“Saat Diam Tidak Selalu ‘Emas’…“
Saya pernah menonton film anak-anak berjudul “An American Girl: Chrissa Stands Strong”. Meskipun untuk anak-anak, film ini membahas masalah yang cukup serius dengan pesan mendalam.
Chrissa anak baru di sekolah. Keluarganya baru saja pindah dari kota lain. Sifatnya yang pendiam dan pemalu membuatnya susah beradaptasi dan bergaul.
Lebih rumit lagi, Chrissa menjadi target penindasan geng Tara, yang berasal dari keluarga kaya dan populer. Menurut Tara dan gengnya, Chrissa konyol, cupu, dan sangat lemah. Mereka juga menindas Gwen, teman sekelas Chrissa yang juga pendiam dan penyendiri.
Saat hanya berupa ledekan, Chrissa masih berusaha mengacuhkannya. Namun, kekerasan fisik dan verbal yang dilakukan Tara dan teman-temannya semakin menjadi-jadi.
Punggung Chrissa pernah ditusuk oleh pensil. Rambut Gwen pernah dipotong secara sembarangan sebelum Tara tertawa sambil menghina: “Nah, sekarang kamu beneran kayak anak gelandangan.” Saat itu, Ibu Gwen baru saja kehilangan rumah sehingga keduanya harus tinggal di tempat penampungan untuk sementara.
Tara bahkan pernah menyebar gosip buruk tentang Chrissa. Namun, saat Chrissa memintanya berhenti, Tara malah balas mengancam:
“Kenapa? Mau jadi tukang ngadu kayak pengecut?”
Ada ucapan menarik dari Nenek saat Chrissa akhirnya mulai terbuka pada keluarganya mengenai bullying yang dialaminya di sekolah:
“Seseorang baru disebut tukang ngadu bila niatnya murni ingin menjatuhkan orang yang diadukan. Yang kamu lakukan adalah speaking up, melaporkan tindakan kekerasan teman sekolahmu agar tidak berlanjut. Justru pelaku bullying semakin berani karena korban mereka selama ini diam saja dan membiarkan diri terus disakiti karena takut melawan.”
Dalam novel remaja berjudul “Kana di Negeri Kiwi” karya Rosemary Kesauly, Kana sakit hati diputusin Rudy. Alasannya? Rudy nggak suka tubuh Kana yang bertambah gemuk.
Akibatnya, Kana jadi minder dan hobi mengeluhkan hal itu pada sahabatnya, Joy. Di luar dugaan, Joy yang cerdas dan pendiam justru punya masalah yang lebih pelik lagi.
Di rumah, Joy diperkosa ayah tirinya saat ibu dan adiknya sedang pergi. Karena diancam akan dibunuh beserta ibu dan adiknya, Joy tidak berani bercerita. Gadis malang itu pun lama-lama tertekan dan menderita depresi.
Puncaknya, Joy nyaris tewas setelah sang ayah tiri memaksanya mengonsumsi obat penggugur janin yang dibeli di pasar gelap. Untunglah, Kana menemukan sahabatnya dan langsung membawanya ke RS sebelum terlambat. Ayah Joy kemudian ditangkap polisi.
Pada kenyataannya, memang laki-laki termasuk pelaku kekerasan terbanyak di dunia. Saya enggan bermain statistik di sini, karena sudah banyak yang melakukannya. Intinya, siapa pun pelakunya dan apa pun jenis kekerasannya, saya tetap tidak setuju. Bahkan, saya sendiri pernah menjadi pelaku kekerasan. (http://www.magdalene.co/news-902-i-was-an-online-bully.html)
Benarkah diam selalu ‘emas’? Diam yang menahan rasa sakit tidak lantas menjadikan Anda seorang jagoan. Diam ini kemudian bisa berbuah dendam, entah kepada pelaku saat korban sudah cukup kuat untuk membalas atau orang lain sebagai pelampiasan. Siklus kekerasan pun berlanjut bagai lingkaran setan, baik kepada orang lain maupun diri sendiri. (Contoh: menyakiti atau membunuh diri sendiri.)
Menganggap saya “LEBAY” (berlebihan) atau “BAPER” (bawa perasaan)? Sumpah, saya paling benci dua kata itu, apalagi bila diucapkan saat korban belum selesai bicara.
Tidak hanya dua kata sialan yang sangat merendahkan itu, tuduhan “TUKANG NGADU” juga sering dipakai pelaku kekerasan untuk membungkam korban. Mengapa demikian? Semua pelaku kekerasan PENGECUT, apalagi bila mainnya keroyokan. Mereka enggan disalahkan. Inilah cara dangkal mereka membela diri.
Bagaimana dengan ancaman, terutama pembunuhan? Sama saja pengecutnya. Mereka kira mereka jagoan. Padahal, ada logika sederhana yang enggan mereka terima:
“Kalau sudah yakin bahwa diri sendiri kuat dan berkualitas, kenapa harus melemahkan orang lain, hanya untuk mencari perbandingan?”
Dalam “An American Girl: Chrissa Stands Strong”, ternyata Tara sangat takut tersaingi Chrissa dalam tim renang. Untuk menyingkirkan saingan, Tara menggunakan cara kotor, yaitu menakut-nakuti Chrissa agar tidak betah dan keluar dari tim. Berkat dukungan keluarga, teman-teman, dan guru, Chrissa akhirnya berani melawan Tara dengan cara yang elegan.
Dalam “Kana di Negeri Kiwi”, ayah tiri Joy pengangguran, sementara ibunya bekerja. Bukannya berusaha keras mendapatkan pekerjaan agar bisa seperti istrinya, perasaan inferior malah membuatnya memperkosa putri tirinya sendiri.
Kedua alasan di atas sama sekali tidak bisa dimaklumi. Alasan saya sebagai pelaku cyber-bullying dulu juga tidak bisa dibenarkan: muak dihina terus-terusan karena ukuran tubuh, sehingga melampiaskannya pada gadis kurus yang entah kenapa selalu dianggap lebih ideal dan lebih cantik oleh masyarakat patriarki.
Lalu, bagaimana bila ternyata Anda adalah pihak yang dicurhati oleh korban kekerasan, terutama bila mereka orang terdekat? Sudikah mendengarkan cerita mereka hingga selesai? Mau dan mampukah Anda berempati, meskipun berikutnya hanya bisa membantu semampu Anda (terutama karena bukan terapis andal)?
Ataukah Anda akan menyebut mereka dengan ketiga ucapan bernada sangat hina itu – “BAPER”, “LEBAY”, dan “TUKANG NGADU PENGECUT”? Apakah Anda akan berlaku sama seperti pelaku kekerasan maupun banyak orang lain di luar sana?
Apakah dengan entengnya Anda akan meminta mereka untuk bersabar dan “Jangan buka-buka aib orang”? Akankah Anda menuduh mereka dengan “Mungkin ada perbuatan kamu yang bikin mereka begitu”?
Sudah pernah di posisi mereka? Yakin Anda kuat? Yakin bisa sabar saat pasangan menuduh Anda sebagai ‘mahluk tolol nggak berotak’ setiap kali dia marah?
Yakin Anda nggak bakalan tersiksa dan depresi, saban hari bolak-balik ke UGD dengan luka-luka dan cerita bohong yang sama? Yakin Anda masih akan aman-aman saja? Bila masih kuat, baguslah. Tapi ingat, nggak semua kayak Anda kalau memang Anda mengklaim demikian.
Masih belum tahu bedanya ‘tukang ngadu’ sama mereka yang benar-benar butuh bantuan dan perlindungan?
Jangan sampai ucapan “BAPER”, “LEBAY”, hingga “TUKANG NGADU” bikin mereka malas dan akhirnya berhenti bercerita. Bisa jadi, itulah saat terakhir Anda masih bisa mendengar suara mereka.
Bisa jadi, ‘diam’ itu kemudian benar-benar ‘membungkam’ mereka untuk selamanya. Bisa jadi mereka lelah dengan dunia atau pelaku memutuskan untuk menghabisi nyawa mereka. Mengapa? Karena kita yang enggan berbuat apa-apa. Memilih buta dan menutup telinga. Membiarkan hati mati rasa dan terlalu menyombongkan logika.
Jika demikian, masih pantaskah ‘diam’ itu dianggap emas?
TIDAK.
R.
Sumber:
https://en.wikipedia.org/wiki/An_American_Girl:_Chrissa_Stands_Strong
http://www.goodreads.com/book/show/1539982.Kana_di_Negeri_Kiwi