Categories
#catatan-harian #menulis

Surga Duniaku: Perpustakaan

Dari kecil aku sudah sangat suka membaca. Mulai dari komik, majalah, koran, hingga buku fiksi. Novel adalah nomor satu favoritku, disusul dengan kumpulan cerpen dan puisi.

Awalnya sih, suka curi-curi baca gratisan di toko buku. (Biasanya dulu suka begini sama almarhum Papa dulu.) Kadang suka minta dibelikan buku. Memang itu salah satu kado favoritku. Bahkan, setiap kali Papa dapat tugas keluar negeri, aku selalu minta oleh-oleh buku. Apalagi, era 1990-an adalah masa buku-buku berbahasa Inggris masih terbilang mahal dan langka.

 

Perpustakaan Sekolah:

Zaman dulu, kesannya kalau ketahuan suka ke perpustakaan sekolah itu cupu banget. Nggak gaul dan nggak asik. Mending jajan di kantin sambil ngobrol nggak keruan dan menunggu bel selesai istirahat berbunyi.

Anehnya, dari dulu aku tidak peduli. Rasanya menyenangkan saja saat bisa membaca buku secara gratis. Ibaratnya melarikan diri sejenak dari realita. Jujur, di kala itu, hidup rasanya monoton dan membosankan sekali.

Bisa dibilang, aku cukup bisa menghemat uang jajan dengan tidak membeli buku melulu saat itu. Ya, meskipun yang kubaca di perpustakaan sekolah rata-rata buku-buku lama.

 

Sempat Berhenti Karena Baru Mengenal Internet:

Aku mulai mengenal internet saat kuliah dan sempat kecanduan. Apalagi, aku bisa membaca banyak e-book gratis. Tinggal sekali klik, banyak pilihan.

Nggak hanya itu, aku juga sempat kecanduan blogging (sebelum tahu kalau ternyata aku bisa punya domain sendiri.) Enak, ada tempat curhat gratisan. Nggak kayak ngomong sama orang, yang berisiko dipotong bila lawan bicara nggak tertarik atau emang nggak respek sama sekali.

Lewat blogging, aku mulai mendapatkan banyak teman dari berbagai negara. Rasanya menyenangkan sekali. Kemampuan berbahasa Inggris-ku juga bertambah.

 

Jatuh Cinta Lagi Dengan Perpustakaan:

Aku lupa. Kapan ya, persisnya? Mungkin saat mulai kembali mengunjungi perpustakaan lokal yang ada. Kadang juga suka main ke kafe yang menyediakan berbagai bacaan gratis. Eh, karena gratis dibaca, bukan berarti boleh sekalian dibawa pulang, lho!

Perpus tempat kerja jadi pelarianku kala jenuh. Sayang, kali ini waktu luang untuk membaca (dan menulis) mulai berkurang. Aku sudah harus mulai lebih pintar mengatur waktu.

Padahal, masih banyak sekali buku yang ingin dan harus kubaca. Masih banyak sekali yang ingin dan harus kutulis.

Sepertinya juga akan selalu demikian …

 

Perpustakaan Paska-Pandemi:

Sejak paska-pandemi, aku mulai memupuk kembali kebiasaan lebih banyak keluar rumah. Lebih banyak jalan-jalan. Maklum, kelamaan #WFH (working from home) selama dua tahun pertama pandemi bikin mager (malas bergerak).

Sayangnya, lagi-lagi jam kerja bikin aku harus bersiasat kalau mau main ke perpus. Tahu sendiri ‘kan, perpus biasanya tutup pas weekend? Kalau pun buka, biasanya tidak selama hari kerja.

Eh, tahunya sekarang Sabtu juga jadi hari kerjaku. Untungnya sih, Senin kalau tidak terkena lemburan juga libur. Jadi, ke perpus-nya Senin saja kali, ya? Hehehe …

 

Perpustakaan Jakarta di TIM:

Seharusnya aku menulis ini lebih cepat. Sayangnya, jadwal dan kewalahan mengatur waktu menjadi penyebabnya.

Pada 18 September 2022 kemarin, aku berkesempatan mengunjungi Perpustakaan DKI Jakarta untuk pertama kalinya. Waktu itu, aku diundang untuk acara diskusi buku bersama Klub BRD (Baca-Rasa-Dengar) dan Infermia Publishing. Buku yang dibahas berjudul “To Be In Love with You Is To Be In Love with Myself Too” karya Asih ( @asihsimanis ), seorang insinyur dan dosen ITB Seni Rupa. Keren banget, ya?

Singkat cerita, acara tersebut berjalan lancar. Aku ingin membahas perpustakaannya.

Satu yang kukeluhkan di sini adalah akses menuju perpustakaan tersebut. Dengan enam lantai perpus dan eskalator di dalam, tapi tangga masuk di luarnya malah rada curam. Memang sih, perpus-nya menyasar target anak muda sebagai pengunjung. Selain itu, ada lift yang sebenarnya (dan seharusnya) diprioritaskan untuk keluarga yang datang dengan anak-anak kecil, orang tua, dan penyandang disabilitas.

Tapi … yah, namanya juga mayoritas orang Indonesia. Meskipun kaki masih sehat dan tubuh masih kuat karena usia muda, kenapa tidak naik lift saja? Lebih cepat. Tidak perlu capek-capek naik tangga. Apalagi, alasan mayoritas dari mereka adalah: “’Kan nggak ada larangan untuk naik lift” atau “Ya ’kan, nggak ada larangan yang lain nggak bisa atau nggak boleh ikutan naik lift.”

Atau malah sok-sok melarang: “Ya udah, kalo emang gak mau diribetin sama ulah orang lain, gak usah dateng aja sekalian!”

Iya juga, sih. Cuma, masalahnya lift hanya satu. (Setidaknya saat itu.) Kalau bukan prioritas dan sedang ada pengunjung lansia, disabilitas, atau yang bawa anak, mbok ya, mereka didahulukan, gitu. Tapi, sudahlah. Susah banget ngomong sama macam mereka.

Secara keseluruhan, Perpustakaan DKI Jakarta lengkap. Selain buku-buku berbagai genre, ada berbagai ruang untuk riset, fotokopi, hingga untuk bikin siniar (podcast).

Hmm, untuk yang terakhir, moga-moga aku bisa meminjamnya secara gratis. Maklum, dari kemarin proyek siniar-ku nggak jadi-jadi terus.

Aku telah mendaftar di perpus itu secara online. AC di ruangannya cukup adem. Di sana juga ada komputer dan audiobook yang bisa dipinjam. Mau bawa laptop sendiri juga boleh. Tinggal koneksi sendiri ke wifi di sana.

Tak sabar rasanya ingin ke perpus lagi …

 

R.

Categories
#fiksimini #menulis #MondayFlashFiction

Anjing!

Aku tidak tahu masalah mereka yang selalu memanggil-manggilku atau menyebut-nyebut rasku. Aku bahkan bingung saat mereka menggunakan namaku sebagai kata makian. Memangnya apa salahku? Apakah aku seburuk itu?

Contohnya, segerombolan pemuda dan pemudi yang duduk di warung malam itu. Aku bersyukur, pemilik warung mengizinkan anjing ikut masuk, selama tidak membuat rusuh. Aku duduk dengan patuh, menunggu majikanku – seorang perempuan paruh baya pendiam yang baik hati – memesankan semangkuk daging dan semangkuk air putih khusus untukku. Aku langsung makan dengan lahap di dekat kakinya, sementara majikanku menyantap pesanannya dalam diam.

Nah, pemuda-pemudi itu mengobrol dengan suara keras, sesekali diselingi bahak yang mengganggu sekali. Kuhitung sudah lebih dari sepuluh kali mereka menyebut kata ‘anjing!’ dengan nada mengejek atau mengumpat. Mengganggu konsentrasiku makan saja, karena aku merasa dibicarakan. Lihat, mereka bahkan tidak sadar bahwa manusia-manusia lain di sekeliling mereka tampak tidak nyaman dengan kelakuan mereka. Mereka pikir mereka keren kali, ya?

Majikanku mengelus lembut kepalaku saat kami berdua sama-sama selesai makan. Kulihat wajahnya yang mulai berkeriput tampak tenang saat menatap gerombolan berisik di meja seberang yang tak henti-hentinya memaki dengan namaku.

“Tersinggung, ya?” bisiknya padaku. “Tenang, Mama akan tangani mereka.”

Sebenarnya, aku tidak mau majikanku harus melakukan itu, setiap kali ada yang menyinggungku. Namun aku tidak bisa mencegahnya kalau sudah punya mau. Kulihat mulutnya mulai komat-kamit mengucapkan mantra yang sangat kukenal.

Esoknya sudah bisa kutebak. Majikanku akan menunjukkan kabar berita yang sama. Sekelompok anak muda menjerit-jerit ketakutan saat melihat anjing di ruang publik sehingga harus dirawat di RSJ. Mereka mengaku, setiap kali menyebut kata anjing, selalu ada anjing kelaparan dan galak yang muncul tiba-tiba, meneror mereka dengan tatapan sangar dan geraman tanpa henti. Dikasih makanan pun tak kunjung pergi …

 

Categories
#fiksimini #menulis #MondayFlashFiction

Di Dalam Lemari

Semua ini salahku. Seharusnya aku tidak meninggalkan Adik Kecil sendirian di dalam lemari. Saat itu, kami tengah bermain petak umpet bersama Para Sepupu yang lebih tua. Karena kesal lebih sering kalah dalam permainan, aku mengajak Adik Kecil untuk masuk agak jauh ke dalam hutan. Sampai sana, kami menemukan sebuah rumah reyot tak berpenghuni. Kami masuk dan menemukan kamar tidur berlemari.

Adik Kecil memutuskan untuk bersembunyi di dalam lemari itu. Sayang, isinya terlalu sempit untuk kami berdua. Akhirnya, aku pasrah hanya bersembunyi di balik dinding.

Tentu saja, Para Sepupu menemukanku duluan. Sayang, Para Orang Tua juga menemukan kami dan memarahi kami semua. Kami pun diseret pulang dengan bentakan sepanjang jalan. Ingin kuberitahu mereka mengenai Adik Kecil yang masih di dalam lemari, namun aku malah disuruh diam.

Kutunggu sampai mereka tenang, baru kuberitahu soal keberadaan Adik Kecil di dalam lemari di rumah yang ada di tengah hutan itu. Aneh, Mama malah menangis. Para Sepupu tampak pucat. Papa, meski dengan suara bergetar, berusaha berbicara denganku:

“Kamu lupa, ya? Adik sudah nggak ada.”

Tidak. Aku tidak mau mendengarnya. Aku tidak mau mendengar cerita yang sama, tentang bagaimana itu bukan salahku. Salah gempa, yang membuatku ketakutan dan berlari keluar rumah – tanpa melihat bahwa Adik tertimpa lemari …