“Nggak Ada yang Salah dengan Perempuan Mandiri”
Duh, udah 2017 masih ngeributin yang itu-itu juga? Gak capek? Gak maju-maju, dong?
Sebenarnya, sudah lama sekali saya ingin menulis tentang ini. Sejak sering baca komen nyinyir dan ngancem dari mereka yang merasa ‘gentlemen’ di media sosial, namun isi komen mereka justru menyatakan sebaliknya:
“Ya udah, kalo perempuan mau mandiri. Jadi gak butuh laki-laki, nih? Berarti pas nge-date gak akan kita bayarin atau malah kita minta bayarin. Bawa barang berat gak akan kita bantu angkutin. Nggak akan kita bukain pintu atau tarikin kursi pas duduk. Gak akan juga kita anterin pulang pas malem-malem sendirian dan kita juga bakalan diem aja kalo ada preman yang gangguin di jalan. Bisa semuanya sendiri, ‘kan? Trus sah-sah aja dong, kalo kita mukul kalian karena kesel? ‘Kan katanya mo disamain ama laki-laki.”
Wah, wah, wah, ada mahluk (yang katanya) berlogika malah emosi, nih. Apalagi sampai bikin pernyataan berpolemik di media sosial segala:
“Perempuan mandiri itu mengerikan bagi laki-laki.”
Masa? Ngeri di mana-nya, sih? Apakah lantas mereka bertaring dan selalu pengen makan orang, termasuk para laki-laki jantan? Ngeri-an mana sama laki-laki yang selalu memandang perempuan sebagai objek seksual, meskipun pakaiannya udah paling longgar dan ‘tutupan’?
Sedihnya, bahkan dari sesama perempuan masih ada yang ‘termakan’ dengan kepercayaan menyesatkan yang sama:
“Rugi amat mau jadi mandiri. Ntar cowok-cowok pada lari, karena ngerasa gak dibutuhin lagi atau bahkan merasa disaingi. Padahal, enak kalo barang berat selalu dibawain, makan dibayarin, minta apa pun dibeliin – apalagi kalo udah jadi suami. Gak perlu kerja lagi.”
Hmm, sebentar. Ini pada mau cari suami…apa kuli yang juga berfungsi sebagai anjungan tunai mandiri (ATM)? Iya kalo suaminya tajir, sehat selalu, dan gak pelit setengah mati. Gimana kalo suami mendadak di-PHK dan susah cari kerja lain dalam waktu singkat? Gimana kalo suami mendadak ‘ke lain hati’ dan ninggalin Anda sendiri, apalagi bila anak-anak masih kecil-kecil?
Gimana kalo suami jatuh sakit parah, lalu kemudian meninggal dunia? Situ siap?
Terus, maukah para suami rela dirongrong para istri soal uang, meskipun memang menurut ajaran agama suami sebagai pencari nafkah?
“Mikirnya negatif melulu, sih.”
Yah, berpikir positif memang perlu. Tapi, jangan lupa juga untuk tetap realistis. Ini bukan cerita dongeng di mana cinta selalu mengalahkan segala prahara di rumah tangga, termasuk mahalnya biaya hingga munculnya pihak ketiga. Nikah nggak semata-mata menyelesaikan masalah finansial, alias happy ending lalu udah.
Yang salah dari perempuan mandiri? Gak ada. Saya malah bingung sama mereka yang merasa terancam dan ketakutan setengah mati.
Kenapa istilah ‘mandiri’ lantas otomatis disamakan dengan ‘menjadi manusia super’ atau ‘menjadi sosok yang nggak butuh orang lain sama sekali’? Manusia pada dasarnya saling membutuhkan, sekecil apa pun itu. Nggak peduli laki-laki atau perempuan.
Nggak usah jauh-jauh. Contoh: tukang bangunan yang rata-rata laki-laki kekar juga nggak ada yang 100 persen kerja sendirian. Jadi, ada apa dengan obsesi mustahil untuk kelihatan bagai superhero begini? Tuntutan masyarakat?
Yakin situ gak capek terus-terusan menyiksa diri, hanya demi memenuhi standar sosial yang belum tentu ada yang bisa memenuhi? Boro-boro sempurna, mendekati saja mustahil. Mungkin ada perempuan yang menolak bantuan atau tawaran membayar dari laki-laki. Ya udah, nggak usah maksa. Cukup cari perempuan lain yang mau. Pasti masih ada, kok.
Nggak perlu bete, terus nyinyir karena ngambek. Nggak perlu ngancem-ngancem atau juga nakut-nakutin segala, seperti bakalan susah dapet pacar atau ‘berat jodoh’ (bila kebetulan si perempuan masih single). Biarlah memvonis takdir seseorang cukup jadi kerjaan Tuhan. Anda nggak perlu ikutan.
Stereotyping negatif selalu menyakitkan buat semua orang. Pasti pada gak terima dong ya, kalo ada perempuan yang menuduh bahwa semua laki-laki itu pasti bajingan – hanya karena ada segelintir yang pernah menyakitinya? Pasti argumen yang sering keluar adalah: “Gak semua laki-laki gitu, kok.”
Nah, biarlah saya pakai cara serupa. Nggak semua perempuan mandiri akan menyepelekan atau nggak menghargai bantuan dari laki-laki atau siapa pun. Nggak usah sampai segitunya takut nggak dibutuhin lagi, deh. Kalau sampai ada orang yang kayak begitu (laki-laki maupun perempuan), kemungkinan besar mereka masih terjebak paham sesat bahwa mandiri berarti nggak butuh orang lain.
Menjadi sosok mandiri adalah hak sekaligus pilihan bagi setiap orang, siapa pun Anda. Lagipula enak kok, sama orang yang mandiri. Mereka nggak bakalan terlalu sering manja dan merepotkan orang lain. Mereka nggak akan mudah cari drama hanya karena merasa ‘kurang diperhatikan’.
Mereka bahkan akan senang membantu bila ada waktu luang dan Anda tidak keberatan. (Lumayan ‘kan, bisa istirahat barang sebentar?) Menjadi mandiri juga bukan berarti mereka bisa segalanya, kok. Mana mungkin ada manusia se-sempurna itu?
Percaya deh, sekalinya minta bantuan, berarti mereka memang sedang benar-benar butuh – bukan sekadar manja atau bahkan azas manfaat.
Makanya, nggak disarankan juga bagi perempuan untuk keterusan berperan sebagai ‘damsels-in-distress’. Salah-salah hidup Anda bisa cepat kelar, apalagi bila bantuan belum tentu selalu ada di tempat.
“Tapi laki ‘kan, suka minder sama perempuan yang lebih cerdas dan mandiri. Kenapa nggak pura-pura aja sih, seenggaknya untuk menyenangkan hati mereka?”
Waduh, ini lagi. Apa maksudnya dengan ‘pura-pura’? Berhenti jadi diri sendiri? Berlagak manja dan nggak tahu apa-apa, hanya agar selalu dilindungi?
Mau berapa lama pura-pura kayak gitu, hanya agar laki-laki yang disukai senang? Sampai kalian menikah dan punya anak? Alangkah ganjilnya bila kemudian Anda mengajari anak untuk tidak berbohong, karena Anda sendiri memulai hubungan sama bapak mereka dulu dengan kebohongan?
Alamat stres seumur hidup karena kesannya jadi merendahkan diri sendiri.
Ingin merasa dibutuhkan? Sebenarnya gampang, kok.
1. Nggak usah nunggu dimintain tolong, tapi tawarkan bantuan duluan.
Gimana kalo si perempuan menolak? Nggak usah marah. Perhatian atau sayang boleh, tapi nggak perlu sampai memperlakukan perempuan bak barang pecah belah. Selama dia masih bisa, kenapa harus membatasi?
Bantuan terbaik yang dibutuhkan perempuan mandiri sebenarnya berupa dukungan, keyakinan bahwa dia bisa melakukan banyak hal. Percaya deh, akan ada masanya perempuan mandiri minta tolong…dan itu bukan karena akhirnya mengakui kelemahan mereka. Namanya juga manusia, pasti Anda juga pernah begitu, ‘kan?
2. Pastikan nggak ada MODUS TERSELUBUNG di balik sikap ‘gentlemen’ yang sebenarnya berpotensi merugikan semua pihak.
Contoh ekstrim: seorang teman perempuan pernah pacaran dengan laki-laki ini. Waktu jadian, pacarnya royal setengah mati. Hobi mentraktir dan membelikannya macam-macam, meskipun teman tidak pernah meminta.
Sayangnya, laki-laki ini kemudian berubah jadi tukang ngatur dan maksa. Teman saya nggak boleh keseringan nongkrong-lah sama teman-temannya, nggak boleh terlalu dekat sama si A, nggak boleh inilah…
Merasa tertekan dan tersiksa, teman saya akhirnya memutuskan hubungan. Merasa sakit hati, mantannya lalu mengirimkan tumpukan bon alias tagihan dari semua yang pernah dia bayarkan sewaktu mereka masih pacaran. Katanya semua itu utang yang harus dikembalikan teman saya.
Nggak hanya itu, si mantan pun menyebar gosip jelek tentang teman. Bersyukurlah dia, karena teman memilih sama sekali nggak meladeni. Bahkan, dari situ teman bisa tahu, mana yang mudah terhasut dan mana pihak yang benar-benar teman sejati.
Apakah akhirnya teman saya membayar? Ya, meskipun akhirnya ditolak juga uangnya sama si mantan, dengan alasan: “Udah, sumbangin aja.” Taktik manipulasi psikologis gara-gara sakit hati akibat diputusin.
“Kurang baik apa gue coba ama itu cewek?” Serius, nih? Dari mana Anda tahu Anda memang benar sebaik itu? Apakah karena semua yang telah Anda berikan, namun balasannya ternyata di luar harapan?
Kecewa itu manusiawi. Namun, apa pun yang terjadi, mengeluh demikian secara terang-terangan (apalagi di media sosial) sama sekali nggak akan membuat Anda terlihat dan terdengar lebih baik, Tuan-tuan. Jadinya malah sombong dan menyedihkan, karena memang manusia pun banyak kekurangan. Anggap saja kalian berdua memang bukan jodoh dan…ya, sudah. Let it go.
3. Jika tawaran diterima atau sudah dimintai bantuan, jangan lantas jadi jumawa maupun meremehkan.
Niat baik saja ternyata nggak cukup, karena penyampaian yang menyinggung juga berpotensi membuat Anda terdengar menyebalkan:
“Aku anterin pulang, deh. Perempuan gak baik pulang sendirian malem-malem. Ntar dilecehin di jalan, lho.” (Ingat, ucapan adalah doa. Gak usah nyumpahin gitu.)
“Kamu aja deh, yang duduk. Perempuan ‘kan, mahluk lemah, cepet capek.” (Sumpah, rasanya pengen mencabut kursi bus atau kereta dan melayangkannya ke muka Anda…andai saja saya sekuat Hulk. Hehe.)
“Aku udah nolongin kamu, lho. Jangan lupa, belum tentu kamu bisa apa-apa kalo waktu itu gak ada aku.” (Maunya apa, upacara penghargaan khusus? Ucapan terima kasih aja masih kurang, Mas?)
Padahal, bantuan Anda justru mungkin akan lebih diterima dengan manis tanpa harus ada ’embel-embel’ merendahkan seperti contoh-contoh di atas:
“Aku anterin pulang ya, mumpung searah/lagi ada mobil/bisa bareng? Biar sekalian ada temen ngobrol di jalan.”
“Duduk aja dulu. Aku nggak apa-apa. Mumpung ada kursi.”
“Syukurlah waktu itu aku bisa bantu. Masih perlu bantuan lagi?”
Nah, lebih enak didengar, ‘kan? Jangan lupa senyum manis tapi tulus, siapa tahu perempuan mandiri incaran Anda luluh dan menghargai tawaran Anda. Kalau mereka tetap nggak mau? Ya udah, lewat aja. Perkara selesai, nggak perlu pake drama. Nggak perlu ngomong macem-macem ke orang lain tentang penolakan mereka.
Kalau sudah dimintai tolong juga jangan ogah-ogahan dan bahkan meremehkan urusan perempuan – menganggap kebutuhannya nggak sepenting kebutuhan Anda. Cukup bilang nggak bisa atau lagi capek kalau memang demikian adanya. Jangan lantas membantu setengah hati, tapi sambil ngedumel:
“Dasar perempuan, mintanya macam-macam.”
Kalau begitu caranya, jangan heran bila lama-lama semua perempuan malas minta tolong maupun tergantung sama Anda. Mending mereka minta sama yang lain atau mencoba sendiri.
Udah deh, ngapain hari gini masih nyinyir dan merasa terancam sama perempuan mandiri? Setiap orang punya kelebihan dan kekuatannya masing-masing, kok. Gak usah nakut-nakutin mereka dengan ancaman “Ntar cowok ngeri, lho!” Justru, laki-laki yang ngeri sama mereka memang nggak sepadan.
Ingat, doa yang baik kadang jauh lebih manjur untuk melindungi perempuan daripada bersikap seperti pengawal pribadi hampir 24 jam atau bahkan yang lebih parah – membatasi ruang gerak mereka dan melarang mereka melakukan apa-apa. Mereka manusia juga lho, bukan properti yang harus dikurung di lemari besi.
R.