitkan. Gak perlu main perbandingan, karena emang gak adil dan mustahil juga dibandingin.

Setiap jenis patah hati juga punya tantangannya masing-masing. Gak perlu lihat siapa yang cari gara-gara, siapa yang jadi (atau merasa) korban.

Apa sih, yang biasanya bikin seseorang menjadi ‘mantan teman’? Banyak sekali. Secara pribadi, sebenarnya saya paling enggan harus memutuskan persahabatan. Bahkan, kalau boleh mengakui, saya lebih sering ditinggalkan duluan, hehehe …

Sedih sih, pasti. Tapi, mau gimana lagi? Suka tidak suka, hal semacam ini suatu saat akan terjadi. Kadang kita hanya bisa berusaha. Bila sudah menjalankan bagian kita dan ternyata masih ambyar juga, ya sudah.

Kadang persahabatan memang terpaksa berakhir demi pembelajaran sesudahnya. Ya, mirip-mirip putusnya pacaran dan perceraian. Apakah selama ini kita sudah cukup mengenal diri kita dan mereka? Apakah ada harapan berlebihan, baik dari kita untuk mereka maupun sebaliknya?

Kadang ada hubungan yang mungkin masih bisa diperbaiki. Kadang memang ada yang harus direlakan untuk usai. Sekali lagi, kita hanya bisa melakukan bagian kita tanpa harus terlalu banyak berharap pada mereka atau siapa pun.

Bahkan, berharap pada sesama manusia – APALAGI SAMPAI KEBANGETAN – lebih banyak ruginya …

Yang pasti, kita-lah yang sebisa mungkin tetap menjadi teman bagi diri sendiri …

R.