“DALAM MIMPIMU” (Kecemasan Seorang Ibu)
Tidak ada yang memintamu untuk selalu tangguh. Entah dari mana kamu bisa mendapatkan pemikiran seperti itu.
Beberapa bulan sesudah pemakaman ayahmu, kamu pindah. Pekerjaan barumu jauh dari rumah. Kamu perlu menyewa kamar kos, karena lalu lintas semakin gila macetnya.
Seperti semua ibu, Mama tidak mau kamu pergi. Andai saja Mama selalu bisa menahanmu agar tetap di sini.
Tentu saja, Mama juga tahu bahwa kamu tidak akan bahagia bila begitu. Mama tahu ini bukan berarti kamu tidak sayang Mama lagi, apa pun tuduhan mereka terhadapmu. Sejak usia 18, kamu sudah amat menginginkan hidup mandiri.
“Lagipula,” katamu, “harusnya sekarang giliran aku menjaga Mama, bukan sebaliknya.”
Aku mendesah. Baiklah.
Tiga tahun kemudian, semua masih sama. Kita hidup terpisah, meski masih satu kota. Hanya sesekali kamu pulang, itu pun saat akhir pekan. Kadang kita bertemu di mal atau restoran dan berdua seharian.
Mama kangen kamu. Mama kangen saat-saat itu di beranda depan pada Minggu pagi, sambil mengerjakan TTS koran Minggu sementara kita minum kopi. Kadang kamu membawa buku untuk dibaca atau menulis di buku catatanmu.
Kita sudah jarang mengobrol. Mama mengerti, kamu sibuk. Kamu juga sudah dewasa. Mungkin kamu merasa sudah waktunya belajar menyelesaikan masalahmu sendiri.
Jangan berharap yang tidak-tidak. Kamu tahu banyak yang tidak menanggapi peringatan itu dengan serius.
Kamu pulang akhir pekan itu. Seperti biasa, malam itu kamu tidur di kamar lamamu. Mama sedang melewati pintu kamarmu saat Mama mendengar kamu seperti sedang menggumam. Sepertinya kamu sedang mengigau, jadi Mama membuka pintu dan masuk ke kamarmu.
“Stop.” Keningmu berkerut saat tidur. Kamu tampak marah. “Stop. Sudah. Jangan lihat Kakak terus! Lihat aku. Aku juga anak Mama, tahu!”
Mama tertegun, sulit untuk mempercayai yang barusan Mama dengar. Itukah penyebab kamu berhenti bercerita sama Mama? Kamu pikir Mama lebih sayang kakakmu?
Itu tidak benar. Kamu tahu Mama juga sayang kamu. Masalahnya, selama ini kakakmu-lah yang paling banyak menuntut perhatian. Kamu lebih banyak diam saja. Selama ini, Mama kira kamu baik-baik saja.
Maaf bila kamu merasa kamu sudah tidak bisa bercerita lagi sama Mama…
“Aku kangen Tobey…”
Kali ini kamu terdengar sedih. Hati Mama ikutan pilu. Kamu selalu ingin punya seorang abang. Mama juga sayang dengan sahabat kamu yang bermata hazel. Tobey selalu menjagamu. Dia selalu perhatian saat dekat.
Mama tahu kamu selalu kangen setiap kali dia pulang ke negaranya, sayang…
Mama kira hanya itu, namun kemudian kamu menyebut nama lain dalam tidurmu:
“Max…jangan.”
Siapa itu? Kali ini kerutan di dahimu tidak hanya karena amarah, namun juga…rasa takut. Kamu pun mulai bergerak gelisah dalam tidurmu, masih sambil mengigau. Suara igauanmu bertambah jelas.
“Stop. Aku nggak mau, Max, hentikan! Kamu bikin sakit ini.”
Darah Mama membeku. Max itu siapa, sayang? Kenapa dia sampai menyakitimu?
Mama terpaksa mencengkeram kedua tanganmu saat kamu mulai mencakar-cakar lenganmu sendiri. Bukan, bukan mencakar, Mama menyadari sesuatu. Kamu seperti sedang berusaha melepaskan cengkeraman seseorang di tanganmu.
“Lepaskan, Max. Kubilang jangan! Stop, kamu menyakiti aku.” Sekarang kamu menangis. Sambil memohon, Mama membangunkanmu:
“Bangun. Sayang, bangunlah!”
Akhirnya kamu berhenti menangis dan berguncang, lalu membuka mata. Mama kira kamu sudah benar-benar bangun, jadi Mama hanya membujuk, “Sssh, udah nggak apa-apa. Kau nggak apa-apa. Sssh…”
Lalu kamu kembali jatuh tertidur. Sepanjang sisa malam itu, Mama berbaring di sampingmu, memegang tangan dan membelai rambutmu…
— // —
Kamu terlihat begitu berbeda keesokan harinya. Tak ada ekspresi merengut maupun air mata. Apa Mama hanya berkhayal semalam, ya? Kamu tersenyum sambil menghabiskan sarapanmu.
“Mama nggak apa-apa?”
“Apa? Oh, nggak apa-apa.” Lalu Mama pun ikut sarapan. Suasana sunyi, hanya suara sendok kita yang beradu pada mangkuk.
Setelah itu, tibalah saatmu untuk pergi lagi. Akhir pekan hampir berlalu. Saatnya menyambut awal minggu yang baru. Saatnya bekerja kembali.
“Kamu perlu bawa sesuatu?” Mama ingin tahu. Saat kamu hanya menggeleng, Mama hanya bisa tersenyum dan berharap, “Jaga diri baik-baik ya, nak.”
“Aku sangat sayang Mama.” Kamu balas tersenyum, yang membuat Mama seperti melihat hantu papamu selama beberapa saat. Mama jadi sesak dan membatin:
Aku gagal ya, Ray? Coba kamu masih di sini. Kamu selalu lebih memahaminya.
Entah mengapa, tatapanmu itu mendadak mengingatkan Mama akan waktu kamu berumur enam tahun dan tidak sengaja memecahkan keramik kesayangan Mama. Waktu itu kamu tidak menangis, namun matamu menyiratkan rasa takut – seperti sebuah permintaan maaf dalam diam.
“Mama juga sayang kamu, nak.” Yah. Lagi-lagi Mama melewatkan kesempatan itu. Mama hanya diam berdiri saat kamu mencium pipi Mama, lalu berbalik dan pergi. Saat pintu tertutup, Mama pun terduduk dan menangis.
Apakah kamu juga menyembunyikan air matamu setiap kali berbalik? Mama rasa, mimpi serammu semalam sudah cukup memberikan petunjuk. Mama sudah mendengar semuanya lebih dari cukup.
Tapi, bagaimana Mama bisa membujukmu agar mau cerita saat kamu bangun? Bagaimana cara Mama meyakinkanmu, Mama tidak akan marah? Mama janji, sayang, biarpun Mama belum tentu siap mendengar semuanya. Mama hanya ingin tahu apa yang menggelisahkanmu akhir-akhir ini.
Tolong, kamu bisa cerita sama Mama…
Tidak pernah ada yang meminta kamu untuk selalu kuat, jadi Mama tidak mengerti kenapa kamu tetap memilih demikian…
R.