5 Alasan Logis Sebaiknya Tidak Buru-buru Saat Memulai Hubungan Baru
Baru putus atau malah ditinggal nikah? Pastinya menyakitkan. Ada perasaan marah, kalah, sekaligus gundah. Bahkan, meski sudah termasuk pihak yang berusaha keras mempertahankan hubungan, risiko ditinggal sayangnya tetap ada.
Mungkin sudah banyak yang menyarankan Anda untuk segera move on. Bahkan, banyak juga yang langsung berusaha menjodohkan Anda dengan siapa pun yang mereka kenal. (Semoga masih sama-sama single juga, ya. Kalo nggak, percuma.)
Harapan mereka? Tentu saja agar Anda tidak sedih lagi dan segera punya pasangan hidup (yang syukur-syukur bisa langgeng hingga akhir hayat).
Nggak apa-apa, sih. Mungkin ada yang langsung berhasil dengan cara itu. Ya, kira-kira secepat anak kecil yang gembira lagi, karena ada yang membelikannya mainan baru setelah yang lama hilang.
Oh, saya kedengaran nyinyir ya, barusan? Maaf, saya sebenarnya hanya mau bilang bahwa cara di atas belum tentu berhasil untuk semua orang. Jangan langsung menuduh mereka kurang berusaha dulu, karena ini dia lima (5) alasannya:
- Anda memulai hubungan dengan alasan salah.
Klise memang, tapi ini beneran. Mulai dari takut kesepian, cari pelarian, hingga ngikutin omongan orang (mulai dari perkara umur, permintaan ortu soal cucu, dan entah apa lagi.) Masalahnya, Anda yang nanti akan menjalani hubungan itu, bukan mereka. Pastikan Anda melakukannya karena murni keinginan dan kesiapan pribadi, bukan kata orang.
- Anda masih sering terbayang-bayang atau bahkan ngomongin mantan.
Mungkin ini sering Anda lakukan tanpa sadar. Bahkan, saat akhirnya ‘jadian’ lagi sama yang baru, Anda masih melakukannya. Jangan salahkan si dia bila akhirnya malah menjauh. Siapa sih, yang sudi saingan sama masa lalu?

- Si mantan udah punya yang baru dan Anda merasa ‘kalah’.
Haduh, masih zaman yah, soal beginian? Jangan kayak anak kecil, ah. Apalagi, menikah itu komitmen serius lho, bukan soal balapan atau ‘laku’ duluan. Janganlah suka membandingkan diri dengan barang dagangan di pertokoan. Nggak ada istilah diskon-diskonan, apalagi sampai banting harga!
- Punya harapan tidak realistis pada calon pasangan baru.
Ini bukan hanya soal mencari ‘ganti’ yang mirip dengan mantan, baik dari segi penampilan hingga kepribadian. (Berhubung nggak mungkin ada manusia yang 100% sama dengan yang lainnya, siap-siap aja kecewa. Kembar identik aja juga punya perbedaan.)
Ini juga bukan soal mencari sosok yang (menurut Anda nih, ya) jauh lebih baik daripada mantan. (Duile, segitu dendamnya. Lagi-lagi main perbandingan!) Sadar atau enggak, Anda pasti punya harapan bahwa hubungan berikutnya jangan sampai putus lagi.
Nggak salah sih, berharap yang terbaik. Namun, jangan sampai jadi obsesi. Yang ada malah stres sendiri dan ini juga mempengaruhi pasangan. Ingat, semua perlu proses dan pembelajaran, disertai dengan sabar. (Padahal yang nulis ini juga lagi belajar sabar, hihihi.)
Kalo sukses, syukurlah. Kalo enggak, anggep aja sebagai bahan pembelajaran atau pengalaman. Boleh usaha, tapi jangan lupa santai dan berbahagia.
- Belum bisa atau bahkan lupa berbahagia saat sedang sendiri.
Oke, saya sedang tidak menyangkal. Ya, kadang-kadang memang suka ada rasa sepi. Namun, inilah bahayanya bila Anda sampai segitu butuhnya punya pasangan, biar nggak kesepian dan merasa bahagia:
Anda jadi cenderung menggantungkan seluruh kebahagiaan Anda pada si dia. Yang ada, si dia malah jadi terbebani dan Anda jadi kayak lepas tanggung jawab sama perasaan sendiri.
Klise sih, tapi bahagia itu sebenarnya pilihan. Mau sedang sendiri atau bersama orang lain (terutama pasangan, hehe), bahagia itu perlu. Lagipula, orang yang bahagia akan memancarkan aura menyenangkan. Jadinya, mereka lebih mudah didekati, karena auranya positif. Percaya, deh.
R.