“SIAPA DIA?”
Matanya begitu dingin menatapku.
“Kau tidak tahu siapa aku, ya?”
Takut-takut aku menggeleng. Benakku berputar begitu cepat, berusaha mengingat-ingat wajahnya…
— // —
“Apa-apaan ini?!”
Alan dan Belinda cekikikan begitu melihatku melototi layar laptop-ku. Terpampang di sana, profil dan detailku pada sebuah…situs kencan.
Astaga, ini bener-bener nggak lucu!
“Sori, El,” ucap Belinda takut-takut, begitu menyadari betapa murkanya aku. Disikutnya si Alan (koreksi, maksudku siAlan!) yang entah kenapa masih berani nyengir. “Ini idenya dia.”
“Eh, elo juga kali, yang ngusulin website itu,” balas Alan membela diri. Wajahnya tampak sewot nggak terima. “Niat kita semula mau bantuin Elma cari jodoh, ‘kan?”
“TAPI NGGAK GINI JUGA CARANYA KALI!” bentakku, yang sukses bikin dua mahluk di depanku berjengit. Kutuding layar laptopku dengan geram. “Sekarang hapus akun gue. Nggak mau tau gimana caranya! Gue nggak pernah ngerasa daftar beginian, kok elo pada enak-enaknya bikin profil gue di sini. Pelanggaran privasi, tauk!”
“I…iya-iya, maaf.” Baru saja Alan mau menyentuh keyboard laptop-ku ketika kutepis tangannya dengan langsung.
“Pake punya lo sendiri!” perintahku kasar. “Dalam sejam masih gue liat itu profil, awas lo berdua!”
Tanpa banyak ribut, kedua mahluk yang harusnya jadi sahabatku itu langsung ngacir, balik ke cubicle masing-masing.
Oke, aku tahu maksud mereka baik. Menurut mereka, aku sudah melajang cukup lama. (Terlalu lama, menurut mereka.) Aku juga nggak gitu tertarik sama situs kencan. Takutnya ketemu orang aneh-aneh. Tahu ‘kan, yang pas online kelihatannya sempurna, tahunya pas kopdar…hiii…
Kadang keponya orang Indonesia nyebelin akut. Okelah, mungkin mereka bahagia karena berpasangan. Tapi nggak berarti yang masih lajang selalu merana, ‘kan? Aku masih bisa cari sendiri kok, tentu dengan caraku juga. Kalo emang mereka punya niat baik, mbok ya tanya yang punya profil dulu baik-baik sebelum daftarin sembarangan. Idiih…
Saat kucek lagi website itu, nama dan fotoku sudah nggak ada. Syukurlah. Damai lagi rasanya…
— // —
Oke, nomor siapa ini? Kenapa dia selalu missed-call dan WA-nya ngajakin ketemuan terus?
Berhubung nggak merasa populer, aku cuekin aja. Eh, lama-lama kok, pesannya makin kasar begini, ya?
“Kau tidak tahu siapa aku, ya?”
“Masa lupa, kemarin-kemarin kita udah chatting cukup lama?”
“Kenapa? Aku kurang cakep buat kamu ladenin?”
Grrrh! Merasa malas dengan urusan ini, kuhampiri Alan dan Belinda. Kutunjukkan ponselku, masih dengan tampang geram.
“Dugaan gue dari website sialan itu,” ujarku tanpa basa-basi. Maklum, aku masih marah sama mereka. “Gue nggak mau tahu gimana caranya, elo berdua jelasin ke orang ini supaya nggak gangguin gue lagi. Malesin tau, gak?”
“Gue aja, deh.” Alan mengalah. Diteleponnya nomor itu. Wajahnya tampak amat menyesal saat berusaha menjelaskan perihal salah paham ini. Biarin aja. Kutunggu, melihat Alan mengangguk-angguk pasrah sambil meminta maaf.
Akhirnya…
“Udah, El,” katanya lemas. “Dia nggak bakal gangguin kamu lagi.”
“Good.” Aku berbalik tanpa memberi mereka kesempatan untuk bicara. Meskipun kata Alan orang itu sudah tahu, buat jaga-jaga kublokir nomornya.
— // —
Mungkin aku terlalu cuek, karena merasa nggak populer. Privasiku ya, privasiku.
Makanya, aku kaget setengah mati saat malam itu, laki-laki itu mencegatku di parkiran kantor.
“Kau tidak tahu siapa aku, ya?”
Mungkinkah…
Terlambat. Cipratan air itu melepuhkan kulit wajahku.
R.
(500 kata – dari Prompt#144: Siapa Dia? untuk Monday Flash Fiction di http://www.mondayflashfiction.com/2017/07/prompt-144-siapa-dia.html )