“Puas yang Buas”
Mereka kerap hanya ada
berkumpul saat bahagia
Senyum dan polah si mungil di depan mereka
ibarat tontonan belaka
Ada yang tidak puas
selalu ingin lebih, bahkan hingga tandas
Mengaku manusia, namun buas
hanya saat dilihat, mereka berkoar-koar soal moralitas
Ayunan tangan dan selangkangan
pencipta banjir air mata
jerit jiwa-jiwa muda
kian terluka dan ternoda
Manipulasi emosi
tak cukup sekali
kalau perlu tanpa henti
sampai mereka tak bernyawa lagi
Ke manakah mereka?
Hanya diam seribu bahasa
setelah beralasan: “Bukan anak saya”,
atau: “Urusan keluarga mereka.”
Saat menutupi aib lebih berguna
jauh berharga daripada nyawa
Mereka pun terpencar
meninggalkan jiwa-jiwa rusak terpapar
perlahan kehilangan pendar
Tragedi kelar
Massa bubar
Tinggal cerita lama di surat kabar
Kapan mereka mau beraksi?
Haruskah menanti
saat mahluk buas itu mulai menyakiti
anak-anak yang mereka cintai?
Akankah mereka kian membisu,
dalam bumi yang makin membara
namun penuh jiwa-jiwa dingin, kosong, dan sunyi?
Karena mereka masih bernapas,
namun dengan nurani yang mulai kebas
perlahan terancam mati…
R.