Categories
#catatan-harian #menulis

3 Cara Mengatasi Perubahan Negatif Sikap Sahabat

3 Cara Mengatasi Perubahan Negatif Sikap Sahabat

Ada yang bilang, kejadian semacam ini biasanya terasa lebih berat saat kamu masih muda. (Contoh: masa remaja.) Kata mereka, semakin dewasa rasanya semakin mudah saja.

Pada kenyataannya, tidak selalu demikian. Apalagi bila sahabat ternyata tidak hanya sudah cukup lama berada di dalam hidupmu. Sahabat sudah dekat juga dengan teman-temanmu yang lain dan keluargamu. Makanya, saat ada masalah besar dan kalian saling menjauh, rasanya seperti kehilangan anggota keluarga. Lebih menyakitkan.

 

Penyebab Rusaknya Persahabatan

Ada banyak sebab perusak persahabatan, mulai dari yang remeh sampai serius. Yang pasti, kalau urusannya sudah sampai soal prinsip, saling ngotot juga tidak akan mendapatkan titik temu.

Yang pasti dibutuhkan kedewasaan semua pihak dalam persahabatan untuk “agree to disagree” (paham kalau kalian tidak akan selalu sepakat dalam segala hal).

 

Cara Mengatasi Rusaknya Persahabatan

Sayangnya, kamu tidak bisa mengendalikan semua hal dalam hidup. Bila ini yang terjadi, ada tiga (3) cara untuk mengatasinya:

  • Terimalah kenyataan.

Merasa sedih, marah, atau kecewa dengan perubahan negatif sikap sahabat itu wajar. Sama seperti urusan putus cinta, berpura-pura sahabat tidak pernah ada dalam hidupmu justru malah akan semakin menyakitkan.

Namun, hindari juga membiarkan perasaan sedih berlarut-larut. Ingat, hidup terus berjalan. Gak ada yang mau selamanya nungguin kamu berhenti merasa sedih dulu.

  • Pertimbangkan dulu matang-matang sebelum memutuskan untuk mengakhiri persahabatan selamanya.

Manusia memang mudah berubah hatinya. Yang kemaren ngaku sayang, hari ini bisa benci setengah mati. Yang dulu kompak, sekarang bisa berseberangan – dan bahkan sampai musuhan.

Bila mengikuti emosi, mungkin kamu bisa mengambil keputusan gegabah. Misalnya: memutuskan untuk mengakhiri persahabatan karena sakit hati. Wajar sih, tapi apa kamu yakin itu satu-satunya cara terakhir yang mau kamu ambil?

Bagaimana kalau ternyata masih ada cara untuk memperbaikinya? Bagaimana bila suatu hari, ternyata salah satu dari kalian – atau kalian semua – terpikir untuk menjalin kembali persahabatan?

Ya, semuanya mungkin saja, sih. Namun, pastikan bila ternyata persahabatan kalian benar-benar sudah tidak bisa dilanjutkan lagi, alasannya masuk akal. Contoh: sahabat berubah menjadi sosok yang berpotensi mengancam kesehatan mentalmu serta keselamatan nyawamu. Bukan lebay, lho.

  • Selain introspeksi diri, siapkan diri melangkah maju dengan cara elegan.

Jangan lupa introspeksi diri. Mungkin saja kamu juga punya andil dalam berakhirnya persahabatan kalian.

Namun, bila memang benar-benar sudah tidak bisa diperbaiki lagi, cukuplah berusaha tidak mengulangi kesalahan serupa dengan teman lain.

Melangkah maju dengan cara elegan bisa kamu mulai secara bertahap. Gak perlu menjelek-jelekkan mantan sahabat atau pun mengumbar semua ‘rahasia kotor’-nya ke semua orang karena dendam.

Kamu bisa memilih menyibukkan dirimu, seperti layaknya orang yang baru putus cinta. Kamu bisa fokus pada pekerjaan, ibadah, keluarga, dan teman-temanmu yang lain, hingga pasangan. (Kalau ada).

Hidup terus berjalan. Orang-orang datang dan pergi, termasuk (yang merasa ingin atau sudah jadi) sahabat (yang katanya sejati). Tak ada yang abadi. Semoga kamu tetap bisa berbahagia, meski tak lagi sejalan dengan sahabat.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Kadang Beranjak Pergi Lebih Baik

Kadang beranjak pergi lebih baik

“Choose your battles wisely.” (Tidak semua perdebatan harus kamu menangkan.)

 

Aku seorang pemarah. Ini pengakuan jujur. Ada yang bilang, ini terkait zodiakku: Scorpio.

Jujur, aku nggak begitu percaya kalau zodiak bisa mengendalikan perilaku kita. Lagipula, bukankah manusia selalu punya pilihan? Ngomong-ngomong soal pilihan, dulu pilihanku lebih banyak langsung bereaksi marah. Mau itu balas mengejek atau membentak, pokoknya wajib membela diri setiap kali (merasa?) diserang.

Awalnya, cara ini terkesan keren. Apalagi, kulihat banyak orang seperti ini yang kemudian ditakuti.

 

Lalu, Apa yang Kemudian Mengubahku?

 

Lama-lama rasanya melelahkan juga. Bukan apa-apa. Sebenarnya, aku sangat benci marah-marah. Aku tidak suka dibentak-bentak atau dihina, apalagi di depan umum. Apalagi, pelakunya sama sekali tidak berminat mendengarkanku. Pokoknya, yang penting bentak-bentak saja dulu. Peduli setan bila yang dibentak-bentak kemudian sakit hati. Peduli amat kalau kemudian mereka dicap sok ngatur, sombong, dan sok paling beres sejagad!

Aku tidak mau seperti mereka. Membayangkan kemungkinan itu saja sudah sangat menjijikan.

Namun, aku juga masih ingin membela diriku saat diserang. Apalagi bila pelakunya seperti punya sentimen / dendam pribadi, hingga terus melakukannya setiap kali melihatku. Entah untuk apa. Mungkin memang ada orang ‘sakit’ yang baru bahagia sekali bila bisa menyakiti orang lain.

 

Tidak Semua Pencari Ribut Layak Dapat Perhatian

 

Begitu menginjak usia 35 ke atas, aku mulai bisa memilih. Ada yang masih kuladeni, sementara sisanya lebih banyak kudiamkan. Coba tebak? Rasanya lebih damai. Berkurang deh, stres karena drama. Memang benar nasihat teman tersebut. Tidak semua perdebatan – apalagi yang cetek tapi sangat mengganggu – harus kamu menangkan.

 

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Ortu Mendampingi Anak Usia Dewasa: Memangnya Tidak Boleh?

Ortu Mendampingi Anak Usia Dewasa: Memangnya Tidak Boleh?

Mungkin sudah banyak yang familiar dengan fakta ini: Kalau mau cari netizen Indonesia dengan komentar paling keji, silakan cek Twitter. Dari masalah remeh hingga besar, ada saja twit salty dengan tujuan mengejek atau merendahkan, sekaligus membuat si pengirim merasa “sedang mengangkat derajat mereka sendiri”. (Padahal … yah, silakan nilai sendiri.)

Mengapa saya menyinggung warga Twitter berkode +62? Salah satu media nasional Indonesia memuat berita tentang seorang ibu yang dengan sabar menunggui putrinya mengikuti UTBK (Ujian Tulis Berbasis Komputer) untuk masuk UGM (Universitas Gajah Mada). Keduanya datang berboncengan di motor dari Temanggung. Dalam foto, sang ibu dengan sabar duduk menunggui putrinya selesai mengerjakan ujian.

Sekilas berita ini terasa biasa, meskipun cukup banyak yang terharu atas ekspresi kasih sayang sang ibu. Buat saya biasa, mengingat dulu Mama pun pernah menemani saya mengerjakan ujian UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri – sebutan jauh sebelum UTBK dulu). Bukan saya yang meminta, Mama yang menawarkan untuk mengantar dan menunggui.

Namun, tak sedikit yang menyayangkan – dan bahkan mencela – putri sang ibu lewat komentar di Twitter. Mulai dari yang mengaku mengasihani si ibu yang sudah sepuh (“Memang anaknya nggak bisa pergi sendiri apa?”) hingga yang mengejek generasi putrinya yang menurut mereka “manja, lembek, dan tidak mandiri”.

Seperti biasa, netizen Indonesia memang paling gercep dan “kreatif” dalam berasumsi soal yang mereka lihat hanya dari permukaan. Ya, HANYA DARI PERMUKAAN.

Kuliah Semester 1 dan Separuh Semester 2 – Diantar-Jemput Ibu

Dulu saya malu mengakui fakta ini. Bukan apa-apa, saya masih ingat ledekan senior – dan bahkan beberapa teman seangkatan – saat mereka tahu Mama masih saja mengantar-jemput saya pada tahun pertama dan awal tahun kedua saya kuliah. Meskipun tidak semua yang terang-terangan menyebut saya sebagai “anak manja” dan “anak mami”, saya bisa merasakan energi negatif dari setiap komentar maupun senyum geli mereka yang mengejek. Bahkan, pertanyaan basa-basi macam “Emang nggak bisa pergi sendiri?” lazim terdengar.

Sama seperti kebanyakan mahasiswi tahun pertama yang mengalami transisi fase hidup, bodohnya saya ‘termakan’ ejekan mereka sehingga menjadi ‘gamang’. Saya jadi tidak mensyukuri perhatian Mama yang belum tentu didapatkan oleh anak-anak lain seusia saya waktu itu. Bahkan, penghiburan dari seorang teman sekelas yang ibunya sedang sakit parah saat itu juga tidak cukup meredakan emosi saya yang masih mudah tersinggung:

“Kalo gue jadi elo, gue akan seneng banget, By … punya nyokap yang masih sehat dan bisa meluangkan waktu bareng gue.”

Mungkin fakta ini tidak penting bagi mereka yang merasa sudah mendapatkan cukup bukti bahwa saya anak manja dan tidak mandiri. Kalau mandiri itu ya, pergi sendiri. Bisa naik bus atau kereta sendiri, bukannya diantar-jemput mami.

Mama saya memang aslinya suka jalan-jalan. Karena saat itu sedang break dari kerjaan kantor dan memutuskan untuk mencoba menjadi ibu rumah tangga (setelah dua dekade lebih berkarir sebagai sekretaris korporat), mengantar-jemput anak-anaknya – yang meski sudah bukan sosok-sosok cilik lagi – adalah bentuk petualangan beliau. Beliau ingin melihat sisi hidup anak-anaknya di luar rumah, mulai dari tempat kuliah/kantor hingga tempat nongkrong.

Bahkan, Mama mungkin juga ingin sedikit bernostalgia dan menikmati melihat perubahan sosok dan hidup anak-anaknya. Yang dulu masih bayi, digendong-gendong, hingga menjadi anak kecil yang suka berlarian – sampai akhirnya lulus sekolah/kuliah dan bekerja. Salahkah keinginan beliau ini? Mengapa waktu itu saya malah melarangnya, hanya karena termakan ucapan sebagian orang baru yang kenal saya saja tidak? Apa iya semua orang tua harus di rumah saja, tidak boleh bersenang-senang dengan cara ini karena selalu diasumsikan sudah jompo dan tidak kuat jalan jauh dan lama-lama? Namanya ageism, dong!

Lagipula, saya tidak pernah meminta diantar-jemput Mama.  Bahkan, mereka yang pernah mengejek saya (meski, mungkin kalau di-call out sekarang, sudah banyak yang lupa atau mereka akan beralasan hanya bercanda dan saya yang baperan. Biasa banget, ‘kan?) tidak akan peduli kalau pada akhirnya saya sempat menyakiti perasaan Mama saat meminta beliau untuk berhenti mengantar dan menjemput saya di kampus. Buat mereka, saya adalah anak manja. Sekian.

Memangnya Tidak Boleh?

Sesudah semester satu, Mama memutuskan untuk berhenti mengantar-jemput saya ke kampus. Bukan, bukan karena permintaan saya hanya agar saya berhenti diejek dan diremehkan. Beliau memang akhirnya beneran lelah, sehingga memilih memberi saya uang transportasi untuk pulang-pergi. Apalagi, saat itu saya sudah mulai menghapal rute transport umum dari rumah ke kampus, berkat bantuan seorang teman yang sudah berpengalaman.

Memang, ejekan-ejekan itu kemudian berhenti. Namun, saya sudah terlanjur malas untuk berteman lebih dekat dengan mereka. Minat sudah hilang, mengingat mereka dengan enaknya menghakimi saya tanpa mau peduli cerita lengkapnya.

Saya juga tidak akan berterima kasih pada mereka, meskipun sekarang sudah bisa sendirian melanglang buana. Saya mandiri karena pilihan sendiri. Memang, mungkin benar … ada anak yang selalu merajuk, menuntut perhatian, dan antar-jemput dari orang tuanya, meskipun ortu lelah atau sibuk. Tapi, seperti pembelaan “Tidak Semua Laki-laki” setiap kali kasus pelecehan seksual dengan pelaku laki-laki dibahas, tidak semua anak usia dewasa yang ditemani ortunya datang ke suatu acara adalah anak manja yang tidak bisa atau enggan pergi sendirian.

Aidan Martin, penyanyi pop asal Newcastle, Inggris, bahkan datang ke audisi X Factor UK 2017 ditemani kedua orang tua serta beberapa temannya. Waktu itu usianya sudah 27 dan dengan bangganya dia menjawab saat diwawancara: “Mamaku dan aku sangat dekat!”

Oke, balik lagi ke soal ibu yang menunggui putrinya ikut UTBK. Buat yang mengejek si anak, coba pikir. Memangnya kalian siapa? Apa mereka butuh izin kalian untuk pergi bareng? Suka-suka si anak kalau memilih diantar ibunya. Suka-suka ibunya yang masih rela mengantar dan menunggui anaknya sendiri. Itu hak mereka. Toh, kalian juga tidak rugi apa-apa. Mereka yang bahagia, kalian hanya dengki belaka.

Bila komentar kalian lahir dari rasa iri karena tidak mendapatkan perhatian serupa dari orang tua sendiri, sekarang sudah bukan tabu lagi kok, bila mau terapi. Menurut saya, cara itu jauh lebih sehat daripada menjadi bully. Percayalah, ejekan kalian tidak akan membuat kalian terlihat seperti jagoan yang layak dapat pujian.

 

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Yang Tak Terlihat …

 

Foto: https://unsplash.com/photos/xdGigMgUwaQ

Yang Tak Terlihat …

Coba bayangkan situasi ini:

Seorang lelaki dan perempuan pergi makan berdua di resto. Resto-nya mewah dan mahal. Saat selesai, si lelaki inisiatif berdiri dan menghampiri meja kasir untuk membayar. Si perempuan tetap duduk menunggu di meja.

Tak lama kemudian, keduanya beranjak meninggalkan resto. Sekilas, pemandangan itu terlihat biasa saja.

 

Yang tak terlihat:

Ada beberapa skenario yang memungkinkan. Pertama, bisa saja sebenarnya itu bukan uang si lelaki, melainkan si perempuan. Perempuan itu telah memberikannya kepada si lelaki sebelum mereka tiba di resto. Entah apa tujuannya, paling hanya mereka berdua dan Tuhan yang tahu.

Kedua, jika kamu melihat si perempuan tengah mengecek ponselnya sembari menunggu lelaki yang sedang di meja kasir, bisa jadi dia tengah mengakses m-banking dan membayar bagiannya dengan cara mentransfer uang ke akun si lelaki. Makan berdua ‘kan, nggak berarti harus si lelaki yang bayar terus. Siapa tahu mereka bukan pasangan.

Kalau pun pasangan, siapa tahu mereka lagi memutuskan untuk bayar patungan. Bisa juga saling gantian bayarin.

Pokoknya, banyak deh, kemungkinan yang bisa terjadi.

 

Kenapa aku tiba-tiba menulis soal ini? Seperti biasa, aku ingin menantang persepsi kita semua. Benarkah selama ini kita telah melihat segalanya dengan utuh? Ingat, bisa jadi persepsi dipengaruhi oleh pengalaman pribadi dan latar belakang budaya.

Yakin tidak ada cerita lain di balik yang kita lihat? Mau cari tahu? Eits, kata siapa harus?

R.

Categories
#catatan-harian #lomba #menulis

Personal Branding #NaikLevel: Harus Konsisten Meskipun Sibuk

Sebelum bercerita, izinkan saya sedikit mengaku dosa:

Kesibukan saya di dunia nyata (yaitu pekerjaan purnawaktu utama) sempat membuat saya membiarkan blog ini terbengkalai. Bahkan, hanya sesekali saya menulis di blog ini. Itu pun hanya berupa cerita fiksimini untuk menjawab tantangan menulis di Instagram.

Apakah lantas saya tidak serius sama sekali dalam menggarap blog ini? Belum tentu. Apalagi demi personal branding. Tentu saja saya ingin #NaikLevel bersama Rumahweb. Apalagi, Hosting di sini murah dan mudah.

Awal Mula Saya Menulis Blog:

Jujur, awalnya saya tidak pernah terpikir untuk mempunyai domain blog sendiri seperti sekarang ini. Saya memilih menulis blog untuk senang-senang. Ya, curhat soal masalah sehari-hari hingga mendokumentasikan kejadian menarik yang saya lihat. Hitung-hitung latihan menulis setiap hari agar terbiasa.

Awalnya saya hanya menulis di blog dalam bahasa Inggris. Saya juga tengah berlatih menulis dalam bahasa tersebut, sembari mencari teman internasional yang seminat di dunia maya. Makanya, blog saya setting terbuka untuk publik. Meskipun tidak blak-blakan bercerita tentang jati diri saya sebenarnya, waktu itu saya belum terlalu paham maupun sadar akan bahaya ‘terlalu terbuka’ di ranah digital.

Beruntunglah, selama ini saya mendapatkan kenalan yang cukup baik di dunia maya. Ada beberapa yang jadi teman beneran dan ada yang cukup dekat secara personal selama beberapa waktu. Namun, tak ayal, ada juga yang tidak suka dan menganggap tulisan saya sampah. Ah, sudahlah. Namanya juga sudah risiko.

Berlanjut ke Blog Bahasa Indonesia:

Namun, lama-lama saya merasa karir menulis mandek meskipun sudah menulis banyak entri berbahasa Inggris. Saat itu, saya mulai melirik blog-blog berbahasa Indonesia yang mulai menjamur. Bahkan, makin tergelitik saat melihat banyak penulis Indonesia yang berhasil menerbitkan buku sendiri berkat blog mereka yang banyak dibaca orang.

Contoh: Trinity dengan kisah-kisah traveling-nya yang unik. Ada juga Bena Kribo dan masih banyak lagi. Jujur, saya juga sangat ingin seperti mereka. Punya buku sendiri yang dibaca banyak orang dan tulisan-tulisan saya disukai mereka. Masalahnya?

Pertama, saya merasa tidak istimewa. Diri dan kisah hidup saya biasa-biasa saja. Saya juga bukan orang yang suka melucu. Bahkan, banyak yang (pernah saya bikin keki) bilang kalau saya orangnya terlalu serius dan kaku. Saya terbilang lemot menanggapi bercandaan. (Padahal, yang bilang begini kemudian terbukti jauh lebih sensitif dan baperan daripada saya, hehehe.)

Sempat Tidak Konsisten Hingga Mengabaikan Blog Ini

Jika ada yang bertanya mengenai ciri khas tulisan saya, hanya ada satu kata: JUJUR. Saya tidak tahu cara mengesankan orang banyak. Saya benci berpura-pura. Saya tidak mau sok edgy dengan selalu menulis yang gelap-gelap dan marah-marah terus. Saya juga tidak mau sok asik dan melucu.

Sejak dulu, itulah personal branding yang kubawa. Kadang saya bisa melucu, meskipun bukan komedian profesional. Kadang saya tidak mau berpura-pura bahagia dan memilih menulis apa adanya. Sedih ya, sedih. Bahagia ya, bahagia. Bukankah wajar bila manusia sesekali merasakan salah satu atau keduanya sekaligus?

Maka itulah, sekali lagi saya ingin mengaku dosa:

Saya sempat tidak konsisten, bahkan hingga mengabaikan blog ini. Selain mencoba peruntungan menulis di platform lain, saya juga sibuk dengan kerjaan utama, lepasan, serta proyek lain di dunia nyata. Akibatnya, saya sempat beberapa kali kelelahan dan blog ini pun terbengkalai. Sayang, sudah dibayar tidak rajin diisi juga.

Berusaha Kembali Konsisten Menulis Blog

Pandemi 2020 menyadarkan saya bahwa sudah saatnya saya kembali menulis blog. Sudah saatnya saya kembali memperkuat personal branding saya, yaitu sebagai penulis isu perempuan, fiksi, dan puisi. Hanya dengan cara itu saya bisa #NaikLevel , terutama dengan blog ini yang sudah saya miliki dari Rumahweb sejak 2016. Hosting Murah dan caranya juga mudah. Silakan dicoba.

Semoga tulisan ini dapat menjadi pembakar semangat saya untuk kembali konsisten menulis blog, meskipun di tengah kesibukan yang kembali menggila. Aamiin …

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Kesadaran (Menjelang) Ber-Lebaran

Aku mulai melihat banyaknya orang yang mulai ‘sadar’ akan hal ini (menjelang) ber-Lebaran. Ya, mulai banyak yang cukup ‘sadar diri’ untuk mengganti template ragam pertanyaan ‘basa-basi’ usang yang kerap bikin yang ditanya meradang. Syukur-syukur tidak sampai ada keinginan menendang. (Jangan, alamat bisa kembali musuhan!)

“Kapan nikah?”

“Kok gendutan?”

“Udah isi belum?”

“Gak nambah?”

(Oke, khusus pertanyaan yang terakhir, mari berasumsi bahwa mereka tengah menawarkan kita untuk makan lagi. Jadi, cukup segera ke meja prasmanan sambil dengan ceria membalas: “Beneran boleh nambah nih, Tante/Om/Kak? Asiiik, porsi keduaaa!”)

Hehe, tentu saja ini tidak terjadi dalam semalam. Masih banyak sih, mereka yang keukeuh beranggapan bahwa daftar pertanyaan di atas itu  “B AJA. ELU KALI YANG BAPERAN!” Jujur, argumen macam ini juga sudah teramat membosankan. Untung semakin banyak juga yang melawan dengan edukasi dan argumen cerdas sekaligus berkelas. Tak perlu panas kayak cuaca akhir-akhir ini.

 

“Kapan Nikah?”

Kalau yang ditanya sudah punya pacar/pasangan (dengan waktu cukup lama, misalnya setahun), bolehlah ditanya seperti ini. Tentu saja, dengan catatan kamu tidak langsung sok-sok menasehati mereka agar jangan lama-lama menunda. Woy, orang tinggal tunggu undangan kok, malah sok ngatur? Kecuali kalau kamu sudah siap membayari akad, resepsi, dan DP rumah untuk mereka selepas ijab kabul. Ada?

Yang pasti, pertanyaan di atas sangat tidak disarankan untuk ditanyakan pada yang masih lajang. Itu sama saja menyindir orang miskin yang belum punya tabungan milyaran dolar atau rumah bertingkat tiga di tengah kota. Jangan salahkan si lajang yang kemudian jadi malas berurusan sama kamu. Jangan juga sok-sok mengatur perasaan mereka dengan ucapan macam: “Gak boleh kesel, ‘kan cuman nanya.”

Eh, gimana kalo mulutmu yang diatur dulu? Sesekali perhatikanlah gajah di pelupuk mata, alih-alih sibuk meributkan semut di seberang lautan.

 

“Udah isi belum?”

Seorang teman pernah ditanya ibunya soal temannya yang sudah menikah: “Itu si A udah hamil apa belum?”

Jawaban teman tentu saja diplomatis sekaligus menohok. Teman enggan bertanya soal itu dan memilih menunggu temannya bercerita. Siapa tahu, temannya teman sedang berusaha dan merasa tidak perlu laporan ke siapa-siapa. Siapa tahu temannya teman baru saja keguguran dan bisa trauma karena terpicu pertanyaan yang niatnya ‘hanya basa-basi’ itu. Siapa tahu dia malah baru saja ditinggal wafat anaknya.

Dan siapa tahu-siapa tahu lainnya …

 

Tanya-tanya Hal Pribadi Tanpa Paham Konteks dan Sikon

Sayangnya, netizen Indonesia sudah terlanjur terkenal sebagai netizen paling nggak sopan se-internasional. Lihat saja, mereka hobi membanjiri media sosial dengan komentar keji dan hujatan tanpa henti saat tengah menggunjingkan yang lagi viral – entah itu sesuatu atau seseorang.

Tidak usah memungkiri bila di dunia nyata pun demikian. Saking banyaknya yang kepo nggak perlu, sampai nggak (mau?) sadar kalo sebenarnya kebiasaan itu nggak sopan dan nggak berguna. Bahkan, orang yang nggak kenal-kenal kita amat bisa lancang bertanya hal pribadi, tanpa tahu jelas manfaatnya. Contohnya, seorang driver ojol (ojek online) pernah bertanya begini padaku: “Ibu/Mbak udah nikah?”

“Sebentar,” balasku. “Bapak nanya itu ke saya tujuannya apa?”

“Ya, nanya aja.”

“Iya, tapi mau tahu soal itu untuk apa?”

“Ya, ngobrol aja.”

DUH, GREGETAN!! “Iyaa, tapi manfaat dari mengetahui informasi itu soal saya apa untuk Bapak?”

Krik … krik … krik … sampai sini, rupanya baru sadar dia. Entah sadar kalau pertanyaannya tidak berguna … atau sadar kalau yang ditanya ternyata perempuan galak. Ada sih, yang kemudian berkilah dengan alasan: “Saya cerita-cerita ke orang soal saya sudah menikah biasa saja” atau “Ada penumpang yang nggak keberatan cerita.”

HHH … “Ya, itu ‘kan, Bapak sama mereka. Tidak semua orang sama. Ada yang tidak mau cerita dan kita harus menghargai pilihan dan privasi mereka.”

Semoga jadi bahan pemikiran dan pertimbangan untuk percakapan dengan penumpang berikutnya.

“Ih, anak-anak zaman sekarang ribet amat. Apa-apa nggak boleh ditanya.”

Yee, kok ngambek doang bisanya? Sekarang udah era digital. Informasi melimpah. Kalo pun males baca, cukup tanya kabar dan biarkan mereka bercerita.

Yuk, bisa yuk. Mulai variasikan basa-basimu agar saat Hari Raya, tidak ada yang kesal lalu balas menyindir: “Kamu nanyeak?”

 

R.

Categories
#catatan-harian #fiksimini #menulis #MondayFlashFiction

Di Dapur

DI DAPUR

Anak:

Semalam aku mendengar Papa dan Mama bertengkar di dapur lagi. Lagi-lagi soal uang. Sudah hampir seminggu kami tidak makan. Aku mulai kelaparan sekali. Tubuhku semakin kurus dan lemah. Aku sudah semakin sulit bangkit dari tempat tidur.

“Kita masih punya air minum, ‘kan?” bentak Papa. “Puasa aja dulu. Aku belum dapat kerjaan lagi.”

“Ya sudah, kalo begitu aku saja yang kerja!” balas Mama tak kalah keras. “Mbok Mini dari kemaren nawarin aku jagain warungnya.”

“Kamu perempuan dan istri, di rumah saja! Apa kata tetangga nanti, kalo liat suami nganggur tapi istrinya kerja?”

“TRUS ANAK KITA MAU MAKAN APA, HAH?!”

PLAK. Sunyi seketika. Kuputuskan untuk memejamkan mata …

Aneh, keesokan siangnya Mama membangunkanku sambil tersenyum. Beliau menyuapiku daging yang baru dimasak. Enak, karena aku sudah sangat kelaparan. Namun, aku merasa aneh dengan rasa daging ini …

“Ma, ini daging apa?”

“Sssh, sudah. Makan saja biar kamu cepat sembuh.”

Ibu:

Aku lega anakku akhirnya mau makan. Pipinya mulai semburat pink. Dia menghabiskan makanannya.

“Papa mana?”

“Kamu udah nggak usah mikirin Papa lagi. Yang penting kamu makan.”

Yang penting anakku makan. Laki-laki yang hanya tahu cara bikin anak tanpa mau peduli cara mengurusnya. Kutatap gundukan tanah di kebun belakang yang masih baru dan tersenyum puas.

Pengorbananmu tidak sia-sia, bahkan meski kamu takkan pernah menyadarinya. Aku mulai sibuk mencuci seprai bernoda darah dengan sisa sabun yang masih ada. Sekarang anak kita bisa makan, meski aku tak yakin kami bisa menghabiskanmu. Kamu menjual satu-satunya kulkas bulan lalu.

Besok aku akan mulai bekerja dengan Mbok Mini. Bila ada yang bertanya tentangmu, cukup kubilang saja kamu kabur dengan perempuan lain. Cerita suami tak bertanggung jawab sudah terlalu banyak di negeri ini …

Categories
#catatan-harian #menulis

Surga Duniaku: Perpustakaan

Dari kecil aku sudah sangat suka membaca. Mulai dari komik, majalah, koran, hingga buku fiksi. Novel adalah nomor satu favoritku, disusul dengan kumpulan cerpen dan puisi.

Awalnya sih, suka curi-curi baca gratisan di toko buku. (Biasanya dulu suka begini sama almarhum Papa dulu.) Kadang suka minta dibelikan buku. Memang itu salah satu kado favoritku. Bahkan, setiap kali Papa dapat tugas keluar negeri, aku selalu minta oleh-oleh buku. Apalagi, era 1990-an adalah masa buku-buku berbahasa Inggris masih terbilang mahal dan langka.

 

Perpustakaan Sekolah:

Zaman dulu, kesannya kalau ketahuan suka ke perpustakaan sekolah itu cupu banget. Nggak gaul dan nggak asik. Mending jajan di kantin sambil ngobrol nggak keruan dan menunggu bel selesai istirahat berbunyi.

Anehnya, dari dulu aku tidak peduli. Rasanya menyenangkan saja saat bisa membaca buku secara gratis. Ibaratnya melarikan diri sejenak dari realita. Jujur, di kala itu, hidup rasanya monoton dan membosankan sekali.

Bisa dibilang, aku cukup bisa menghemat uang jajan dengan tidak membeli buku melulu saat itu. Ya, meskipun yang kubaca di perpustakaan sekolah rata-rata buku-buku lama.

 

Sempat Berhenti Karena Baru Mengenal Internet:

Aku mulai mengenal internet saat kuliah dan sempat kecanduan. Apalagi, aku bisa membaca banyak e-book gratis. Tinggal sekali klik, banyak pilihan.

Nggak hanya itu, aku juga sempat kecanduan blogging (sebelum tahu kalau ternyata aku bisa punya domain sendiri.) Enak, ada tempat curhat gratisan. Nggak kayak ngomong sama orang, yang berisiko dipotong bila lawan bicara nggak tertarik atau emang nggak respek sama sekali.

Lewat blogging, aku mulai mendapatkan banyak teman dari berbagai negara. Rasanya menyenangkan sekali. Kemampuan berbahasa Inggris-ku juga bertambah.

 

Jatuh Cinta Lagi Dengan Perpustakaan:

Aku lupa. Kapan ya, persisnya? Mungkin saat mulai kembali mengunjungi perpustakaan lokal yang ada. Kadang juga suka main ke kafe yang menyediakan berbagai bacaan gratis. Eh, karena gratis dibaca, bukan berarti boleh sekalian dibawa pulang, lho!

Perpus tempat kerja jadi pelarianku kala jenuh. Sayang, kali ini waktu luang untuk membaca (dan menulis) mulai berkurang. Aku sudah harus mulai lebih pintar mengatur waktu.

Padahal, masih banyak sekali buku yang ingin dan harus kubaca. Masih banyak sekali yang ingin dan harus kutulis.

Sepertinya juga akan selalu demikian …

 

Perpustakaan Paska-Pandemi:

Sejak paska-pandemi, aku mulai memupuk kembali kebiasaan lebih banyak keluar rumah. Lebih banyak jalan-jalan. Maklum, kelamaan #WFH (working from home) selama dua tahun pertama pandemi bikin mager (malas bergerak).

Sayangnya, lagi-lagi jam kerja bikin aku harus bersiasat kalau mau main ke perpus. Tahu sendiri ‘kan, perpus biasanya tutup pas weekend? Kalau pun buka, biasanya tidak selama hari kerja.

Eh, tahunya sekarang Sabtu juga jadi hari kerjaku. Untungnya sih, Senin kalau tidak terkena lemburan juga libur. Jadi, ke perpus-nya Senin saja kali, ya? Hehehe …

 

Perpustakaan Jakarta di TIM:

Seharusnya aku menulis ini lebih cepat. Sayangnya, jadwal dan kewalahan mengatur waktu menjadi penyebabnya.

Pada 18 September 2022 kemarin, aku berkesempatan mengunjungi Perpustakaan DKI Jakarta untuk pertama kalinya. Waktu itu, aku diundang untuk acara diskusi buku bersama Klub BRD (Baca-Rasa-Dengar) dan Infermia Publishing. Buku yang dibahas berjudul “To Be In Love with You Is To Be In Love with Myself Too” karya Asih ( @asihsimanis ), seorang insinyur dan dosen ITB Seni Rupa. Keren banget, ya?

Singkat cerita, acara tersebut berjalan lancar. Aku ingin membahas perpustakaannya.

Satu yang kukeluhkan di sini adalah akses menuju perpustakaan tersebut. Dengan enam lantai perpus dan eskalator di dalam, tapi tangga masuk di luarnya malah rada curam. Memang sih, perpus-nya menyasar target anak muda sebagai pengunjung. Selain itu, ada lift yang sebenarnya (dan seharusnya) diprioritaskan untuk keluarga yang datang dengan anak-anak kecil, orang tua, dan penyandang disabilitas.

Tapi … yah, namanya juga mayoritas orang Indonesia. Meskipun kaki masih sehat dan tubuh masih kuat karena usia muda, kenapa tidak naik lift saja? Lebih cepat. Tidak perlu capek-capek naik tangga. Apalagi, alasan mayoritas dari mereka adalah: “’Kan nggak ada larangan untuk naik lift” atau “Ya ’kan, nggak ada larangan yang lain nggak bisa atau nggak boleh ikutan naik lift.”

Atau malah sok-sok melarang: “Ya udah, kalo emang gak mau diribetin sama ulah orang lain, gak usah dateng aja sekalian!”

Iya juga, sih. Cuma, masalahnya lift hanya satu. (Setidaknya saat itu.) Kalau bukan prioritas dan sedang ada pengunjung lansia, disabilitas, atau yang bawa anak, mbok ya, mereka didahulukan, gitu. Tapi, sudahlah. Susah banget ngomong sama macam mereka.

Secara keseluruhan, Perpustakaan DKI Jakarta lengkap. Selain buku-buku berbagai genre, ada berbagai ruang untuk riset, fotokopi, hingga untuk bikin siniar (podcast).

Hmm, untuk yang terakhir, moga-moga aku bisa meminjamnya secara gratis. Maklum, dari kemarin proyek siniar-ku nggak jadi-jadi terus.

Aku telah mendaftar di perpus itu secara online. AC di ruangannya cukup adem. Di sana juga ada komputer dan audiobook yang bisa dipinjam. Mau bawa laptop sendiri juga boleh. Tinggal koneksi sendiri ke wifi di sana.

Tak sabar rasanya ingin ke perpus lagi …

 

R.

Categories
#fiksimini #menulis #MondayFlashFiction

Anjing!

Aku tidak tahu masalah mereka yang selalu memanggil-manggilku atau menyebut-nyebut rasku. Aku bahkan bingung saat mereka menggunakan namaku sebagai kata makian. Memangnya apa salahku? Apakah aku seburuk itu?

Contohnya, segerombolan pemuda dan pemudi yang duduk di warung malam itu. Aku bersyukur, pemilik warung mengizinkan anjing ikut masuk, selama tidak membuat rusuh. Aku duduk dengan patuh, menunggu majikanku – seorang perempuan paruh baya pendiam yang baik hati – memesankan semangkuk daging dan semangkuk air putih khusus untukku. Aku langsung makan dengan lahap di dekat kakinya, sementara majikanku menyantap pesanannya dalam diam.

Nah, pemuda-pemudi itu mengobrol dengan suara keras, sesekali diselingi bahak yang mengganggu sekali. Kuhitung sudah lebih dari sepuluh kali mereka menyebut kata ‘anjing!’ dengan nada mengejek atau mengumpat. Mengganggu konsentrasiku makan saja, karena aku merasa dibicarakan. Lihat, mereka bahkan tidak sadar bahwa manusia-manusia lain di sekeliling mereka tampak tidak nyaman dengan kelakuan mereka. Mereka pikir mereka keren kali, ya?

Majikanku mengelus lembut kepalaku saat kami berdua sama-sama selesai makan. Kulihat wajahnya yang mulai berkeriput tampak tenang saat menatap gerombolan berisik di meja seberang yang tak henti-hentinya memaki dengan namaku.

“Tersinggung, ya?” bisiknya padaku. “Tenang, Mama akan tangani mereka.”

Sebenarnya, aku tidak mau majikanku harus melakukan itu, setiap kali ada yang menyinggungku. Namun aku tidak bisa mencegahnya kalau sudah punya mau. Kulihat mulutnya mulai komat-kamit mengucapkan mantra yang sangat kukenal.

Esoknya sudah bisa kutebak. Majikanku akan menunjukkan kabar berita yang sama. Sekelompok anak muda menjerit-jerit ketakutan saat melihat anjing di ruang publik sehingga harus dirawat di RSJ. Mereka mengaku, setiap kali menyebut kata anjing, selalu ada anjing kelaparan dan galak yang muncul tiba-tiba, meneror mereka dengan tatapan sangar dan geraman tanpa henti. Dikasih makanan pun tak kunjung pergi …

 

Categories
#fiksimini #menulis #MondayFlashFiction

Di Dalam Lemari

Semua ini salahku. Seharusnya aku tidak meninggalkan Adik Kecil sendirian di dalam lemari. Saat itu, kami tengah bermain petak umpet bersama Para Sepupu yang lebih tua. Karena kesal lebih sering kalah dalam permainan, aku mengajak Adik Kecil untuk masuk agak jauh ke dalam hutan. Sampai sana, kami menemukan sebuah rumah reyot tak berpenghuni. Kami masuk dan menemukan kamar tidur berlemari.

Adik Kecil memutuskan untuk bersembunyi di dalam lemari itu. Sayang, isinya terlalu sempit untuk kami berdua. Akhirnya, aku pasrah hanya bersembunyi di balik dinding.

Tentu saja, Para Sepupu menemukanku duluan. Sayang, Para Orang Tua juga menemukan kami dan memarahi kami semua. Kami pun diseret pulang dengan bentakan sepanjang jalan. Ingin kuberitahu mereka mengenai Adik Kecil yang masih di dalam lemari, namun aku malah disuruh diam.

Kutunggu sampai mereka tenang, baru kuberitahu soal keberadaan Adik Kecil di dalam lemari di rumah yang ada di tengah hutan itu. Aneh, Mama malah menangis. Para Sepupu tampak pucat. Papa, meski dengan suara bergetar, berusaha berbicara denganku:

“Kamu lupa, ya? Adik sudah nggak ada.”

Tidak. Aku tidak mau mendengarnya. Aku tidak mau mendengar cerita yang sama, tentang bagaimana itu bukan salahku. Salah gempa, yang membuatku ketakutan dan berlari keluar rumah – tanpa melihat bahwa Adik tertimpa lemari …