Prasangka
Enggan benakku dipenuhi olehnya
saat kau menghilang tiba-tiba.
Dulu kau pernah berkata,
tak layak kau kusebut teman,
apalagi sahabat.
Lalu apa?
Kau pergi tanpa pesan,
ibarat plot cerita
novel murahan
atau film kacangan.
Haruskah aku berurai air mata?
Yang pasti,
aku masih enggan berprasangka.
Takut tiada tara,
meski hati bertanya-tanya,
teracuni teori mereka akan kau yang sebenarnya.
Bagaimana bila bagimu,
aku tak pernah berarti apa-apa?
Bagaimana bila kamu takut berterus terang
sehingga lebih memilih menghilang?
Jika demikian,
lebih baik kamu terbuka.
Lebih baik kabar buruk kuterima,
daripada ketidakpastian.
Tapi…ah, untuk apa berprasangka?
Tak ada gunanya.
Aku bisa gila.
R.