Categories
#catatan-harian #menulis

“LEBARAN BARENG KELUARGA KOK ‘NAKUTIN’?”

“Lebaran Bareng Keluarga Kok ‘Nakutin’?”

Saya sempat bikin status di semua laman media sosial saya waktu Lebaran tahun lalu:

“Wanna have a peaceful Eid with me? Stop commenting on my weight, thank you very much!”

(Gak mau ribut ama saya pas Lebaran? Stop usil komentarin berat badan saya, terima kasih!)

Singkat cerita, nggak ada yang merecoki saya dengan pertanyaan atau komentar seputar berat badan. Mereka juga nggak nanya-nanya lagi seputar kapan saya nikah dan topik-topik kategori ‘mengganggu’ lainnya, meskipun saat ini saya sudah 35 tahun dan masih lajang. (Gak, nggak takut ngaku, kok.)

Mungkin mereka sudah membaca status saya dan memutuskan untuk nggak cari gara-gara. Namun, seorang kawan bilang begini sama saya:

“Orang pasti akan selalu punya komen gak penting, bahkan meski gak diminta sekali pun. Cuekin aja kalo elo emang pede.”

Iya, sih. Tapi, kayaknya kok, easier said than done, ya? Apalagi pertanyaan dan komentar yang sama suka diulang-ulang tiap tahun. Sampai-sampai ada teman yang menyamakannya dengan rerun sinetron basi atau kaset rusak. (Hehe, teknologi pra-milenial ini.)

Saking seringnya, daftar pertanyaan ‘ganggu’ itu sampai bisa dihapal di luar kepala. Mulai dari soal berat badan, kapan nikah, kapan punya anak, kapan nambah anak, soal kerjaan, gaji, hingga pilihan hidup lainnya yang pasti menurut mereka ‘enggak banget’.

Ini belum Lebaran, tapi saya melihat sudah ada beberapa kenalan yang sepertinya mempersiapkan ragam jawaban ‘cerdas’ (entah lucu atau menohok halus, ketimbang marah-marah atau diam dengan muka jutek) untuk berondongan pertanyaan yang ‘itu-itu lagi’  tiap tahun.

Ada teman perempuan yang mengaku sampai ‘mulas’ hanya gara-gara mikirin mau mudik. Harusnya dia seneng berkumpul dengan keluarga besarnya lagi.

“Kesiksa rasanya,” aku teman saya. “Kalo hanya ditanya-tanya kapan nikah atau udah nemu calon pendamping hidup apa belum, itu masih mending. Yang paling bikin gak enak itu saat ditatap ‘sedemikian rupa’ ama yang lebih tua, kayak ama kakek atau nenek. Seolah-olah selalu ada yang salah atau aku udah ngecewain mereka. Seolah-olah aku nggak akan pernah cukup baik di mata mereka, hanya karena belum menikah juga.”

Ada juga teman perempuan lain yang bercerita:

“Gue ngerti, gue ama mereka emang udah beda generasi. Yang bikin bete, mereka hobi banget banding-bandingin, seakan-akan generasi mereka lebih baik daripada generasi gue. Kayak tante gue yang pernah ngomong gini: ‘Heran deh, ama anak perempuan sekarang. Kayaknya nemu jodoh tuh, susah amat. Zaman Tante dulu, jodoh ketemu pas SMA dan langsung kawin.’

Ada juga yang ‘diteror’ terus dengan pertanyaan seputar anak. Yang belum punya disuruh cepat-cepat atau bahkan sampai dituduh ‘kurang usaha’. Sotoy banget, yah?

Yang udah punya satu disuruh nambah, meski yang nyuruh belum tentu bakalan mau diminta ikutan bantu ngurusin. Yang udah punya banyak anak tapi berjenis kelamin sama disuruh ‘nyoba’ lagi, apalagi bila anak-anaknya perempuan semua.

“Siapa tahu kali ini dapat anak laki.”

Kadang mereka cukup tega ngomong gitu pas depan anak-anak perempuannya. Pernah ada satu kasus salah satu anak jadi sedih dan nanya gini ama bapaknya:

“Memangnya aku nggak cukup baik ya, Pa, karena anak perempuan?”

Emang yang komentar barusan mau tanggung jawab bila perasaan si anak terluka? Dalam hal ini, saya sepakat dengan kawan ekspat saya, seorang laki-laki yang menikah dengan perempuan Indonesia:

“Gak rasional, deh. Emang mereka bisa ngatur-ngatur mau dapet anak berjenis kelamin apa?”

Lucu memang, terutama mengingat masyarakat kita yang (katanya) beragama. Nggak ada yang salah dengan terus berdoa dan berusaha bila memang ingin sekali. Tapi, kalau memang belum – atau malah enggak – dikasih, mereka mau apa? Mendemo Tuhan?

Seperti biasa, yang protes begini pasti lebih banyak disalahin. Argumen andalan mereka: “Gitu aja baper.” Dituduh nggak ngerti basa-basi atau bercandaan. Bahkan, nggak jarang yang protes begini malah disuruh ‘harap maklum’ dan ngalah kalau yang komentar atau usil nanya-nanya kebetulan juga jauh lebih tua.

Sayangnya, nasihat atau saran yang keluar dari tahun ke tahun pun ‘itu-itu juga’:

“Udah, sabar-sabarin aja. Toh, hanya ketemu setahun sekali ini.”

“Udah, biarin aja mereka mau ngomong apa. Toh, tetep kamu ‘kan, yang memutuskan dan bertanggung jawab sama pilihan hidupmu sendiri?”

“Udah, maklumin aja. Mereka cuma nyari bahan obrolan, cuma gak tahu topik yang enak apa.”

“Udah, anggep aja itu bentuk perhatian, meski caranya kurang tepat.”

Dan embel-embel ‘udah’ lainnya. Lama-lama terasa seperti alasan yang dicari-cari dan ‘pembenaran sepihak’. Hanya mereka yang boleh nanya dan komentar suka-suka, nggak peduli ada yang terluka. Apalagi kalau sudah bawa-bawa ‘angka dan senioritas’. (Baca: umur.)

Lalu, ada apa dengan mereka yang belum Lebaran aja udah kayak ‘pasang kuda-kuda’? Mulai dari posting meme sarkastik macam “Tarif Buat yang Nanya ‘Kapan Kawin?’ “ hingga mereka yang mulai stok jawaban ‘ajaib’ buat pertanyaan-pertanyaan yang ‘itu-itu lagi’.

Jawabannya hanya ada satu, sodara-sodari sekalian:

KEMUAKAN.

Lebaran bareng keluarga besar yang harusnya menyenangkan dan dapat mempererat tali silaturahmi malah jadi menakutkan. Udah gitu, kayak pada nggak sadar-sadar juga lagi.

“Ayo dong, buruan nikah. Adikmu udah duluan, laki lagi. Nggak usah terlalu pilih-pilih-lah.” (Ntar giliran laki pilihan ternyata dianggep ‘nggak beres’, tetep disalahin juga: “Kok milihnya dia, sih?”)

“Kapan punya anak? Sepupu kamu udah dua tuh, anaknya.” (Kayak nagih utang atau mesen menu di restoran, ya? Lagipula, kenapa semua harus dijadiin ajang balapan, sih?)

“Mungkin kamu harus berubah sedikit, biar lebih kayak kakakmu supaya cepet dapet suami.” (Pertama, kesannya hanya perempuan tipe tertentu yang disukai semua laki-laki. Kedua, kesannya laki-laki berotak dangkal semua dan nggak punya selera beragam.)

Nggak heran banyak status dan meme di media sosial seputar isu ini, terutama sebelum dan menjelang Lebaran. Bahkan, ada juga yang pake tagar #stopjadiorangnyebelin atau #yukbikinLebaranasiklagi .

“Trus, gimana dong, ngobrolnya kalo topik-topik itu dianggep nyinggung semua?”

Ah, info sekarang melimpah ruah lho, berkat era digital. Masa nggak ada sih, topik yang asyik selain itu?

Seorang teman lain yang juga sering ditanya soal anak juga ngomong begini:

“Padahal mereka tinggal nanya kabar aja trus tunggu aku cerita. Perhatian sih, perhatian. Tapi kalo jadinya ampe nge-judge dan mendikte kebahagiaan orang lain, rasanya kok pengen kabur aja, ya?”

Hmm, andai saja orang mau lebih kreatif dan inovatif dengan topik yang mau disinggung saat Lebaran bareng keluarga besar, jadinya nggak harus kayak gini tiap tahun. Teman saya nggak harus sampai ‘mulas’ gara-gara mikirin mudik.

Yang paling penting, nggak jadi acara antipati ketemu keluarga sendiri.

Harusnya sih, Lebaran itu ‘Hari Kemenangan’. Apanya yang menang kalau mulut masih suka usil mengomentari (yang dianggap) kekurangan orang lain dan bikin mereka merasa nggak nyaman – sekaligus sakit hati? Percuma dong, sebulan puasa untuk mengendalikan diri?

R.

 

By adminruby

Pengajar, penerjemah, penulis, dan pemikir kritis. Jangan mudah baper sama semua tulisannya. Belum tentu sedang membicarakan Anda.

Juga dikenal sebagai RandomRuby di http://www.pikiranrandom.com/ dan GadisSenja di http://www.perjalanansenja.com/. Kontributor Trivia.id (http://trivia.id/@/rubyastari) dan beberapa media digital lain.

2 replies on ““LEBARAN BARENG KELUARGA KOK ‘NAKUTIN’?””

nah itulah org indonesia sih sudah terkenal nyinyir dari dulu, apalagi sekarang sdh ada medsos tambah nyinyirnya. tapi berpulang kepada kita untuk nyuekin saja, hidup2 gue apa urusan elu

Betul, tantangan kita setiap hari untuk lebih sabar menghadapi mulut nyinyir dan berusaha agar gak ikutan nyinyir. Namun fakta yang tidak bisa dipungkiri adalah gak semua orang sesabar itu. Bukan cerita baru lagi mulut nyinyir bikin orang jadi kepikiran dan buntutnya kurang bersyukur, atau malah merusak hubungan pasangan suami-istri gara-gara belum dikaruniai anak. Padahal mulut nyinyir itu sama aja kayak mulut setan, bikin hati panas dan sakit bagi yang kurang sabar. Nah, kalo gak mau jadi orang Indonesia dengan stereotipe negatif itu, ya kita bisa mulai agar gak ikutan nyinyir, karena dampaknya lebih banyak merugikan kedua belah pihak. Yang nyinyir jadi kedengeran brengsek, yang dinyinyirin jadi gak tenang dan ogah ketemuan lagi. Banyak orang yang sedihnya malah jadi memaklumi dengan “namanya orang Indonesia”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *