3 Jenis Manusia yang Percuma Kalo Didebat di Media Sosial
Era pandemi Covid-19 sepertinya bakalan berlangsung lebih lama dari harapan banyak orang. Meskipun banyak yang sudah keluar rumah menyambut “New Normal” (atau terpaksa), masih banyak juga yang lebih memilih swakarantina atau isolasi mandiri. Berhubung lagi nggak bisa banyak interaksi dengan orang di dunia nyata, maka media sosial lagi-lagi jadi pelarian.
Oke, kita semua udah tahu kalo media sosial selalu rentan jadi ajang debat. Kadang bisa nemu solusi dari masalah yang lagi diributin, tapi seringnya lebih banyak adu pendapat. Termasuk adu pinter-pinteran dan saling julid sampai Lebaran terasa bak hanya numpang lewat.
Males dan capek saat berdebat, padahal niatnya hanya mau berbagi pendapat? Biar hemat tenaga, pikiran, dan kewarasan, ini dia tiga (3) jenis manusia yang percuma kalo didebat di media sosial:
- Yang hobi nyinyir: “Kalian gak bisa nerima perbedaan pendapat, ya? Gak asik!”
Jangan ketipu dan langsung jatuh kasihan dulu dengan mereka yang pake argumen penutup ini saat kalah berdebat di media sosial. Jika mereka memulai debat dengan cara santun seperti: “Maaf, kayaknya kurang setuju dengan opini kamu karena…” masih wajar bila kemudian mereka sakit hati saat dibantah.
Tapi, siapa sih, yang gak kesel kalo dari awal niatnya emang udah nyerang duluan atau ngotot minta pendapatnya langsung diiyain? Misalnya: seorang blogger posting tulisannya tentang keperawanan dari segi medis, eh netizen malah ada yang langsung menuduhnya mengajak pembaca untuk berhubungan seksual sebelum menikah? Siapa yang nggak naik pitam, coba? Apalagi bila si netizen belum tentu baca tulisan si blogger sampai habis.
Tuduhan tipikal pengguna ad-hominem saat debat ini lagi banyak dipake nih, di media sosial. Niatnya sih, mau bikin yang nggak sepaham sama mereka untuk merasa bersalah dan minimal minta maaf. Sayang, usaha gaslighting mereka gagal. Yang ada, mereka malah terdengar seperti ini:
“Lo harus mau terima pendapat gue dong, meski beda.” Ehh, kok maksa? Terima fakta setiap orang beda pendapat bukan berarti Anda otomatis akan langsung dibenarkan. Jangan suka main standar ganda-lah!
- Si tukang nuduh: “Kok mainnya nyerang / menggeneralisir?”
Ini kebiasaan buruk mereka yang doyan amat pake argumen #tidaksemualakilaki setiap kali ada yang membahas kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Sama juga dengan yang kemaren hobi teriak-teriak #alllivesmatter sebagai balasan untuk #blacklivesmatter.
Kenapa sih, kayaknya pada takut amat dituduh sebagai pemerkosa, padahal faktanya pelaku kekerasan seksual kebanyakan laki-laki? Bahkan, pelaku kejahatan ini yang kebetulan laki-laki juga mengincar korban laki-laki. Kalo memang mengaku baik, harusnya bisa dong, nggak hanya pake argumen basi #tidaksemualakilaki terus-menerus tanpa benar-benar melakukan sesuatu. Gak usah kesinggung.
Sama halnya dengan kampanye #blacklivesmatters terkait video penyiksaan George Floyd, laki-laki berkulit hitam, oleh petugas polisi berkulit putih di Minneapolis, Amerika Serikat kemarin. Coba, memangnya ada yang bilang bahwa hanya karena kampanyenya #blacklivesmatter, berarti nyawa orang lain, seperti kulit putih atau saya yang sawo matang, jadi kalah penting?
Faktanya, warga kulit hitam (termasuk saudara-saudari kita di Papua) banyak yang masih mengalami diskriminasi. Nggak hanya berupa kekerasan fisik. Mau masuk mal saja suka ditanya-tanya satpam lebih lama. Ada juga yang dengan tega menyebut mereka dengan nama binata…ah, sudahlah.
Coba cek kembali deh, privilege Anda, sebelum nuduh kalo hanya karena mereka dibela, lantas hak-hak dasar Anda sebagai manusia akan otomatis terpinggirkan. Nggak semua hal harus dipandang se-biner itu, kali. Parno amat.
- Yang doyan ngambek: “Iya deh, kamu selalu benar. Orang lain selalu salah.”
Ini lagi yang makin terdengar seperti anak kecil. Namanya juga debat. Dalam perdebatan, pasti ada yang argumennya kuat dan ada yang lemah. Kalo masih mutusin bahwa ya, boleh setuju untuk nggak selalu sependapat, ya nggak masalah.
Lain cerita kalo dari awal niat mendebat adalah memaksa mereka agar sependapat dengan Anda. Begitu enggak, eh…Anda malah ngambek kayak anak kecil dan lantas bilang: “Iya deh, kamu selalu benar. Orang lain selalu salah.” Coba, siapa yang gak ogah meladeni kalo respon Anda udah kayak gitu? Gak beda sama nomor satu, Anda berusaha bikin mereka merasa bersalah dengan playing victim begitu.
Nah, ini dia tiga (3) jenis manusia yang percuma kalo didebat di media sosial, karena intinya dari awal mereka memang udah gak mau sepakat. Gak hanya itu, mereka juga keukeuh orang lain harus seiya sekata sama mereka. Daripada waktu, tenaga, sama kewarasan terbuang percuma, mending cuekin aja.
Moga-moga Anda juga bukan termasuk di antara mereka, ya. Semoga Anda sudah termasuk yang lebih dewasa.
R.