Categories
Uncategorized

Prasangka

Prasangka

Enggan benakku dipenuhi olehnya

saat kau menghilang tiba-tiba.

Dulu kau pernah berkata,

tak layak kau kusebut teman,

apalagi sahabat.

Lalu apa?

Kau pergi tanpa pesan,

ibarat plot cerita

novel murahan

atau film kacangan.

Haruskah aku berurai air mata?

Yang pasti,

aku masih enggan berprasangka.

Takut tiada tara,

meski hati bertanya-tanya,

teracuni teori mereka akan kau yang sebenarnya.

Bagaimana bila bagimu,

aku tak pernah berarti apa-apa?

Bagaimana bila kamu takut berterus terang

sehingga lebih memilih menghilang?

Jika demikian,

lebih baik kamu terbuka.

Lebih baik kabar buruk kuterima,

daripada ketidakpastian.

Tapi…ah, untuk apa berprasangka?

Tak ada gunanya.

Aku bisa gila.

R.

Categories
Uncategorized

Balas Dendam Terbaik Adalah Ini

Balas Dendam Terbaik Adalah Ini

Gambar: https://unsplash.com/photos/17yojkc2so4

Saya merasa agak tergelitik melihat postingan seorang kenalan di media sosial. Singkat cerita, dia memposting sebuah meme kisah cinta singkat nan tragis:

Perempuan itu memilih meninggalkan kekasihnya yang berprofesi sebagai seorang barista dan menikahi lelaki lain yang lebih kaya. Cerita yang sangat klasik sekali, bukan? Kekasihnya seakan dianggap bukan siapa-siapa, apa lagi apa-apa.

Caption pada meme tersebut ibarat doa / sumpah si lelaki yang patah hati. Katanya, kelak si barista akan lebih sukses dan membuktikan pada sang mantan dan kekasih barunya, bahwa seharusnya dia layak jadi pilihan dan bukan untuk disepelekan. Seharusnya dia tidak begitu saja dicampakkan.

Hmm, sekilas mungkin akan banyak yang berpihak pada si barista yang malang. Kasihan, diputusin hanya gara-gara bukan dari keluarga kaya. Terus, pasti juga banyak yang akan membenci si perempuan itu. Berbagai sebutan familiar macam ‘matre’, ‘mata duitan’, dan sejenisnya pasti akan langsung keluar.

Lalu, bagaimana dengan si lelaki kaya? Pastinya juga kena cela. Mulai dari tuduhan ‘perebut pacar orang’ sampai nyinyiran khas menyentil kelas sosial: “Tajir mah, bebas.”

Mungkin banyak juga yang malah memaklumi pilihan si perempuan. Apalagi, masyarakat patriarki paling hobi bikin perempuan serba salah, apa pun pilihan mereka:

  1. Milih laki-laki yang tidak kaya dicibir, bahkan dianggap bodoh dan nggak realistis. Bahkan, tak jarang banyak juga yang kemudian nyinyir: “Emang hidup enak, makan cinta doang?”
  2. Kalo milih yang kaya juga nggak bebas celaan. Kata mereka, wajar bila perempuan cenderung memilih pasangan yang secara finansial sudah lebih mapan. (Baca: gaji tinggi, kaya, sudah punya fasilitas pribadi, atau minimal dari keluarga tajir melintir hingga bikin yang lain iri hingga nyinyir.) Apalagi, masyarakat masih beranggapan bahwa laki-laki-lah yang nantinya akan jadi kepala keluarga, yaitu pemberi nafkah. Perempuan tinggal ikut saja, karena perempuan-lah yang nantinya akan diurus.

Lucunya, begitu perempuan beneran milih lelaki yang kaya untuk jadi pasangan, masih juga ada yang mencela. Maunya apa?

Sebenarnya?

Bisa jadi, masalahnya lebih rumit daripada yang terlihat oleh mata kita sebagai orang luar.

Seperti biasa, menilai masalah orang lain dari permukaan (belaka) memang kebiasaan banyak orang. Selain gampang, rasanya juga sudah dianggap biasa saja. Apalagi bila ditambah dengan kredo standar bernama ‘kebebasan berpendapat’ dan alasan: “Biasanya kejadian kayak gini banyak dan mirip semua. Jadi benar, ‘kan?”

Ah, masa iya? Darimana Anda tahu? Udah bikin riset resmi – atau hanya percaya sama ‘kata orang’ dan asumsi pribadi? Hobi menggeneralisir emang kebiasaan banyak orang, tapi bukan berarti harus dibiasakan dan tidak membahayakan.

Kalau pun memang benar, haruskah selalu diekspos sedemikian rupa di dunia maya? Apakah ada yang sedang mencari dukungan dan pembelaan atas posisi mereka?

Bukankah malah akan menambah masalah? Ingat, kita nggak bisa mengontrol pikiran maupun pendapat orang-orang (baca: netizen) di luar sana. Selain itu, masih ada UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik). Jujur, saya sendiri bukan penggemar UU tersebut. Menurut pengamatan awam saya sih, UU ITE lebih banyak dipakai orang-orang baperan, cengeng, dan pengecut yang anti kritik – namun sialnya kebetulan lebih punya banyak uang untuk membayar pengacara dan waktu untuk meladeni pengkritik di pengadilan.

Ini pendapat saya doang lho, ya. Boleh nggak sepakat kalau merasa dapat manfaat dari UU tersebut. Kalau saya sih, mending cuekin yang menghina saya di medsos atau mengajak mereka bertemu secara pribadi. Nggak perlu bayar pengacara segala. (Duh, kayak saya mampu aja!)

Yang pasti, saya juga nggak butuh penonton, apalagi rombongan fans fanatik yang khusus membela saya secara militan. Masa menghadapi satu perundung yang menghina saya butuh ditemani? Memangnya anak kecil atau preman?

Bisa jadi, perempuan itu punya pertimbangan lain. Bisa jadi ini bukan melulu soal kekayaan, meski pasti banyak yang berasumsi demikian.

Hei, ini bukan berarti saya hanya dan selalu membela sesame perempuan lho, ya. Untuk soal seperti ini, ada baiknya kita melihat masalah dari berbagai sisi, bukan hanya pihak yang (merasa) jadi?) korban. (Tentu saja, cara ini juga belum tentu bisa diterapkan untuk semua masalah relationship yang ada.)

Yang terlihat di permukaan selama ini belum tentu mencakup semuanya. Kita juga nggak mungkin bisa tahu segalanya. Nggak ada manusia yang bisa begitu.

Kalau memang sudah cukup tahu banyak masalah sejenis, terus kenapa? Apa yang mau kita lakukan? Memangnya kita bisa melakukan sesuatu untuk mengubah keadaan tersebut?

Balas Dendam? Ngapain?

Saya akui, kadang saya sendiri masih suka tergoda untuk membalas dendam pada siapa pun yang pernah menyakiti saya dengan sedemikian rupa. Namun, untuk apa? Untuk apa si barista tersebut membalas dendam dengan cara berusaha mengalahkan si lelaki kaya dalam urusan harta?

Seorang teman (yang lebih bijak daripada saya) pernah bilang begini:

Balas dendam terbaik adalah berlalu tanpa menoleh lagi. Anggap saja mereka yang sudah pernah menyakiti Anda tidak berarti lagi. Memang susah sih, tapi bukannya nggak mungkin. Ini soal kemauan kuat untuk menjadi diri yang lebih baik tanpa (terlalu) memanjakan ego pribadi.

R.