“Ayolah, ini akan menyenangkan,” janjimu padaku dalam bahasa Inggris beraksen Rusia itu. “Travelling berdua, camping, menikmati hutan belantara. Aku bisa memotret alam sesukaku, sementara kamu bisa menulis. Kamu belum pernah travelling ke alam terbuka, ‘kan?”
Entah apa yang membuatku termakan oleh ajakanmu. Kamu yang begitu mempesona sejak awal bertemu. Kata teman-temanku (yang disertai jengit di wajah mereka) sih, kamu jauh dari tampan. Dekil dan berantakan malah. Kalau Mama sampai tahu aku diam-diam pacaran dengan laki-laki bule, gondrong, brewokan tapi nyaris botak di puncak kepala, berkacamata segede pantat botol, dan dengan tampilan kayak nggak mandi seminggu, beliau pasti akan mengamuk.
“Ayolah,” bujukmu sambil membelai ikal gelapku. Kalau sudah begini, aku suka luluh. Tambah luluh lagi saat kamu mencium bibirku dengan penuh napsu. Ah, ke manakah otakku? Biasanya aku selalu berhati-hati.
Mungkin karena saat itu aku sedang jenuh dan muak dengan tuntutan keluarga. Sudah di atas 30, kata mereka. Kapan menikah? Kenapa nggak bisa seperti kakakmu? Mungkin karena menurut mereka aku terlalu gemuk, makanya laki-laki tidak ada yang mau.
Tapi, kamu justru mengaku lebih suka dengan perempuan gemuk. Berbanding terbalik dengan sosokmu yang menjulang, rada kerempeng – tapi hebatnya kuat bawa tas gede pas travelling. Itulah yang kuperhatikan dengan kagum, saat akhirnya – ya, kuputuskan untuk ikut travelling perdana denganmu. Aku sampai bertengkar hebat dengan Tobey, sahabatku laki-laki Australia yang sudah lebih seperti abangku sendiri.
“Rina, please. Aku tahu perempuan macam apa kamu. Aku nggak mau kamu menyesal nanti.”
Kutinggalkan pesan untuk ibu kos sebelum pergi. Aku sengaja tidak memberitahu siapa-siapa lagi, meski ponsel tetap kubawa. Jujur, aku mungkin anak kota yang juga sedang merasa sangat bosan. Aku butuh petualangan.
Dan laki-laki seperti kamu begitu menggiurkan…
-//-
Tiga bulan berlalu. Mungkin aku praktis sudah jadi orang hilang saat itu. Di hutan, terutama yang belantara, waktu seakan berjalan lambat – bahkan nyaris berhenti. Setiap hari terasa sama. Tidak banyak manusia lain, hanya kita berdua. Aku dan kamu. Dengan alasan berhemat, kita akhirnya tidur satu tenda.
Oh, ayolah. Semua pasti sudah tahu apa yang kemudian terjadi. Apalagi, kamu begitu menggebu-gebu. Aku yang tadinya ragu akhirnya pun mau.
Hingga saat itu…
Sial, kenapa aku mual begini, ya?
“Kamu nggak apa-apa?” tanyamu saat aku banyak tertinggal di belakang. Tidak hanya itu, aku pun mulai sering ngos-ngosan dan ingin muntah. Kepalaku pusing, berputar hebat. Saat kulihat wajahku di layar kamera ponsel, astaga. Pucat bukan kepalang.
Aku tahu, yang kutakutkan selama ini akhirnya terjadi. Aku tidak bisa bilang kamu memaksaku, namun entah kenapa aku tidak menolakmu waktu itu. Mungkin karena malam itu hanya kita berdua di dalam tenda…di tengah hutan belantara…
Saat menyempatkan diri ke kota kecil, kudatangi apotik yang sekaligus minimarket. Ajaib, apotik sekaligus minimarket itu menjual test pack. Untunglah, di kota kecil itu belum ada peraturan aneh-aneh soal larangan menjual alat kontrasepsi, alat tes kehamilan, dan semacamnya secara terbuka.
Setelah membayar, buru-buru aku keluar. Aku harus mengetesnya segera. Aku hanya ingin memastikan…
-//-
“Nggak mungkin,” bantahmu saat kuberitahu hasil tes itu. “Aku ‘kan waktu itu pakai pengaman-“
“Mungkin nggak efektif,” tukasku dingin. Kulihat ponselku sudah penuh dengan notifikasi pesan. Ada ratusan. Mama…Tobey…teman-temanku yang lain…
Maafkan aku…
“Aku nggak bisa,” katamu sambil menggeleng-geleng. “Kamu tahu gimana keluargaku. Aku nggak pernah kenal ayahku dan ibuku – “
“Tapi aku nggak bisa pulang dalam keadaan begini!” Tangisku kini pecah. Barulah, di atas tebing dekat hutan, kulihat sosokmu yang sebenarnya. Liar, tak pedulian, dan sepertinya siap menyingkir dariku kapan saja. Kuraih tangannya. “Please…”
“Aku nggak bisa!” Tanpa sengaja kamu menepisku. Saat itulah aku tiba-tiba merasakan tubuhku melayang…jauh…jauh…hingga…
Jatuh. Lalu gelap.
-//-
Keluargaku datang menangisi jenazahku. Aku sendiri tidak tahan melihat separuh wajahku yang kini hancur karena menghantam karang di bawah air terjun. Ada yang melihatku, lalu melapor penduduk setempat. Kamu akhirnya diamankan pihak berwajib sebelum jadi sasaran amukan warga, tak peduli bila kamu membela diri dan bilang kalau itu kecelakaan.
Di sudut kamar jenazah, rohku terpaku, memandangi akhir ekspedisiku…
- Tamat –