“Selepas Badai Peluru…”
Maafkan aku, Papa. Aku tidak bermaksud membuatmu kecewa.
Sudah lama aku terluka. Sejak Mama meninggal dan Papa semakin sibuk di kepolisian. Aku mengerti Papa sedih.
Tapi, sejak itu pula, kita tidak lagi banyak bicara. Memang, kita masih sesekali pergi berburu saat akhir pekan, kadang dengan Uncle Matt. Mama dulu suka protes dengan kegiatan kita.
“Frank, please. Freya bukan anak laki-laki.”
“Rhea, biarkan saja. Dia suka ikut berburu denganku.”
Mungkin yang ditakutkan Mama benar-benar terjadi. Aku tumbuh menjadi putri yang tomboy. Bahkan, saat beliau meninggal karena kecelakaan pun, aku berusaha tidak menangis di depan semua orang.
Tidak sepertimu, Papa. Namun, kali ini Papa menangis untuk alasan berbeda.
“Tolong, jangan bilang ini bukan ulah anakku. Bukan anakku, ‘kan?” Mata Papa merah, bengkak, dan basah saat melihatku dengan sorot pilu. Lalu, Papa menunjukku sambil berpaling, seakan jijik denganku. “Tolong, jangan bilang itu anakku.”
Papa? Hatiku sakit. Jauh lebih sakit daripada semua hinaan mereka di sekolah itu.
“Freya, kamu aneh. Freak banget!”
“Gembrot makan tempat.”
“Dasar pecundang!”
“Heh, Muka Jelek. Kenapa nggak mati aja, sih?”
Entah apa salahku, Papa. Aku hanya tidak mau diganggu. Papa pernah bilang, diamkan saja mereka. Sudah, namun mereka tidak mau berhenti. Aku juga sudah bercerita pada Mr.Brown, guru pembimbing sekolah.
Reaksi beliau juga sama saja, ditambah satu komentar menyakitkan: aku terlalu perasa. Mereka yang brengsek, aku yang salah karena marah? Beliau makan gaji buta, ya?
Oh, Papa. Berhentilah menatapku seperti itu. Berhentilah bertanya: “Kenapa, Freya?”
Kenapa? Kenapa??
Maaf, Papa. Aku sudah lelah. Aku muak dengan mereka semua. Mereka tidak mau diam. Padahal, aku tidak pernah mencari gara-gara.
Seharusnya Papa tidak lupa mengunci lemari senjata dan kotak pelurunya.
Maafkan aku, Papa. Aku harus melakukannya.
Hanya peluru yang akhirnya bisa mendiamkan mereka semua…
2 replies on ““SELEPAS BADAI PELURU…””
Apakah ending ceritanya seperti itu?
Betul.