Takut
Aku takut menikah. Aku tahu, aku kedengaran putus asa. Mungkin juga parno luar biasa.
Aku sudah sering mendengar cerita-cerita seram. Calon suami yang katanya siap mendukung istri tetap berkarir di luar rumah langsung ingkar begitu sudah ijab kabul. Merasa sudah memiliki, suami pun menguasai. Melarang istri jadi diri sendiri. Pokoknya harus tunduk patuh tanpa kecuali.
Sumpah, aku ngeri.
Banyak juga calon suami yang belum apa-apa sudah tidak tahu diri. Berharap dan menuntut istri masih perawan, padahal mereka sendiri sudah tidak perjaka. Standar ganda munafik dan menjijikan.
Padahal, bisa jadi laki-laki semacam itulah yang berpotensi menyebarkan penyakit menular. Habis itu, paling yang dituduh juga istrinya. Dituduh selingkuh, padahal sudah dilarang keluar rumah dan jadi ibu rumah tangga saja. Bagaimana caranya, coba? Belum tentu istrinya yang kegatelan, mengundang-undang laki-laki lain ke rumah saat suaminya sedang tidak ada.
Tapi mungkin memang benar. Laki-laki kalau memang jahat dan sudah bosan, alasan apa pun mereka pakai untuk membenarkan perselingkuhan maupun perceraian.
-***-
Aku takut menikah, apalagi kalau sampai cerai. Bila karena salah satu meninggal, mungkin lain cerita.
Tapi, bagaimana bila cerainya gara-gara selingkuh atau KDRT? Sudah banyak cerita seram yang kudengar. Ini dunia nyata, bukan cerita dongeng. Tidak ada omong kosong macam “happily ever after”. Aku bukan anak-anak lagi yang mudah tertipu dongeng macam itu.
Semua pihak dalam pernikahan harus berusaha saling membahagiakan, sekaligus berusaha membahagiakan diri sendiri. It’s tricky. Bila keduanya sama-sama gagal, entah kenapa hanya salah satu pihak yang sering dituding sebagai biang keladi.
“Kamu kurang berusaha.”
“Kamu kurang melayani, kali?”
“Jangan-jangan kamu yang kurang menuruti suami.”
Begitu terus. Kurang, kurang, kurang, dan sekali lagi kurang. Tak peduli lelah luar biasa karena harus mengurus semuanya sendiri. Anak, urusan rumah tangga. Suami maunya tahu beres saja. Istri harus ikhlas.
Tak peduli suami tinggal main perintah, bahkan dengan nada kasar. Tak peduli tangannya suka melebamkan, alih-alih peluk menenangkan…
-***-
Aku…takut untuk menikah lagi. Banyak cerita di balik trauma. Aku sudah cerita semuanya.
Tidak ada yang namanya janda bebas stigma. Tidak semua orang (mau) berpikiran terbuka. Mereka lebih mudah percaya sama kata orang.
Kalau pun bertanya, kebanyakan membuatku muak. Para laki-laki yang entah kenapa menganggapku murahan. Ada yang langsung marah dan menyumpah-nyumpah begitu ajakan kencan atau lamaran menikah ditolak.
“Jangan sombong. Kamu tuh, cuma janda. Udah bagus masih ada yang mau!”
Ada juga yang iseng bertanya:
“Gak kangen ngewe?”
Menjijikan. ‘Kan bukan urusan mereka. Memangnya mereka pikir mereka siapa?
Belum lagi tatapan kebencian dari sesama perempuan. Astaga, memangnya suami mereka sebagus itu, apa? Aku justru ingin mencungkil mata-mata lancang mereka yang setiap kesempatan melirik genit padaku.
Tidak ada yang ingin jadi janda. Tapi, aku juga takut menikah lagi. Aku takut mengulangi kesalahan serupa.
Jadi, apa yang bisa kamu lakukan untuk meyakinkanku, bahwa kali ini akan berbeda?
-selesai-