Categories
#catatan-harian #menulis

‘Lebih Baik A atau B?’ Itu Pertanyaan Tendensius

‘Lebih Baik A atau B?’ Itu Pertanyaan Tendensius

Jika pertanyaan semacam ini main-main belaka, mungkin aku takkan menanggapinya secara negatif. Misalnya: “Mendingan makan es krim pake french fries atau es krim campur pop corn?” Suka-suka yang milih dan bahkan bisa memancing canda dan tawa. Bahkan, boleh jadi satu-satu beneran akan mereka coba.

Namun, bila isu yang dibahas cenderung serius dan kompleks, rasanya pertanyaan “Pilih Mana?” terkesan … tidak adil dan tendensius. Bahkan, banyak yang jelas-jelas memanfaatkannya untuk memancing keributan di media sosial (rage farming) serta memanipulasi orang untuk terpaksa memilih salah satu – padahal bisa jadi malah nggak sreg sama keduanya.

 

Rage Farming – Usaha Penggiringan Opini Dengan Menebar Kebencian

Banyak cara untuk mencari perhatian orang di dunia maya. Salah satunya (dan yang paling sering dipakai banyak orang) adalah rage farming. Rage farming juga lazim dilakukan lewat pertanyaan semacam “Pilih Mana?” atau pernyataan yang membandingkan satu hal sekaligus menjatuhkan satu hal lainnya. Misalnya:

“Pilih mana: cowok ganteng tapi kere atau jelek tapi tajir?”

“Lebih baik single tapi tajir atau nikah tapi melarat?”

Bahkan, ada yang langsung bikin pernyataan yang jelas-jelas mengunggulkan satu pihak dan menjatuhkan satu pihak lain, seperti:

“Perempuan sempurna bukanlah yang bertitel S1, S2, maupun S3, tapi yang akhlaknya saleh dan mengutamakan keluarga.”

Duh, gak usah diterusin, yah? Apalagi kalo yang nulis / ngomong gitu laki-laki. Gak enak baca / dengernya. Meskipun ngakunya ‘hanya berpendapat’, jelas banget tujuan utamanya tetap ingin mengkerdilkan prestasi perempuan. Ngapain coba? Justru malah menunjukkan keminderan / ketidakmampuan yang menulis / berpendapat demikian. Niat banget gitu, mau jatuhin satu pihak hanya karena gak suka?

 

Pertanyaan Tendensius

“Lebih baik A atau B?” itu pertanyaan tendensius bagiku. Mengapa demikian? Pastinya ada salah satu yang harus ‘dijatuhkan’ demi mengunggulkan pihak lain. Kenapa apa-apa perlu perbandingan segala, bahkan sampai ekstrim? Kurang percaya dirikah dengan pilihan sendiri?

Selain itu, kenapa hobi banget (berusaha) membatasi pilihan hidup orang? Bila kedua pilihan dalam pertanyaan ini sama-sama tidak enak, harusnya boleh dong, kita memilih yang lain lagi – di luar pertanyaan itu?

Kalo ternyata nggak boleh milih selain dua pilihan dalam pertanyaan tendensius macam ini, mending nggak usah milih sekalian. Toh, bukankah tidak memilih juga sebuah pilihan?

 

R.