“PUISI ROMANTIS UNTUK GADIS SKEPTIS”
Aku bukan perempuan romantis. Dulu mungkin iya, sebelum realita mengubahku menjadi sinis. Sebelum luka mengubahku menjadi seorang skeptis.
Bahkan, sejak remaja pun, fantasiku akan hal-hal romantis sudah keburu ‘dibunuh’ oleh cibiran. Mulai dari tubuh gendutku yang selalu dipermasalahkan, dianggap jelek, hingga diprediksi bakal selalu jadi penyebab susah dapat pacar.
“Jangan mau dibodohi rayuan cowok,” kata kakak perempuanku waktu itu. Ironisnya, dia sendiri pencinta lagu-lagu dan film-film romantis. Dia juga paling senang diberi bunga dan dirayu oleh pacarnya. “Itu hanya ada di fiksi.”
Jadilah aku termakan semua ucapan negatif tersebut. Lagipula, sebenarnya dulu aku juga tidak begitu suka dengan konsep pacaran. Untuk apa, sih? Jadinya kayak membatasi pertemanan. Sedikit-sedikit cemburuan. Terlalu banyak aturan.
Lalu, pada akhirnya berantem dan jadi drama. Kemudian putus dan musuhan. Mana masih satu sekolah lagi. Apa enaknya, sih?
Belum lagi kalau cowoknya sakit hati dan memutuskan untuk balas dendam. Misalnya: bikin gosip yang jelek-jelek soal si mantan pacar, bahkan sampai yang tingkat parah seperti: “Dia selingkuh”, “Dia matre”, hingga “Dia gampangan” dan “Eh, dia ‘kan udah nggak perawan lagi, bahkan sebelum sama gue.”
Maka rusaklah reputasi si cewek, bahkan sebelum ada bukti yang kongkrit. (Kalau pun memang benar, apa urusannya dengan seluruh dunia?)
Yang tahan mungkin akan cuek. Yang enggak, tahu-tahu keluar dari sekolah atau diam-diam depresi. Paling parah bunuh diri, seperti yang banyak diekspos di media sosial akhir-akhir ini.
Apa gunanya jatuh cinta kalau akhirnya terluka?
— // —
Aku bukan perempuan romantis. Pada suatu masa, barangkali iya. Puluhan, bahkan mungkin ratusan puisi dan prosa, sudah pernah kutulis atas nama cinta. Meskipun demikian, pada kenyataannya, aku tetap seorang lajang yang begitu takut memberi kesempatan pada cinta.
Di sinilah, mereka mulai menyalahkanku. Mengapa aku hanya termangu, tanpa sekali pun berusaha maju? Takut patah hati menjadi alasan basiku.
“Dari mana kamu tahu kalau belum pernah sekali pun mencobanya?”
“Jatuh cinta boleh, tapi tetap harus pakai otak! Hati-hati.”
Ah, sesederhana itukah? Buktinya, aku jadi serba salah. Terlalu hati-hati dibilang kelewat pemilih dan pengecut. Giliran mengambil risiko terus gagal, daftar hinaan bertambah. Mulai dari dianggap kurang hati-hati, kegeeran, sama desperate dan…nggak pake otak.
Begitu pula bila cowok yang kusukai mereka anggap ‘di bawah standar’:
“Nggak ada yang lain?”
Giliran sebaliknya:
“Yakin dia beneran suka sama kamu? Jangan-jangan hanya manfaatin kamu doang.”
Maka kamu tahu jadinya aku seperti apa. Aku kembali ragu. Maju-mundur. Makanya, pada akhirnya semua cowok yang kusukai selalu pergi. Mungkin ini terdengar cengeng, tapi inilah kenyataannya. Aku tidak tahu cara membuat mereka mau tinggal. Aku juga tidak mau memohon. Gengsi. Apa kabar harga diri?
Tanpa kusadari, lama-lama semua tulisanku berubah muram, kering, dan basi. Lebih banyak kisah patah hati dan dendam kesumat (kepada mereka yang dianggap menyakiti dan cari mati). Banyak juga kisah bunuh diri karena depresi.
Aku tidak romantis lagi. Lama-lama tulisanku mulai sering dikeluhkan pembaca: terlalu gloomy.
— // —
Aku bukan perempuan romantis. Dulu pernah, meski hanya sebentar. Habis itu, tidak lagi.
“Kutunggu kamu, cinta
Bagai lelaki menanti pengantinnya…”*
Apa maksudnya itu? Kamu mengirimiku puisi dengan dua bait itu sebagai sebagian isinya, tanpa penjelasan apa-apa. Apakah kamu sedang mencoba melamarku? Astaga, kamu bahkan belum kukenalkan pada Ibu.
Kita bahkan belum pernah sekali pun bertemu. (Maaf, Sayangku. Video chat tidak dihitung.) Masih kurang, karena kita belum pernah berinteraksi di dunia nyata, saling melihat bagaimana masing-masing di keseharian, dan semacamnya.
Mengapa dua bulan lalu kuputuskan untuk menerima ajakanmu membina hubungan jarak jauh ini?
Ada teman-teman yang lagi-lagi menyarankanku. Cobalah. Siapa tahu kali ini kamulah laki-laki baik yang memang untukku, jodohku.
Ya, aku percaya kamu laki-laki baik. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, ada laki-laki di luar sana yang membuktikan mereka salah. Aku pun cantik, berharga, dan patut dicintai. Sejak awal, kamu bahkan tidak takut atau gengsi untuk jujur mengenai kekuranganmu sebagai manusia.
Namun, apakah lantas aku bisa langsung jatuh cinta padamu dan menjawab ya, aku akan mengikutimu ke mana pun kau pergi? Apakah aku akan senaif itu, lalu tega meninggalkan keluarga dan melupakan aturan agama?
Aku mungkin mulai sayang padamu, namun akalku masih menjejak di bumi. Kita masih harus bertemu. Masih banyak yang harus kita bahas.
Mungkin, ada untungnya juga aku bukan perempuan romantis lagi. Aku jadi lebih hati-hati.
Semoga kamu serius. Aku muak kembali merasa (di)bodoh(i).
Mungkin, bila memang kamu orangnya, setelah ini aku bisa kembali menulis sesuatu yang romantis…
– Selesai –
(Jakarta, 4 Februari 2018)