Masih Bingung Kenapa Perempuan Sekarang Takut Menikah dan Jadi IRT?
Aku sudah pernah menulis soal ini di platform media digital lain. Tapi, mengingat pola pikir masyarakat patriarkis Indonesia amat susah diubah (apalagi yang lelaki), kayaknya aku harus menulis lagi, nih. Edukasi memang butuh kesabaran ekstra, hehehe.
Aku pernah membaca status Facebook seorang kenalan lelaki yang bunyinya seperti ini:
“Sering gak tega liat istri kecapekan ngerjain semua urusan RT. Makanya … saya sengaja tidur lebih lama supaya gak usah liat, hehehe.”
Oh, dia hanya bercanda? Pasti mengakunya demikian. Paling kalau lelaki macam ini langsung ditegur, dia akan bersikap defensif dan menuduh penegur “baperan” (bawa perasaan). Mana sudi dia dianggap salah?
Aku juga nggak mau kepoin respon istrinya jika sudah baca status suaminya. Mungkin istrinya tipe makluman atau pasrahan. Mungkin juga istrinya nggak sempat baca, karena … ya, itu – selalu sibuk dengan urusan RT. Ketahuan ‘kan, siapa yang paling banyak nganggurnya?
Mungkin aslinya si lelaki nggak setega itu. Mungkin dia masih mau urunan ngerjain urusan rumah tangga, entah full, sesekali, tipis-tipis, atau malah pake ngedumel karena nggak ikhlas. Iya, kayak suami Indonesia kebanyakan. Yah, pokoknya bare minimum banget, dah!
Masalahnya? Pertama, leluconnya sama sekali nggak lucu. Mungkin lelaki itu kekurangan hiburan. Tapi, harus gitu, sampai meremehkan istri yang sudah baik-baik mengerjakan semua urusan RT seorang diri? Harus sampai menyepelekan kelelahannya, hanya demi alasan “Cuma Bercanda”?
Kabar terkini, tahun 2023 adalah tahun Indonesia dengan angka pernikahan yang menurun. Nggak heran, sih. Nggak heran juga banyak perempuan yang takut menikah dan nggak mau jadi IRT (ibu rumah tangga) juga. Bodo amat dengan iming-iming “dimuliakan” hingga panggilan sayang “ratu rumah”. Omong kosong semua! Gimana nggak takut, coba?
Masih banyak lelaki yang ngakunya ‘memuliakan perempuan’, tapi hanya di mulut. Lain di ucapan, lain di kelakuan. Kalo nggak melakukan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), ya selingkuh.
Nggak usah jauh-jauh, deh. Masih banyak juga lelaki yang dengan entengnya bilang, “Bini gue nggak kerja”, hanya karena istrinya IRT. Asli, nggak tahu diri dan nggak tahu terima kasih sama sekali. Mereka pikir siapa yang bersihin rumah, masakin makanan, cuci dan setrika pakaian mereka, serta masih banyak lagi? Dipikir nggak capek, apa?
Bahkan, bila istri sesekali mengeluh pun, mereka langsung main adu nasib dengan merengek, “Aku juga capek cari duit!” atau langsung berlagak bijak, bawa-bawa ajaran agama dengan menegur, “Jangan ngeluh, karena artinya kamu nggak ikhlas!” atau “Lelahmu nanti diganjar pahala.” Kesannya hanya lelaki yang paling capek dan berhak mengeluh.
Ha-ha, coba si suami kerja hanya dibayar ucapan terima kasih dan pahala – atas nama ikhlas. Maukah?
Makanya, aku udah nggak heran bahwa ada lelaki yang tega menjadikan kelelahan istrinya yang IRT sebagai lelucon. Pada kenyataannya, memang masih terlalu banyak lelaki Indonesia dengan pola pikir patriarkis yang sudah kelewat nyaman dengan posisi mereka.
Sama memuakkannya dengan lelaki yang seenaknya menuntut dilayani yang paling remeh (seperti membuat teh hangat, tapi giliran tehnya sudah jadi, malah tidak dia minum sama sekali. Ngucapin terima kasih sama yang bikin aja enggak, karena merasa berhak dan layak dilayani perempuan IHH!!
Ada juga yang marah-marah dan menganggap anak balitanya sendiri sebagai ‘saingan perhatian istri’. Kekanak-kanakan sekali, padahal nggak ada yang menggemaskan dari menjadi ‘bayi gede’. Wajar kalau istri memprioritaskan bayi atau balitanya yang belum bisa melakukan banyak hal dan butuh banyak bantuan.
Lain cerita ya, kalau kebetulan suaminya lumpuh dari leher ke bawah. Kalau begini, ya emang harus dibantu.
Serius, masih pada bingung kenapa perempuan sekarang takut menikah dan menjadi IRT?
R.