“KEMBALI KE AWAL?”
Meski banyak yang menyamakan momen Idul Fitri kemarin dengan ‘kembali ke awal’, saya agak tergelitik dengan beberapa hal:
- Kenapa harus menunggu momen tertentu untuk memulai atau mengakhiri sesuatu, seperti berusaha menjadi lebih baik dan mengakhiri perselisihan dengan seseorang? Bukankah setiap hari adalah momen yang baru?
- Beneran menyesal dan memaafkan – atau formalitas belaka? Apakah kita meminta maaf hanya biar tidak kena marah lalu sudah? Tidak ada tanggung jawab lanjutan atau kesepakatan untuk menghindari pengulangan?
Begitu pula saat kita memaafkan. Benarkah tulus dari hati? Benarkah masa lalu tidak akan diungkit-ungkit lagi, terutama saat perdebatan baru muncul di kemudian hari?
- Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, bisakah acara ‘kembali ke awal’ ini tidak dirusak oleh tanya-tanya ‘kepo’ dan komen-komen ‘ganggu’ dan nyakitin macam: “Kok betah melajang?” sama “Kok belum hamil-hamil juga? Yang lain anaknya udah tiga…” ?
Mungkin catatan kecil ini terdengar sinis, tapi anggap aja pengingat. Buat siapa? Ya, kita semua.
Nggak ada larangan buat memulai yang baru dan lebih baik di hari nan fitri. Asal nggak musiman, alias cuma pas lagi momennya, lalu menguap begitu saja. Buntutnya kita malah kembali melakukan kesalahan yang sama atau malah lebih parah.
Yakin udah tulus memberi maaf? Jangan sampai habis itu masalah yang ‘katanya sudah selesai’ disinggung-singgung lagi. Emang enak jadi orang yang selalu dihakimi dari masa lalu mereka?
Selain itu, cobalah berubah menjadi orang yang lebih menyenangkan dengan tidak menyindir atau membanding-bandingkan kekurangan orang lain. Jangan juga hanya berlaku baik pas Lebaran.
Selamat memulai dari awal. Semoga menjadi pribadi yang lebih baik.
R.
2 replies on ““KEMBALI KE AWAL?””
semoga menjadi peribadi yang lebih baik dan kembali ke awal
Aamiin.