“REALITA MENYEBALKAN PASTI JADI CERITA”
Entah apa anak-anak zaman sekarang (sori, ogah pake istilah “jaman now” yang sebenernya merusak tatanan bahasa dan nggak konsisten pula) masih menikmati cerita-cerita dongeng. Mungkin masih, mungkin enggak. Mungkin ada, meski caranya berbeda.
Intinya, cerita-cerita dengan happy ending terbukti membesarkan generasi berpikiran optimis. Berbuat baiklah, maka Anda akan mendapatkan balasan yang baik pula.
Lalu, apa jadinya bila realita ternyata menyebalkan? Nggak sesuai harapan? Contohnya banyak, apalagi di usia dewasa.
Nggak hanya kecewa saat IPK tinggi justru tidak mengantarkanmu ke karir impian. Sebaik apa pun berusaha memperlakukan sesama di lingkungan sosial (mungkin juga baik menurut banyak orang, nggak hanya keyakinan pribadi), pasti ada saja yang nggak suka dan berusaha menjegal.
Salah siapa? Diri sendiri? Belum tentu. Memang itulah hidup. Sama halnya dengan urusan karir dan percintaan.
Pada dasarnya, semua orang ingin bekerja dengan baik. Jika dulu kita dengan mudahnya memandang sosok yang dipecat sebagai satu-satunya yang bersalah, sekarang sudah tidak lagi. Banyak pertimbangan lain yang menjadi penyebab. Salah satunya adalah ‘politik kantor’.
Merasa tidak diperlakukan dengan adil? Tenang, Anda bukan satu-satunya. Ada beberapa hal yang memang masih patut diperjuangkan, ada yang tidak. Lagi-lagi, semua terserah Anda.
Bergantung pada keuletan diri dalam melihat peluang bagus adalah salah satu ciri dan cara bertahan hidup. Bolehlah banyak yang menjanjikan macam-macam. Pada kenyataannya, banyak juga yang berani dan bahkan tega melanggar kesepakatan, apa pun alasannya.
Pada akhirnya, hanya diri sendirilah yang bisa diandalkan. Kadang tidak perlu ribut, membalas dendam, atau berharap kemalangan menimpa mereka yang pernah berbuat salah pada Anda. Ini juga berlaku di urusan percintaan.
“Kenapa dia begini sih, sama aku? Memangnya aku kurang apa?”
Jangan pernah percaya dengan pakem yang terlalu menggeneralisir. Orang yang baik pasti akan selalu mendapatkan jodoh yang baik. Kalau sampai dapat yang jahat, pasti ada yang salah dengan diri Anda. Introspeksi dulu.
Kalau nggak dapet-dapet? Apalagi.
Serius, jangan terlalu percaya. Pada kenyataannya, semua manusia berproses. Ada naik, ada turun. Nggak ada yang nyaris 100% baik, kecuali malaikat.
Jangan kagum dulu dengan mereka yang sukses dan bisa punya banyak gandengan yang bisa gantian – apalagi dalam saat bersamaan. Masih banyak hal lain yang jauh lebih layak dianggap prestasi. Kalau Anda orangnya, jangan dulu berbangga hati. Apalagi bila caranya pakai bikin orang baper setengah mati. Bayangkan itu terjadi pada anak sendiri. Masih bisa maki-maki, tapi ogah berkaca sendiri?
Jangan juga terlalu benci. Bisa jadi orang yang butuh begitu banyak ‘penggemar’ sebenarnya minder sekali. Tanpa mereka, dia ibarat kehilangan pengakuan dan citra diri.
Sedih itu wajar. Marah dan sakit hati itu manusiawi. Hati-hati dengan sikap jumawa mendadak dengan komentar: “Gue kurang baik apa, sih?”
Yakin Anda beneran sebaik yang Anda kira? Silakan jawab sendiri.
Saya pernah membaca wawancara Oprah Winfrey dengan penyanyi asal Inggris, Seal, mengenai masa lalunya yang kelam. Saat menyebut sang ayah yang abusive sebagai contoh yang baik, penonton sempat shock. Buru-buru Seal mengoreksi:
“Ayah saya adalah contoh nyata mengenai yang tidak boleh dilakukan.”
Hhh, lega. Kirain apa.
Realita menyebalkan pasti jadi cerita. Bukan, bukan selalu karena kita yang bermasalah, kurang keren, atau bahkan dianggap membosankan sama orang.
Bukan juga karena kita memang pantas diperlakukan demikian. Seperti percakapan dua orang yang pernah saya dengar suatu malam:
“Denger cerita tentang kantor lo yang sering telat kasih gaji tapi nuntut macem-macem setengah mati bikin gue jadi bersyukur sekali.”
“Hah, kenapa?”
“Bikin gue jadi lebih bersyukur sama kondisi gue. Meski usaha keluarga, gue tetap dididik keras, termasuk harus mulai dari level bawah banget. Tapi, seenggaknya mereka tetap bayar gaji gue sesuai kontrak.”
Bagaimana dengan urusan cinta? Bolehlah menyesal sudah pernah pacaran dengan orang itu. Ternyata dia tidak memperlakukan Anda dengan baik.
Namun, sayangnya ada orang yang memang bebal. Jadi, percuma juga berharap dia sadar akan kesalahannya. Tunggu saja sampai dia kena sendiri ganjarannya.
Justru dengan pernah bertemu dengan orang seperti dia, Anda jadi lebih tahu untuk memilih yang lebih baik berikutnya. Bahkan, bila suatu saat menikah dan punya anak, Anda bisa mengajari mereka untuk memperlakukan orang lain lebih baik. Siapa tahu? Hitung-hitung berbagi pengalaman, dengan harapan orang lain akan:
- Menghindari kesalahan yang sama.
- Lebih baik dengan sesama.
- Lebih bersyukur dengan hidup mereka, apalagi kalau kebetulan memang masih lebih baik.
R.