“MELAPORKAN PELAKU PELECEHAN DI BUS SHELTER TRANS-JAKARTA”
Oke, saya sudah melupakan trauma saya, jadi saya bisa menulis tentang ini.
Bulan lalu, pada 24 Maret 2018, saya menghadiri acara puisi di Warung Buncit, Jakarta Selatan. Acara selesai sekitar pukul sepuluh malam Sabtu itu.
Saya pergi ke halte bus Trans-Jakarta terdekat untuk menunggu perjalanan pulang. Ada seorang lelaki tua berdiri di sana, juga menunggu bus.
Awalnya, semuanya tenang dan baik-baik saja. Kami tidak berbicara satu sama lain, hanya dua orang asing dalam diam. Kemudian tiba-tiba, lelaki tua itu menyeringai ke arah saya. Dia tampak seperti sedang membetulkan celananya, tetapi ketika saya melihat tangannya mulai membuka kancingnya …
Saya tidak membuang waktu dengan diam saja. Saya berbalik dan bergegas menuju tangga dan kembali ke loket tiket.
“Pak?” Saya memanggil-manggil petugas dengan jantung berdegup kencang. Sudah pukul sebelas waktu. “Halo? Pak, tolong.”
Saya senang bahwa bajingan itu tidak mengikuti saya, tetapi saya tetap tidak ingin mengambil risiko. Saya tahu saya masih bisa melawannya sendirian di hari lain, tetapi saya juga butuh saksi lain.
Selain itu, laki-laki seperti itu pasti akan melakukan hal yang sama pada perempuan lain saat punya kesempatan. Tidak semua korbam cukup berani untuk melaporkan atau melawan.
“Ya, Bu?” Jawab seorang lelaki berseragam dari dalam bilik tiket. Ketika saya memberitahunya mengenai yang hampir terjadi, dia segera mengunci bilik dan kembali ke tempat kejadian dengan saya.
“Orang tua?” Dia bertanya. Ketika saya mengangguk, dia berkata, “Saya udah lihat sebelumnya di cctv dan mikir kok aneh ya, tetapi Ibu sudah keburu naik ke atas.”
“Tolong.” Oke, saya sebenarnya benci mengemis, tapi saat itu nggak punya pilihan. “Bapak bisa temani saya di sana, setidaknya sampai bus saya tiba atau dia pergi lebih dulu? Saya nggak mau sendirian sama orang itu.”
“Tentu saja, Bu.”
Jadi, staf berseragam itu melakukan seperti yang dijanjikan. Laki-laki cabul tadi tampak kecewa ketika melihat saya tidak sendirian lagi. Dia berusaha berbicara ringan dengan staf berseragam yang sedang bertugas. Saya tetap diam sambil mengawasinya dengan hati-hati.
Saya lega ketika si tua itu akhirnya naik ke bus yang menuju ke arah selatan. Sambil menunggu bus, saya ngobrol saja dengan staf berseragam untuk sementara waktu. Ternyata namanya Pak Jaelani. Penduduk Depok ini santai dan santun, yang mengaku hanya melakukan pekerjaannya.
“Saya benar-benar lihat yang terjadi yang tadi,” ulangnya. “Laporan seperti ini kami tanggapi dengan sangat serius, demi kenyamanan semua penumpang. Apalagi buat perempuan dan malam-malam begini.”
Kemudian Pak Jaelani cerita tentang penumpang perempuan lain yang pernah mengadu sambil menangis pas hari lagi sepi. Ternyata ada laki-laki muda yang sempat menggesek-gesekkan alat kelaminnya ke badan perempuan itu.
Iiih!
“Banyak laporan tentang pelecehan seksual di bus, Bu,” jelasnya. “Nggak ada bedanya, mau itu siang atau malam, ramai atau sepi. Rok mini atau baju tutupan semua. ”Pak Jaelani geleng-geleng dengan ekspresi kesal bercampur jijik. “Kalo orang otaknya emang udah sakit, ya sakit aja. Ibu udah bener langsung melapor. ”
“Ya, meski awalnya saya skeptis,” saya mengakui. “Bapak tahu sendiri ‘kan, biasanya malah lebih banyak yang nyalahin perempuan karena keluar sendirian, malam-malam pula.”
“Ah, orang-orang suka asal ngomong,” kata Pak Jaelani. “Kita nggak pernah tahu, perempuan itu bisa lagi bekerja lembur atau tugas lain atau tidak punya pilihan. Harusnya orang fokus pada pelaku dan bukannya korban kalo mau nyalahin. ”
Ketika bus saya akhirnya tiba, saya mengucapkan terima kasih lagi kepada Pak Jaelani sebelum naik. Saya pulang ke rumah malam itu dengan sedikit harapan.
Mudah-mudahan, lebih banyak orang menyadari AKAR MASALAH-nya selama ini …
R.
4 replies on ““MELAPORKAN PELAKU PELECEHAN DI BUS SHELTER TRANS-JAKARTA””
orang sperti itu sakit jiwanya k, jangan yg sering ya, orang2 itu dr kecil gak pernah dididik dg benar. Itu yang sebetulnya terjadi ya mbak. Kadang sering yg disalahkan perempuannya
Bener banget.
Selama bus laki-laki dan wanita tak dipisah, selama itu pula kasus pelecehan akan berulang. Ayolah dishub berusaha membenahi peraturan.
Itu hanya salah satu solusi. Solusi lain yang paling diperlukan adalah mengajari laki-laki agar tidak melecehkan perempuan. Hanya memisahkan cuma berfungsi sebagai pereda, karena sesungguhnya ruang publik adalah hak sesama manusia. Selama laki-laki belum bisa menghargai perempuan sebagai manusia dan bukan obyek napsu belaka, mau dipisah juga percuma. Saya yakin masih ada laki-laki yang cukup berakal untuk tidak mencari gara-gara dengan cara apa pun sama perempuan. Justru mereka yang harus berani mengajari sesamanya.