Categories
#catatan-harian #menulis

Selamat Datang di Pertemanan Dewasa

Selamat Datang di Pertemanan Dewasa

Foto: Saat Dewasa, Pertemanan Tak Lagi Sama

Bagi yang tumbuh di era pra-internet, mungkin televisi pernah menjadi hiburan dominan kalian. Saya tumbuh sebagai remaja canggung di pergaulan, yang lebih banyak mengurung diri di rumah dan kamar. Televisi dan radio pernah menjadi sahabat saya. Selain itu, saya juga terbiasa banyak membaca buku dan menulis catatan harian.

Siapa sangka, kebiasaan-kebiasaan yang dulu dianggap cupu dan nggak gaul ini lumayan menyelamatkan kewarasan saya di kemudian hari. Bahkan, sebelum pandemi #Covid19 terjadi, saya sudah lama belajar untuk beradaptasi hingga berkawan dengan sepi. Semua hobi ini sangat membantu saya.

Begitu pula dalam hal pertemanan.

Beda Pertemanan Masa Kecil, Remaja, Dengan Dewasa

Mungkin ini nggak bisa dipukul rata, ya. Saya yakin, setiap orang mempunyai kisahnya masing-masing mengenai pertemanan, baik sejak kecil, remaja, hingga dewasa. Kepribadian setiap manusia juga ikut berpengaruh dalam dinamika pertemanan. Mohon maaf, saya hanya bisa berbagi berdasarkan pengalaman pribadi saya di sini.

  • Pertemanan masa kecil.

Jujur, saya tidak begitu ingat pertemanan masa kecil saya. Saya hanya lebih banyak ingat dianggap sebagai anak aneh dan sangat berbeda dengan kakak perempuan saya yang kebetulan satu sekolah. Ada beberapa teman yang cukup dekat, namun begitu lulus tidak bertahan lama.

  • Pertemanan masa remaja.

Sama seperti saat SD, SMP adalah saat-saat tercanggung bagi saya. Ya, saya akhirnya punya sekelompok anak lain yang bisa saya sebut teman dekat dan baik. Begitu pula saat SMA. Namun, mungkin karena masih banyak yang menganggap saya aneh, saya masih lebih banyak menyendiri. Akhir pekan pun jarang keluar rumah seperti remaja normal pada umumnya.

Mungkin karena hobi menulis saya terasa lebih menarik saat itu. Saya lebih ingat buku-buku yang pernah saya baca atau film-film yang pernah saya tonton. Saya hapal hampir semua lagu favorit di radio. Saya pernah mengoleksi kaset-kaset dan CD-CD para musisi favorit saya.

Saya juga mulai banyak menulis. Buku harian, puisi, cerpen, hingga novelet. Pernah sih, menulis novel sekali. Waktu itu belum kepikiran untuk menerbitkannya di penerbit lokal. Buat senang-senang saja. Plotnya juga masih acak-adul dan tidak masuk akal.

Saya juga senang menonton film di bioskop dan konser musik. Meskipun cerita masa remaja saya tidak seseru film-film remaja Hollywood, setidaknya saya ingat saya cukup bahagia.

  • Pertemanan dewasa.

Anehnya, bila banyak yang bilang kalau pertemanan masa remaja itu paling indah, saya malah tidak sepakat. Saya malah lebih suka pertemanan dewasa, meskipun dinamikanya tidak pernah benar-benar stabil. Setiap saat bisa saja tiba-tiba berubah atau berganti.

Mungkin karena sejak kecil saya sudah terbiasa untuk bermain sendiri bila tidak ada teman. (Bukan berarti nggak butuh teman loh, ya. Ada bedanya.) Selain itu, saya sempat terheran-heran dengan beberapa contoh pertemanan masa remaja yang menurut saya malah “nggak masuk akal”.

Contohnya: ke mana-mana harus selalu bareng, pakai baju kembar, harus menyukai hal-hal yang sama. (Kecuali untuk urusan pacar, kalau nggak mau alamat rebutan.) Bahkan, kalau bisa punya musuh yang sama. Satu orang di grup pertemanan lagi slek sama si A, yang lain harus ikutan benci atas nama solidaritas.

Hahaha … sampai sini, saya mau tertawa. Sebentar dulu, ya … hahaha …

Lalu, apa yang terjadi bila kamu yang termasuk grup itu tiba-tiba punya keinginan beda? Misalnya, bosan pakai aksesoris sama, suka sama film atau musisi yang berbeda, hingga nggak selalu ingin ke mana-mana bareng mereka? Ada kalanya kamu ingin jalan sendiri, berteman dengan orang-orang lain juga, dan melakukan hal-hal yang hanya kamu yang suka – namun belum tentu disenangi mereka juga …

Bagaimana soal musuh? Nah, ini juga yang paling saya nggak suka. Okelah, mungkin orang yang disebut si teman memang terbukti menyebalkan. Tapi, kalau orang itu belum pernah berbuat salah sama saya, kenapa saya harus ikut-ikutan memusuhinya – hanya atas nama solidaritas dengan teman?

(Sekadar catatan: ketentuan di atas tidak berlaku untuk kasus kekerasan – termasuk pelecehan seksual. Bila teman saya menjadi korban perbuatan kriminal macam itu sehingga membuatnya membenci orang itu, tentu saja saya berdiri bersama korban. Setidaknya sampai terbukti sebaliknya.)

Selain itu, biasanya saya akan merasa gerah bila seorang teman yang tidak suka sama seseorang, lalu sampai mengatur-atur saya agar ikut memusuhinya juga. Bahkan, mereka sampai marah bila tahu saya masih bicara dengan orang yang mereka benci.

Tidak hanya itu. Pertemanan dewasa mengajarkan kita bahwa yang namanya adil itu belum tentu selalu 50 – 50. Misalnya: teman selalu punya waktu luang dan uang, sehingga sering ngajak nongkrong bareng atau ketemuan. Padahal, bisa saja kamu sedang sibuk, bokek, atau keduanya. Bila memang berpikiran dewasa, teman tidak akan mudah baperan bila kita sedang tidak bisa sering nongkrong bareng mereka.

Oke, mungkin ucapan saya terdengar agak kejam. Namun, intinya pertemanan masa dewasa tidak bisa disamakan dengan pertemanan masa remaja. Kita semua telah berkembang menjadi pribadi masing-masing, dengan ciri khas yang tidak mungkin bisa disamakan. Sebagai manusia, kita pun niscaya berubah. Bisa jadi dulu menyukai hal yang sama, kini sudah sulit untuk sepaham.

Merasa sedih, kehilangan, dan kesepian itu memang wajar. Namun, rasanya kekanak-kanakan bila kita berharap bahwa semuanya tidak akan berubah dan tetap sesuai kemauan kita. Namanya juga hidup. Bila memberi kebaikan, siap-siap untuk tidak selalu mendapatkan balasan yang sama maupun lebih baik. Kemungkinan itu selalu di luar kendali kita.

Ada seorang kawan lama yang sempat merasa bersalah. Menurutnya, saya terlalu baik. Saya selalu menyempatkan waktu untuk menanyakan kabarnya, sementara kadang dia ingat untuk melakukan hal yang sama untuk saya tidak. Menurutnya, saya layak mendapatkan teman yang jauh lebih baik darinya.

Ada juga seorang mantan teman yang mungkin hingga kini masih menganggap saya teman yang jahat. Menurutnya, saya sama sekali bukan teman yang pengertian. Saya bukan teman yang tahan mendengarnya curhat setiap saat, bahkan meskipun isi curhatannya selalu lebih banyak mengenai orang-orang yang dia pergunjingkan hanya karena dia tidak suka mereka. Di matanya, mereka selalu salah.

Intinya, dia bersikap seakan-akan seluruh dunia selalu memusuhinya. Berhubung bukan terapis berlisensi, saya pernah menyarankannya untuk mendapatkan bantuan. Eh, saya malah dimaki-maki sebagai teman yang jahat dan tidak pengertian. Padahal, sama seperti dirinya, saya manusia biasa yang juga bisa lelah.

Untuk kedua jenis teman tersebut, kadang saya hanya ingin berkata: “Selamat datang di pertemanan orang dewasa.” Tidak semua hal selalu tentangmu. Tidak ada yang statis dalam interaksi kita. Semua bergerak dinamis, seiring perubahan kita saat berhadapan dengan realita.

Tidak ada manusia yang 100 persen baik maupun jahat. Kita adalah kombinasi dari keduanya. Tapi, kita juga selalu dibekali pilihan untuk berbuat yang terbaik …

R.

By adminruby

Pengajar, penerjemah, penulis, dan pemikir kritis. Jangan mudah baper sama semua tulisannya. Belum tentu sedang membicarakan Anda.

Juga dikenal sebagai RandomRuby di http://www.pikiranrandom.com/ dan GadisSenja di http://www.perjalanansenja.com/. Kontributor Trivia.id (http://trivia.id/@/rubyastari) dan beberapa media digital lain.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *