Categories
#catatan-harian #menulis

Hanya Satu Jenis Perdebatan yang Akan Kuladeni

Hanya Satu Jenis Perdebatan yang Akan Kuladeni

Aku ingat saat masih bekerja di salah satu kantor lama. Seorang rekan kerja lelaki mengeluhkanku begini:

“Elo harusnya tuh, lebih berani mempertahankan pendapat. Berdebat kek, jangan iya-iya aja.”

Waktu itu aku hanya diam. Bukan apa-apa. Kalau berdebat, aku asli milih-milih. Pilihanku berdasarkan tiga (3) kemungkinan di bawah ini, seperti:

  1. Apa tujuan orang itu ngajak debat? Kalau hanya karena mau cari lawan debat untuk mengurangi kebosanan hidup mereka, tentu saja aku ogah meladeni.
  2. Apakah dia sedang mencari pembuktian dan pengakuan kalau dia lebih cerdas dariku? Kalau itu alasannya, aku mah, skip Malas rasanya kalau sampai harus kasih makan ego orang yang gila validasi.
  3. Apakah dia tengah mencari teman diskusi sungguhan, agar bisa sama-sama menemukan solusi suatu masalah? Nah, hanya yang ini yang beneran mau kuladeni.

Sayangnya, kita nggak bisa selalu memilih begini di dunia nyata. Tentu saja, apalagi termasuk urusan pekerjaan. Suka gak suka, kadang kita harus menekan perasaan kita dan menahan diri terhadap manusia menyebalkan – atas nama profesionalisme.

Pokoknya, selama mereka bukan pelaku kekerasan – apalagi kekerasan seksual – hadapi saja dengan berani.

 

Standar Ganda Gak jelas

Maka, aku pun memenuhi permintaan si rekan kerja lelaki. Di satu rapat berikutnya, aku mulai berani mendebat. Tentu saja, aku tidak mau asal debat. Aku melakukan riset dulu sebelum mendebat demi mempertahankan ideku.

Namun, apa yang kemudian terjadi? Si rekan kerja lelaki malah merajuk kayak anak kecil.

“Gue gak ada maksud mau ‘mematikan’ ide kalian, kok.”

Lha, kok malah jadi dia yang baper? Jujur, saat itu aku antara mau ketawa sekaligus dongkol. Katanya aku harus berani mendebat. Eh, yang minta begitu ternyata malah nggak siap.

Mungkin memang benar kata pepatah ini: “Berhati-hatilah dengan keinginanmu.” Bisa jadi kamu nggak siap saat akhirnya kejadian beneran.

Untunglah, aku sudah lama tidak sekantor lagi dengan lelaki itu. Memang, aku nggak akan seratus persen bebas dari manusia-manusia gila hormat di dunia ini. Tapi, setidaknya aku masih bisa mengurangi / membatasi interaksiku dengan mereka. Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan perkara pemberani dan pengecut, ya.

Ini masalah memilih prioritas. Sayang bila waktu dan tenaga habis percuma, hanya gara-gara dipaksa meladeni tukang debat gila hormat. Ya, nggak?

 

R.