Semalam aku mendengar Papa dan Mama bertengkar di dapur lagi. Lagi-lagi soal uang. Sudah hampir seminggu kami tidak makan. Aku mulai kelaparan sekali. Tubuhku semakin kurus dan lemah. Aku sudah semakin sulit bangkit dari tempat tidur.
“Kita masih punya air minum, ‘kan?” bentak Papa. “Puasa aja dulu. Aku belum dapat kerjaan lagi.”
“Ya sudah, kalo begitu aku saja yang kerja!” balas Mama tak kalah keras. “Mbok Mini dari kemaren nawarin aku jagain warungnya.”
“Kamu perempuan dan istri, di rumah saja! Apa kata tetangga nanti, kalo liat suami nganggur tapi istrinya kerja?”
“TRUS ANAK KITA MAU MAKAN APA, HAH?!”
PLAK. Sunyi seketika. Kuputuskan untuk memejamkan mata …
Aneh, keesokan siangnya Mama membangunkanku sambil tersenyum. Beliau menyuapiku daging yang baru dimasak. Enak, karena aku sudah sangat kelaparan. Namun, aku merasa aneh dengan rasa daging ini …
“Ma, ini daging apa?”
“Sssh, sudah. Makan saja biar kamu cepat sembuh.”
Ibu:
Aku lega anakku akhirnya mau makan. Pipinya mulai semburat pink. Dia menghabiskan makanannya.
“Papa mana?”
“Kamu udah nggak usah mikirin Papa lagi. Yang penting kamu makan.”
Yang penting anakku makan. Laki-laki yang hanya tahu cara bikin anak tanpa mau peduli cara mengurusnya. Kutatap gundukan tanah di kebun belakang yang masih baru dan tersenyum puas.
Pengorbananmu tidak sia-sia, bahkan meski kamu takkan pernah menyadarinya. Aku mulai sibuk mencuci seprai bernoda darah dengan sisa sabun yang masih ada. Sekarang anak kita bisa makan, meski aku tak yakin kami bisa menghabiskanmu. Kamu menjual satu-satunya kulkas bulan lalu.
Besok aku akan mulai bekerja dengan Mbok Mini. Bila ada yang bertanya tentangmu, cukup kubilang saja kamu kabur dengan perempuan lain. Cerita suami tak bertanggung jawab sudah terlalu banyak di negeri ini …
Aku tidak tahu masalah mereka yang selalu memanggil-manggilku atau menyebut-nyebut rasku. Aku bahkan bingung saat mereka menggunakan namaku sebagai kata makian. Memangnya apa salahku? Apakah aku seburuk itu?
Contohnya, segerombolan pemuda dan pemudi yang duduk di warung malam itu. Aku bersyukur, pemilik warung mengizinkan anjing ikut masuk, selama tidak membuat rusuh. Aku duduk dengan patuh, menunggu majikanku – seorang perempuan paruh baya pendiam yang baik hati – memesankan semangkuk daging dan semangkuk air putih khusus untukku. Aku langsung makan dengan lahap di dekat kakinya, sementara majikanku menyantap pesanannya dalam diam.
Nah, pemuda-pemudi itu mengobrol dengan suara keras, sesekali diselingi bahak yang mengganggu sekali. Kuhitung sudah lebih dari sepuluh kali mereka menyebut kata ‘anjing!’ dengan nada mengejek atau mengumpat. Mengganggu konsentrasiku makan saja, karena aku merasa dibicarakan. Lihat, mereka bahkan tidak sadar bahwa manusia-manusia lain di sekeliling mereka tampak tidak nyaman dengan kelakuan mereka. Mereka pikir mereka keren kali, ya?
Majikanku mengelus lembut kepalaku saat kami berdua sama-sama selesai makan. Kulihat wajahnya yang mulai berkeriput tampak tenang saat menatap gerombolan berisik di meja seberang yang tak henti-hentinya memaki dengan namaku.
“Tersinggung, ya?” bisiknya padaku. “Tenang, Mama akan tangani mereka.”
Sebenarnya, aku tidak mau majikanku harus melakukan itu, setiap kali ada yang menyinggungku. Namun aku tidak bisa mencegahnya kalau sudah punya mau. Kulihat mulutnya mulai komat-kamit mengucapkan mantra yang sangat kukenal.
Esoknya sudah bisa kutebak. Majikanku akan menunjukkan kabar berita yang sama. Sekelompok anak muda menjerit-jerit ketakutan saat melihat anjing di ruang publik sehingga harus dirawat di RSJ. Mereka mengaku, setiap kali menyebut kata anjing, selalu ada anjing kelaparan dan galak yang muncul tiba-tiba, meneror mereka dengan tatapan sangar dan geraman tanpa henti. Dikasih makanan pun tak kunjung pergi …
Semua ini salahku. Seharusnya aku tidak meninggalkan Adik Kecil sendirian di dalam lemari. Saat itu, kami tengah bermain petak umpet bersama Para Sepupu yang lebih tua. Karena kesal lebih sering kalah dalam permainan, aku mengajak Adik Kecil untuk masuk agak jauh ke dalam hutan. Sampai sana, kami menemukan sebuah rumah reyot tak berpenghuni. Kami masuk dan menemukan kamar tidur berlemari.
Adik Kecil memutuskan untuk bersembunyi di dalam lemari itu. Sayang, isinya terlalu sempit untuk kami berdua. Akhirnya, aku pasrah hanya bersembunyi di balik dinding.
Tentu saja, Para Sepupu menemukanku duluan. Sayang, Para Orang Tua juga menemukan kami dan memarahi kami semua. Kami pun diseret pulang dengan bentakan sepanjang jalan. Ingin kuberitahu mereka mengenai Adik Kecil yang masih di dalam lemari, namun aku malah disuruh diam.
Kutunggu sampai mereka tenang, baru kuberitahu soal keberadaan Adik Kecil di dalam lemari di rumah yang ada di tengah hutan itu. Aneh, Mama malah menangis. Para Sepupu tampak pucat. Papa, meski dengan suara bergetar, berusaha berbicara denganku:
“Kamu lupa, ya? Adik sudah nggak ada.”
Tidak. Aku tidak mau mendengarnya. Aku tidak mau mendengar cerita yang sama, tentang bagaimana itu bukan salahku. Salah gempa, yang membuatku ketakutan dan berlari keluar rumah – tanpa melihat bahwa Adik tertimpa lemari …
“STRINGS ATTACHED: Kunjungan Singkat Serial Pendek Komedi Romantis”
Untuk ukuran orang yang tengah skeptis akan romansa, saya tidak pernah mengira akan benar-benar menikmati membaca antologi fiksimini ini. Ditulis oleh Firnita Taufick, “Strings Attached” membawa saya kembali ke masa remaja.
Bagi banyak orang, masa remaja adalah masanya percaya akan cinta. Ini masanya cerita roman remaja, serial sinetron, dan komedi romantis Ini masanya kita lebih peduli apakah orang yang kita suka menyukai kita juga atau tidak.
Masa remaja adalah masa-masa patah hati nyaris terasa seperti akhir dunia … setidaknya pada awalnya. Seperti kata orang-orang: masih banyak ikan di laut. Tak peduli kamu bilang ke mereka kalau kamu vegetarian. (Bercanda!)
Ngomong-ngomong, saya merasa ‘dekat’ dengan banyak cerita di buku ini. Pada “Chapter I: Hope”, kita tahu rasanya debar-debar itu. Tahu ‘kan, seperti banyaknya kupu-kupu yang terbang menari-nari di dalam perut – saat melihat sosok yang kita taksir di sekolah / kampus. Bisa teringat – atau mungkin terbayangkan – saat berpapasan dengan mereka – di perpustakaan maupun di kedai kopi.
Pada “Chapter II: The Bliss”, saya teringat akan keajaiban, semua kemungkinan yang menyenangkan sekaligus menakutkan. Apakah perasaan ini nyata? Apakah si dia juga merasakan yang saya rasakan?
Seberapa lama perasaan ini akan berlangsung? Akankah saya patah hati saat fantasi ini berakhir? Bisakah saya merelakan orang itu secepat mungkin? Apakah saya akan menemukan seseorang yang lain lagi bila hal itu sampai terjadi?
“Chapter III: The Despair” mungkin yang terberat untuk saya baca. Tidak ada orang waras pun yang mau mengalami hal ini. Hubungan bisa saja berakhir. Pasangan bisa putus. Kadang kamu terpaksa mengucapkan selamat tinggal pada apa pun dan seorang pun yang kamu harap bisa tinggal lebih lama. Cinta sejati adalah konsep kekanak-kanakan, abstrak, dan mustahil. Kita sadar dan belajar akan hal itu seiring bertambahnya usia.
Tetap saja, mengenai romantika remaja, inilah semua fase yang mungkin akan kita semua lewati. Tidak ada tawar-menawar. Sudah bagian dari risiko.
Membaca “Strings Attached” akan membuatmu merasa pahit dan manis. Bahkan untuk pembaca yang skeptic akan roman seperti saya selesai membacanya dengan senyum. Siapa tahu? Mungkin keajaiban lama bernama cinta masih ada, bahkan meskipun kita masih ingin memastikan bahwa kita tetap berpegangan pada realita …
Eh, buku keduanya Firnita – “The Short Stories” – sudah ada di Gramedia, lho!
“Ayolah, ini akan menyenangkan,” janjimu padaku dalam bahasa Inggris beraksen Rusia itu. “Travelling berdua, camping, menikmati hutan belantara. Aku bisa memotret alam sesukaku, sementara kamu bisa menulis. Kamu belum pernah travelling ke alam terbuka, ‘kan?”
Entah apa yang membuatku termakan oleh ajakanmu. Kamu yang begitu mempesona sejak awal bertemu. Kata teman-temanku (yang disertai jengit di wajah mereka) sih, kamu jauh dari tampan. Dekil dan berantakan malah. Kalau Mama sampai tahu aku diam-diam pacaran dengan laki-laki bule, gondrong, brewokan tapi nyaris botak di puncak kepala, berkacamata segede pantat botol, dan dengan tampilan kayak nggak mandi seminggu, beliau pasti akan mengamuk.
“Ayolah,” bujukmu sambil membelai ikal gelapku. Kalau sudah begini, aku suka luluh. Tambah luluh lagi saat kamu mencium bibirku dengan penuh napsu. Ah, ke manakah otakku? Biasanya aku selalu berhati-hati.
Mungkin karena saat itu aku sedang jenuh dan muak dengan tuntutan keluarga. Sudah di atas 30, kata mereka. Kapan menikah? Kenapa nggak bisa seperti kakakmu? Mungkin karena menurut mereka aku terlalu gemuk, makanya laki-laki tidak ada yang mau.
Tapi, kamu justru mengaku lebih suka dengan perempuan gemuk. Berbanding terbalik dengan sosokmu yang menjulang, rada kerempeng – tapi hebatnya kuat bawa tas gede pas travelling. Itulah yang kuperhatikan dengan kagum, saat akhirnya – ya, kuputuskan untuk ikut travelling perdana denganmu. Aku sampai bertengkar hebat dengan Tobey, sahabatku laki-laki Australia yang sudah lebih seperti abangku sendiri.
“Rina, please. Aku tahu perempuan macam apa kamu. Aku nggak mau kamu menyesal nanti.”
Kutinggalkan pesan untuk ibu kos sebelum pergi. Aku sengaja tidak memberitahu siapa-siapa lagi, meski ponsel tetap kubawa. Jujur, aku mungkin anak kota yang juga sedang merasa sangat bosan. Aku butuh petualangan.
Dan laki-laki seperti kamu begitu menggiurkan…
-//-
Tiga bulan berlalu. Mungkin aku praktis sudah jadi orang hilang saat itu. Di hutan, terutama yang belantara, waktu seakan berjalan lambat – bahkan nyaris berhenti. Setiap hari terasa sama. Tidak banyak manusia lain, hanya kita berdua. Aku dan kamu. Dengan alasan berhemat, kita akhirnya tidur satu tenda.
Oh, ayolah. Semua pasti sudah tahu apa yang kemudian terjadi. Apalagi, kamu begitu menggebu-gebu. Aku yang tadinya ragu akhirnya pun mau.
Hingga saat itu…
Sial, kenapa aku mual begini, ya?
“Kamu nggak apa-apa?” tanyamu saat aku banyak tertinggal di belakang. Tidak hanya itu, aku pun mulai sering ngos-ngosan dan ingin muntah. Kepalaku pusing, berputar hebat. Saat kulihat wajahku di layar kamera ponsel, astaga. Pucat bukan kepalang.
Aku tahu, yang kutakutkan selama ini akhirnya terjadi. Aku tidak bisa bilang kamu memaksaku, namun entah kenapa aku tidak menolakmu waktu itu. Mungkin karena malam itu hanya kita berdua di dalam tenda…di tengah hutan belantara…
Saat menyempatkan diri ke kota kecil, kudatangi apotik yang sekaligus minimarket. Ajaib, apotik sekaligus minimarket itu menjual test pack. Untunglah, di kota kecil itu belum ada peraturan aneh-aneh soal larangan menjual alat kontrasepsi, alat tes kehamilan, dan semacamnya secara terbuka.
Setelah membayar, buru-buru aku keluar. Aku harus mengetesnya segera. Aku hanya ingin memastikan…
-//-
“Nggak mungkin,” bantahmu saat kuberitahu hasil tes itu. “Aku ‘kan waktu itu pakai pengaman-“
“Mungkin nggak efektif,” tukasku dingin. Kulihat ponselku sudah penuh dengan notifikasi pesan. Ada ratusan. Mama…Tobey…teman-temanku yang lain…
Maafkan aku…
“Aku nggak bisa,” katamu sambil menggeleng-geleng. “Kamu tahu gimana keluargaku. Aku nggak pernah kenal ayahku dan ibuku – “
“Tapi aku nggak bisa pulang dalam keadaan begini!” Tangisku kini pecah. Barulah, di atas tebing dekat hutan, kulihat sosokmu yang sebenarnya. Liar, tak pedulian, dan sepertinya siap menyingkir dariku kapan saja. Kuraih tangannya. “Please…”
“Aku nggak bisa!” Tanpa sengaja kamu menepisku. Saat itulah aku tiba-tiba merasakan tubuhku melayang…jauh…jauh…hingga…
Jatuh. Lalu gelap.
-//-
Keluargaku datang menangisi jenazahku. Aku sendiri tidak tahan melihat separuh wajahku yang kini hancur karena menghantam karang di bawah air terjun. Ada yang melihatku, lalu melapor penduduk setempat. Kamu akhirnya diamankan pihak berwajib sebelum jadi sasaran amukan warga, tak peduli bila kamu membela diri dan bilang kalau itu kecelakaan.
Di sudut kamar jenazah, rohku terpaku, memandangi akhir ekspedisiku…
Sejak pindah rumah untuk ngekos sendirian enam tahun lalu, aku tak pernah punya kulkas sendiri. Kulkas di kosan ada sih, meskipun kulkas bersama. Nama kerennya, kulkas komunal. Sama dengan dapur yang mau nggak mau harus berbagi. Ya, gantian masaknya dan kadang harus menahan murka saat ada yang lupa – atau memutuskan – untuk nggak cuci piring sehabis makan.
Selama enam tahun terakhir, aku sudah dua kali pindah kosan. Keduanya sama-sama punya satu dapur dan satu kulkas. Ada juga PRT yang dipekerjakan khusus cuci-gosok pakaian. (Untuk mencegah salah paham dan tuduhan, kamar penghuni tetap wajib dibersihkan oleh masing-masing penyewa. Kalo mau pakai jasa PRT, ya harus bayar ekstra.)
Oke, balik lagi ke soal kulkas.
Jujur, sebenarnya aku kurang merasa nyaman harus berbagi kulkas dengan orang asing. Di rumah keluargaku, sebenarnya aku sudah terbiasa berbagi kulkas dengan banyak orang. Di sini, aku harus siap menghadapi berbagai kemungkinan seperti ini:
Nggak kebagian tempat, gara-gara ada anak kos lain yang memonopoli isi kulkas. Mending isinya bakal mereka habiskan semua tiap bulan. Ini malah suka mereka biarkan mengendap sampai busuk. Hiii…
Kecurian bahan makanan yang sudah kamu beli dengan uangmu sendiri. Entah ada yang salah ambil, emang niat mengutil, pokoknya yang mungkin merasa bahwa “kulkas komunal berarti isinya milik bersama”. Padahal bungkus makanannya sudah dikasih nama. Yaaa…nggak gitu juga kali, Bambaaang!
Tergoda untuk mengutil makanan orang di kulkas di akhir bulan. Nah, ini bisa aja terjadi, terutama bila kebetulan kamu sudah keburu jatuh miskin di akhir bulan. Menunggu gaji cukup menyiksa, meskipun tidak seperti menunggu Rangga…eh, purnama…
Nah, aku termasuk yang mana, ya?
Kebetulan, aku termasuk yang paling jarang memakai kulkas. Bukan apa-apa, awal ngekos aku lebih banyak di luar rumah. Paling aku hanya sempat sarapan dan makan malam. Itu pun, makan malamnya juga nggak selalu di kosan, apalagi saat lembur di kantor.
Lalu, berbagai cobaan sempat mengubah alur hidupku selama jadi anak kos di Jakarta. Mulai dari kehilangan pekerjaan, terkena pemotongan gaji, hingga pernah menunggak utang hingga nyaris diusir dari kosan. Entah kenapa, alih-alih pulang kembali ke rumah Ibu, aku memilih bertahan.
Tahun 2020 ini, pandemi virus Corona kembali memaksaku untuk tidak banyak keluar rumah. Pastinya, aku lebih banyak meluangkan waktu di kosan berkat kebijakan WFH (work from home) dari kantor. Hmm, tapi sepertinya aku tetap sulit menggunakan kulkas bersama. Bukan aku satu-satunya penghuni kos yang terpaksa bekerja dari rumah.
Isi kulkas di kosanku ini masih tetap sama: penuh selalu. Ada berkantong-kantong daging beku nugget di deretan teratas, telur, mentega, margarin, bumbu-bumbu, sayuran, daging, buah-buahan, minuman botol, minuman kaleng, sama entah apa lagi. Aku selalu telat kebagian tempat di dalamnya. Mau tak mau, solusiku dari dulu hingga kini tetap sama:
Makan di warung sebelah. Lumayan, nggak perlu cuci piring.
Menerima makanan kering buatan Ibu, seperti abon dan teri kacang.
Menyisipkan sebagian kecil simpananku, seperti yogurt dan telur. Kadang juga ada cokelat batangan favoritku.
Setelah itu? Harapanku tetap sama: semoga nggak ada yang memutuskan untuk mengambil makananku dan semoga aku nggak tergoda mengambil yang bukan hakku saat sedang sulit.
Sekian.
R.
(Dari Tantangan Menulis Mingguan Online Klub Menulis Couchsurfing Jakarta, 16 Juli 2020. Tema: “Apa isi kulkasmu?”)
Wabah Corona memaksa kami semua berhenti ke kantor. Untungnya, tidak sampai berhenti bekerja. Bahkan, jam bekerja kami semakin fleksibel layaknya pekerja lepas / freelance. Meskipun jam kantor resminya 9 to 5, gara-gara beralih jadi WFH (Work From Home), ada kalanya kami dihubungi di luar jam-jam kerja yang wajar. Bahkan, sampai rapat video-call segala.
Jujur, kadang aku sebal dengan kebiasaan baru ini. Misalnya: rapat sesudah jam makan malam. Biasanya, pada waktu itu aku sudah leha-leha di depan TV, nonton serial favoritku. Kadang aku juga duduk membaca buku atau mendengarkan lagu di radio. Kalau sudah terlalu lelah, biasanya aku memilih tidur lebih cepat.
Apa boleh buat. Karena kebanyakan staf kantorku juga orang tua (termasuk si bos), waktu bekerja disesuaikan. Kebanyakan dari mereka harus memenuhi kewajiban sebagai orang tua dulu. Mengurus anak, termasuk menemani mereka belajar – berhubung sekolah mereka juga ikutan online. Berbelanja bahan makanan. Membayar tagihan. Membersihkan rumah dan masih banyak lagi.
Ada untungnya sih, masih melajang di era Corona ini. Apalagi bila tinggal sendirian seperti aku. Aku hanya harus mengurus diriku sendiri. Merasa sepi, sesekali pasti terjadi. Tapi, nikmati saja waktu luang yang ada sebisa mungkin. Setidaknya aku masih punya pekerjaan, meskipun gaji terpangkas sedikit karena kita tidak perlu lagi uang transport untuk ke kantor.
Malam Selasa, ternyata ada rapat tim. Seperti biasa, aku sudah siaga di depan laptop kesayanganku. Meskipun di rumah, aku tetap mengenakan kemeja rapi dan rok panjang. Biasa, untuk berjaga-jaga bila tiba-tiba harus berdiri di depan webcam. Aku tidak ingin terlihat tidak pantas, berhubung hitungannya masih bekerja.
Singkat cerita, rapat berlangsung selama sejam. Kebanyakan rekan kerjaku tampak cuek, hanya mengenakan kaus dan jins. Tidak apa-apa sih, sampai tiba-tiba salah seorang hampir berdiri, sebelum tersadar dan buru-buru menutupi bawahannya dengan selimut. Di kamera, kami semua nyengir geli. Ada yang terkikik.
Hmm, makanya berdandan rapi saat rapat live di chatroom tetap penting. Beda kalau hanya chatting dengan teman-teman dekat.
“Ran, tumben kamu pakai rok panjang,” tegur Anna, salah satu rekan kerjaku di tim. Waktu itu, aku sedang berdiri sebentar untuk meluruskan punggungku sebelum duduk kembali.
“Lagi malas pakai celana panjang,” ujarku cuek.
Ketika rapat sudah selesai, aku mematikan webcam, laptop dan bernapas lega. Dengan perlahan aku beranjak ke tempat tidur. Setelah duduk di ranjang, dengan hati-hati kulepaskan satu kaki palsuku sebelum tertidur.
Selama ini, aku berhasil menyembunyikan rahasiaku di kantor. Sebelum pindah ke perusahaan ini, aku pernah mengalami kecelakaan yang membuat satu tungkaiku harus diamputasi. Untunglah, berkat terapi berbulan-bulan, akhirnya aku bisa kembali berjalan seperti orang normal. Tidak ada yang curiga, karena aku tidak pernah terlihat pincang. Toh, yang diamputasi masih di bawah lutut. Aku masih bisa menekuk kakiku.
Bukan apa-apa, aku hanya tidak ingin dikasihani. Bayangkan, apa jadinya kalau tadi aku rapat tanpa bawahan yang cukup panjang…
Ini kasus pertamaku. Aku datang ke vila besar berlantai dua dengan kolam renang di halaman belakang. Malam itu, jam di ponselku sudah menunjukkan pukul 11:45. Nyaris tengah malam.
Jenazah
lelaki itu terkapar di ruang tengah, berlumuran darah. Permadani Turki yang
mahal itu ternoda. Darah mulai mengering dari luka terbuka di perut lelaki itu.
Sang
Istri yang tersedu-sedu sedang diwawancarai oleh Detektif Senior di ruangan
lain. Tim Forensik sibuk memotret, menyapu berbagai permukaan untuk mencari dan
mengumpulkan contoh sidik jari dan barang-barang bukti lainnya. Tim Pemeriksa
Medis yang termasuk bagian dari Tim Forensik kemudian membawa jenazah ke
laboratorium mereka untuk divisum lebih lanjut.
Katanya
sih, usaha perampokan yang gagal total. Perampok Amatiran yang masuk terpergok
Sang Suami (yang sekarang berstatus Almarhum atau Korban) dan mereka pun
berkelahi. Pecahan kaca di dekat jenazah Sang Suami membuktikan bahwa
kemungkinan besar senjatanya adalah salah satu potongan dari pecahan kaca yang
ada. Lukanya agak terlalu lebar untuk pisau biasa.
Namun,
berdasarkan laporan sementara Tim Forensik dan yang kulihat, ada yang janggal.
Pertama,
kenapa hanya pintu belakang yang menuju kolam renang terbuka dan jendela besar
di sampingnya yang pecah? Tembok di belakang terlalu tinggi untuk dipanjati
dengan cepat. Kecuali ada manusia super di dunia nyata dan pelakunya pakai alat
pendaki (niat banget!), terlalu
mustahil untuk jadi jalur masuk dan keluar.
Kedua,
hanya ada jejak kaki berdarah yang mengarah ke halaman belakang…dan berhenti
pas di pinggir kolam renang.
“Dez, coba lihat ini, deh.”
Ben,
salah satu anak Tim Forensik, menunjukkan foto-foto file rumah sakit terdekat. Kulihat Sang Istri sering sekali harus
ke UGD (unit gawat darurat) di sana. Patah lengan. Kaki keseleo. Hidung patah. Gigi tanggal. Mata lebam.
Semuanya
tertulis: KECELAKAAN. Tapi kok, sering sekali, bisa sampai sebulan-dua bulan
sekali selalu harus ke rumah sakit atau berobat ke dokter?
“Ben, aku mau nyebur dulu.”
“Hah?” Terlambat. Byur! Hanya berbekal senter tahan air, aku menyelam untuk menyinari lantai kolam renang. Tak peduli sudah tengah malam dan aku akan menggigil kedinginan…
-***-
“Dez, kamu ngapain?” Detektif
Senior bingung melihatku menggigil karena basah kuyup. Kutunjukkan sebilah
besar pecahan kaca yang kutemukan di dasar kolam renang.
“Senjata pembunuhan.”
Mendadak
Sang Istri tampak gugup. Kuperhatikan satu tangannya yang ternyata sedang
diperban. Kutanya:
Seperti apa sih, rata-rata nasib perempuan Indonesia sesudah menikah? Pastinya bermacam-macam. Mengingat kebudayaan yang masih sangat patriarkal, kebanyakan istri otomatis mengikuti suami tanpa banyak bacot. (Biasa, ancaman disebut durhaka dan dimasukkan ke dalam neraka menurut agama). Pokoknya, keinginan suami nomor satu. Kalau bisa, istri tidak usah punya mau kecuali manut.
Hell hath no fury like a woman’s
scorned. Tiada yang bisa melampaui murkanya perempuan.
Dulu,
aku pernah bangga dengan pepatah itu. Kesannya keren dan gagah. Hati-hati bila
perempuan sudah marah. Semua yang di depannya pun bisa habis seketika.
Sayangnya,
pepatah di atas juga bisa jadi bahan ejekan. Kata mereka, perempuan kalau marah
itu lebay. Histeris seperti orang
gila. Emosional, tidak masuk akal.
Itulah
persepsi tirani sosial bernama patriarki yang sangat kubenci. Bila yang marah
lelaki, mereka menganggapnya tegas dan berani. Pokoknya, jantan sekali. Tak
peduli mereka kasar, pakai memukul dan memaki.
Sementara
perempuan? Bah, jangan harap dapat nilai sama. Kalau tidak disebut bawel,
banyak maunya, tidak sopan, hingga…ahem,
melawan suami. Tidak peduli bila perempuan itu kemudian terbukti benar.
Pasti ada saja alasan mereka semua untuk pura-pura tidak sadar. Benar-benar
minta ditampar!
Intinya,
jangan sampai laki-laki kelihatan atau dituding salah di depan khalayak. Bisa ambyar harga diri dan ego mereka.
Duh,
celakalah bila suami pilihanku seperti itu…
-***-
Bagaimana
bila suami belum bisa punya rumah sendiri, alias masih tinggal bersama orang
tuanya? Otomatis, istri harus ikhlas mengurus mereka semua. Apalagi, ibu adalah
perempuan paling pertama dalam hidup suami. Jangan pernah sekali-sekali
memintanya memilih antara ibu dan istri. Sama saja cari mati atau minta cerai.
Respect the elders, always.
Aku
tidak bodoh. Aku bisa hormat dan sopan sama yang lebih tua. Tak perlu
mengancamku dengan kata ‘durhaka’,
‘dosa’, hingga ‘masuk neraka’.
Tapi,
apa kabar dengan mereka yang lebih tua – tapi hobi semena-mena dengan sesama?
Gila hormat dan selalu minta diperlakukan seperti dewa. Lupa kalau masih
sama-sama manusia. Bisa juga berbuat salah.
Oh,
tidak, tidak. Jangan pernah permalukan mereka yang lebih tua. Kasihan, sudah
uzur. Mereka lebih sensitif, sayangnya hanya bila menyangkut perasaan mereka
sendiri. Tak peduli mereka hobi mendamprat yang lebih muda, lebih kecil, atau
bahkan lebih miskin daripada mereka – di depan umum pula. Maklumi saja. Sudah,
jangan membantah. Meskipun memang kamu yang (terbukti) benar, yang ada malah
tetap dianggap kurang ajar sama mereka. Tidak punya adat. Tidak tahu sopan
santun. Okay, boomers.
Tirani
sosial ini bernama hierarki. Aku benci sekali, karena banyak orang tua yang
terlalu menuruti ego mereka sendiri. Anak yang tadinya punya potensi jadi tidak
kenal diri sendiri gara-gara orang tuanya berperan sebagai pengendali. Tidak
terbayangkan bila suatu saat orang tuanya pergi. Bisa tidak, anak itu
menentukan nasibnya sendiri?
Ah,
aku kok jadi jahat begini, sih? Tapi beneran, deh. Bagaimana kamu bisa
menghormati mereka yang justru malah tak layak untuk dihormati, tapi merasa
berhak?
-***-
Kebetulan,
aku beruntung sekali menikahi laki-laki yatim piatu yang baik sekali. Selain
tidak perlu berurusan dengan mertua yang belum tentu berkenan dengan pendamping
hidup pilihan putranya, suamiku untungnya juga lebih menghargai keluargaku. Dia
tak punya ibu lagi, makanya dia sangat memanjakan mamaku.
Amara,
kembaranku, ternyata tidak seberuntung itu. Setelah menikah, dia langsung ikut
suaminya ke luar kota. Tinggal bersama keluarga mertua.
Awalnya,
semua baik-baik saja. Sikap mertua mulai berubah saat usaha suaminya bangkrut.
Sayangnya, suami Amara kurang cepat tanggap dan gigih dalam menyikapi perubahan
ekonomi keluarganya, sehingga Amara harus ikut mencari nafkah. Namun, urusan
pengasuhan anak dan rumah tangga pun tetap dibebankan padanya.
Intinya,
sejak saat itu, Amara lebih banyak diperlakukan seperti babu. Sering
dibentak-bentak dan dimarahi, bahkan untuk kesalahan paling remeh sekali pun.
Semua harus serba sempurna. Selalu diingatkan bahwa Amara dan suaminya hanya ‘menumpang’. Tahu dirilah, jangan
merepotkan.
Anehnya,
suami Amara tidak pernah kena marah karena belum punya penghasilan tetap lagi.
Menurut pengakuan Amara, di sana laki-laki diperlakukan seperti raja. Selalu
dimanja, seakan-akan tidak pernah salah. Bahkan, ibu mertuanya sendiri sampai
pernah bilang begini:
“Kalau
sama laki-laki, ngomongnya harus lembut.” Astaga, selemah itu-kah mereka?
Alasan basi mereka, istri-lah yang harus selalu lebih sabar dan kuat. Lucunya,
laki-laki tetap harus dianggap sebagai pemimpin keluarga dan dijaga wibawanya.
Benar-benar standar ganda menjijikan!
Lalu,
apa yang terjadi bila Amara marah dan membela diri? Gaslighting pun terjadi. Amara dibilang gagal paham dan sensi.
Padahal, jelas-jelas mereka-lah yang gemar memaki.
Makanya,
aku tidak heran ketika suatu hari, Amara pulang dengan koper seadanya dan mata
sembab. Wajahnya tampak lelah dan lebih tua, padahal kami kembar identik. Amara
datang tanpa suaminya. Aku tak perlu bertanya. Bibirnya yang tampak pucat
gemetar.
“Anita…”
Tangisnya
pun pecah. Kami berpelukan. Dua istri yang sama-sama sadar, ini masih Indonesia
yang sama. Mendewakan patriarki dan senioritas, namun tak pernah
sungguh-sungguh dengan jargon ‘memuliakan
perempuan’.
Seperti
biasa, paling mereka hanya menuntut bahwa istri harus selalu sabar, ikhlas, dan
lebih banyak menurut dalam diam. Tidak hanya pada suami, namun pada keluarga
suami. Bila memang tidak setuju dengan perempuan pilihan putra mereka untuk
menjadi istri, kenapa tidak dari dulu melarang? Kenapa tetap merestui, bila
pada akhirnya hanya untuk bebas menyakiti?
Di
Indonesia, kamu sedikit lebih beruntung sebagai perempuan dengan beberapa privilege ini: lebih tua, lebih kaya,
dan lebih berkuasa. Sayangnya, kamu bisa terjebak kultur patriarki sehingga
tetap misoginis secara internal. Akhirnya kamu pun bisa sama saja, malah ikut
menindas sesama perempuan…
Kudengarkan curhatannya panjang
lebar. Ah, Charlita. Lagi-lagi dia mengeluhkan orang-orang yang sama. Entah si
A yang menurutnya tidak tahu terima kasih, si B yang hanya memanfaatkan
kebaikannya, hingga si D yang menusuknya dari belakang.
Aku sudah bersahabat dengan
Charlita sejak dua bulan lalu. Gadis mungil, ramping, dan yang sebenarnya
cantik ini ternyata merasa semua orang selalu memusuhinya. Alasannya selalu
sama.
“Mereka pasti iri sama gue.
Padahal, mereka lebih cantik dan kaya.”
“Gue deket sama cowok ini dan
mereka langsung kayak musuhin gue.”
“Makanya, Naja. Cuma elo sahabat
gue satu-satunya sekarang,” ucap Charlita sambil tersenyum penuh rasa terima
kasih padaku. Digenggamnya tanganku dengan lembut. Hangat, membuat darahku
tiba-tiba berdesir. “Elo gak akan pernah mengkhianati gue, ‘kan?”
Aku tersenyum agak dipaksakan. “I’ll try.”
-***-
Sebenarnya, kalau ingin melihat
dari dua sisi, Charlita tidak selalu benar. Dia tidak selalu korbannya. Saat
kutanya pada orang-orang yang pernah (dianggap) bermasalah dengannya, jawaban
mereka berbeda. Mereka tampak tersinggung saat kuceritakan pendapat Charlita
tentang mereka.
“Astaga, dia melulu kok, yang
cari gara-gara,” kata Alex tampak geram. “Yang ratu drama siapa, yang disalahin
kita.”
“Gue cuma nggak sepaham sama dia
dalam beberapa hal – dan dia langsung nganggepnya serangan personal,” keluh
Biyan. “Capek deh, kalo urusan sama Charlita. Mending seperlunya aja. Gak usah
sering-sering.”
“Oh, my God.” Donna melotot. “She
thinks she’s all that. She always plays the victim, but you have no idea how
nasty her big mouth is. She’s the snake, actually.”
Aku hanya tersenyum tipis.
Kukumpulkan semua kesaksian mereka dalam ingatanku. Apakah aku akan balas
mengadukan mereka pada Charlita? Ah, tidak perlu. Dia tidak perlu tahu.
Bahkan, kujamin Charlita juga
tidak akan pernah tahu. Kurasa aku harus menolongnya, membebaskan dirinya dari
penderitaan yang diciptakannya sendiri. Lagipula, demi keseimbangan ekosistem,
Bunda selalu memintaku untuk memilih dengan hati-hati.
-***-
Malam itu, aku menginap lagi di
rumah Charlita. Seperti biasa, gadis manja dan egois itu butuh teman
setia…atau lebih tepatnya, penonton. Beruntunglah, aku cukup dingin untuk
jadi pemujanya. Aku pendiam, efektif, dan tidak mudah dipengaruhi.
Tak lama, Charlita akhirnya jatuh
tertidur karena kelelahan. Aku masih terjaga. Kulihat bulan sudah purnama.
Kutatap Charlita sekali lagi sambil menghela napas.
“Maaf, ya,” bisikku, meski tidak
pernah benar-benar menyesal. Secara perlahan, kurasakan diriku berubah. Kedua
kaki dan tanganku menyatu pada badan. Kulitku yang semula putih pucat mirip
kulit manusia pada umumnya mulai robek, menunjukkan sisik-sisik berwarna gelap
di bagian dalam. Tinggiku semakin berkurang, sebelum akhirnya aku melata di
lantai kamar Charlita yang dari marmer. Dingin dan nyaman.
Charlita masih terlelap, tak
sadar bahwa aku sudah secara perlahan melata ke atas tempat tidurnya. Ada
ekspresi geli pada wajahnya saat aku merayap di atas tubuhnya.
Tak lama, kutatap wajahnya yang
pulas. Aku sengaja menunggu matanya terbuka. Aku yakin, instingnya cukup tajam
untuk merasakan dirinya dalam bahaya.
Mata Charlita terbuka. Semula dia
tampak bingung menatapku, sebelum ekspresi ngeri perlahan merayapi wajahnya.
“Ah-“
Terlambat. Kedua taring panjangku
sudah menancap di lehernya, sekaligus mengeluarkan bisa. Charlita tidak pernah
tersadar lagi. Sesudah puas, aku turun merayap di lantai. Jendela kamarnya
sudah agak kubuka tadi, sewaktu masih berwujud manusia. Perlahan aku menyelinap
keluar, meninggalkan jenazah berwajah kaget yang pastinya akan tampak sangat
mengerikan bagi orang tuanya – saat menemukannya esok pagi…
-***-
“Kerja bagus, anakku.”
Aku senang Bunda memujiku. Saat
ini, aku sedang bersantai karena udara masih dingin. Mengikuti instruksi Bunda,
besok-besok aku akan mencari korban berikutnya. Ya, manusia yang merasa paling
tahu, mana sesamanya yang bersifat ular. Manusia yang gagal mengendalikan
lisannya, padahal lidah mereka jauh lebih kaku daripada lidah kami yang tak
henti menjulur.
Ya, manusia yang dengan enteng
menilai sesamanya: “Culas seperti ular.”