Categories
#catatan-harian #CSW-Club #menulis

Sebuah Ulasan:

Secercah Harapan di Balik Jeruji Penjara

Pepatah ‘anak tidak pernah meminta dilahirkan’  memang benar adanya. Bahkan, tidak ada seorang pun anak yang bisa memilih orang tua mana yang akan melahirkan mereka.

Pada Sabtu (3 April 2021, pukul 19:00), saya memenuhi undangan Tiar Simorangkir, sutradara film dokumenter “Invisible Hopes” , untuk menghadiri gala premier terbatas di Plaza Senayan. Mengapa terbatas? Berhubung masih pandemi #Covid19, mau tidak mau yang diundang juga harus terbatas. Semua demi keamanan.

Tanpa intro yang terlalu panjang, saya langsung paham begitu melihat keseluruhan liputan kru Lam Horas Film selama berada di rutan (rumah tahanan) dan lapas (lembaga pemasyarakatan) khusus perempuan di Pondok Bambu, Jakarta Timur. Banyak sekali detail penting yang tidak boleh terlewat untuk menggambarkan kondisi rutan yang memang ‘apa adanya’.

Mungkin agak sulit bagi banyak orang untuk bersimpati pada narapidana perempuan kasus narkoba. Baik sebagai pemakai, pengedar, hingga kurir, semua ada di Pondok Bambu.

Ada juga yang merupakan ‘korban sampingan’ , gara-gara suami atau pasangan mereka yang lebih dulu terlibat dengan kasus narkoba. Apa daya, patriarki memang masih membuat banyak perempuan tergantung hidupnya pada suami. Entah karena menurut atau sama sekali tidak tahu bisnis suami.

Namun, terlepas dari apa pun penyebab para perempuan ini menjadi napi – dalam kondisi hamil pula – semoga film ini mengingatkan kita untuk tetap memanusiakan mereka. Apalagi, bayi-bayi yang terlahir di dalam penjara bersama mereka membutuhkan lingkungan yang jauh lebih layak untuk tumbuh sehat. Kondisi penjara yang sudah penuh sesak, panas, dan kandungan gizi yang kurang dalam makanan para napi bukanlah tempat ideal bagi para bayi untuk tumbuh besar.

Apalagi, stres berlipat ganda yang sering dialami para napi perempuan membuat mereka sering melampiaskan amarah kepada anak-anak mereka sendiri. Padahal, anak-anak itu tidak bersalah. Mereka tidak pernah memilih dilahirkan oleh ibu-ibu yang terlibat kasus narkoba, apalagi sampai harus lahir di penjara.

Kedutaan Besar Norwegia dan Kedutaan Besar Swiss mendukung proses pembuatan film “The Invisible Hopes”. Saran saya sih, bagi yang mau menonton, siap-siap stok tisu, yah. Hehehe. Selain itu, bersabarlah, karena film dokumenter menarik ini akan tayang di bioskop pada bulan Mei 2021.

Semoga sesudah menonton film ini, semakin banyak yang tergerak untuk membantu anak-anak yang kurang beruntung karena terlahir dan besar di penjara selama dua tahun pertama mereka. Apalagi, ibu-ibu mereka mengaku tidak meminta terlalu banyak: bantuan berupa pakaian, susu, hingga kebutuhan para bayi untuk buah hati mereka.

Untuk sementara, yuk lihat cuplikan resminya di sini:

Categories
#catatan-harian #CSW-Club #menulis

Kilas Balik Tentang Pengalaman Naik Bus

Sumber: Merdeka.com

Kilas Balik Tentang Pengalaman Naik Bus

Percaya atau tidak, pertama kali aku naik bus kota adalah saat tahun keduaku kuliah. (Maaf, bus sekolah tidak ikut dihitung.) Ini gara-gara aku muak jadi bahan tertawaan anak-anak lain di kampusku waktu itu. Kata mereka, aku anak manja, anak mami. Ini gara-gara mereka sering melihatku selalu diantar dan dijemput mamaku sendiri, meskipun usiaku sudah 18 tahun.

Singkat cerita, tadinya aku ingin segera ngekos seperti anak-anak lainnya pas mulai kuliah. Bayangan seru petualangan anak kos dekat kampus sudah memenuhi benak. Sudah kubayangkan banyak ide cerita yang bisa kutulis.

Apa daya, orang tua waktu itu melarang. Saat ingin naik bus, Mama juga keberatan. Alasan beliau, selama masih bisa diantar-jemput keluarga sendiri, kenapa mau repot-repot mengeluarkan ongkos naik bus? Hhh…pokoknya sulit membuat beliau memahami maksudku saat itu – hingga jujur saja…sempat bikin frustrasi.

Tahun kedua di kampus, akhirnya Mama mengalah. Namun, beliau mengajukan satu syarat: seminggu pertama, aku harus ditemani oleh teman kuliah yang sudah pernah naik bus dan kebetulan jurusannya searah. Wita, salah seorang teman sekelasku saat itu, mengajukan diri. Kebetulan, Mama dan ibunya Wita juga teman lama. Maka, jadilah Wita dipercaya Mama untuk “mendampingi”-ku naik bus kota.

Setelah merasakan manfaatnya, barulah Mama mengakui bahwa keputusan beliau membiarkanku naik bus sendiri memang tepat. Apalagi, beliau kemudian sudah mulai lelah dan berhenti mengantar dan menjemputku. Beliau juga bahkan belajar naik angkot dan bus dariku seiring waktu. Padahal, dulu waktu beliau seumurku boro-boro. Almarhum Aki sangat melindungi anak-anak perempuan beliau di rumah.

-//-

Setelah bekerja, naik bus sudah menjadi kebiasaanku sehari-hari. Santai, meski kadang lelah juga. Banyak pengalaman aneh-aneh juga, mulai dari dirayu penumpang laki-laki yang entah kenapa menginginkan nomor ponselku, pernah kecopetan karena jatuh tertidur di bus, jadi korban pelecehan seksual (sialan, memang banyak penumpang laki-laki yang sebiadab ini sama perempuan!), hingga kesasar karena salah naik bus.

Bahkan, pernah juga malam-malam bus mendadak menurunkan semua penumpangnya di pinggir jalan, padahal tujuan kami belum sampai. Alhasil, aku pernah nekat jalan kaki barang 1 – 2 kilometer hingga sampai rumah. Kenapa tidak naik angkot? Selain jalanan sudah mulai sepi di atas jam sepuluh, kadang suka ngeri juga naik angkot yang sudah sepi. Apalagi, pernah ada kasus perampokan dan pemerkosaan di angkot. Tidak, terima kasih.

Pernah juga aku berhadapan dengan pengamen yang mengerikan. Kalau hanya menyanyi-nyanyi dengan suara sumbang terus meminta sumbangan dengan paksa sih, masih bisa tahan. Masalahnya, kadang mereka suka bikin demo yang seram-seram, seperti menyilet tangan sendiri dan mengisap darahnya. Lalu, mereka bernarasi semacam: “Beginilah kami bila terdesak karena lapar…”

Jangan tanya sebanjir apa keringat dinginku saat selesai demo, salah satunya duduk pas di sampingku di bangku belakang. Ya, masih sambil memamerkan tangannya yang luka-luka. Cara intimidasi paling ampuh untuk membuat penumpang – terutama yang perempuan – terpaksa memberikan uang. Iya kalau hanya tangan mereka yang disayat. Kalau…

Ah, sudahlah…

Aku bersyukur sudah tidak dianggap anak cemen lagi sama teman-teman kampus atau siapa pun begitu mereka tahu akhirnya aku bisa naik bus sendiri. Saat Trans-Jakarta mulai beroperasi, kuputuskan untuk lebih mengutamakan naik Trans-Jakarta bila memungkinkan. Setelah dipikir-pikir, kenapa harus membuktikan diri ke siapa pun dengan menderita berjejalan di dalam bus – hanya biar nggak dibilang anak manja? Manusia berhak memilih yang paling nyaman buat mereka, bukan?

-//-

Saat akhirnya pindah rumah untuk ngekos sendirian di tengah kota, frekuensi naik busku jadi berkurang. Ya, kadang masih suka naik Trans-Jakarta. Namun, bila sedang terburu-buru, aku lebih memilih menggunakan jasa ojek – apalagi saat kemacetan di Jakarta semakin menggila. Kadang bila sedang manja-manjanya, aku memilih naik taksi.

Ya, kamu sudah bisa menebak alur cerita berikutnya saat era ojek dan taksi online muncul. Sekali lagi, bila memang ada pilihan yang lebih nyaman dan menguntungkan, kenapa tidak? Kenapa harus bertahan sama yang menyiksa, bila bisa mendapatkan kenyamanan lebih?

Kini, aku lebih banyak bekerja dari rumah. Bahkan sebelum pandemi, aku sudah mulai membiasakan ritme hidup seperti ini. Hanya sesekali aku menggunakan bus sebelum pandemi.

Apakah aku kangen naik bus? Hmm, mungkin hanya Trans-Jakarta. Kalau suruh balik lagi naik bus kota yang biasa, ogah. Selain suka ngetem lama, mereka juga ngebut gila-gilaan, menjejalkan penumpang seperti ikan sarden kalengan, hingga…suka menyuruh penumpang turun di pinggir jalan seenaknya, padahal tujuan belum sampai. Belum lagi kernet bus yang tiba-tiba suka memaki-maki, marah-marah nggak keruan. Siapa yang tahan?

Daripada berusaha menjegal sama yang bikin penumpang merasa lebih aman dan nyaman, mendingan mereka usaha meningkatkan kualitas pelayanan…

…sebelum keburu dijual kiloan kayak yang sudah terjadi…

R.

Categories
#catatan-harian #CSW-Club #fiksimini #menulis

Ekspedisi Terakhirku

“Ayolah, ini akan menyenangkan,” janjimu padaku dalam bahasa Inggris beraksen Rusia itu. “Travelling berdua, camping, menikmati hutan belantara. Aku bisa memotret alam sesukaku, sementara kamu bisa menulis. Kamu belum pernah travelling ke alam terbuka, ‘kan?”

Entah apa yang membuatku termakan oleh ajakanmu. Kamu yang begitu mempesona sejak awal bertemu. Kata teman-temanku (yang disertai jengit di wajah mereka) sih, kamu jauh dari tampan. Dekil dan berantakan malah. Kalau Mama sampai tahu aku diam-diam pacaran dengan laki-laki bule, gondrong, brewokan tapi nyaris botak di puncak kepala, berkacamata segede pantat botol, dan dengan tampilan kayak nggak mandi seminggu, beliau pasti akan mengamuk.

“Ayolah,” bujukmu sambil membelai ikal gelapku. Kalau sudah begini, aku suka luluh. Tambah luluh lagi saat kamu mencium bibirku dengan penuh napsu. Ah, ke manakah otakku? Biasanya aku selalu berhati-hati.

Mungkin karena saat itu aku sedang jenuh dan muak dengan tuntutan keluarga. Sudah di atas 30, kata mereka. Kapan menikah? Kenapa nggak bisa seperti kakakmu? Mungkin karena menurut mereka aku terlalu gemuk, makanya laki-laki tidak ada yang mau.

Tapi, kamu justru mengaku lebih suka dengan perempuan gemuk. Berbanding terbalik dengan sosokmu yang menjulang, rada kerempeng – tapi hebatnya kuat bawa tas gede pas travelling. Itulah yang kuperhatikan dengan kagum, saat akhirnya – ya, kuputuskan untuk ikut travelling perdana denganmu. Aku sampai bertengkar hebat dengan Tobey, sahabatku laki-laki Australia yang sudah lebih seperti abangku sendiri.

“Rina, please. Aku tahu perempuan macam apa kamu. Aku nggak mau kamu menyesal nanti.”

Kutinggalkan pesan untuk ibu kos sebelum pergi. Aku sengaja tidak memberitahu siapa-siapa lagi, meski ponsel tetap kubawa. Jujur, aku mungkin anak kota yang juga sedang merasa sangat bosan. Aku butuh petualangan.

Dan laki-laki seperti kamu begitu menggiurkan…

-//-

Tiga bulan berlalu. Mungkin aku praktis sudah jadi orang hilang saat itu. Di hutan, terutama yang belantara, waktu seakan berjalan lambat – bahkan nyaris berhenti. Setiap hari terasa sama. Tidak banyak manusia lain, hanya kita berdua. Aku dan kamu. Dengan alasan berhemat, kita akhirnya tidur satu tenda.

Oh, ayolah. Semua pasti sudah tahu apa yang kemudian terjadi. Apalagi, kamu begitu menggebu-gebu. Aku yang tadinya ragu akhirnya pun mau.

Hingga saat itu…

Sial, kenapa aku mual begini, ya?

“Kamu nggak apa-apa?” tanyamu saat aku banyak tertinggal di belakang. Tidak hanya itu, aku pun mulai sering ngos-ngosan dan ingin muntah. Kepalaku pusing, berputar hebat. Saat kulihat wajahku di layar kamera ponsel, astaga. Pucat bukan kepalang.

Aku tahu, yang kutakutkan selama ini akhirnya terjadi. Aku tidak bisa bilang kamu memaksaku, namun entah kenapa aku tidak menolakmu waktu itu. Mungkin karena malam itu hanya kita berdua di dalam tenda…di tengah hutan belantara…

Saat menyempatkan diri ke kota kecil, kudatangi apotik yang sekaligus minimarket. Ajaib, apotik sekaligus minimarket itu menjual test pack. Untunglah, di kota kecil itu belum ada peraturan aneh-aneh soal larangan menjual alat kontrasepsi, alat tes kehamilan, dan semacamnya secara terbuka.

Setelah membayar, buru-buru aku keluar. Aku harus mengetesnya segera. Aku hanya ingin memastikan…

-//-

“Nggak mungkin,” bantahmu saat kuberitahu hasil tes itu. “Aku ‘kan waktu itu pakai pengaman-“

“Mungkin nggak efektif,” tukasku dingin. Kulihat ponselku sudah penuh dengan notifikasi pesan. Ada ratusan. Mama…Tobey…teman-temanku yang lain…

Maafkan aku…

“Aku nggak bisa,” katamu sambil menggeleng-geleng. “Kamu tahu gimana keluargaku. Aku nggak pernah kenal ayahku dan ibuku – “

“Tapi aku nggak bisa pulang dalam keadaan begini!” Tangisku kini pecah. Barulah, di atas tebing dekat hutan, kulihat sosokmu yang sebenarnya. Liar, tak pedulian, dan sepertinya siap menyingkir dariku kapan saja. Kuraih tangannya. “Please…”

“Aku nggak bisa!” Tanpa sengaja kamu menepisku. Saat itulah aku tiba-tiba merasakan tubuhku melayang…jauh…jauh…hingga…

Jatuh. Lalu gelap.

-//-

Keluargaku datang menangisi jenazahku. Aku sendiri tidak tahan melihat separuh wajahku yang kini hancur karena menghantam karang di bawah air terjun. Ada yang melihatku, lalu melapor penduduk setempat. Kamu akhirnya diamankan pihak berwajib sebelum jadi sasaran amukan warga, tak peduli bila kamu membela diri dan bilang kalau itu kecelakaan.

Di sudut kamar jenazah, rohku terpaku, memandangi akhir ekspedisiku…

  • Tamat –
Categories
#catatan-harian #CSW-Club #menulis

Demi Laptop Gratis

Demi Laptop Gratis

Ini tahun pertamaku bekerja di sebuah lembaga kursus bahasa asing di Kuningan. Waktu itu, aku belum memutuskan untuk tinggal di rumah kosan seperti sekarang ini. Aku masih pulang-pergi ke rumah orang tuaku yang cukup jauh.

Seperti biasa, setiap selesai mengajar di hari Sabtu, sahabatku di tempat kerja, Tony, suka mengajakku nongkrong bareng dulu. Kadang kami makan siang super telat (mengingat kelas kami paling akhir biasanya baru selesai pukul empat sore) di Plaza Festival. Kadang kami main-main sebentar ke apartemennya, duduk mengobrol sambil menonton TV. Kadang aku membantunya memasak sebelum makan malam bersama di sana.

Lalu, bagaimana bila kebetulan Tony sedang tidak bisa menemani setiap Sabtu sore? Tidak masalah. Berlawanan dengan anggapan salah seorang teman kami yang pernah menuduhku terlalu tergantung sama sahabatku itu, aku baik-baik saja. Aku masih bisa makan dan ke mana-mana sendiri. Aku cukup mandiri.

“Kamu belum pernah ke Epicentrum, ya?” tanya Tony suatu ketika. “Coba ke sana deh, isinya juga lebih beragam. Biar mainnya nggak ke Pasfes melulu.”

“Oke.” Makanya, suatu Sabtu sore, kuikuti sarannya. Sampai di Epicentrum, kulihat lantai bawahnya sedang ramai. Ada panggung yang cukup besar di sana. Sebagian kecil kerumunan berada di pinggir panggung.

Tatapanku jatuh pada sebuah laptop kurus tipis berwarna abu-abu di dalam lemari kaca di samping panggung. Ketika kulihat seorang lelaki berseragam merk laptop tersebut sedang menulis di depan rombongan orang yang berbaris, kuhampiri dia. Kutanya: “Ini lagi ada acara apa, sih?”

“Oh, ini lagi ada acara lomba menangin laptop,” jawab lelaki itu santai. Ketika melirikku, dia bertanya, “Mbak mau daftar?”

“Bisa?”

“Boleh.”

Aku girang bukan kepalang. Sesudah mendaftar, kutunggu di bibir panggung bersama yang lainnya dengan sabar. Asli, aku hadir seorang diri, membawa tas kantorku yang lebih mirip tas ibu-ibu sosialita, namun dengan dandanan seadanya. Kaos ungu, jins, sepatu selop, dan rambut ikal panjang yang berantakan ke mana-mana. (Kelar mengajar, biasanya aku suka malas berdandan, kecuali kalau perlu ke acara lain.)

Jadi, cara mendapatkan laptop di lemari kaca itu begini:

Naik ke panggung. Tunggu aba-aba dari layar di depanmu. Begitu mulai, segeralah bergaya dan beraksi segila mungkin di depan kamera. Bagian bawah panggung dilengkapi dengan sensor yang dihubungkan langsung ke kamera dan meteran digital yang tampak di layar. Semakin gila gayamu, semakin tinggi hasil skor meteran pada layar.

Sempat aku menyesal begitu mendaftar. Rata-rata kontestan yang ikutan tampak lebih atletis, fit, dan pede daripada aku. Apalagi yang laki-laki. Mungkinkah si gemuk ini punya peluang?

Ketika giliranku tiba, kuputuskan untuk bersikap masa bodoh. Kalau kalah, ya sudah. Sambil naik ke panggung, kutinggal tas di pinggir dan kulepas sepatuku. Aku bersiap di tengah panggung dan mengatur napas.

Saat kulihat aba-aba dimulai, aku sudah tidak berpikir lagi dan mulai bertingkah sesukanya. Pokoknya, di benakku hanya ada lagu-lagu Metallica satu album dan tubuhku terus bergerak tanpa henti. Entah sudah seperti apa ekspresiku, aku tak lagi peduli.

Aku baru berhenti saat tiba-tiba alarm peringatan berbunyi. Ternyata…meteran digital di layar sudah menunjukkan hasil tertinggi: INSANELY EXCITED! Aku terlalu shock hingga tak sadar kedua lututku gemetaran karena berhenti mendadak sesudah berjoget asal dan gila-gilaan di atas panggung. Penonton bersorak histeris dan bertepuk tangan, lalu tertawa saat melihatku jatuh seketika di panggung.

Sejam kemudian, aku berada di Comic Café, duduk dan masih memandangi laptop baruku dalam kemasan dengan perasaan tidak percaya. Bahkan, saat kukirim SMS ke semua orang yang kuingat saat itu, termasuk Tony, jawaban mereka seakan mendukung rasa tidak percayaku:

“Ma/Dek, jangan kaget, ya.”

“Apaan?”

“Aku baru dapat laptop gratis.”

“…..”

“Tony, guess what?”

“What?”

“I’ve just won myself a free laptop.”

“Very funny.”

-***-

Dua bulan kemudian, adik lelakiku tiba-tiba ditelepon sahabatnya yang bekerja di periklanan. Suaranya terdengar geli.

“Lo dah tau kakak lo menangin laptop?”

“Iya. Dia pulang bawa laptopnya.”

Sementara itu, Tony berhasil menemukan rekaman acara tersebut di YouTube – dan selalu membagikannya ke orang baru, setiap kali percakapan soal itu muncul di tengah-tengah acara nongkrong bareng.

Laptop itulah yang kemudian mengawali karirku di dunia kepenulisan dan digital…

R.

Categories
#catatan-harian #CSW-Club #menulis

Ketegangan Singkat di Dreamland Beach

Ketegangan Singkat di Dreamland Beach

Foto: https://unsplash.com/photos/OZ_vh3Jgr3o

Dreamland Beach, sore hari. Ini pantai terakhir yang kudatangi bersama Tony, sahabatku, saat kami berdua berlibur ke Bali. Sebelumnya, kami masih menyempatkan diri mampir ke salah satu gerai tato di tengah Kuta-Seminyak. Aku mendapatkan tato temporer berupa kalajengking hitam di lengan kiriku. Tony mendapatkan tato ornamen unik di belakang lehernya.

Awalnya, semua baik-baik saja. Kami hanya berenang-renang seperti para pengunjung lainnya. Matahari perlahan mulai terbenam. Beberapa peselancar – lokal hingga mancanegara – sibuk berlaga, mengikuti ombak-ombak besar yang seakan ingin melentingkan mereka ke udara bersama papan selancar mereka.

Kuakui, aku bukan perenang baik. Bahkan, sudah lama sekali aku tidak berenang. Jangankan di laut, di kolam renang saja aku canggungnya bukan main. Sewaktu masih berenang di hotel Sanur, Tony tertawa melihatku.

“When was the last time you went swimming?”

“Uh, that’s a good question.”

Tony sendiri cukup jago berenang. Dia pernah bercerita bahwa di Australia, olahraga ini termasuk wajib bagi semua warga negara. Bahkan, sebisa mungkin, anak-anak sudah harus mulai dikenalkan dengan olahraga air ini sejak usia tiga tahun. Alasannya?

“Kita ‘kan negara kepulauan juga,” kata Tony menjelaskan. “I’m surprised Indonesia doesn’t have this regulation. What if a tsunami occurs?”

Iya juga, sih. Apalagi, kejadian berikutnya membuatku ingin kembali mengasah kemampuan berenangku yang rupanya raib ditelan waktu.

Sore itu, setelah berenang-renang sedikit, kami berdua memutuskan untuk duduk di tepi pantai – di atas pasir yang entah kenapa lebih tipis dari pasir di pantai-pantai lain yang sudah kami kunjungi di Bali. Sunset mulai terlihat lebih indah seperti lukisan.

Tanpa kusadari, ternyata ombak mulai membesar, hingga menerjang semakin jauh ke pinggir pantai. Tiba-tiba, kurasakan pasir di bawah kakiku semakin menipis dan berputar keras, seperti pasir isap. Tubuhku mulai terseret ke dalam air. Kucoba untuk berbalik dan berdiri, namun kakiku tidak menemukan pijakan kuat. Aku panik dan menggapai-gapai di udara.

Dengan tangkas, Tony langsung menangkap tanganku. Kukira dia sudah cukup kuat untuk menarikku kembali ke pantai. Namun, kulihat dia mulai ikut terseret arus bersamaku. Aku mulai menelan banyak air. Di sela-sela gempuran air laut, masih bisa kulihat mata hazelnya yang menyorot ketakutan…

Ya, Tuhan, pikirku kalut saat itu. Kami berdua akan mati tenggelam bila dia tidak melepaskanku…

Di tengah kepanikanku, perutku bertumbukan dengan sesuatu yang keras dan kasar di bawahku. Aku sudah tidak terpikir untuk mengecek apakah itu bulu babi atau hewan lain yang sama berbahayanya. Kusentuh benda itu dan langsung bersorak girang dalam hati.

Batu karang!

Dengan sisa-sisa tenagaku, kutekan batu karang itu. Berhasil! Aku berdiri, membebaskan tubuhku dari perangkap ombak bercampur pasir. Separuh terhuyung, aku menubruk Tony. Secara refleks dia merangkulku dan langsung bergerak mundur secepat mungkin. Kami berdua akhirnya kembali berdiri di pantai, sama-sama terengah-engah dan saling berangkulan. Tetes-tetes air laut jatuh dari rambutku.

“Are you okay?” tanyanya sambil memeriksaku. Aku hanya mengangguk karena masih harus mengatur napas. Berdua kami kembali ke sepasang kursi pantai yang kami sewa dari penduduk lokal. Kami duduk bersandar dan langsung menyelimuti diri dengan handuk masing-masing. Kukenakan kacamata hitamku, meski matahari sudah tidak menyilaukan lagi.

Tiba-tiba ponsel Tony dari kantong celana pendeknya di ujung kursi berdering. Tony langsung menjawabnya. Aneh, suaranya masih bisa terdengar tenang, padahal beberapa saat sebelumnya kami sama-sama dicekam kengerian yang nyaris mengambil nyawaku…dan mungkin nyawanya juga.

Beberapa menit kemudian, Tony menyudahi percakapan di telepon dan menatapku.

“That was Minnie,” ujarnya, menyebut nama teman kami berdua. “She wondered if we were having fun.”

“Uh, we certainly did,” balasku sambil nyengir. Kami berdua tertawa dan langsung tos tinju masing-masing. “Thank you for that. I owe you one.”

“No problem.”

Kami masih sempat larut dalam sunyi, menikmati sunset di depan mata, sebelum saatnya berkemas-kemas dan mengejar pesawat di Bandara Ngurah Rai malam itu.

R.

Categories
#catatan-harian #CSW-Club #menulis

Perjalanan Terburukku dengan Kereta Api

Perjalanan Terburukku dengan Kereta Api

Foto: https://unsplash.com/photos/YQaNsGzQe48

Yang namanya serba mepet alias last minute itu benar-benar menyebalkan. Apalagi bila kebetulan kamu sudah lama tidak traveling dengan apa pun.

Singkat cerita, aku tidak merencanakan perjalanan ini dengan matang akhir pekan itu. Bagaimana tidak? Ini undangan kopdar (kopi darat) kru redaksi media online tempatku bekerja selama dua tahun terakhir. Setelah lama hanya menyapa di platform media sosial, akhirnya kita bertemu muka. Sebuah vila di pinggiran kota Jogja yang sunyi dan masih adem menjadi pilihan tempat untuk berkumpul.

Jadi, hitungannya bukan benar-benar liburan, meskipun diadakan selama akhir pekan. Lagipula, Senin siang aku sudah harus mengajar corporate training di salah satu perusahaan klien.

Singkat cerita, aku sempat agak kelabakan saat mempersiapkan perjalanan perdana naik kereta api seorang diri. (Serius.) Pekerjaanku sebagai pengajar kursus part-time sekaligus penulis dan penerjemah freelance membuatku harus siap berakrobat dengan jadwal. Bayangkan, setelah semua urusan yang harus kuselesaikan di Jakarta kelar, aku baru bisa membeli tiket kereta sehari sebelum saatnya berangkat. Untung masih dapat di kelas bisnis, demi kenyamanan. Aku tidak mau munafik dan sok mengirit. Perjalanan yang cukup panjang – memakan waktu sekitar enam jam – takkan terasa nyaman dengan kelas ekonomi.

Sabtu pagi, aku sudah menaiki kereta dari Stasiun Gambir. Aku duduk seorang diri. Tadinya sih, mau sok-sokan seperti karakter di buku-buku atau film-film favoritku. Ya, seperti karakter Michael yang diperankan oleh Liam Neeson di film “The Commuter”. Setiap naik kereta, selama mendapatkan tempat duduk, Michael selalu menyempatkan diri untuk membaca buku yang dibawanya.

Sayangnya, novel yang sedang kubawa hanya berakhir di dalam tas, karena ternyata aku pusing saat mencoba hal yang sama. Akhirnya, aku hanya duduk menatap ke luar jendela. Mau mencoba menulis atau menggambar juga sama saja. Aku bahkan malah tertidur…sehingga hampir melewatkan makan siang. Agak-agak tidak yakin apakah mereka tetap akan meninggalkan makanan di sampingku bila melihatku tertidur.

Untunglah, perjalanan naik kereta berakhir. Aku tiba di Stasiun Tugu menjelang sore. Tanpa pikir panjang karena sudah terburu waktu, aku mencegat taksi untuk mengantarkanku ke tujuan…

-//-

Singkat cerita, aku kehabisan tiket pulang. Alih-alih bisa segera pulang pada Minggu sore, aku baru mendapatkan tiket kereta api pada hari Senin…jam tiga pagi. Karena tidak mungkin berlama-lama di vila sewaan sesudah acara berakhir, aku memutuskan untuk wara-wiri dulu di Malioboro seorang diri. Sempat berhenti di satu restoran untuk makan sore, meskipun entah kenapa…tiba-tiba aku merasa mual.

Duuuh…jangan sakit, dong, tegurku pada diri sendiri. Semoga ini bukan gara-gara tengkleng gajah yang kumakan semalam sebelumnya – atau kurang tidur karena terlalu senang dengan rangkaian acara kumpul redaksi. Agak ngeri juga bila kolesterol mendadak lebih tinggi.

Langit sore semakin menggelap. Kusadari rencana untuk tetap melek hingga Senin dini hari sangat tidak realistis. Aku kelelahan. Sempat aku menyewa kamar losmen termurah untuk tidur selama beberapa jam. Pemiliknya tampak bingung, karena aku rela membayar penuh.

“Istirahat sebelum mengejar kereta jam tiga di Tugu,” kataku menjelaskan. Pemilik losmen hanya manggut-manggut. Untung beliau cepat tanggap, karena saat tengah malam aku checkout, beliau masih terjaga.

Tunggu sebentar. Kenapa tengah malam? Mendadak aku terbangun karena mual tak terperi. Aku sukses memuntahkan makananku di kamar mandi. Karena khawatir akan tertinggal kereta bila tertidur lagi, akhirnya aku menggosok gigi, mencuci muka, sebelum berkemas untuk pergi. Kuberikan kunci kamar pada pemilik losmen sambil mengucapkan terima kasih, sebelum keluar dan memutuskan untuk naik becak langsung ke Stasiun Tugu. Toh, jaraknya cukup dekat ini.

Penantian selama dua setengah jam di stasiun untuk kereta api-ku tak kalah menyiksa. Udara dingin, aku terlanjur masuk angin. Aku hanya duduk bersandar pada satu bangku sambil sibuk mengkonsumsi Tolak Angin yang kubeli di Alfamart terdekat.

Perjalanan pulang dengan kereta kali ini lebih menyiksa daripada sewaktu pergi. Aku seperti sudah tidak berselera melihat apa-apa lagi. Kali ini aku lebih banyak tidur, sampai melewatkan sarapan yang dibagikan. Sial. Masuk anginku semakin parah. Untung aku tidak kelewatan makan siang.

Mau tahu separah apa sakitku waktu itu? Seorang laki-laki tampan yang duduk di seberangku saja sudah tidak menarik minatku. Yang kuinginkan hanya pulang…dan tidur. Aku bahkan sudah meminta izin bosku untuk tidak mengajar hari itu.

Mau tahu yang lebih memalukan lagi? Berpasang-pasang mata menatapku prihatin saat aku sukses menghabiskan empat kantong plastik hitam yang tersedia…hanya untuk muntah lagi. Mungkin mereka berpikir begini:

“Kasihan, sudah perginya sendirian, sakit pula.”

Akhirnya, keretaku tiba di Stasiun Gambir pada sore hari. Untung isi tasku tidak berat, jadi aku masih bisa cepat-cepat keluar untuk mencari taksi. Ajaib aku masih bisa sadar dan berbicara normal pada supirnya, karena begitu tiba di kamar kosanku, aku langsung ambruk di tempat tidur…dan baru terbangun 12 jam kemudian dengan sakit kepala dan rasa mual yang lumayan mereda.

Hhh, ada-ada saja. Untung tidak sampai pingsan di kereta…

R.

(Dari Tantangan Menulis Mingguan Klub Menulis Couchsurfing Jakarta – 6 Agustus 2020. Topik: “Perjalanan Naik Kereta”)

Categories
#catatan-harian #CSW-Club #fiksimini #menulis

Bukan Kulkasku

Gambar: Kulkas siapa?

Aku tak punya kulkas.

Sejak pindah rumah untuk ngekos sendirian enam tahun lalu, aku tak pernah punya kulkas sendiri. Kulkas di kosan ada sih, meskipun kulkas bersama. Nama kerennya, kulkas komunal. Sama dengan dapur yang mau nggak mau harus berbagi. Ya, gantian masaknya dan kadang harus menahan murka saat ada yang lupa – atau memutuskan – untuk nggak cuci piring sehabis makan.

Selama enam tahun terakhir, aku sudah dua kali pindah kosan. Keduanya sama-sama punya satu dapur dan satu kulkas. Ada juga PRT yang dipekerjakan khusus cuci-gosok pakaian. (Untuk mencegah salah paham dan tuduhan, kamar penghuni tetap wajib dibersihkan oleh masing-masing penyewa. Kalo mau pakai jasa PRT, ya harus bayar ekstra.)

Oke, balik lagi ke soal kulkas.                   

Jujur, sebenarnya aku kurang merasa nyaman harus berbagi kulkas dengan orang asing. Di rumah keluargaku, sebenarnya aku sudah terbiasa berbagi kulkas dengan banyak orang. Di sini, aku harus siap menghadapi berbagai kemungkinan seperti ini:

  • Nggak kebagian tempat, gara-gara ada anak kos lain yang memonopoli isi kulkas. Mending isinya bakal mereka habiskan semua tiap bulan. Ini malah suka mereka biarkan mengendap sampai busuk. Hiii…
  • Kecurian bahan makanan yang sudah kamu beli dengan uangmu sendiri. Entah ada yang salah ambil, emang niat mengutil, pokoknya yang mungkin merasa bahwa “kulkas komunal berarti isinya milik bersama”. Padahal bungkus makanannya sudah dikasih nama. Yaaa…nggak gitu juga kali, Bambaaang!
  • Tergoda untuk mengutil makanan orang di kulkas di akhir bulan. Nah, ini bisa aja terjadi, terutama bila kebetulan kamu sudah keburu jatuh miskin di akhir bulan. Menunggu gaji cukup menyiksa, meskipun tidak seperti menunggu Rangga…eh, purnama…

Nah, aku termasuk yang mana, ya?

Kebetulan, aku termasuk yang paling jarang memakai kulkas. Bukan apa-apa, awal ngekos aku lebih banyak di luar rumah. Paling aku hanya sempat sarapan dan makan malam. Itu pun, makan malamnya juga nggak selalu di kosan, apalagi saat lembur di kantor.

Lalu, berbagai cobaan sempat mengubah alur hidupku selama jadi anak kos di Jakarta. Mulai dari kehilangan pekerjaan, terkena pemotongan gaji, hingga pernah menunggak utang hingga nyaris diusir dari kosan. Entah kenapa, alih-alih pulang kembali ke rumah Ibu, aku memilih bertahan.

Tahun 2020 ini, pandemi virus Corona kembali memaksaku untuk tidak banyak keluar rumah. Pastinya, aku lebih banyak meluangkan waktu di kosan berkat kebijakan WFH (work from home) dari kantor. Hmm, tapi sepertinya aku tetap sulit menggunakan kulkas bersama. Bukan aku satu-satunya penghuni kos yang terpaksa bekerja dari rumah.

Isi kulkas di kosanku ini masih tetap sama: penuh selalu. Ada berkantong-kantong daging beku nugget di deretan teratas, telur, mentega, margarin, bumbu-bumbu, sayuran, daging, buah-buahan, minuman botol, minuman kaleng, sama entah apa lagi. Aku selalu telat kebagian tempat di dalamnya. Mau tak mau, solusiku dari dulu hingga kini tetap sama:

  • Makan di warung sebelah. Lumayan, nggak perlu cuci piring.
  • Menerima makanan kering buatan Ibu, seperti abon dan teri kacang.
  • Menyisipkan sebagian kecil simpananku, seperti yogurt dan telur. Kadang juga ada cokelat batangan favoritku.

Setelah itu? Harapanku tetap sama: semoga nggak ada yang memutuskan untuk mengambil makananku dan semoga aku nggak tergoda mengambil yang bukan hakku saat sedang sulit.

Sekian.

R.

(Dari Tantangan Menulis Mingguan Online Klub Menulis Couchsurfing Jakarta, 16 Juli 2020. Tema: “Apa isi kulkasmu?”)

Categories
#catatan-harian #CSW-Club #fiksimini #menulis

Rahasiaku

Wabah Corona memaksa kami semua berhenti ke kantor. Untungnya, tidak sampai berhenti bekerja. Bahkan, jam bekerja kami semakin fleksibel layaknya pekerja lepas / freelance. Meskipun jam kantor resminya 9 to 5, gara-gara beralih jadi WFH (Work From Home), ada kalanya kami dihubungi di luar jam-jam kerja yang wajar. Bahkan, sampai rapat video-call segala.

Jujur, kadang aku sebal dengan kebiasaan baru ini. Misalnya: rapat sesudah jam makan malam. Biasanya, pada waktu itu aku sudah leha-leha di depan TV, nonton serial favoritku. Kadang aku juga duduk membaca buku atau mendengarkan lagu di radio. Kalau sudah terlalu lelah, biasanya aku memilih tidur lebih cepat.

Apa boleh buat. Karena kebanyakan staf kantorku juga orang tua (termasuk si bos), waktu bekerja disesuaikan. Kebanyakan dari mereka harus memenuhi kewajiban sebagai orang tua dulu. Mengurus anak, termasuk menemani mereka belajar – berhubung sekolah mereka juga ikutan online. Berbelanja bahan makanan. Membayar tagihan. Membersihkan rumah dan masih banyak lagi.

Ada untungnya sih, masih melajang di era Corona ini. Apalagi bila tinggal sendirian seperti aku. Aku hanya harus mengurus diriku sendiri. Merasa sepi, sesekali pasti terjadi. Tapi, nikmati saja waktu luang yang ada sebisa mungkin. Setidaknya aku masih punya pekerjaan, meskipun gaji terpangkas sedikit karena kita tidak perlu lagi uang transport untuk ke kantor.

Malam Selasa, ternyata ada rapat tim. Seperti biasa, aku sudah siaga di depan laptop kesayanganku. Meskipun di rumah, aku tetap mengenakan kemeja rapi dan rok panjang. Biasa, untuk berjaga-jaga bila tiba-tiba harus berdiri di depan webcam. Aku tidak ingin terlihat tidak pantas, berhubung hitungannya masih bekerja.

Singkat cerita, rapat berlangsung selama sejam. Kebanyakan rekan kerjaku tampak cuek, hanya mengenakan kaus dan jins. Tidak apa-apa sih, sampai tiba-tiba salah seorang hampir berdiri, sebelum tersadar dan buru-buru menutupi bawahannya dengan selimut. Di kamera, kami semua nyengir geli. Ada yang terkikik.

Hmm, makanya berdandan rapi saat rapat live di chatroom tetap penting. Beda kalau hanya chatting dengan teman-teman dekat.

“Ran, tumben kamu pakai rok panjang,” tegur Anna, salah satu rekan kerjaku di tim. Waktu itu, aku sedang berdiri sebentar untuk meluruskan punggungku sebelum duduk kembali.

“Lagi malas pakai celana panjang,” ujarku cuek.

Ketika rapat sudah selesai, aku mematikan webcam, laptop dan bernapas lega. Dengan perlahan aku beranjak ke tempat tidur. Setelah duduk di ranjang, dengan hati-hati kulepaskan satu kaki palsuku sebelum tertidur.

Selama ini, aku berhasil menyembunyikan rahasiaku di kantor. Sebelum pindah ke perusahaan ini, aku pernah mengalami kecelakaan yang membuat satu tungkaiku harus diamputasi. Untunglah, berkat terapi berbulan-bulan, akhirnya aku bisa kembali berjalan seperti orang normal. Tidak ada yang curiga, karena aku tidak pernah terlihat pincang. Toh, yang diamputasi masih di bawah lutut. Aku masih bisa menekuk kakiku.

Bukan apa-apa, aku hanya tidak ingin dikasihani. Bayangkan, apa jadinya kalau tadi aku rapat tanpa bawahan yang cukup panjang…

R.

Categories
#catatan-harian #CSW-Club #menulis

Mencari Hiburan di Tengah #Swakarantina

Sudah sebulan lebih aku tidak keluar rumah. Wabah Covid-19 atau yang lebih dikenal dengan Virus Corona sukses membuat seluruh dunia kalah – atau lebih tepatnya, dipaksa mengalah.

Semua rencanaku bubar jalan. Mau menerbitkan buku puisi Bahasa Inggris perdanaku, editorku harus pulang dulu ke kampung halamannya. Apa boleh buat, rencana itu terpaksa ditunda. Pekerjaanku apa lagi. Tidak ada lagi acara ke kantor (padahal hanya itu satu-satunya kesempatanku untuk mengobrol dengan si periset imut-imut dari Estonia. Singkat cerita, kami berkenalan dan jadi teman hanya gara-gara tanpa sengaja rebutan kursi di co-working space tempat kami bekerja.)

Orderan menulis jadi terpangkas. Mau tidak mau, aku terpaksa berjibaku lebih giat lagi mencari order tambahan. Kalau tidak, ya judulnya tidak makan. Iya kalau jadinya kurusan. Kalau buntutnya sakit dan rentan ketularan? Hiii…aku belum siap berkafan dan masuk kuburan.

Tadinya, Mama minta aku pulang. Tentu saja, permintaan beliau terpaksa kutolak demi keamanan semua orang. Mama sudah di atas 60, tinggal sama para keponakan yang menderita asma. Kira-kira?

Mau tidak mau, aku terpaksa bertahan hidup seorang diri. Mulai berhemat, meski sebisa mungkin tetap harus makan. Baca buku, termasuk yang sudah pernah dan akhirnya kuulang. Menulis seperti orang gila. Menyanyi meskipun bukan diva. Nonton TV sampai bosan luar biasa. Mendengarkan radio biar kamar nggak terasa sepi-sepi amat.

Banyak video-call sama teman-teman, meski belum tentu ada stok bahan obrolan.

Banyak cerita cukup lucu sepanjang wabah Covid-19. Bila harus kusebutkan, entah beneran lucu atau miris. Misalnya: ada saat aku mencoba video-call dengan Mama. Diangkat sih, tapi butuh beberapa detik bagiku untuk menyadari kenapa di layar hanya tampak pipi beliau.

Yah, Mama kira itu hanya voice-call. Huhuhu…padahal lagi ingin melihat wajah beliau…

Jalan masuk ke pemukiman tempat tinggalku diportal. Jangan mikir aneh-aneh dulu soal caraku untuk keluar-masuk, hanya untuk belanja di Alfamart. Berhubung bukan sosok atletis, nggak mungkin kan, tiba-tiba aku sok-sokan lompat galah?

Dalam tiap radius beberapa meter, ada dispenser dan botol sabun cair yang nganggur. Fungsinya tentu saja buat cuci tangan gratis. Satu waktu, aku menderita bosan akut hingga iseng bikin balon-balon dari gelembung sabun saat cuci tangan. Kutiup-tiup dengan suka cita hingga balon-balon sabun tersebut mengudara. Rasanya cukup menyenangkan…

…hingga kusadari mata-mata para tetangga yang tengah menatapku, seolah-olah aku sudah gila.

Apa lagi, ya? Oh, ini juga hobi yang sudah pernah kulakukan waktu kecil. Aku hobi mengejr-ngejar kucing di jalanan. Biasanya baru berhenti bila kucing incaranku ngumpet di bawah mobil, masuk ke rumah orang, atau loncat ke atap rumah sekalian.

Bila masih loncat ke atap mobil? Hihihihi…belum puas rasanya bila belum bikin si kucing trauma. Biasanya mobil itu kugoyang-goyangkan hingga si kucing akhirnya terpaksa loncat dan pindah ke tempat persembunyian lain.

Sialnya, pas menjelang tengah malam sehabis belanja di Alfamart, aku agak terlalu heboh menggoyang-goyangkan mobil tempat kucing incaranku mangkal di atap. Nggak hanya si kucing yang loncat menyelamatkan diri, aku juga harus lari gara-gara alarm mobil mendadak berbunyi. Gak mungkin kan, aku punya penjelasan bagus saat para tetangga sekitar – termasuk yang punya mobil – keluar dan memergokiku di TKP?

Entah kapan wabah ini berakhir. Moga-moga, aku masih waras sesudah Corona tertangani…

R.

Categories
#catatan-harian #CSW-Club #fiksimini #menulis

Kisah Klasik Pembunuhan

Kisah Klasik Pembunuhan

Ini kasus pertamaku. Aku datang ke vila besar berlantai dua dengan kolam renang di halaman belakang. Malam itu, jam di ponselku sudah menunjukkan pukul 11:45. Nyaris tengah malam.

Jenazah lelaki itu terkapar di ruang tengah, berlumuran darah. Permadani Turki yang mahal itu ternoda. Darah mulai mengering dari luka terbuka di perut lelaki itu.

Sang Istri yang tersedu-sedu sedang diwawancarai oleh Detektif Senior di ruangan lain. Tim Forensik sibuk memotret, menyapu berbagai permukaan untuk mencari dan mengumpulkan contoh sidik jari dan barang-barang bukti lainnya. Tim Pemeriksa Medis yang termasuk bagian dari Tim Forensik kemudian membawa jenazah ke laboratorium mereka untuk divisum lebih lanjut.

Katanya sih, usaha perampokan yang gagal total. Perampok Amatiran yang masuk terpergok Sang Suami (yang sekarang berstatus Almarhum atau Korban) dan mereka pun berkelahi. Pecahan kaca di dekat jenazah Sang Suami membuktikan bahwa kemungkinan besar senjatanya adalah salah satu potongan dari pecahan kaca yang ada. Lukanya agak terlalu lebar untuk pisau biasa.

Namun, berdasarkan laporan sementara Tim Forensik dan yang kulihat, ada yang janggal.

Pertama, kenapa hanya pintu belakang yang menuju kolam renang terbuka dan jendela besar di sampingnya yang pecah? Tembok di belakang terlalu tinggi untuk dipanjati dengan cepat. Kecuali ada manusia super di dunia nyata dan pelakunya pakai alat pendaki (niat banget!), terlalu mustahil untuk jadi jalur masuk dan keluar.

Kedua, hanya ada jejak kaki berdarah yang mengarah ke halaman belakang…dan berhenti pas di pinggir kolam renang.

“Dez, coba lihat ini, deh.”

Ben, salah satu anak Tim Forensik, menunjukkan foto-foto file rumah sakit terdekat. Kulihat Sang Istri sering sekali harus ke UGD (unit gawat darurat) di sana. Patah lengan. Kaki keseleo.  Hidung patah. Gigi tanggal. Mata lebam.

Semuanya tertulis: KECELAKAAN. Tapi kok, sering sekali, bisa sampai sebulan-dua bulan sekali selalu harus ke rumah sakit atau berobat ke dokter?

“Ben, aku mau nyebur dulu.”

“Hah?” Terlambat. Byur! Hanya berbekal senter tahan air, aku menyelam untuk menyinari lantai kolam renang. Tak peduli sudah tengah malam dan aku akan menggigil kedinginan…

Kisah Klasik Pembunuhan
Foto: unsplash.com

-***-

“Dez, kamu ngapain?” Detektif Senior bingung melihatku menggigil karena basah kuyup. Kutunjukkan sebilah besar pecahan kaca yang kutemukan di dasar kolam renang.

“Senjata pembunuhan.”

Mendadak Sang Istri tampak gugup. Kuperhatikan satu tangannya yang ternyata sedang diperban. Kutanya:

“Tangan Ibu kenapa?”

  • Selesai –

R.