Categories
#catatan-harian #fiksimini #menulis #MondayFlashFiction

Di Dapur

DI DAPUR

Anak:

Semalam aku mendengar Papa dan Mama bertengkar di dapur lagi. Lagi-lagi soal uang. Sudah hampir seminggu kami tidak makan. Aku mulai kelaparan sekali. Tubuhku semakin kurus dan lemah. Aku sudah semakin sulit bangkit dari tempat tidur.

“Kita masih punya air minum, ‘kan?” bentak Papa. “Puasa aja dulu. Aku belum dapat kerjaan lagi.”

“Ya sudah, kalo begitu aku saja yang kerja!” balas Mama tak kalah keras. “Mbok Mini dari kemaren nawarin aku jagain warungnya.”

“Kamu perempuan dan istri, di rumah saja! Apa kata tetangga nanti, kalo liat suami nganggur tapi istrinya kerja?”

“TRUS ANAK KITA MAU MAKAN APA, HAH?!”

PLAK. Sunyi seketika. Kuputuskan untuk memejamkan mata …

Aneh, keesokan siangnya Mama membangunkanku sambil tersenyum. Beliau menyuapiku daging yang baru dimasak. Enak, karena aku sudah sangat kelaparan. Namun, aku merasa aneh dengan rasa daging ini …

“Ma, ini daging apa?”

“Sssh, sudah. Makan saja biar kamu cepat sembuh.”

Ibu:

Aku lega anakku akhirnya mau makan. Pipinya mulai semburat pink. Dia menghabiskan makanannya.

“Papa mana?”

“Kamu udah nggak usah mikirin Papa lagi. Yang penting kamu makan.”

Yang penting anakku makan. Laki-laki yang hanya tahu cara bikin anak tanpa mau peduli cara mengurusnya. Kutatap gundukan tanah di kebun belakang yang masih baru dan tersenyum puas.

Pengorbananmu tidak sia-sia, bahkan meski kamu takkan pernah menyadarinya. Aku mulai sibuk mencuci seprai bernoda darah dengan sisa sabun yang masih ada. Sekarang anak kita bisa makan, meski aku tak yakin kami bisa menghabiskanmu. Kamu menjual satu-satunya kulkas bulan lalu.

Besok aku akan mulai bekerja dengan Mbok Mini. Bila ada yang bertanya tentangmu, cukup kubilang saja kamu kabur dengan perempuan lain. Cerita suami tak bertanggung jawab sudah terlalu banyak di negeri ini …

Categories
#fiksimini #menulis #MondayFlashFiction

Anjing!

Aku tidak tahu masalah mereka yang selalu memanggil-manggilku atau menyebut-nyebut rasku. Aku bahkan bingung saat mereka menggunakan namaku sebagai kata makian. Memangnya apa salahku? Apakah aku seburuk itu?

Contohnya, segerombolan pemuda dan pemudi yang duduk di warung malam itu. Aku bersyukur, pemilik warung mengizinkan anjing ikut masuk, selama tidak membuat rusuh. Aku duduk dengan patuh, menunggu majikanku – seorang perempuan paruh baya pendiam yang baik hati – memesankan semangkuk daging dan semangkuk air putih khusus untukku. Aku langsung makan dengan lahap di dekat kakinya, sementara majikanku menyantap pesanannya dalam diam.

Nah, pemuda-pemudi itu mengobrol dengan suara keras, sesekali diselingi bahak yang mengganggu sekali. Kuhitung sudah lebih dari sepuluh kali mereka menyebut kata ‘anjing!’ dengan nada mengejek atau mengumpat. Mengganggu konsentrasiku makan saja, karena aku merasa dibicarakan. Lihat, mereka bahkan tidak sadar bahwa manusia-manusia lain di sekeliling mereka tampak tidak nyaman dengan kelakuan mereka. Mereka pikir mereka keren kali, ya?

Majikanku mengelus lembut kepalaku saat kami berdua sama-sama selesai makan. Kulihat wajahnya yang mulai berkeriput tampak tenang saat menatap gerombolan berisik di meja seberang yang tak henti-hentinya memaki dengan namaku.

“Tersinggung, ya?” bisiknya padaku. “Tenang, Mama akan tangani mereka.”

Sebenarnya, aku tidak mau majikanku harus melakukan itu, setiap kali ada yang menyinggungku. Namun aku tidak bisa mencegahnya kalau sudah punya mau. Kulihat mulutnya mulai komat-kamit mengucapkan mantra yang sangat kukenal.

Esoknya sudah bisa kutebak. Majikanku akan menunjukkan kabar berita yang sama. Sekelompok anak muda menjerit-jerit ketakutan saat melihat anjing di ruang publik sehingga harus dirawat di RSJ. Mereka mengaku, setiap kali menyebut kata anjing, selalu ada anjing kelaparan dan galak yang muncul tiba-tiba, meneror mereka dengan tatapan sangar dan geraman tanpa henti. Dikasih makanan pun tak kunjung pergi …

 

Categories
#fiksimini #menulis #MondayFlashFiction

Di Dalam Lemari

Semua ini salahku. Seharusnya aku tidak meninggalkan Adik Kecil sendirian di dalam lemari. Saat itu, kami tengah bermain petak umpet bersama Para Sepupu yang lebih tua. Karena kesal lebih sering kalah dalam permainan, aku mengajak Adik Kecil untuk masuk agak jauh ke dalam hutan. Sampai sana, kami menemukan sebuah rumah reyot tak berpenghuni. Kami masuk dan menemukan kamar tidur berlemari.

Adik Kecil memutuskan untuk bersembunyi di dalam lemari itu. Sayang, isinya terlalu sempit untuk kami berdua. Akhirnya, aku pasrah hanya bersembunyi di balik dinding.

Tentu saja, Para Sepupu menemukanku duluan. Sayang, Para Orang Tua juga menemukan kami dan memarahi kami semua. Kami pun diseret pulang dengan bentakan sepanjang jalan. Ingin kuberitahu mereka mengenai Adik Kecil yang masih di dalam lemari, namun aku malah disuruh diam.

Kutunggu sampai mereka tenang, baru kuberitahu soal keberadaan Adik Kecil di dalam lemari di rumah yang ada di tengah hutan itu. Aneh, Mama malah menangis. Para Sepupu tampak pucat. Papa, meski dengan suara bergetar, berusaha berbicara denganku:

“Kamu lupa, ya? Adik sudah nggak ada.”

Tidak. Aku tidak mau mendengarnya. Aku tidak mau mendengar cerita yang sama, tentang bagaimana itu bukan salahku. Salah gempa, yang membuatku ketakutan dan berlari keluar rumah – tanpa melihat bahwa Adik tertimpa lemari …

 

Categories
#catatan-harian #fiksimini #menulis #MondayFlashFiction

“SIAPA DIA?”

“SIAPA DIA?”

Matanya begitu dingin menatapku.

“Kau tidak tahu siapa aku, ya?”

Takut-takut aku menggeleng. Benakku berputar begitu cepat, berusaha mengingat-ingat wajahnya…

— // —

“Apa-apaan ini?!”

Alan dan Belinda cekikikan begitu melihatku melototi layar laptop-ku. Terpampang di sana, profil dan detailku pada sebuah…situs kencan.

Astaga, ini bener-bener nggak lucu!

“Sori, El,” ucap Belinda takut-takut, begitu menyadari betapa murkanya aku. Disikutnya si Alan (koreksi, maksudku siAlan!) yang entah kenapa masih berani nyengir. “Ini idenya dia.”

“Eh, elo juga kali, yang ngusulin website itu,” balas Alan membela diri. Wajahnya tampak sewot nggak terima. “Niat kita semula mau bantuin Elma cari jodoh, ‘kan?”

“TAPI NGGAK GINI JUGA CARANYA KALI!” bentakku, yang sukses bikin dua mahluk di depanku berjengit. Kutuding layar laptopku dengan geram. “Sekarang hapus akun gue. Nggak mau tau gimana caranya! Gue nggak pernah ngerasa daftar beginian, kok elo pada enak-enaknya bikin profil gue di sini. Pelanggaran privasi, tauk!”

“I…iya-iya, maaf.” Baru saja Alan mau menyentuh keyboard laptop-ku ketika kutepis tangannya dengan langsung.

“Pake punya lo sendiri!” perintahku kasar. “Dalam sejam masih gue liat itu profil, awas lo berdua!”

Tanpa banyak ribut, kedua mahluk yang harusnya jadi sahabatku itu langsung ngacir, balik ke cubicle masing-masing.

Oke, aku tahu maksud mereka baik. Menurut mereka, aku sudah melajang cukup lama. (Terlalu lama, menurut mereka.) Aku juga nggak gitu tertarik sama situs kencan. Takutnya ketemu orang aneh-aneh. Tahu ‘kan, yang pas online kelihatannya sempurna, tahunya pas kopdar…hiii…

Kadang keponya orang Indonesia nyebelin akut. Okelah, mungkin mereka bahagia karena berpasangan. Tapi nggak berarti yang masih lajang selalu merana, ‘kan? Aku masih bisa cari sendiri kok, tentu dengan caraku juga. Kalo emang mereka punya niat baik, mbok ya tanya yang punya profil dulu baik-baik sebelum daftarin sembarangan. Idiih…

Saat kucek lagi website itu, nama dan fotoku sudah nggak ada. Syukurlah. Damai lagi rasanya…

— // —

Oke, nomor siapa ini? Kenapa dia selalu missed-call dan WA-nya ngajakin ketemuan terus?

Berhubung nggak merasa populer, aku cuekin aja. Eh, lama-lama kok, pesannya makin kasar begini, ya?

“Kau tidak tahu siapa aku, ya?”

“Masa lupa, kemarin-kemarin kita udah chatting cukup lama?”

“Kenapa? Aku kurang cakep buat kamu ladenin?”

Grrrh! Merasa malas dengan urusan ini, kuhampiri Alan dan Belinda. Kutunjukkan ponselku, masih dengan tampang geram.

“Dugaan gue dari website sialan itu,” ujarku tanpa basa-basi. Maklum, aku masih marah sama mereka. “Gue nggak mau tahu gimana caranya, elo berdua jelasin ke orang ini supaya nggak gangguin gue lagi. Malesin tau, gak?”

“Gue aja, deh.” Alan mengalah. Diteleponnya nomor itu. Wajahnya tampak amat menyesal saat berusaha menjelaskan perihal salah paham ini. Biarin aja. Kutunggu, melihat Alan mengangguk-angguk pasrah sambil meminta maaf.

Akhirnya…

“Udah, El,” katanya lemas. “Dia nggak bakal gangguin kamu lagi.”

“Good.” Aku berbalik tanpa memberi mereka kesempatan untuk bicara. Meskipun kata Alan orang itu sudah tahu, buat jaga-jaga kublokir nomornya.

— // —

Mungkin aku terlalu cuek, karena merasa nggak populer. Privasiku ya, privasiku.

Makanya, aku kaget setengah mati saat malam itu, laki-laki itu mencegatku di parkiran kantor.

“Kau tidak tahu siapa aku, ya?”

Mungkinkah…

Terlambat. Cipratan air itu melepuhkan kulit wajahku.

 

R.

(500 kata – dari Prompt#144: Siapa Dia? untuk Monday Flash Fiction di http://www.mondayflashfiction.com/2017/07/prompt-144-siapa-dia.html )

 

Categories
#catatan-harian #fiksimini #menulis #MondayFlashFiction

“CAN WE DANCE, PAPA?”

“Can We Dance, Papa?”

“Can we dance, Papa?”

Kamu ingin tahu rasanya, setelah melihatku berdansa dengan Mama. Mama mengalah dan kuraih kedua tangan mungilmu. Karena tinggi kita masih terpaut jauh, kuminta kamu berdiri di atas kedua kakiku.

“Nanti kaki Papa sakit.”

“Nggak apa-apa. Papa masih kuat.” Dan berdansalah kita, sementara Mama memotret dan merekam. Kamu terkikik geli, sebelum bertanya:

“Apa aku nanti bisa setinggi Papa?”

Kugendong kamu dan kutatap mata zaitunmu.

“Kalau kamu setinggi Mama, hanya laki-laki baik yang boleh berdansa denganmu.”

—//—

Malam itu, aku datang menjemput ke sekolah setelah SMS darimu. Kita sempat bertengkar hebat soal laki-laki itu. Aku tidak suka caranya memperlakukanmu, namun saat itu kamu begitu tergila-gila padanya dan tidak mendengarkanku. Tipikal remaja keras kepala.

Kutemukan kamu duduk sendirian di parkiran, bergaun biru dan tiara menghias rambutmu. Makeup di wajahmu sudah luntur. Ah, gadis kecilku menangis…

“Mana dia?” tuntutku geram. Buru-buru kamu berdiri dan memelukku.

“Jangan, Pa,” pintamu pilu. “Dia nggak penting. Udah kuputusin.”

Kupeluk kamu selama beberapa saat. “Mau pulang sekarang?”

Anehnya, kamu menggeleng. Kamu malah mengelap wajahmu dengan tisu dan menggandengku kembali ke lapangan olahraga. Prom masih berlangsung. Tak peduli tatapan aneh teman-teman dan para guru, kamu hanya memintaku:

“Just dance with me, Papa.”

Itulah permintaan maafmu. Aku mengerti. Setidaknya, aku sempat mengirimkan tatapan mengancam pada bocah yang mematahkan hatimu malam itu…

—//—

Wedding host mengumumkan dansa pertama. Kamu tampak cantik sekali dengan gaun putihmu.

“Let’s dance, Papa.” Kutunggu sampai kamu sudah duduk nyaman di pangkuanku. Beberapa orang merapikan gaunmu agar tidak tersangkut di bawah kursi rodaku. Stroke sialan.

Musik mengalun. Kupencet tombol ‘on’ dan kursi rodaku bergerak pelan. Di hari terbahagiamu, kita berdansa lagi seperti dulu. Kamu masih memeluk leherku dan menyandarkan kepalamu di bahuku.

Aku tersenyum pada laki-laki muda yang meminangmu. Ya, hari ini kamu telah menemukan pasangan dansa abadimu sendiri. Aku bahagia…

(dari Prompt#143 Monday Flash Fiction: “Can We Dance?” – 299 kata)

 

Categories
#catatan-harian #fiksimini #menulis #MondayFlashFiction

“Pensil Warna Si Kembar dan Teman-teman Baru”

“Pensil Warna si Kembar dan Teman-teman Baru”

“Selamat ulang tahun, Ethan dan Emma.”

Kedua anak berambut pirang itu tersenyum saat membuka kado dari orang tua mereka. Mata biru dan senyum mereka melebar saat melihat sekotak pensil warna berisi 24 pilihan.

“Terima kasih, Mom dan Dad.”

“Sekalian kado pindahan, karena kalian telah bersikap manis dengan kepindahan ini,” ujar ayah mereka bangga. Ethan dan Emma langsung bergantian memeluk orang tua mereka.

“Kami boleh menggambar di beranda depan, Mom and Dad?” tanya keduanya kompak. Ayah dan ibu mereka mengangguk.

“Oke,” ujar ayah mereka. “Tapi masuk ya, kalau sudah waktu makan malam.”

“Oke.” Ethan dan Emma segera ke beranda depan dengan kotak pensil warna dan buku gambar mereka. Mereka langsung duduk di meja dan mulai menggambar.

Tiba-tiba ada yang menghampiri mereka. Ethan dan Emma sama-sama mendongak dan melihat kedua anak itu.

Keduanya mungkin seumur, dengan tinggi badan dan rambut gelap berombak yang sama. Kulit mereka juga pucat, seperti anak-anak yang jarang terkena sinar matahari.

“Hai,” sapa Emma ramah. “Mau ikut gambar sama kami?”

“Hmm, kami nggak bisa gambar,” kata anak yang perempuan. Anak laki-laki di sampingnya tampak pendiam. “Tapi boleh lihat saja?”

“Boleh.” Ethan langsung mengenalkan diri. “Aku Ethan dan ini adik kembarku, Emma. Kami hanya beda lima menit.”

“Kalian kembar juga?” tanya Emma penasaran. Kedua anak berambut gelap itu mengangguk.

“Aku Beth dan ini adikku, Bryan,” kata anak yang perempuan. “Aku lebih tua tujuh menit dari Bryan.”

“Hai,” sapa Bryan malu-malu.

“Duduklah,” undang Ethan. Bryan dan Beth duduk semeja dengan Ethan dan Emma. Tak lama, keempat anak itu langsung mengobrol dengan akrab. Sesekali Beth cekikikan saat melihat Emma dan Ethan menggambar mereka berempat. Lalu Beth bercerita bahwa mereka tinggal di sebuah rumah di ujung jalan, beberapa meter dari rumah baru Ethan dan Emma.

“Tapi rumah kalian terlihat gelap,” komentar Emma, yang langsung dipelototi oleh Ethan. Belum sempat Beth menjawab, tiba-tiba terdengar suara dari dalam rumah:

“Ethan, Emma! Ayo, makan.”

“Oke, Mom,” balas Ethan dan Emma berbarengan. Beth dan Bryan langsung berdiri.

“Kami harus pulang juga,” ujarnya, lalu menggandeng adiknya. Saat keduanya pergi, Ethan dan Emma melambai pada mereka. Di atas, langit mulai menggelap.

“Besok main ke sini lagi, ya.”

–//–

“Tadi kalian ngobrol sama siapa?”

“Teman-teman baru kami, Dad,” kata Ethan ceria. “Mereka kembar juga.”

“Ini Bryan, dan yang ini Beth.” Emma menunjuk gambar dua anak berambut gelap di samping dua anak berambut pirang. “Aku pakai pensil warna merah untuk bibir Beth. Habis dia pucat sekali, sih.”

“Oh.”

–//–

“Serius, Dan?”

“Mereka berdua tadi di beranda depan,” ujar ayah si kembar. Malam itu, Ethan dan Emma telah lelap di kamar masing-masing. “Mungkin mereka hanya punya teman khayalan. Masih tujuh tahun. Fase biasa.”

Wajah Hannah, istri Dan, memucat. Ditunjukkannya potongan koran lama yang bertanggal enam bulan yang lalu.

“Mereka bilang anak-anak itu namanya Bryan dan Beth?”

Hening mencekam. Keduanya membaca berita pembantaian seorang jaksa muda dan keluarganya suatu malam, di rumah dekat rumah mereka. Semuanya ditemukan tewas.

Termasuk anak kembar mereka yang bernama Bryan dan Bethany…

(Prompt#142 – Pensil Warna – 487 kata)

 

 

Categories
#catatan-harian #fiksimini #menulis #MondayFlashFiction

“BOLEH KUPINJAM LELAKIMU?”

“Boleh Kupinjam Lelakimu?”

Boleh kupinjam lelakimu? Hanya hangat lidahnya. Tak lebih.

Aku sering melihatmu bersamanya. Aku melihat caranya memeluk dan menciummu, meski di depan umum malam itu. Kamu tersenyum kikuk. Kuduga mungkin ini pacar serius pertama atau keduamu.

Yang kulihat, ada ragu di matamu, bercampur jengah dan malu. Mungkin juga sedikit rasa takut. Mungkin kamu memang menyukai perhatiannya.

Namun, matanya tidak bisa menipuku. Ada gairah yang bergelora di sana, yang membuatnya menginginkanmu lebih dari yang ingin kau berikan untuknya.

Prediksiku? Kalian berdua tidak akan bertahan lama. Terlalu berbeda dalam hampir segalanya. Dia ingin bebas melakukan semuanya denganmu. Baginya, moral dan agama adalah belenggu…

—***—

Boleh kupinjam lelakimu? Hanya hangat lidahnya. Tidak lebih.

Jika dia ingin memberiku lebih, aku takkan menolak. Aku juga menyukainya, tidak peduli seluruh dunia akan menganggapku apa. Sudah banyak sebutan untukku: sundal, perempuan murahan, pelacur, tak punya moral…

Lucunya, lelaki bajingan yang suka tidur dengan banyak perempuan (termasuk denganku, tentu saja) juga menyebutku demikian di muka umum. Haha, kenapa? Situ kurang puas?

Ah, kurasa mereka hanya tidak mau terima bahwa perempuan juga bisa demikian. Benar-benar standar ganda. Ego mereka sudah terlalu lama berkuasa.

Mau sampai kapan aku terus begini? Ah, mungkin ini hanya idealisme tingkat tinggi, tanpa hasil yang benar-benar berarti.

Sampai standar ganda sialan itu tidak ada lagi…

—***—

Boleh kupinjam lelakimu? Ah, tak perlu. Malam itu aku sudah mendapatkannya, lebih dari hanya hangat lidahnya.

Sesuai dugaanku, lama-lama dia bosan dengan penolakanmu. Dia sendiri yang datang ke bar ini, mencari pelampiasan dan menemukanku.

Jujur, aku tidak peduli bila nanti kamu tahu. Bahkan, aku ingin kamu segera tahu, karena aku justru sedang menolongmu.

Aku hanya ingin menunjukkan, seperti apa sebenarnya lelaki yang mengaku mencintaimu…

R.

(Untuk Monday Flash Fiction Prompt#139: “Boleh Kupinjam Lelakimu?” http://www.mondayflashfiction.com/2017/04/prompt-139-boleh-kupinjam-lelakimu.html – 276 kata)

 

Categories
#catatan-harian #fiksimini #menulis #MondayFlashFiction

“TANGAN-TANGAN PENGATUR SI CANTIK”

“Tangan-tangan Pengatur Si Cantik”

“Kamu cantik.”

Pujian itu selalu kudengar dari kecil. Mereka senang mengajakku bercermin, sambil sesekali memainkan rambut panjangku. Rambut yang tidak boleh dipotong, larang mereka.

“Nanti kamu keliatan kayak anak laki-laki, nggak cantik lagi.”

Padahal, aku gerah. Panas, apalagi siang-siang. Aku juga dilarang main lari-larian di kebun bareng abangku dan para sepupu. Kata mereka, anak perempuan harus anggun, duduk manis, dan penurut. Nggak boleh berkotor-kotor. Nanti nggak cantik lagi.

Jadilah aku duduk di antara para tetua, dengan gaun putih bersihku. Sesekali tangan Bunda membetulkan cara dudukku atau menyibakkan rambutku yang mulai kembali berantakan. Nggak peduli aku yang cemberut karena malu jadi tontonan.

Membosankan.

Bunda, aku bukan boneka. Aku anakmu…

-***-

“Kamu cantik.”

Setiap gadis remaja pasti senang mendengar pujian itu, apalagi dari pemuda yang mereka suka di sekolah.

Begitu pula aku. Dia tersenyum padaku, membuatku tersipu. Katanya dia suka dan ingin aku jadi pacarnya. Kuiyakan saja, meski tidak benar-benar mengerti maksudnya.

Awalnya, semua terasa indah. Lama-lama menyebalkan. Sama saja kayak Bunda dan semua orang. Terlalu banyak aturan. Aku harus dandan sesuai maunya. Nggak boleh pulang terlalu malam, kecuali hanya kalau sedang jalan sama dia. Jangan keseringan nongkrong sama teman-teman, dia kesepian.

Jangan berteman sama laki-laki lain, dia cemburu.

Akhirnya, aku lelah. Aku minta putus. Di luar dugaan, dia malah menamparku. Lalu, malam itu dia membantingku ke tanah. Aku ingin menjerit, namun tangannya langsung beringas membungkamku.

Malam itu, tangannya menjelma seribu. Sia-sia aku melawan. Dia terus menimpaku, memukuliku seakan aku adalah sansak untuk petinju.

Lalu, seperti anak kecil bermain boneka, dia mulai melucuti pakaianku. Satu-satu…

-***-

“Bunda, aku masih cantik, ‘kan?”

Aku bingung. Kenapa Bunda menangis? Aku ‘kan cuma tanya.

Luka-luka di wajah dan tubuhku sudah berkurang banyak, meski hidungku tidak lagi sama. Daguku juga sedikit bergeser.

Mereka tidak pernah menangkapnya. Kata mereka, di sini setidaknya aku aman. Banyak tangan yang mengurusku. Mereka sangat memanjakanku, seperti seorang putri raja. Membangunkanku tiap pagi, memandikanku, mendandaniku seperti boneka cantik. Seperti Bunda dan semua orang dulu.

Mereka sabar dan baik sekali. Mereka menyuapiku saat makan. Kurasa mereka semua malaikat berbaju serba putih.

“Bunda jangan menangis. Lihat, akhirnya aku bisa duduk diam dan anggun. Lihat, kali ini aku menurut, kok. Aku masih cantik ‘kan, Bunda?”

R.

(Dari Monday Flash Fiction Prompt#138: “Tangan-tangan” http://www.mondayflashfiction.com/2017/04/prompt-138-tangan-tangan.html?m=1  – 359 kata.)

 

Categories
#catatan-harian #fiksimini #menulis #MondayFlashFiction

“SOSOK YANG KAU KENAL”

“Sosok yang Kau Kenal”

Jadi, kamu ingin mengenalku? Maksudmu, benar-benar ingin mengenalku?

Aku tahu, bukan itu persisnya ucapanmu. Semua dari cara kita berinteraksi, bahkan sejak hari pertama bertemu. Dua orang yang berasal dari dua dunia yang jauh berbeda, di ruang guru pagi itu. Menanti jadwal kelas masing-masing, di ruang yang selalu sepi sebelum pukul sepuluh. Dua orang yang awalnya saling berdiam diri, hanya menyapa sedikit sebelum sibuk dengan diri masing-masing.

Lalu, pukul sepuluh tiba dan kita akan mengajar di kelas masing-masing. Setelah itu, kita akan terpisah oleh jadwal. Kamu tetap di tempat kursus itu, sementara aku harus mengajar di cabang lain, mengejar waktu.

Begitu terus selama tahun pertama. Hingga akhirnya kita mulai mengobrol lebih banyak dari sebelumnya. Perlahan membuka diri, saling berbagi cerita. Sama sepertiku, kamu tampak hati-hati. Mata hazel-mu lekat mengawasi.

Benarkah kita berdua bisa saling percaya?

Kamu heran denganku. Setiap kamu menyapaku dengan “How are you?”, butuh waktu lama bagiku sebelum akhirnya menjawab: “Oh, fine. Thanks. You?”

            Mata hazel-mu sekilas menyipit curiga. Itu pertanyaan yang mudah. Kenapa aku jawabnya lama? Karena rasanya aku jarang ditanya, bahkan di rumah. Namun, kamu tidak mengatakan apa-apa.

Kurasa, kamu hanya menunggu saat yang tepat…

—//—

Lima tahun kemudian:

            Jadi, kamu telah mengenalku. Waktu berlalu dan kamu telah cukup – dan bahkan mungkin benar-benar – mengenalku. Jauh lebih banyak dari mereka yang sudah lebih lama berada di dekatku.

Kamu sudah tahu semuanya tentang mereka, meski dengan Mama-lah kamu paling dekat. Aku tahu kamu sedih melihat kami tidak sedekat kamu dan mamamu. Makanya, kita pernah sampai beberapa kali pergi bertiga.

Jangan salah. Aku sayang Mama dan tidak ingin durhaka, namun beliau hanya ingin tahu bahwa semuanya baik-baik saja. Beliau hanya ingin damai, bukan kenyataan maupun kejujuran.

Karena itulah, aku sudah lama berhenti bercerita pada mereka. Tidak ada gunanya. Yang ada aku hanya dianggap aneh, berisik, dan merusak suasana. Tidak normal.

Selamat. Kamu sudah beberapa kali melihat sisi terburukku, yang entah kenapa kamu anggap sangat manusiawi. Kamu sudah melihatnya dan tidak kabur maupun menghakimi. Aku yang suka mengamuk dan kadang meninju dinding atau pintu lemari hingga nyaris remuk. Kalau mereka tahu, paling mereka hanya menyuruhku untuk sabar dan tidak marah-marah, tanpa pernah mau tahu atau peduli dengan penyebab amarahku. Paling mereka hanya akan menganggapku berlebihan. Sekian.

Aku yang pernah beberapa kali menangis sesenggukan atau histeris di pelukmu atau pangkuanmu. Kalau sama mereka, paling aku hanya akan dikatai cengeng, lemah, dan sensi. Apa tuh, sekarang sebutan barunya? Baper, bawa perasaan? Persetan. Seolah-olah manusia yang masih memakai perasaan itu jauh lebih hina daripada mereka yang sudah tidak pedulian.

Aku…yang masih harus mengonsumsi obat penenang.

Aku yakin, mereka juga tidak akan suka bila aku memutuskan untuk berhenti total memakai perasaan dan mulai bersikap kejam. Tapi…ah, sudahlah. Memikirkan mereka akhir-akhir ini melelahkan.

Satu hal yang pasti, kadang keluarga tidak selalu sedarah dan justru malah jauh lebih pengertian.

Dan kita telah saling menemukan…

 

R.

            (Dari Tantangan Menulis Monday Flash Fiction, Prompt#137: “Inside Out” – http://www.mondayflashfiction.com/2017/01/prompt-137-inside-out.html?m=1 – 468 kata)

 

Categories
#catatan-harian #fiksimini #menulis #MondayFlashFiction

“MEMULAI KEMBALI”

“Memulai Kembali”

Aku tidak ingin menunggu. Aku ingin menciptakan waktu.

Ya, aku tidak ingin menunggu waktu yang tepat, karena itu hanya mitos. Tidak pernah ada waktu yang tepat. Yang tepat hanya waktu yang ingin kita sempatkan.

Aku ingin menciptakan momentum itu, saat kita nanti kembali bersama. Aku ingin kita memulai segalanya kembali dari awal, karena kita sama-sama menginginkannya.

Karena itulah, kusisihkan hari ini khusus untukmu. Kita tahu, sebelumnya sudah terlalu banyak kesalahpahaman. Terlalu banyak pertengkaran. Aku yang terlalu keras kepala dan kamu yang tidak mau mendengar. Lelah, lemah, kalah. Pada akhirnya, kita sama-sama mudah menyerah. Sudah, hentikan saja semuanya. Lebih baik kita jalan sendiri-sendiri saja.

Waktu pun berlalu. Namun, tak surut jua rasa rindu. Kita pun memutuskan untuk kembali bertemu. Jangan lagi menunggu. Belum tentu esok akan ada waktu luang itu.

Sekarang, di sinilah aku. Di kafe tempat kita pertama kali bertemu, menunggu. Tapi, di mana kamu? Kenapa yang datang malah sahabatmu?

“Hai, Damai.”

—***—

Maafkan aku. Maafkan aku yang sering ragu untuk meluangkan waktu denganmu.

Salahkan ego dan gengsiku. Bahkan, sejak kita berpisah dulu, aku sudah memendam siksa di dalam diamku.

Makanya, aku bersyukur saat kamu duluan yang akhirnya kembali menghubungiku. Semakin bersyukur saat tahu bahwa kamu pun memendam rindu. Baiklah, mari kita sama-sama berdamai dengan masa lalu. Saatnya memulai lagi yang baru.

Aku tahu, hari ini sudah kau sisihkan khusus untukku. Aku juga melakukan hal yang sama untukmu. Aku bahkan sudah berjanji akan lebih memperhatikanmu kali ini, tidak seperti dulu. Tidak ada lagi aku yang egois dan selalu merasa paling benar sendiri. Demi kamu.

Aku sudah pernah kehilanganmu. Jangan pernah sampai terjadi lagi…

Percayalah, sebenarnya aku ingin segera ke kafe itu lagi, setelah sekian lama. Aku ingin kita kembali bersama, seperti dulu.

Kuharap kamu percaya. Dengarkanlah sahabatku saat dia tiba. Lalu, kemarilah segera.

Semoga…aku masih ada…

—***—

“Damai, Adrian kecelakaan…”