Demi Laptop Gratis
Ini tahun pertamaku bekerja di sebuah lembaga kursus bahasa asing di Kuningan. Waktu itu, aku belum memutuskan untuk tinggal di rumah kosan seperti sekarang ini. Aku masih pulang-pergi ke rumah orang tuaku yang cukup jauh.
Seperti biasa, setiap selesai mengajar di hari Sabtu, sahabatku di tempat kerja, Tony, suka mengajakku nongkrong bareng dulu. Kadang kami makan siang super telat (mengingat kelas kami paling akhir biasanya baru selesai pukul empat sore) di Plaza Festival. Kadang kami main-main sebentar ke apartemennya, duduk mengobrol sambil menonton TV. Kadang aku membantunya memasak sebelum makan malam bersama di sana.
Lalu, bagaimana bila kebetulan Tony sedang tidak bisa menemani setiap Sabtu sore? Tidak masalah. Berlawanan dengan anggapan salah seorang teman kami yang pernah menuduhku terlalu tergantung sama sahabatku itu, aku baik-baik saja. Aku masih bisa makan dan ke mana-mana sendiri. Aku cukup mandiri.
“Kamu belum pernah ke Epicentrum, ya?” tanya Tony suatu ketika. “Coba ke sana deh, isinya juga lebih beragam. Biar mainnya nggak ke Pasfes melulu.”
“Oke.” Makanya, suatu Sabtu sore, kuikuti sarannya. Sampai di Epicentrum, kulihat lantai bawahnya sedang ramai. Ada panggung yang cukup besar di sana. Sebagian kecil kerumunan berada di pinggir panggung.
Tatapanku jatuh pada sebuah laptop kurus tipis berwarna abu-abu di dalam lemari kaca di samping panggung. Ketika kulihat seorang lelaki berseragam merk laptop tersebut sedang menulis di depan rombongan orang yang berbaris, kuhampiri dia. Kutanya: “Ini lagi ada acara apa, sih?”
“Oh, ini lagi ada acara lomba menangin laptop,” jawab lelaki itu santai. Ketika melirikku, dia bertanya, “Mbak mau daftar?”
“Bisa?”
“Boleh.”
Aku girang bukan kepalang. Sesudah mendaftar, kutunggu di bibir panggung bersama yang lainnya dengan sabar. Asli, aku hadir seorang diri, membawa tas kantorku yang lebih mirip tas ibu-ibu sosialita, namun dengan dandanan seadanya. Kaos ungu, jins, sepatu selop, dan rambut ikal panjang yang berantakan ke mana-mana. (Kelar mengajar, biasanya aku suka malas berdandan, kecuali kalau perlu ke acara lain.)
Jadi, cara mendapatkan laptop di lemari kaca itu begini:
Naik ke panggung. Tunggu aba-aba dari layar di depanmu. Begitu mulai, segeralah bergaya dan beraksi segila mungkin di depan kamera. Bagian bawah panggung dilengkapi dengan sensor yang dihubungkan langsung ke kamera dan meteran digital yang tampak di layar. Semakin gila gayamu, semakin tinggi hasil skor meteran pada layar.
Sempat aku menyesal begitu mendaftar. Rata-rata kontestan yang ikutan tampak lebih atletis, fit, dan pede daripada aku. Apalagi yang laki-laki. Mungkinkah si gemuk ini punya peluang?
Ketika giliranku tiba, kuputuskan untuk bersikap masa bodoh. Kalau kalah, ya sudah. Sambil naik ke panggung, kutinggal tas di pinggir dan kulepas sepatuku. Aku bersiap di tengah panggung dan mengatur napas.
Saat kulihat aba-aba dimulai, aku sudah tidak berpikir lagi dan mulai bertingkah sesukanya. Pokoknya, di benakku hanya ada lagu-lagu Metallica satu album dan tubuhku terus bergerak tanpa henti. Entah sudah seperti apa ekspresiku, aku tak lagi peduli.
Aku baru berhenti saat tiba-tiba alarm peringatan berbunyi. Ternyata…meteran digital di layar sudah menunjukkan hasil tertinggi: INSANELY EXCITED! Aku terlalu shock hingga tak sadar kedua lututku gemetaran karena berhenti mendadak sesudah berjoget asal dan gila-gilaan di atas panggung. Penonton bersorak histeris dan bertepuk tangan, lalu tertawa saat melihatku jatuh seketika di panggung.
Sejam kemudian, aku berada di Comic Café, duduk dan masih memandangi laptop baruku dalam kemasan dengan perasaan tidak percaya. Bahkan, saat kukirim SMS ke semua orang yang kuingat saat itu, termasuk Tony, jawaban mereka seakan mendukung rasa tidak percayaku:
“Ma/Dek, jangan kaget, ya.”
“Apaan?”
“Aku baru dapat laptop gratis.”
“…..”
“Tony, guess what?”
“What?”
“I’ve just won myself a free laptop.”
“Very funny.”
-***-
Dua bulan kemudian, adik lelakiku tiba-tiba ditelepon sahabatnya yang bekerja di periklanan. Suaranya terdengar geli.
“Lo dah tau kakak lo menangin laptop?”
“Iya. Dia pulang bawa laptopnya.”
Sementara itu, Tony berhasil menemukan rekaman acara tersebut di YouTube – dan selalu membagikannya ke orang baru, setiap kali percakapan soal itu muncul di tengah-tengah acara nongkrong bareng.
Laptop itulah yang kemudian mengawali karirku di dunia kepenulisan dan digital…
R.