Dari Rayuan Manis Hingga Ancaman Itu…
Kata mereka, perempuan ibarat setengah manusia. Hanya separuh akal, sisanya lebih banyak perasaan. Benar-benar menghina. Makanya, jangan heran bila perempuan lajang selalu dianggap kesepian. Kurang berharga, karena tidak ada lelaki di sampingnya.
Tunggulah sampai mereka berusia di atas 30. Penghakiman lama-lama terasa membunuh. Perawan tua tidak laku. Pecundang di mata keluarga. Dianggap kurang cantik. Apalagi bila tubuhmu kebetulan juga tambun. Mereka menjadikannya kambing hitam penyebab lawan jenis enggan melirikmu.
Sesungguhnya kamu tertekan, bukan kesepian. Kamu ditekan sedemikian rupa agar sempurna sesuai standar mereka. Bahkan, sesama perempuan pun juga tega menyerang. Yang puritan menganggapmu kurang berusaha mencari pasangan. Yang liberal menganggapmu terlalu jual mahal.
“Gimana kamu mau dapet cowok kalo gini caranya?”
Dunia maya memberimu banyak kemungkinan. Kamu bisa bertemu dan kenalan dengan siapa saja, bahkan bisa dibilang tanpa batas. Rasa sepi yang mendera akibat tekanan sosial membuatmu akhirnya mempertimbangkan…dia.
Awalnya hanya perbincangan biasa di ruang bicara. Kalian tertawa, bercanda, dan berbagi cerita. Sastra, terutama puisi, menjadi pengikat rasa. Niatmu hanya ingin berteman, namun dia menginginkan lebih. Katanya, sudah lama dia tidak menemukan cinta. Dulu dia telah menyia-nyiakan banyak kesempatan.
Ibarat pendosa yang mengakui kesalahannya, dia memintamu berempati. Tidak butuh waktu lama untuk hatimu agar tersentuh.
Namun, entah kenapa, sebagian dari dirimu masih ragu. Kalian belum pernah bertemu. Bagaimana mungkin dia bisa begitu yakin kalian akan bersama? Dunia mungkin akan tertawa. Mungkin dia akan dianggap pendusta, sementara kamu dungu luar biasa.
Beberapa orang terdekatmu punya beragam reaksi. Ada yang ikut bahagia saat tahu dia mengaku mencintaimu. Apalagi, sudah terlalu lama kamu sendiri. Sudah saatnya, begitu kata mereka. Kamu sudah terlalu tua. Jangan banyak menawar. Terima saja cintanya. Berilah dia kesempatan.
Setelah cukup lama berpikir, menimbang, dan memantapkan hati, kamu setuju memberinya kesempatan. Lelaki itu bahagia sekali. Kalian berdua pun mulai menyusun rencana untuk bertemu.
Awalnya cukup indah. Namun, masih ada janggal yang mengganjal. Beberapa kali dia memintamu untuk lebih menunjukkan tubuhmu di depan kamera. Kamu menolak, meskipun dia pun melakukannya untukmu. Ada rasa enggan dan tidak nyaman yang kamu sembunyikan. Ada rasa takut kehilangan, karena selain itu, dia sebenarnya sangat manis.
Hingga satu saat, seorang perempuan lain yang satu grup di media sosial menghubungimu. Semula kamu ragu. Namun, insting menyuruhmu untuk mendengarkannya dulu. Ada sesuatu yang harus kamu tahu.
Pengakuan perempuan itu, disertai bukti-bukti berupa chat history, mengubah segalanya sejak itu. Hatimu mendadak beku. Lidahmu kelu. Ingin menangis dan menjerit, namun air matamu seakan telah membatu.
Perempuan itu menangis saat bercerita tentang lelaki yang sama. Lelaki yang mengaku mencintainya, lalu memintanya telanjang di depan kamera. Lelaki yang juga menunjukkan seluruh tubuhnya. Bukan, bukan kamu saja. Perempuan itu juga bukan satu-satunya. Pasti masih banyak di luar sana.
Saat perempuan itu didiamkan begitu lama, akhirnya dia mencari tahu. Dari laman media sosial, dia menemukan koneksi lelaki itu denganmu. Dia harus melakukannya diam-diam. Lelaki itu telah mengancamnya. Foto-foto screenshot dan videonya akan dia sebar di dunia maya, bila perempuan itu berani bercerita.
Perempuan itu telah menyelamatkanmu. Dia telah berbuat kesalahan. Dia kesepian. Suaminya sedang terasa begitu jauh. Dia menyesal. Kamu memutuskan untuk enggan menghakiminya. Dia pahlawanmu.
Semula, kalian berencana ingin menjebak lelaki itu. Sayangnya, lelaki itu tiba-tiba memblokirmu dari media sosial. Begitu saja. Sempat lama kamu tenggelam dalam luka akibat pengkhianatan. Bajingan itu mungkin sudah mengincar banyak perempuan.
Masih adakah lelaki yang bisa dipercaya? Masih beranikah kamu percaya?
Sejak peristiwa naas itu, kamu bersahabat dengan pahlawanmu. Lelaki itu lenyap di media sosial, setelah sejumlah laporan pelecehan di dunia maya yang serupa dari beberapa perempuan lainnya. Ada rasa takut dia akan kembali, meski dengan identitas berbeda. Dia mungkin marah dan akan membalas kalian.
Mungkin saat ini, lelaki itu masih bisa lolos. Bersama sahabat barumu, kamu memutuskan untuk melawan pelaku semacam ini. Jangan sampai ada yang jadi korban lagi. Karena itulah, cerita ini dibagi.
R.