“Menghadapi Mulut Besar dengan Diam”
Siapa sih, yang cocok dapat julukan ‘mulut besar’? Tukang membual? Bully yang hobi menjatuhkan Anda, baik dengan nyinyiran halus hingga makian kasar – terutama di depan umum?
Apakah itu tukang gosip yang hobi menyebar aib, fitnah, hoax, dan sejenisnya?
Menurut saya, ketiganya termasuk bermulut besar. Meskipun tingkat keparahannya berbeda-beda, mereka sama-sama merusak. Ya, merusak reputasi diri sendiri hingga hubungannya dengan orang lain.
Tukang membual, bully, dan tukang gosip tanpa sadar sama-sama berbagi satu ‘benang merah’: mencari pengakuan akan eksistensi diri mereka dari orang lain.
Tukang membual hanya ingin dikagumi, bahkan meski dengan risiko ketahuan sebagai pembohong. Bully ingin dihormati sekaligus ditakuti.
Tukang gosip? Hmm, mungkin yang ini sedikit lebih kompleks. Selain pada dasarnya memang senang bercerita, mungkin mereka takut kehilangan bahan obrolan hingga penonton setia. Mereka sangat senang jadi pusat perhatian, meskipun dengan cara yang…yah, tahulah. Jauh dari berkelas.
Tapi, ada juga tukang gosip yang memang sengaja ‘cuap-cuap’ untuk ‘memanaskan suasana’, sekaligus menjatuhkan orang yang nggak mereka suka atau anggap saingan/lawan. Ya, mau nggak mau memang ada juga penggemar dan pencari drama di dunia nyata yang seperti ini. Sepertinya mereka kurang piknik atau malah kurang sibuk, hingga sempet-sempetnya kayak gini.
Bersyukurlah bila Anda (dan semoga saya) termasuk yang selalu berusaha agar tidak terjebak menjadi satu atau lebih jenis ‘mulut besar’ yang disebutkan barusan. Sayangnya, kita akan selalu ketemu model begini di dunia nyata. Ketimbang stres, enaknya gimana, ya?
Dulu, saya sempat nggak sepakat sama Mama seputar menghadapi si ‘mulut besar’. Kebetulan, saya juga termasuk temperamental. Ada yang mengajak saya ribut (padahal saya berusaha nggak pernah usil ama urusan orang lain), rasanya ingin saya timpuk pakai meja. (Entah gimana caranya, apalagi mengingat rata-rata meja itu berat.)
Saran beliau?
Diam saja.
Serius? Beneran. Baru akhir-akhir ini saya merasa bahwa beliau ada benarnya juga. Seperti apa contohnya?
1. Menghadapi si tukang membual.
“Ooh, semalem gue abis dinner ama anak bos perusahaan A di penthouse B. Dia baik banget, deh…” (Padahal bukan kencan, tapi urusan bisnis doang.)
“Gue selalu berusaha bijak dan diam aja saat orang-orang nyinyir ama gue.” (Padahal habis itu posting status #nomention di media sosial yang jelas-jelas tentang mereka.)
“Yang nyerang kemaren ada tiga orang, gede-gede pula. Untung gue yang menang.” (Padahal semalam ceritanya cuma ada satu dan pulangnya yang bersangkutan pake acara babak-belur.)
Nggak usah keki, meski keganggu ama model begini. Cukup sibukkan diri Anda. Kalo peduli dan ingin mengajak mereka ‘memanfaatkan kreatifitas’ yang muncul di otak mereka, silakan sarankan profesi ini: PENULIS FIKSI.
Inget, penulis fiksi ya, jangan penulis konten hoax. Udah banyak banget soalnya di sini.
2. Menghadapi si verbal bully.
Banyak alasan kenapa mereka senang mem-bully Anda. Mungkin mereka kurang perhatian dan mencari sosok yang bisa mereka kendalikan. Tough luck kalo strategi basi mereka udah lama kebaca sama Anda.
Jika memang Anda pernah bersalah sama mereka, cukup tanyakan Anda pernah salah apa dan segeralah minta maaf bila memang Anda yang salah. Jika tidak, boleh juga tanyakan kepada mereka apakah mereka punya kesibukan lain selain “bersenandung tidak riang” di telinga Anda, karena – jujur – saat ini Anda sedang nggak butuh mendengar suara mereka. (Bully balas di-bully, hehe.)
Cara bijak Mama? Diam, sambil menunggu mereka ‘kelepasan’, melakukan ‘cacat’ yang sama yang pernah mereka tudingkan ke muka Anda.
Misalnya: pernah ada yang usil selalu dengan berat badan saya, namun ternyata dia kesal saat ada yang usil dengan pilihan gaya hidupnya. Ada juga yang menganggap saya terlalu lemot menanggapi candaan orang (hey, padahal masalah beda selera, lho. Lagipula, nggak semua orang harus jadi komedian, jadi ngapain saya maksain diri? Hahaha!)
Kenyataannya, yang menuduh itu ternyata sama aja sensinya. Lucu, ‘kan?
Ah, sudahlah. Lain cerita bila mereka memang hobi pasang standar ganda. Daripada lelah karena drama, mending cabut aja.
3. Menghadapi si tukang gosip.
Kalo nggak kenal objek yang jadi bahan gosip, nggak usah ikutan nyahut atau komentar. Kalo kenal baik dan merasa kesal, boleh juga membela mereka, selama Anda punya bahan argumen yang kuat. Tahu sendiri ‘kan, rata-rata tukang gosip mudah nggak mau ngalah, karena mereka merasa jadi ‘the it source’?
Nggak perlu juga ngabarin ke korban gosip kalo mereka diomongin. Meski niatnya baik, sama aja dengan adu domba kali. Apa bedanya Anda dengan si tukang gosip sendiri? Cukup klarifikasi baik-baik tanpa menyebut nama si tukang gosip.
Kalo diri sendiri yang jadi korban gosip? Santai. Kalo emang nggak bener, ngapain pusing? Cukup jawab seperlunya bila ada yang mencari tahu kebenaran kabar miring itu. Bila terlanjur disinisin sama beberapa orang, nggak usah repot ngejar-ngejar mereka untuk memberi penjelasan. Justru dari situ Anda bisa tahu mana yang benar-benar teman Anda.
Bila tahu pelaku penyebaran gosip Anda, nggak usah nyindir-nyindir mereka dengan status #nomention di media sosial. Selama mereka nggak bernyali ngomong langsung, anggap aja mereka nggak ada. Nggak level ribut sama pengecut. Hidup terlalu berharga untuk drama nggak penting kayak gini.
Tapi, mari perlakukan kasus ini dua arah. Terlalu merasa diomongin orang? Jangan-jangan ada ucapan atau perbuatan Anda yang selama ini bikin mereka nggak nyaman, nggak suka, atau sakit hati. (Please, jangan terlalu tinggi menilai diri sendiri dulu dengan ngatain mereka “baper”.)
Kenapa mereka nggak langsung ngomong ke Anda? Jangan-jangan selama ini Anda-lah yang enggan mendengar dan selalu merasa paling benar, terus buntutnya ngambekan. Repot, ‘kan?
Menghadapi mulut besar dengan diam? Kata siapa gampang? Tapi, bolehlah terus dicoba. Hitung-hitung belajar sabar.
R.